Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    Official poster serial Gadis Kretek

    Score: 9,3/10.

    Cerita dalam serial ini diangkat dari novel berjudul Gadis Kretek karya Ratih Kumala. Bercerita tentang perjalanan Lebas (Arya Saloka) mencari perempuan bernama Jeng Yah (Dian Sastrowardoyo) yang disebut-sebut bapaknya ketika dalam keadaan sakit.

    Perjalanan dimulai dari sini, Lebas berjumpa dengan Arum (Putri Marino) lalu mereka bertualang menelusuri masa lalu bersama dan satu per satu fakta tersingkap dan menjawab banyak sekali pertanyaan bukan hanya di diri Lebas tetapi Arum pun mendapatkan banyak kejutan di akhir episode. 

    Gadis Kretek menjadi serial original Netflix pertama asli Indonesia yang memberikan standar (benchmark) cukup tinggi. Keputusan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah selaku sutradara untuk menjadikan novel ini sebagai serial adalah keputusan paling tepat. Banyak sekali hal yang bisa dieksplorasi dari masing-masing karakter dan latar belakang sejarahnya dengan total durasi 5 jam alias 5 episode. 

    Edited image by @kompasmuda
    Semua orang membicarakan serial ini disertai puja-pujinya, sementara saya sengaja baru menuliskannya sekarang karena tak tahu mau menuliskannya dari mana, sebab semua departemen yang terlibat menunjukkan performa terbaiknya dan saling dukung untuk menyempurnakan hasil akhirnya. Camera movement di beberapa scene dan perpindahan transisi dari tahun 2000-an ke 1960-an alus banget, sukak!

    Aktor-aktornya tidak hanya akting, tetapi mereka telah berhasil menghidupkan karakter di dalam buku dan lebur bersama dalam dunia yang dibangun sedemikian mewah dan memanjakan mata. Serial ini setara bahkan lebih tinggi dari drama Korea yang belakang sering saya tonton. Latar belakang sejarah tahun 1965-an bukan hanya tempelan, namun bagian dari penggerak cerita dan penentu nasib para tokoh yang dihadirkan. 

    Sulit rasanya mencari kelemahan dalam serial ini, meskipun tidak benar-benar sama dengan bukunya, tetapi serial ini dikembangkan jauh lebih mengesankan. Rasanya, 5 episode terasa kurang lantaran saking terhanyutnya saya ketika menonton. 

    Special mention saya untuk Rukman Rosadi yang berperan sebagai Idroes Moeria, ayah dari Dasiyah alias Jeng Yah. Beliau sekaligus bertanggung jawab sebagai acting coach para pemain. Beliau seorang dosen, bersyukur saya pernah satu project di film Yuni, caranya mengajarkan ilmu tentang akting memang luar biasa—sering dibahas pula oleh Dian Sastrowardoyo dan aktor lainnya. Ia pandai memainkan mimik wajah (micro expression) dan menyampaikan emosi tanpa dialog.


    Ada satu scene, ketika ia pertama kali mencoba kretek dengan saus buatan Dasiyah yang diberikan oleh Soeraja (Ario Bayu), dalam satu scene itu ekspresinya berubah berkali-kali dalam hitungan detik, matanya menyala dan berubah seolah dapat berbicara (saya sulit menjelaskan ini tanpa menunjukkan visualnya). Lalu saat ia tertangkap dan kepalanya dihantam popor senapan, itu salah satu scene terbaik, rasa sakitnya menembus layar ponsel dan menyisakan ngilu di dada. 

    Kalau mesti ada yang dikritisi, barangkali akting Ibnu Jamil saat memerankan Seno terasa kurang lepas dan maksimal, saya masih melihat kalau itu Ibnu Jamil, bukan Seno. Dan CGI helikopter tolonglah Netflix, bisa kali pakai heli beneran, terlalu keliatan bohongannya, walaupun termaafkan, sih ketutup sama yang lain. Ditambah kedekatan dan hubungan anak-anak Pak Raja kurang banyak mendapatkan porsi, sepertinya bisa jadi spin-off tersendiri 😁

    Secara keseluruhan, serial ini bagus banget. Sountrack dan lagu-lagu pengiringnya pun menyatu sekali dengan latar serial ini. Sukak banget tolong!! 

    Bangga banget film Indonesia udah ada di level ini. Kalau masih ada yang bilang film Indonesia jelek, sini ngomong depan muka gue, biar gue sodorin serial ini sambil gue tampol sama vas bunga Jeng Yah! 

    Cilegon, 13 November 2023


    Continue Reading

    JAKARTA – Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-10 digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada tanggal 25-29 Oktober 2023. Kolaborasi antara Bank Indonesia dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bersama PT Bank Muamalat Indonesia dan Muamalat Institute, Cordoba Kids dan Diamond turut berpartisipasi dalam acara ISEF.

    Wujud nyata yang diberikan yaitu dukungannya untuk kegiatan perlombaan menggambar, mewarnai dan fashion show anak untuk memberikan pengalaman dan wadah bagi anak-anak untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman mereka tentang ekonomi syariah.

    Muamalat Institute memahami pentingnya mendukung kegiatan yang mempromosikan pemahaman tentang Islam dan mendorong pertumbuhan generasi muda yang memiliki pemahaman yang kuat tentang agama dan nilai-nilai moral ekonomi syariah. Oleh karena itu, mendukung acara ISEF yang bertujuan sebagai sarana edukasi yang diharapkan dapat mencetak para siswa yang unggul dan berprestasi di bidang kreatif ekonomi syariah.

    Perlombaan yang diadakan yaitu menggambar, mewarnai dan fashion show dengan antusiasme sangat tinggi dengan jumlah peserta pendaftar sebanyak 151 anak dan total peserta yang hadir sebanyak 83 (menggambar 19 anak, mewarnai 48 anak dan fashion show 16 anak) dengan rentang usia 4-10 tahun. Lomba menggambar dan mewarnai dilaksanakan dengan tema kebaikan untuk semua dan sub tema yaitu menabung di bank syariah, makanan halal, dan zakat, infaq, dan sedekah.

    Dilanjutkan dengan lomba fashion show anak dengan tema Cheerful Wear: Make People Happy. Peserta menggunakan pakaian yang unik dan berlenggok di panggung stage talkshow sharia fair. Acara dilanjutkan dengan dongeng “Nabiku, Superheroku” oleh Ustadz Kak Cahyo. Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman juara lomba. PT Bank Muamalat Indonesia dan Muamalat Institute juga menyumbangkan sumber daya dan dukungan untuk memastikan kesuksesan acara ini.

    PT Bank Muamalat Indonesia juga membuka booth untuk pembukaan rekening. Hal ini akan membantu masyarakat untuk mengenal lebih dekat prinsip-prinsip ekonomi syariah dan mengambil langkah nyata dalam mempraktikkannya. Booth ini juga dapat memberikan edukasi lebih lanjut kepada masyarakat tentang berbagai produk dan layanan keuangan syariah yang tersedia, serta bagaimana mereka dapat mengintegrasikannya dalam kehidupan finansial mereka. Ini adalah peluang untuk mulai membangun dasar yang kuat dalam hal keuangan syariah.

    Anton Hendrianto dalam kesempatan ini menyatakan ISEF adalah wadah untuk mendorong generasi muda kita dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah. Kita melihat peserta dari berbagai latar belakang menunjukkan bakat dan keterampilan mereka dalam lomba fashion show, mewarnai, dan menggambar.

    “Dalam acara ini, kita juga ingin mengajarkan kepada anak-anak kita tentang keadilan, kerja keras, dan etika dalam segala hal yang kita lakukan. Ini adalah nilai-nilai yang sangat penting dalam ekonomi syariah, dan kita berharap bahwa para peserta akan membawa pesan ini pulang ke sekolah dan lingkungan mereka. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam kesuksesan ISEF tahun ini, termasuk panitia, sponsor, guru, dan orang tua yang telah mendukung peserta. Terima kasih juga kepada para peserta yang telah berpartisipasi dalam lomba ini. Kami berkomitmen untuk mendukung acara ISEF,” ungkapnya.



    Dengan memberikan dukungan berkelanjutan bagi acara ISEF, ia berharap bahwa kompetisi ini akan menjadi motivasi bagi masyarakat untuk terlibat secara lebih aktif dalam memahami prinsip-prinsip keuangan syariah. Anton berharap bahwa melalui dukungan yang berkelanjutan dapat melahirkan generasi muda yang tidak hanya paham, tetapi juga berkomitmen untuk mempraktikkan keuangan syariah dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Mereka akan menjadi pemimpin masa depan yang membawa perubahan positif dalam dunia ekonomi dan keuangan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai syariah.

    Dukungan berkelanjutan ini juga mencakup pelatihan, seminar, dan program pendidikan yang akan membantu para pemuda untuk memahami lebih dalam prinsip-prinsip keuangan syariah. Dengan cara ini, mereka tidak hanya akan menjadi peserta dalam kompetisi, tetapi juga agen perubahan yang aktif dalam menerapkan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari mereka.

    Ke depannya PT Bank Muamalat Indonesia dan Muamalat Institute terus mendorong peningkatan literasi dan inklusi keuangan syariah melalui program-program Link and Match Kampus dan Industri seperti Muamalat Enlightenment Campaign Program (MINTERIN), Muamalat Indonesia Kompeten (MIKO), Muamalat Institute Kuis Interaktif (MIKIR), Muamalat Institute Movement Entrepreneur Incubator (MIMPI) hingga Dosen Tamu.

    “Melalui program tersebut diharapkan mahasiswa dapat menjadi prime mover (penggerak utama) dalam inklusi produk dan layanan keuangan syariah,” tutupnya. (rls/dhe)

    Continue Reading

    Cover buku oleh penerbit.

    Judul Buku : Kisah Ubay dan Para Sahabatnya
    Harga Jual : Rp.7.600
    SKU : A03202.360
    E-ISBN : 9786236139554
    Pengarang : Ade Ubaidil
    Penerbit : Inti Medina
    Halaman : 64 Halaman
    Jenjang : SD

     ***

    Sinopsis:

    Ubay gemar sekali bermain game. Bahkan, ia sampai lupa waktu dan ditegur oleh ayahnya. Ubay juga mempunyai hewan peliharaan yang diberi nama Cuppy, Ban-Ban, dan Bit-Bit. Selain ltu, Ubay senang sekali bermain sepak bola bersama teman-temannya. Banyak sekali cerita menarik dari Ubay dan para sahabatnya.
    Mereka senang menjenguk teman yang sakit. Namun, sayang sekali ada teman Ubay yang suka menyontek saat ujian dan membuang sampah sembarangan. Bagaimana, ya, kisah seru Ubay dan sahabatnya ini? Yuk, baca ceritanya sampai tuntas, ya. Kamu akan menjadi tahu bagaimana bersahabat yang baik itu.
    Salah satu halaman dalam buku ini.
    ***
    Buku cerita anak perdana karya saya ini diterbitkan oleh penerbit Inti Medina, lini dari Penerbit Tiga Serangkai. Buku ini dinyatakan lolos sebagai buku pengayaan di Puskurbuk. Buku belum dicetak, tetapi e-booknya sudah tersedia. Silakan kunjungi:
    >>> Beli Buku "Kisah Ubay dan Para Sahabatnya" <<<
    Cover fix



    Continue Reading

     

    Nama-nama orang berjasa yang terlibat dalam penerbitan buku ini

    ***

    Saya bersyukur sekali masih diberi kemampuan menulis, khususnya buku cerita anak. Sejak sekolah dasar dulu, saya membayangkan bagaimana rasanya cerita yang kita tulis akan dibaca siswa-siswi di sekolah-sekolah dan menjadi bahan ajar—tak terasa hal itu akan segera terwujud.

    Cerita ini saya tulis berdasarkan apa yang ada di kampung Cibeber, tanah kelahiran saya. Sekaligus saya ingin mengenalkan kuliner khas daerah kami, yakni Sate Bebek Cibeber.

    Banyak orang tidak tahu kalau daging Bebek ternyata bisa diolah menjadi penganan sate. Kalau kalian ingin mencobanya, silakan datang ke sini, saya akan tunjukkan warung sate mana yang jadi favorit.

    Salah satu halaman di buku ini.

    Uniknya lagi, buku ini ditulis dalam dua versi bahasa; yakni bahasa Indonesia dan bahasa Jawa Banten atau lebih dikenal dengan nama bahasa Jaseng (Jawa Serang) dan Bebasan (Jawa halus).

    Terima kasih kepada Kantor Bahasa Banten serta semua orang yang terlibat dalam terbitnya buku dwibahasa ini. Semoga memberikan manfaat, ya~

    Teman-teman bisa mengunduhnya secara GRATIS buku terbaru saya ini dan 42 penulis lainnya di link berikut: 

    >>> Download Buku Anak Dwibahasa Banten <<<

    cover fix



    Continue Reading

    Beberapa waktu lalu, jurnal sains Nature melansir data dari ilmuwan Stanford University tentang beberapa negara di dunia dengan penduduk termalas berjalan kaki. Negara Indonesia menduduki peringkat pertama. Saya tidak terkejut, karena saya termasuk di dalamnya. Artikel berikutnya menyusul, tentang alasan warga Indonesia kenapa malas jalan kaki. Ada yang bilang karena cuaca yang panas, infrastruktur yang tidak memadai, dan karena segalanya kini sudah dimudahkan dengan adanya teknologi. Saya lebih sepakat karena jalan kaki bukan bagian dari kultur kami saja. Berbeda dengan Jepang dan Hongkong yang sudah mendidik warganya sejak usia dini untuk biasa berjalan kaki.

    Tujuh hari terakhir saya mulai giat bersepeda. Alternatif gerak tubuh selain jalan kaki. Bersepeda adalah sebuah rencana yang sudah cukup lama saya ingin wujudkan namun baru terjadi bulan Juli kemarin. Alasan saya satu, ingin bersepeda supaya tubuh lebih sehat dan berumur panjang. Walaupun urusan usia ada di tangan Tuhan, tetapi ini salah satu bentuk ikhtiar saya.

    Dan lagi, belakangan, barangkali tiga tahun terakhir, masyarakat Indonesia terkena demam bersepeda, terlebih di masa pandemi Covid-19. Alasannya jelas, banyak dari mereka mulai menyadari pentingnya hidup sehat, meningkatkan imun tubuh, dan mencari hiburan atau hobi baru. Bukan hanya masyarakat umum, tetapi kalangan artis, tokoh publik, dan bahkan pejabat turut meramaikan dan mengampanyekan untuk giat bersepeda.

    Hal baiknya, kebiasaan bersepeda bisa menjadi solusi bertransportasi dan menjadi alternatif demi mengurai kemacetan dan mengurangi polusi udara yang selama ini disumbang oleh pengguna mobil dan motor. Kita sudah semestinya membangun kesadaran untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Tubuh kita harus lebih banyak bergerak dengan mengayuh sepeda, berjalan kaki, dan membiasakan diri menggunakan transportasi umum.

    Saya lahir dan besar di kota yang letaknya berada di ujung barat laut Pulau Jawa, di tepi Selat Sunda. Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri. Walaupun kota kami kecil, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cilegon tahun 2022 ini cukup besar, yakni sekitar 1,78 triliun per tahun. Sebutan lain bagi Kota Cilegon adalah kota baja mengingat kota ini merupakan penghasil baja terbesar di Asia Tenggara. Sayangnya, fasilitas untuk pesepeda masih jauh dari kata layak.

    Tata kotanya pun jauh dari kata elok, walaupun di pemerintahan saat ini ada usaha untuk memperbaiki tata kelola kota, tetapi akan terlihat sekali perbedaannya ketika kita, misalnya, membandingkan dengan kota Tangerang Selatan, salah satu kota di Provinsi Banten, yang jaraknya 85 kilometer dari Cilegon. Mulai dari menataan lampu jalan di trotoar, tiang listrik yang sembarangan dengan kabelnya yang semerawut, dan lagi, di kota Cilegon belum ada jalur khusus pesepeda.

    Boro-boro jalan untuk pesepeda, hak pejalan kaki saja seringkali diambil alih oleh warung-warung pinggir jalan. Belum lagi tata bangunan dan toko-toko di trotoar yang tidak ada nilai seninya sama sekali, tidak enak dipandang mata.

    Selain itu, keputusan saya membeli sepeda di tahun ini karena berbarengan dengan rumah baru saya yang sudah selesai direnovasi. Ada proyeksi besar di kepala saya bahwa setiap perjalanan dari rumah orang tua ke rumah saya akan ditempuh dengan menggowes pedal karena tidak memakan waktu yang lama. Kami masih tinggal di wilayah yang sama, yakni di Kota Cilegon.Rumah orang tua saya berada di kecamatan Cibeber, sementara rumah baru saya di kecamatan Jombang. Jaraknya kira-kira 5 km.

    Rumah pertama saya menjelang usia 30 tahun.

    Kalau saya sudah mahir menggowes, saya ingin melakukan perjalanan ke Kota Serang dengan mengendarai sepeda. Biasanya, menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit, saya penasaran, berapa waktu yang saya butuhkan untuk sampai ke sana dengan sepeda.

    Luas wilayah Kota Cilegon hanya 175,5 km2. Barangkali dengan sepeda kamu bisa mengitarinya seharian─saya pernah melihat story Instagram teman saya yang sering bersepeda setiap harinya 100 km. Gila!

    ***

    Pada hari pertama, saya sangat bersemangat. Bahkan ketika paket sepeda yang saya pesan via marketplace sampai di sore hari─saya memang pesan online─saya buru-buru menghubungi keponakan yang sudah lebih dahulu memiliki sepeda untuk membantu saya merakit sepeda tersebut. Rasanya, saya ingin hari itu lekas pagi.

    “Pulang Jam berapa?” tanya saya melalui pesan WhatsApp. Sebelumnya saya memang sudah mengatakan kalau saya sedang memesan sepeda dan minta tolong untuk dirakitkan, saya tak punya alat-alat tempur-nya. Ega, nama keponakan saya, menyanggupinya, dan punya waktu luang sepulang bekerja.

    “Bakda Magrib baru sampai rumah,” balasnya singkat. Lalu saya mengatakan kalau pukul 20.00 WIB saya akan mengunjungi rumahnya dengan membawa sepeda yang baru setengah dirakit. Bila kau pesan sepeda via daring, 80% sepedamu sudah dirakit. Kau hanya perlu merangkai bagian ban depan, stang, rem depan belakang, dan juga shifter.

    Apa hanya saya yang mengalami ketika sedang menunggu sesuatu, waktu entah kenapa berjalan lebih lambat? Saat itu saya hanya mesti bersabar menunggu tiga jam tetapi rasanya seperti sepuluh jam. Namun selama apa pun, saya toh akhirnya bisa melaluinya. Pukul 20.00 WIB, saya pergi ke rumah Ega dan membawa sepeda seberat 14 kilogram itu. 

    Beruntungnya jarak rumah kami hanya sepelemparan batu, saya hanya perlu berjalan kaki melewati dua rumah untuk sampai di rumah Ega. Konon, dibanding berat sepeda kebanyakan, sepeda saya termasuk ringan. Saya sengaja memang memilih sepeda United tipe Fixie Slick 700 hybrid, tipe klasik, berbeda dengan tipe sepeda yang sedang ngetren pada umumnya, sehingga ringan dibawa untuk jalanan beraspal maupun medan tanah seperti pegunungan.

    Singkat cerita kami mengeluarkan sepeda dari kardusnya. Lalu tak butuh waktu lama, sepeda saya sudah tampak wujudnya seperti gambar, walaupun ada beberapa spare-part tidak sesuai, seperti ring pedal dan bonus lampu belakang yang dijanjikan tidak ada. Saya sudah merelakan itu karena begitulah risiko yang kita hadapi bila berbelanja via online, tetapi masalah baru muncul. Yakni ketika shifter selesai dipasang, ia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Setiap akan pindah gigi, selalu gagal.

    “Nggak bunyi ceklek,” kata Ega meniru suara bagaimana seharusnya shifter itu bekerja.

    “Ada-ada saja, ya. Terus gimana, dong?” kata saya bingung. Sebab, saya sama sekali awam soal ini.

    “Coba minta ganti sama penjualnya. Atau dibawa ke bengkel di Jombang Kali,” ucap Ega. Saya setuju mencoba cara kedua.

    Setelah sepeda berhasil dirangkai oleh Ega.

    Terakhir saya dibelikan sepeda oleh orang tua saat selesai disunat, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Itu pun membelinya menggunakan uang upah atau persenan dari saudara dan tetangga yang menjenguk dan mendoakan kesembuhan saya. Sejak itu saya jarang, nyaris tak pernah, sepedaan lagi. Apalagi ketika saya sudah belajar mengendarai sepeda motor saat saya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), ke mana-mana saya selalu menggunakannya. Sepeda saya di masa SD sudah rusak. Ada sepeda milik bapak, tetapi saya sudah merasa tidak cocok untuk mengendarainya.

    Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ada 136,13 juta unit kendaraan bermotor pada tahun 2020 di Indonesia. Tercatat, pulau Jawa menyumbang jumlah terbanyak mencapai 81,88 juta unit atau 60,15% dari total nasional. Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor paling banyak di Indonesia adalah sepeda motor pada tahun lalu. Jumlahnya mencapai 115,02 juta unit. 

    Sementara itu, data terbaru di tahun 2021, tercatat sepeda motor di Kota Cilegon sebanyak 174.582 unit yang digunakan. Pengguna sepeda masih jauh dari angka itu. Sepeda motor pun memberikan kenyamanan berkendara dan tidak perlu repot-repot mengayuh seperti sepeda. Kamu hanya tinggal menyalakan mesin lalu menarik gasnya. Selain itu, harga motor pun semakin terjangkau, bahkan bisa kredit dan dicicil. Untuk jarak tempuh yang cukup jauh, menggunakan sepeda akan memakan waktu lebih lama tentunya. Sejauh ini, alasan saya memilih sepeda motor memang masuk akal.

    Keesokan paginya, pagi sekali, saya sudah bangun. Tidak seperti biasanya memang. Sebelum punya sepeda, seusai salat Subuh saya akan melanjutkan tidur. Namun berbeda dengan pagi itu. Saya sudah bersih-bersih, mengganti pakaian, lalu mengeluarkan Black Slebew─nama panggilan sementara untuk sepeda saya─dari kandangnya. Saya pamit kepada orang rumah untuk pergi menggowes sepeda seorang diri.

    Hal pertama yang saya rasakan ketika berada di atas sepeda adalah rasa tidak nyaman ketika duduk di atas jok sepeda yang ramping ini. Boleh dikatakan, bokong saya cukup besar, butuh penopang yang lebih besar, suatu hari sepertinya saya bakal mengganti jok sepedanya. Bisa jadi, ini alasan kenapa orang-orang lebih senang mengendarai sepeda motor.

    Saat pertama mencoba, saya sedikit gugup. Apalagi pengaturan joknya dibuat tinggi. Digowesan pertama saya nyaris jatuh lantaran belum menemukan titik penyeimbangnya. Belum lagi giginya yang tidak bisa dipindahkan, betul-betul jauh dari kata nyaman. Itu pula alasan saya ingin cepat-cepat memperbaiki sepeda ini di bengkel.

    Pukul 06.30 WIB saya sudah berada di depan kedai bubur ayam. Saya melewati jalan belakang, yang walaupun jalannya penuh lubang di sana-sini, saya tetap memilih melaluinya. Pagi yang penuh dengan “penyiksaan” diri sendiri. Bahkan saya harus sabar menunggu pejalan kaki yang hendak mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah. Belum lagi para pedagang nasi uduk dan menu sarapan lain di kiri dan kanan jalan. Pagi yang riuh.

    Smartwatch yang saya kenakan di pergelangan tangan kiri dan sudah terintegrasi ke ponsel memberitahu saya bahwa sudah 2 kilometer lebih saya menggowes sepeda. Angka yang bagus bagi seorang pemula seperti saya. Saya mengapresiasi diri saya sendiri.

    Lantaran napas mulai tidak teratur, saya berhenti sejenak untuk sekadar mengisi perut yang kosong. Saya sarapan bubur ayam di kedai yang mulai ramai itu.

    Saya agak kesulitan memarkirkan sepeda. Pertama karena tidak ada tempatnya, lokasi kedai bubur itu di depan pelataran sebuah ruko yang masih tutup. Kedua, sepeda saya tidak memiliki standar samping, jadi saya harus mencari tiang atau dinding untuk menyandarkannya. Awalnya memang jadi perhatian orang-orang, khususnya pelayan bubur, saya melihat ia memerhatikan sepeda saya dengan saksama.. Akhirnya saya sandarkan pada tiang yang menyangga atap bagian depan ruko itu.

    “Satu porsi, Mas. Jangan pakai daun bawang,” kata saya ringkas.

    “Baik, Mas,” jawabnya sopan. Ia menuangkan teh hangat dalam gelas kecil lalu menyodorkannya pada saya. Sembari menunggu pesanan, saya duduk di sebuah kursi kayu yang panjangnya satu meter lebih.  Kemudian, saya mencari alamat Herman Bike yang disarankan keponakan saya di Google Map. Ketemu. Rupanya ada nomor kontak yang bisa dihubungi. Saya bergegas meneleponnya untuk mengetahui jam berapa bengkelnya buka.

    “Benar dengan Herman Bike?” tanya saya setelah sebelumnya mengucapkan salam.

    “Iya, betul. Ada yang bisa dibantu?”

    “Bengkel hari ini buka jam berapa, ya?” kata saya lagi tidak berbasa-basi. Ia mengatakan pukul 07.30 WIB buka. Satu jam lagi, pikir saya. Lalu saya mengatakan akan mengunjunginya. Ia mempersilakan.

    Pesanan bubur ayam saya sampai. Lekas saya lahap tanpa ba-bi-bu. Lelah juga menggowes sepeda dalam keadaan gigi/gear konstan di nomor keempat. Padahal, saya membayangkan menggowes sepeda dengan ringan, ini justru malah berat lantaran shifter tidak berfungsi. Namun, ada yang berbeda. Bubur ayamnya terasa lebih nikmat saat disantap, barangkali karena saya dalam keadaan capek ditambah tubuh mudah berkeringan, beruntungnya pagi itu terasa begitu sejuk.

    Setelah pasang keranjang dan pulang kemaleman.

    Pukul 07.00 WIB saya mulai menggowes sepeda lagi. 30 menit waktu yang cukup untuk saya sampai ke bengkel, pikir saya. Kalau di map, jarak tempuhnya kurang lebih 2,5 kilometer. Terdengar dekat, tetapi sebetulnya, rute dan medan jalan yang kudu dilalui cukup berat bila dengan sepeda, karena banyak jalan menanjak dan mesti melalui jalanan rusak.

    Saya menyalakan lagi smartwatch yang sempat saya jeda. Saya mengingat-ingat jalur mana yang mudah untuk dilalui sepeda, yang tidak banyak jalan menanjaknya tentu saja. Kaki saya mulai terasa pegal linu. Terlebih di bagian paha dan lutut. Kulit luar rasanya seperti diregangkan sampai batas maksimal, perih sekali. Namun saya yakin ini hanya efek awal, semua pemula pasti merasakan hal yang sama ketika awal bersepeda atau melakukan olahraga apa pun.

    Saat bersepeda, saya melintasi kota lewat jalur belakang, maksud saya tidak melewati jalan raya. Sebetulnya jalur belakang dan depan sama saja jalan beraspal, yang membedakan, jalur belakang ini tidak ada polisi lalu lintas, dan biasanya yang melintasi jalan hanya orang-orang yang tinggal dekat sini. Berbeda dengan jalan raya yang dilewati oleh banyak kendaraan roda dua dan empat bahkan truk-truk dan bus besar dari berbagai daerah menuju pelabuhan Merak, yang berada di ujung Kota Cilegon. Namun, jalur belakang ini bisa menghubungkan banyak desa atau kampung di Kota Cilegon, asalkan kamu hafal rutenya yang meliuk-liuk.

    Terlepas dari itu, rupanya banyak hal yang selama ini luput dari pandangan. Ketika sedang mengendarai sepeda motor maupun mobil, fokus saya hanya pada jalan lurus di depan. Namun, ketika bersepeda, saya jadi lebih detail melihat rumah, bangunan baru, pembukaan lahan yang sebelumnya seingat saya rumah-rumah lama lalu dirobohkan atau lapangan sepak bola. Kafe-kafe satu per satu tumbuh bak jamur di musim penghujan. Waktu terasa cepat sekali berlalu. Dengan bersepeda, semuanya jadi terasa lebih lambat.

    Orang-orang di setiap permukiman terus bertambah, jalanan yang biasanya lancar, kini mulai macet, padahal ada di jalan alternatif. Perlahan-lahan desa telah tumbuh menjadi perumahan dan toko-toko industri. Kota telah masuk terlalu dalam ke sudut-sudut perkampungan yang dahulu asri tetapi sekarang telah hilang wujud aslinya. Dahulu saya ingat, saat masih SMP, jalan belakang ini biasa saya dan teman-teman lewati. Jalan beraspalnya belum begitu lebar, masih banyak jalan tanah dan lapangan luas yang dipenuhi rumput ilalang dan bocah bermain sepak bola, sekarang hal itu sudah sulit ditemukan. Bila kau ingin bermain sepak bola ya mesti sewa lapangan indoor yang megah itu.

    Sebetulnya, saya kurang setuju bila para developer mendirikan perumahan di wilayah perkampungan semacam ini. Di sebuah kota yang besar, kita perlu menjaga satu titik atau beberapa lokasi agar tetap asri seperti sediakala; indah dan khas pedesaan di masa lalu. Tetapi lagi-lagi, perubahan zaman tidak pernah bisa ditolak. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri.

    Seketika saja mood saya berubah. Ditambah earbuds bluethooth saya memutarkan lagu mellow dari Choi Yu Ree berjudul Wish yang menjadi soundtrack dari serial drama korea Hometown Cha-Cha-Cha yang tayang di Netflix.

    Hal paling mendasar yang saya pelajari bahwa salah satu cara agar bisa menikmati serunya bersepeda adalah dengan menjaga stabilitas suasana hati (mood) kita. Sebab, mesin sepeda adalah tubuh kita sendiri.

    Berbeda misalnya ketika kita membawa mobil atau motor, saat mood kita buruk, mesin mobil dan motor akan tetap bekerja sebagaimana mestinya, bahkan kecepatannya bisa kita atur sendiri. Kalau sepeda, bergantung pada bagaimana perasaanmu hari itu, sedang stabil atau tidak, sedang baik atau buruk, sedang buru-buru atau santai. Cuaca juga memengaruhi emosimu, karena tubuh akan semakin lengket berkeringat, panas matahari membuatmu hilang fokus. Intinya, semakin mood-mu baik, maka itu akan berpengaruh pada mental dan emosimu. Namun bila mood-mu berantakan, maka jarak satu kilometer pun akan terasa begitu jauh.

    Sama halnya dengan perasaan saya yang tak menentu pagi itu. Saya membayangkan sepeda saya sudah dalam keadaan prima, tetapi malah memaksa saya mesti ke bengkel pagi hari. Ada perasaan jengkel, tetapi apa mau dikata.

    Akhirnya saya memilih untuk menepi sesaat dan membiarkan pandangan saya berkeliling ke sekitar. Rupanya tubuh saya butuh rehat lebih lama.

    Saya lihat lagi smartwatch di pergelangan kiri, jam digitalnya menunjukkan angka 07.30 WIB, sementara perjalanan saya masih jauh untuk sampai ke bengkel. Perkiraan saya betul-betul meleset pagi itu.

    Namun bisa saya pastikan, ketika kalian membaca esai saya ini, saya sudah sangat mahir bersepeda.

    Taman Cilegon, 04 Agustus 2022

      

    ________________
    *) Esai ini pernah dimuat website www.thisissoutheastasia.com dalam versi berbahasa Inggris.

    Continue Reading

     

    dokumentasi pribadi

    Judul            : Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe
    Penulis         : Benjamin Alire Sáenz
    Penerjmah : Wawan Kurniawan
    Penerbit       : Shira Media
    Cetakan       : Pertama, 2022
    Tebal             : xii + 348 hlm
    ISBN              : 978-602-7760-67-7

    Perlu satu dekade untuk buku ini sampai ke pembaca dalam terjemahan bahasa Indonesia. Boleh jadi ini adalah tahun yang tepat untuk menerbitkan buku bertema LGBTQ, isu sensitif yang ramai dibicarakan beberapa tahun belakangan ini. Pembaca Indonesia kiwari, sebagian besar tak lagi kolot, lebih terbuka secara pemikiran, dan sudah terbiasa atau membiasakan diri dengan isu dan tema yang beragam, termasuk isu yang satu ini, karena sudah dibekali dengan wawasan dan informasi yang lebih komplet. 

    Sejak diterbitkan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 2012, buku ini mendapatkan sambutan hangat dari para pembaca dan kritikus sastra di Amerika. Begitu pula yang terjadi dalam versi bahasa Indonesianya. Walaupun barangkali, tak banyak novel dengan tokoh utama seorang remaja yang dibebani tema seberat ini. Terkhusus untuk buku-buku remaja karangan penulis Indonesia.

    Novel Aristotle and Dante Discover the Secrets of the Universe menguak hal tabu di masanya. Berlatar tahun 80-an di negara Meksiko, Benjamin Alire Sáenz menghadirkan tokoh Aristoteles Mendoza dan Dante Quintana yang bertualang mencari jati diri mereka masing-masing sejak usia 15 tahun. Mereka tak sengaja dipertemukan di sebuah kolam renang.

    Sebagaimana novel coming of age pada umumnya, kisah ini bicara seputar tentang kehidupan di rumah, hubungan antar keluarga, persahabatan di sekolah, perkelahian antar lelaki, dan tentu cinta pertama. Yang terakhir disebutkan menjadi penggerak alur cerita dalam novel setebal 348 halaman ini.

    Cerita berjalan dari sudut pandang Ari. Seorang remaja yang menyimpan bara di dadanya. Ia selalu marah pada banyak hal, termasuk pada kedua orang tuanya. Ia nyaris tak memiliki teman dekat. Hari-harinya banyak ia habiskan di dalam rumah dengan rahasia-rahasia yang tak kunjung ayah dan ibunya ceritakan; tentang kenapa Bernardo, kakak laki-lakinya bisa berada di penjara; hal apa yang mengubah ayahnya pasca perang di Vietnam apa yang terjadi di medan pertempuran; serta rahasia-rahasia yang disembunyikan tentang hubungan bibi Ophelia dengan perempuan lain. 

    Tokoh Remaja dan Isu LGBTQ
    Lahir dan besar di New Meksiko, Benjamin lebih dikenal sebagai penulis buku anak. Banyak buku-bukunya yang bercerita tentang kehidupan anak-anak dan mendapatkan sambutan baik, terlihat dari sederet penghargaan yang pernah diperolehnya. Bukunya berjudul “He Forgot to Say Goodbye” pernah dinobatkan sebagai buku terbaik Perpustakaan Umum New York untuk kategori remaja. 

    Dalam novelnya kali ini, ia menitipkan isu LGBTQ kepada tokoh anak-anak remaja yang tengah kelimpungan mengenali orintasi seksualnya, dalam hal ini terjadi pada tokoh utamanya, Ari. Di Indonesia sendiri, hingga beberapa tahun ke depan, isu ini akan terus diperbincangkan sebab selalu memunculkan dua suara: pro dan kontra. Di Meksiko atau di Amerika sendiri, pada tahun-tahun awal kemunculan komunitas kaum minoritas ini pun, banyak ditentang bahkan sampai dihinakan.

    Gambaran tersebut dimunculkan lewat tokoh Dante yang merasa ketakutan saat ia memutuskan bila dewasa nanti akan menikahi seorang laki-laki dan hidup bersamanya. Menjadi remaja yang hidup dalam lingkungan yang konservatif, adalah bayang-bayang menakutkan yang harus dihadapi Ari dan Dante. Berkebalikan dari sifat Ari, Dante dikenal sebagai remaja yang jujur, mencintai keindahan, dan segala tindakannya berdasarkan perasaan. Namun meski begitu, ia sulit untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya.

    “Aku anak laki-laki satu-satunya. Apa yang akan terjadi dengan cucu? Aku benci aku akan mengecewakan mereka, Ari. Aku tahu aku juga mengecewakanmu.” (Hal.221)

    Ari adalah satu-satunya orang yang Dante percaya untuk mengetahui rahasianya. Namun meski begitu, Ari masih tak jujur kepada Dante, bahkan dirinya sendiri. Bila dilihat lebih dalam, tokoh Ari bahkan kesulitan memahami dirinya sendiri, alih-alih menolak kenyataan yang dialaminya.

    Cerita Sederhana dan Fokus
    Novel ini bergerak cukup cepat. Lewat narasi-narasinya yang ringkas dan padat, Benjamin tak berusaha mendramatisasi latar dan perasaan tokoh-tokohnya. Ia memberikan porsi yang secukupnya kepada tokoh karangannya dan sisanya diserahkan kepada pembaca. Bahkan, novel remaja ini minim sekali bicara tentang keadaan di sekolahnya, hanya ada beberapa tokoh perempuan muda yang dikenalkan Ari sebagai sahabatnya, walaupun sering ia sebut mereka perempuan yang menyebalkan. 

    Tak ada kemewahan yang ditawarkan, baik dalam teknik penulisan mapun konflik cerita yang memiliki kompleksitas tinggi, misalnya. Novel ini dituturkan secara sederhana dan fokus saja pada kehidupan dua tokoh utamanya, Ari dan Dante.

    Mereka mengingatkan saya pada kisah cinta Jack Twist dan Ennis del Mar dalam novela Brokeback Mountain (GPU, 2006) karangan Annie Proulx yang juga bicara tentang isu serupa. Bedanya, mereka telah matang secara usia dan pikiran, ditambah mereka tahu cara menghadapi konflik internal yang terjadi dalam keluarganya, sementara Ari dan Dante adalah dua anak remaja yang tersesat di hutan belantara dan kehilangan kompas penunjuk arahnya. Keraguan dalam diri Ari persis karakter Elio Perlman, si remaja tanggung dalam film “Call Me by Your Name” (2017).

    Hal paling sentimentil muncul di akhir halaman. Semua “rahasia semesta” yang Ari dan Dante ingin ketahui, terkuak begitu saja. Termasuk rahasia masing-masing dari keluarganya. Dan rupanya petualangan kisah dua remaja ini tak selesai sampai di sana. Tahun 2021 Benjamin melanjutkan petualangan mereka dalam buku berjudul “Aristotle and Dante Dive into the Waters of the World”.

    Kabar baiknya, kita tak perlu menunggu satu dekade lagi untuk membacanya dalam versi terjemahan bahasa Indonesia. Paling lambat tahun ini buku tersebut bakal terbit di penerbit yang sama. Berharap saja ini bukan sebuah kebohongan.

     Cilegon, 18 Februari 2023

    Continue Reading
    Image by istockphoto.com

    Sepanjang perjalanan pulang, Badrun mengacungkan jari tengahnya sampai depan pintu rumah. Itu satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk melawan. Ia meyakini bahwa di kantornya, bukan hanya dirinya yang membenci atasannya. Bahkan kalaupun rekan kerjanya tidak mau berterus terang, ia bisa melihat dari cara mereka menyelesaikan pekerjaannya masing-masing.

    Setiap kali Badrun berpapasan dengan atasannya, ia seperti ingin memaki tepat di telinga kirinya—karena sebelah kanannya agak budek. Menurut Badrun, atasannya sangat layak dikejar anjing gila sampai kemudian ia bakal berkata, “Aku tak lagi-lagi menyuruh-nyuruh bawahanku di luar tugasnya,” begitu kurang lebih yang ada di dalam kepala Badrun.

    Sebagaimana orang jatuh cinta, seseorang akan melakukan apa pun untuk membuat si pujaan hati terkesan. Tapi, ia menemukan sebaliknya. Romli, misalnya. Ia selalu buru-buru menyelesaikan pekerjaan, tanpa ketelitian sesosok malaikat pencatat amal baik dan buruk manusia, lalu lekas ingin segera pulang sampai rumah dan melupakan semua yang telah dilakukannya sejak pukul sembilan pagi hingga lima sore.

    “Sampai kapan mau bertahan?” Badrun suatu hari menggodanya.

    “Cari kerja susah, Run. Kalau aja ada yang nawarin jadi OB sekalipun, saya bakal terima asal gajinya sama dan bukan di tempat ini,” jawab Romli disertai senyum kecut. Lalu mereka akan bertukar tawa dan kembali bekerja. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menggerutu dan mengacungkan jari tengah sepanjang jalan pulang seperti yang dilakukan Badrun.

    “Kenapa wajahmu kau tekuk melulu?” tanya Ros sore itu. “Aku nyaris tak pernah melihatmu bahagia setiap kali pulang bekerja. Ada masalah? Aku siap mendengarkannya kalau Mas mau cerita,” sambungnya lagi, melemparkan pertanyaan saling serobot persis orang-orang yang lupa diri saat melihat barang diskonan—yang padahal harganya sengaja ditinggikan lebih dulu oleh penjual lalu ditulis diskon besar-besaran seolah si penjual bocah polos yang tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya, sialnya, selalu ada banyak orang-orang bodoh yang mau membelinya.

    “Harusnya aku terima tawaran kerja di perusahaan teman bapakmu itu. Aku benar-benar tak tahan bekerja di perusahaan saat ini dengan atasan yang keparat,” sesal Badrun. Ia melepas sepatu pantofel dan kaus kakinya lalu bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil.

    Ros membersihkan meja makan. Ia sedang memasak beberapa telur ceplok yang nantinya akan disirami kubangan kuah kecap dan irisan cabai; semur telur ceplok namanya, itu masakan kesukaan Badrun.

    “Untungnya aku masih berbaik hati. Tak pernah mengumbar dan mengumpat dia di media sosial,” dengus Badrun saat keluar dari kamar mandi. Ia berjalan sembari melepas dasi dan kancing kemejanya.

    “Ya, lebih baik jangan, Mas. Sekarang ini apa-apa ada undang-undangnya,” ucap Ros seraya tangannya sibuk mengambil piring dan sendok.

    “Iya, lagian buatku media sosial tempatnya berbagi kebahagiaan dan kegembiraan, biarin orang tau kita yang baik-baiknya aja. Jangan suka umbar-umbar aib keluarga. Kamu nggak gitu, kan, Ros?”

    “Mana pernah aku bikin status soal aib keluarga, Mas? Aku bikin akun itu juga cuma buat jualan baju aja, lumayan kan buat tambah-tambah.” Ros berjalan mendekat ke arah suaminya.

    “Lihat aja, tuh, Si Romli dan Marni, tiap ada masalah, bukannya diobrolin berdua, eh malah saling adu pantun di status masing-masing. Akhirnya orang lain jadi tahu, kan, masalah mereka,” seloroh Badrun sambil menyandarkan punggungnya ke sofa hijau. Dia mencari remote dan setelah ketemu ia segera menyalakan televisi dan mencari saluran berita.

    “Bisa jadi karena bosan, Mas. Mereka, kan, sudah sepuluh tahun menikah, bisa aja jenuh, toh?”

    “Justru itu jangan sampai nanti terjadi pada kita, mau usia pernikahan berapa pun, semua masalah keluarga harus bisa diselesaikan berdua.”

    “Tapi mereka begitu juga karena belum punya anak, kan, Mas?” Ros terpancing.

    “Sst, udah-udah, aku mau nonton tivi dulu, nih, siapa tahu ada berita menarik,” Badrun tampak malas dengan obrolan Ros yang terakhir.

    Membangun rumah tangga memang tidak pernah mudah. Paling tidak begitu pesan ayah Badrun sehari sebelum pernikahan mereka berlangsung. Saat ini yang membuatnya cemas ialah soal bisa tidaknya ia menghamili Ros. Memang pernikahan mereka baru seumur jagung, tapi ini di luar perkiraan mereka.

    Badrun optimis istrinya akan hamil di bulan pertama, atau di bulan kedua. Namun, ketika bulan ketiga sudah sampai ujung tanduk, istrinya belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Sudah mah ia dipusingkan urusan kantor, eh ketika sampai rumah ia mesti dibuat kepikiran soal momongan.

    “Makan dulu, Mas. Semur telur ceplok kesukaan Mas udah jadi, nih,” tawar Ros.

    “Iya nanti, aku belum lapar,” jawab Badrun dengan mata sayu. Ia tampak menahan kantuk sepulang dari kantor. Ros tak mau cerewet. Ia lekas kembali ke dapur untuk mencuci alat masaknya. Setelah beres ia gegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

    Waktu terus berjalan dan tanpa terasa malam telah tiba. Badrun mendengkur di sofa. Televisinya terus menyala. Secepon nasi yang Ros hidangkan di meja telah dingin. Bahkan lauknya yang sengaja ia siapkan tak bergeser barang sesenti dari posisinya semula. Ros baru selesai melaksanakan salat magrib.

    Ingin rasanya Ros membangunkan Badrun, tapi ia sungkan. Ia tahu betapa lelahnya menjadi suami yang harus menafkahi keluarganya. Ros mematikan televisi lalu ia kembali ke kamar tidurnya.

    ***

    Badrun terbangun tengah malam setelah ia bermimpi dari lengannya keluar ulat-ulat. Ia tak paham apa maknanya. Yang ia tahu bila bermimpi buruk, di dunia nyata akan bermakna baik dan mimpi baik berarti bakal ada hal buruk yang menimpa.

    Tafsir itu ia peroleh dari mendiang neneknya. Suatu hari Nek Marsiyah berkisah tentang Yanah, ibu Badrun. Katanya sebelum ibunya itu menikah, satu bulan sebelumnya Yanah bermimpi kakinya digigit ular. Sewaktu bertanya pada Nek Marsiyah, tanpa melihat primbon lagi, dengan yakin Nek Marsiyah berkata, “Dalam waktu dekat, kau bakal menikah.” Mendapati jawaban itu Yanah gembira bukan main, lantaran teman seusianya sudah menikah semua.

    Ucapan Nek Marsiyah itu terbukti tiga bulan kemudian setelah Yanto, seorang anak lurah pulang dari perantauan. Ia baru saja bercerai dari istrinya di kota, dan dengan keyakinan seorang petapa, ia mendatangi Nek Marsiyah—kakek Badrun sudah wafat saat itu—untuk izin melamar Yanah. Nek Marsiyah meyakini inilah jawaban atas mimpi yang dialami putri semata wayangnya itu.

    Kisah awal perjumpaan ibu dan ayahnya itu menginspirasi Badrun. Ia lekas duduk tegak dan segera mendapatkan teori; kalau mimpi berlaku hukum kebalikan, bisa jadi hal itu juga berlaku untuk nazar. Bagaimana jika ia bernazar, “Aku bakal berhenti bekerja dan mengacungkan jari tengah ke atasan kalau istriku hamil”? Gagasan itu tiba-tiba saja muncul dalam benaknya. Ia yakin tak ada ruginya. Di jam malam begini, pasti ini ilham, bisikan alam, pikirnya.

    Lagi pula, menurutnya mana mungkin Tuhan bakal mengabulkan nazar yang buruk seperti itu? Dan ia paham betul risikonya. Kalau itu nazar dikabulkan, ia juga tidak rugi-rugi amat. Ia malah bakal dapat anak dan bisa mendapatkan pengakuan dari keluarga dan teman-temannya kalau dirinya seorang lelaki sejati yang sudah terbukti keperkasaannya.

    Maka malam itu, setelah ia mengucapkan nazarnya, Badrun gegas menuju kamar dan meniduri istrinya seolah itu adalah malam pertama pernikahan mereka.

    ***

    Satu minggu belum ada hasil. Ia masih santai saja dan seperti biasa, buru-buru menyelesaikan tugas kantornya dan pulang dengan mengacungkan jari tengahnya sampai depan pintu rumah. Dan yang hampir lupa diceritakan, ia selalu membayangkan wajah atasannya setiap kali akan mengacungkan jari tengahnya itu.

    Malam tiba dan Badrun bersemangat menggauli istrinya lagi yang secara bersamaan dicurigai sang istri kalau suaminya kecanduan obat kuat.

    Di hari berikutnya, ketika Badrun pulang dari kantor, Ros berdiri depan pintu. Ia menangis tersedu-sedu membuat suaminya kalap. Padahal, pikir Badrun, gaji bulan ini sudah ia berikan tiga hari sebelumnya. Namun rupanya bukan karena hal itu. Ros menunjukkan sesuatu yang sedari tadi ia genggam dan sembunyikan di balik tubuhnya.

    “Aku hamil, Mas,” katanya serak. Badrun melihat test pack yang dipegang Ros menunjukkan tanda dua garis merah. Ros merangkul tubuh Badrun dan tangis sepasang suami-istri itu pecah di teras rumah. Orang-orang yang lewat memalingkan pandangannya sekilas lalu berjalan pergi. Tampak benar mereka sudah pusing dengan masalah hidupnya masing-masing.

    Badrun bahagia. Akhirnya doanya dikabulkan Tuhan. Tapi rupanya itu hanya sesaat. Semalaman ia kepikiran soal nazarnya. Bagaimana kalau tidak ia lakukan? Namun ia urung berpikir begitu karena tetangganya di kampung pernah tidak menjalankan nazarnya, keesokan harinya rumah mereka hangus terbakar tanpa sebab yang jelas.

    ***

    Pagi itu tampak berbeda. Badrun berangkat lebih awal ke kantor. Ros hanya paham itu caranya si suami bersyukur atas rezeki yang diberikan Tuhan padanya. Ros sama sekali tidak pernah berpikir bahwa suaminya seceroboh itu.

    Setengah jam setelah Badrun sampai kantor, dengan kaki gemetar dan dada yang bergemuruh, ia berjalan menuju ruangan atasannya. Tepat ketika atasannya membolehkan ia masuk, belum ia mengacungkan jari tengahnya, si atasan keburu mengucapkan selamat atas kehamilan istrinya yang ia lihat dari media sosial Ros.

    “Akhirnya, ya, Run. Ada gunanya juga burungmu itu,” ucap si atasan berbadan bongsor tertawa santai sembari mengulurkan tangannya. Air muka Badrun seketika tegang. Ia mengepalkan jemarinya dan lekas mengirimkan tinjuan telak tepat di hidung si atasan hingga ia tersungkur.

    “Aku keluar, keparat!” Kali ini ia benar-benar mengacungkan jari tengahnya tepat di wajah si atasan yang hidungnya berdarah.

    Lampung-Cilegon, 15 Maret 2021


    _______________________________
    *) Cerpen ini termaktub di buku saya "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022) dan website beritabaru.co.

    Continue Reading
    Image by istockphoto.com

    Pria di atas panggung masih asyik bernyanyi diiringi kawan band-nya. Pelanggan kafe yang lain tampak ikut bernyanyi dan larut dalam irama. Sementara kau, menatap jauh entah ke mana saat itu. Aku diam-diam memerhatikan sejak musik pertama dimainkan. Bahkan, ketika seorang pelayan ingin mengantarkan pesananmu, kau sempat diam beberapa lama untuk kemudian menanggapinya dan meminta si pelayan menaruh pesananmu di atas meja.

         Kau tahu, hal inilah yang aku cari ketika sedang berada di kafe. Mencari sesuatu yang berbeda di antara kerumunan. Menelusuri orang-orang yang sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa terganggu dengan suasana sekitar. Aku tak paham alasannya kenapa kau datang sendiri ke kafe yang jelas-jelas jarang sepi pengunjung ini, tapi yang pasti, saat itu ketiga kalinya aku menjumpaimu di hari yang sama; dengan perasaan yang sama dan keraguan yang sama. Bahkan untuk sekadar melempar sapa saja aku tak punya daya. 

         Musik berganti. kali ini seorang perempuan yang telat datang, ia masih bagian dari band itu, turut menyumbang suara. Aku selalu ingin memiliki kekasih yang pandai bernyanyi. Di pikiranku, di suatu hari kelak, bila nanti memiliki istri, aku ingin ia, setiap pagi atau sore atau malam, bernyanyi untukku. Paling tidak, kalaupun kami tak begitu baik dalam berdiskusi, ia masih punya sesuatu untuk aku banggakan pada diri sendiri dan kawan kantorku. Kau tahulah, sekarang ini, pasangan kita ataupun diri kita sendiri sering dibanding-bandingkan dengan tetangga atau orang lain baik oleh keluarga atau teman-teman. Paman dan tantemu, minimal satu kali saja, pasti pernah melakukan hal menyebalkan itu. Entah membanggakan anak-anaknya atau keponakan-keponakannya. Kalaupun kemudian kita tak sesuai keinginan mereka, pasti tanpa ragu mereka akan mempermalukan kita di hadapan orang lain.

         Kau biasa mengangkat cangkir kopimu dengan tangan kiri. Aku hapal betul, bahkan aku tahu kopi apa yang kau pesan. Tentu karena aku pernah bertanya pada seorang pelayan.

         “Kau ingat perempuan yang setiap Jumat malam duduk di sana?” tanyaku, dan pelayan mengangguk ketika ia berhasil mengingatnya. “Minuman apa yang biasa ia pesan?”

         “Caffé latte, Mas.”

         Oke, saya pesan satu.”

         Sayangnya, Jumat malam itu kau tak datang. Padahal aku sudah memesankan satu cangkir caffé latte untukmu, untuk membuka percakapan antara kita. Caffé latte adalah espresso atau kopi yang dicampur susu dan memiliki busa yang tipis di bagian atasnya. Aku selalu mengibaratkan bahwa senyummu adalah busa itu. Tipis, tapi harus ada di atas caffé latte sebagai pemanis. Aku tahu, kau pernah tersenyum di awal perjumpaan kita, tapi aku sadar itu hanya senyum basa-basi. Sebuah senyum yang terpaksa diberikan kepada orang asing yang tak sengaja pandangannya saling bertemu.

         Baru di Jumat malam berikutnya, yakni malam ini, kau datang dengan penampilan yang jauh lebih anggun dan telat dua jam dari biasanya. Kau memakai dress merah polos selutut dengan dua garis putih di masing-masing lengannya. Tak seperti biasanya, kau mengatur gaya dudukmu sedemikian rupa, bahkan kau tampak hati-hati ketika akan menyilangkan kaki kirimu ke atas kaki kananmu. Aku tak bermaksud tak sopan, tapi sebagai penulis memang ini kerjaanku. Memerhatikan sesuatu sedetail mungkin. Maaf kalau aku lancang, sejak pertemuan pertama, aku telah memutuskan untuk menjadikanmu sebagai tokoh utama dalam novel yang sedang aku kerjakan.

         Malam ini wajahmu murung. Rambut yang biasa kau gerai, kali ini tampak berbeda. Kau gulung ke atas gaya cepol khas rambut wanita Jepang. Lalu bagian belakang rambut kau biarkan jatuh sepundak. Sejujurnya, aku lebih suka kau yang apa adanya. Tapi tak masalah, aku tetap kagum padamu meski aku melihatmu malam ini seperti ada yang tak beres. Apalagi ketika kau buru-buru melepas kedua sepatu highheels-mu dan melemparkannya ke sembarang arah. Kau memijit tumitmu yang jelas menunjukkan ketidaknyamananmu. Ini kali pertama aku melihatmu memakai sepatu tinggi itu. Biasanya kau pakai sepatu kets atau slop dengan setelan celana jeans dan hoodie.

         Seorang penyanyi perempuan yang sering telat datang itu, kali ini sudah bernyanyi. Malah aku tak melihat pria yang biasanya datang lebih awal. Si perempuan menyanyikan lagu idontwannabeyouanymore dari Billie Eilish, seorang penyanyi dan pencipta lagu asal Amerika Serikat yang sedang naik daun. Beberapa lagunya bertema kelam dan sendu. Tapi kupikir memang itu daya tariknya, aku juga mendengarkan beberapa lagunya setiap pulang dari kantor.

         Kau, yang belum kutahu namanya, kali ini menoleh ke atas panggung. Aku dibuat terkejut saat penyanyi mendendangkan lirik, “told a tight dress is what makes you a whore” kau menangis sejadi-jadinya. Pengunjung lain sempat melemparkan pandangan ke mejamu yang duduk sendirian. Tapi kupikir kau tak peduli. Kau tampak meledakkan apa yang selama ini kau pendam. Aku paling tak bisa melihat perempuan menangis. Tanpa pikir panjang aku lekas bangkit dari kursiku dan menuju mejamu. Aku bertanya ada apa kau diam. Lalu saat aku coba duduk di sampingmu, seketika kau meraih tubuhku dan memelukku seerat-eratnya.

         Aku tak tahu apa yang dipikirkan pengunjung kafe malam ini, tapi yang jelas, mereka kini mengalihkan pandangannya dari kita. Bisa jadi mereka berpikir akulah orang yang bertanggung jawab atas air matamu yang tumpah. Tapi mari menjadi orang yang tak peduli. Anggaplah malam ini hanya ada aku dan kamu.

         Lagu Billie telah habis dinyanyikan. Kini si perempuan memilih lagu lain yang lebih energik. Aku tak tahu lagu siapa yang ia nyanyikan sekarang tapi yang jelas, ia memilih lagu itu karena merasa berdosa telah membuat seorang perempuan di sudut meja menangis gara-gara lagu muram yang sebelumnya ia nyanyikan.

         “Sorry,” katamu ketika tangismu mereda. Kau memberi jarak secepat yang kau bisa. Aku tak masalah, justru aku senang akhirnya bisa melihatmu sedekat ini.

         “Tak perlu sungkan. Lepaskan saja,” kataku belaga santai. Padahal jantungku berdegup kencang. Bisa jadi kau tadi mendengarnya sendiri ketika mendekapku.

         Kali ini diam merajai waktu di antara kami. Kau merunduk dengan sesenggukan yang berusaha kau redam. Sementara aku tampak seperti pria tolol—atau memang benar tolol—yang tak bisa memulai percakapan bahkan dalam kondisi seperti ini.

         “Aku Priyo. Sepertinya aku mesti kembali ke meja—”

      “Aku Selly, terima kasih sudah peduli,” katamu lekas menggamit tanganku. Jabatan tanganmu begitu hangat menjalar sampai ke hatiku. Aku mengangguk bak seorang pria jantan yang berhasil menaklukkan segala rintangan.

       “Kau tampak cantik malam ini. Tapi kalau boleh aku berkata, kau lebih baik tampil seperti Jumat malam sebelumnya. Auramu lebih memancar. Maaf kalau lancang,” kataku spontan. Kau menatap aku sesaat, kupikir kau akan menamparku—dan aku akan terima—tapi kemudian aku melihat senyum itu di wajahmu. Persis seperti busa di atas secangkir coffé latte, hanya saja kali ini busanya jauh lebih tebal dari biasanya.

         “Kau sepemikiran denganku, aku telah bodoh mau menuruti permintaan Fahmi, pria gila yang banyak mengatur itu. Aku turuti apa pun maunya tapi saat aku berikan segalanya, ia malah berselingkuh dariku,” ucapmu mengundang air mata. Wajah cantikmu kini harus basah lagi. Sesaat aku menangkap amarah di kedua matamu saat kau menatap perempuan yang sedang menyanyi di atas panggung itu—atau mungkin hanya perasaanku saja.

         Aku tak segera menimpali ceritamu. Tanganku malah refleks menyentuh wajahmu dan menghapus air mata yang mengalir itu. Kau meraih tanganku.

    “Kau perempuan beruntung. Percayalah. Andai kau tidak memergoki dia berselingkuh, selamanya kau hanya tahu satu sisi dari kekasihmu itu, sisi baiknya saja.” Kali ini kau terdiam. Aku memanggil pelayan dan memesan dua gelas coffé latte. Kau tampak terkejut memandangku.

         “Dari mana kau tahu?”

    “Tunggu sampai novelku terbit, agar kau tahu cerita utuhnya,” kataku menggodamu.

         “Kau penulis?”

         “Hampir. Ini akan jadi buku pertamaku. Sungguh aku tak sabar,” kataku bangga.

         “Aku juga tak sabar ingin membacanya.”    

         Minuman pesananku telah diantar ke meja kita. Kita bersulang untuk hal-hal palsu di hidup ini. Kau mengangguk setuju mendengar kalimatku barusan. Tapi aku dikejutkan kemudian ketika penyanyi mendendangkan lagu selamat ulang tahun dan seorang pelayan datang membawakan kue untukmu.

         “Ini hari ulang tahunmu?” tanyaku. Kau mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada pelayan itu. Entah bagaimana mereka tahu hari ulang tahunmu?

         “Selamat ulang tahun, Bu Selly. Semoga kafe Ibu terus ramai dan buka cabang di mana-mana!” ucap si penyanyi, semua bertepuk tangan dan bertukar tawa. Para pelayan baris menjabatmu. Bahkan ada yang memberimu kado ulang tahun. Tunggu dulu, apa aku melewatkan sesuatu?

         “Selamat ulang tahun, Bu Selly. Semoga Jumat malam berikutnya, kau tidak lagi duduk sendirian di meja ini,” kataku setengah mengejek. “Kau pemilik kafe ini, ya?” kau tak menjawab. Barangkali karena kini aku tampak dungu di matamu, pahadal semua sudah begitu jelas. Kau terkekeh dan kuanggap itu sebagai ejekan balik.

         Kau bergegas memotong kue ulang tahunmu. Tanpa kuduga, kau membawa potongan pertama kue itu ke hadapanku. “Terima ini, sebagai janji Jumat malam lagi kamu duduk bersebelahan denganku di meja ini,” katamu menahan sipu. Suara riuh dalam kafe tak terbendung. Lagu selamat ulang tahun terus berulang-ulang terngiang di kepalaku, bahkan saat Jumat malam berikutnya tiba, dan aku duduk sendirian di mejamu, menanti kedatanganmu sampai kafe hendak tutup.

    Cilegon, 04 Maret 2021



    *) Cerpen ini termaktub dalam buku saya "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022)


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ▼  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ▼  November (15)
        • [Ulasan Film] Budi Pekerti: Ketika Moralmu Ada di ...
        • [Ulasan Film] Penyalin Cahaya: Suara Korban Pelece...
        • [Esai] Awal Kemunculan Covid-19 Si Virus Misterius...
        • [Cerpen] Perangkap Pikiran Beni Kahar (Koran Tempo...
        • [Cerpen] Melihat Ikan Berenang (Majalah Kandaga, E...
        • [Cerpen] Apa yang Kita Bicarakan di Usia 26? (Komp...
        • [Cerpen] Beruk Gantarawang; Si Baplang dan Kutukan...
        • [Cerpen] Potongan Kue Pertama (Mercusuar, Balai Ba...
        • [Cerpen] Nazar Jari Tengah (Beritabaru.co, 27 Nove...
        • [Ulasan Buku] Rahasia Alam Semesta dan Isu yang Te...
        • [Esai] Bersepeda; Upaya Menikmati Kota dalam Mode ...
        • Cerita Anak: Yoh, Mangan Sate Bebek! (Kementedikbu...
        • Cerita Anak: Kisah Ubay dan Para Sahabatnya (Inti ...
        • Bank Muamalat dan Muamalat Institute Dukung ISEF K...
        • [Ulasan Film] Gadis Kretek: Kisah Cinta Menyesakka...
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top