#1
Usai
berbasa-basi dengan orang di sebelahnya, kembali Ba memejamkan mata. Kurang
lebih masih ada tiga jam perjalanan sampai ke Siem Reap. Sleeper bus yang ditumpanginya terus berjalan membelah kesunyian
malam. Lampu di dalam bus redup. Tidak ada yang benar-benar dikenalnya dalam
bus itu selain teman seperjalanan. Bahkan kalau diminta mengulangi nama pria
Korea yang tidur di sampingnya, ia kesulitan. Barangkali kau bisa membayangkan,
di negeri asing, nun jauh dari tempat kau tinggal, tidak ada kawan untuk
sekadar diajak nongkrong minum kopi.
Nyaris
orang-orang yang ia temui tidak mengerti bahasa inggris. Ia senasib dengan
orang Korea itu ternyata, datang ke Kamboja seorang diri, lalu ketika bertanya
mengenai rute jalan atau alamat penginapan, penduduk lokal gelagapan. Pria Korea memang
tak bermaksud menyamaratakan kalau penduduk lokal di sana benar-benar nol soal
bahasa inggris, ungkapnya. Hanya, aku tidak tahu mesti bagaimana agar mereka
mengerti maksudku. Pria asal Indonesia itu mengangguk-angguk setuju. Lalu satu
di antara mereka pamit untuk rehat. Perjalanan yang kutempuh masih jauh, kata
si pria Korea. Lalu menarik selimut dan memiringkan badannya menghadap dinding
bus. Ia memunggungi Ba.
Ini pengalaman
baru untuk Ba. Tidak mudah menurutnya menumpangi bus di mana kursi penumpang
berupa kasur untuk dua orang. Andai kau pria dengan tinggi di bawah rata-rata
tentu tak jadi soal. Namun untuk Ba, ia harus melipat kaki ke lawan arah agar
tidak mengganggu “teman tidurnya”. Lebih-lebih ransel besarnya ia taruh di
ujung kasur yang kecil itu. Ia sebal sekali, namun ia tidak ingin membuat
masalah di negeri orang.
Matanya
sayup-sayup terpejam. Sejak mendarat di Bandar Udara Internasional Phnom Penh,
ia belum meluruskan badannya. Ransel yang beratnya kurang lebih 7 kilogram itu
ia bawa sepanjang perjalanan tanpa jeda. Kalau bukan untuk bertemu, Mar,
seharusnya aku sedang telanjang dada dan hanya mengenakan kolor di ranjang
tidur kamarku. Sebaris kalimat itu yang menjadi motivasinya untuk kuat
melakukan perjalanan jauh, bahkan ketika tak ada cukup uang untuk membeli tiket
pulang.
“Aku tidak akan
membunuhnya untuk kedua kali,” ucapnya setengah sadar. Lalu ia terlelap dan mimpi
bertemu Mar.
***
Suhu AC dalam
bus berhasil membuat ia menggigil. Selain karena kedinginan, ia terbangun oleh
suara seseorang yang mengetuk kaca jendela berulang-ulang. Karena penasaran
sekaligus agak terganggu, ia mesti bangun, keluar dari kasur, berjongkok, lalu
berdiri dan berjalan melewati lorong sempit bus dan menuju pintu. Ia sadar
ternyata bus sedang berhenti. Sopirnya mencuri waktu untuk sekadar memejamkan
mata. Wajar memang, dalam perjalanan sejauh ini, tidak mungkin ia akan terus
menyetir, apalagi tanpa ada sopir cadangan yang menggantikannya.
Ba melihat
keluar. Rupanya seorang gadis Kamboja, penumpang baru yang ingin masuk. Jalanan
di hadapannya lengang. Ia sebetulnya bingung, bagaimana bisa ada penumpang di
luar dan di pinggir jalan sedangkan dia mesti memesan tiket di biro travel lebih dahulu? Namun daripada
banyak bertanya, ia mencari cara bagaimana membuka pintu masuk bus. Ia mengira
cara membukanya tidak jauh berbeda dengan bus di daerahnya tinggal. Sialnya
tidak. Si gadis yang terdengar samar-samar bicara dalam bahasa Kamboja,
menunjuk ke arah sopir, sementara Ba masih sibuk mencari panel, tuas, gagang
pintu atau apalah untuk membukanya.
Akhirnya Ba menyerah. Ia menuruti petunjuk yang diberikan si gadis. Ia menangkap kalau dirinya mesti membangunkan sang sopir. Ia tak tega, namun apa daya, ia hanya ingin
semuanya segera selesai dan ia kembali bisa memejamkan mata.
Tubuh pria
berbadan besar dan berkulit hitam itu ia goyang-goyang.
“Sorry, sir,” ucapnya ragu namun terus
menerus ia ulang-ulang hingga akhirnya pria itu terbangun. Sorot matanya yang
tajam dan penuh amarah itu terus memandangi Ba. Ba tahu si sopir tidak paham
bahasa inggris, jadi ia hanya menunjuk ke luar pintu. Tanpa menjawab, si sopir
menggoyangkan kepala dan menaikkan tangannya ke udara—ekspresi kesal, pikir Ba.
Setelah itu, ia menekan sebuah tombol berwarna merah, atau hitam ia tak peduli,
dekat kemudi. Secara otomatis, pintu terbuka ke kanan. Si gadis masuk begitu
saja, hanya mengangguk sekali ketika berpapasan dengan Ba dan si sopir. Pintu
kembali tertutup. Ba menengok ke arah sopir untuk berbasa-basi, tapi sial ia
sudah memejamkan matanya kembali.
Ba balik ke kasur penumpang
miliknya yang sempit itu. Kejadian barusan benar-benar ingin ia hapus dari
dalam benaknya.
***
Pejalan adalah
orang-orang yang berani ambil keputusan. Bukan tentang seberapa jauh ia
melangkah, namun seberapa ia siap menghadapi resiko yang bahkan belum pernah ia
alami seumur hidupnya. Seperti waktu petang itu. Ba terbangun oleh guncangan
yang cukup kuat. Sopir bus di mana pun, menurutnya sama saja. Karena merasa
berkuasa atas kendaraan itu dan orang-orang di dalamnya, mereka, si para sopir
bus keparat itu, dengan seenaknya menginjak pedal gas dalam kecepatan di luar batas
aman—dan mengancam banyak nyawa penumpang.
Ketika Ba
terduduk, si sopir tiba-tiba menginjak rem pakem sekali. Suara berdebam sulit
dielakkan. Benturan yang sangat keras dialami kepala Ba. Ia menyundul
alas kursi penumpang di atasnya. Ia kesakitan. Namun lekas teringat untuk
mengecek jam tangannya. Sudah pukul 3 pagi waktu Kamboja. Gawat!
Ba bangkit dari
tempat tidurnya. Ia mendekati si sopir menyebalkan itu. Ia tanya apa yang
terjadi, namun si sopir menunjuk-nunjuk ban belakang lewat kaca di sebelah
kirinya. Kemudi mobil bus ini berada di sisi kiri, berbeda dengan mobil di
Indonesia pada umumnya. Pria berkulit sawo matang itu
panik. Ia teringat pesan Mar, kalau sampai ia terlambat, Mar bersumpah tidak
akan lagi memberikan maaf untuknya. Bagaimana ini?
“What place is this?” Ba lihat
sekeliling. Sisi kanan dan kiri jalan hanya ada hamparan sawah dan pohon-pohon.
Tidak ia temukan rumah-rumah penduduk. “Hey,
where is it? Can you hear me?!” Ba semakin kesal. Bagaimana bisa sepanjang
perjalanan ia tidak memberitahu tempat tujuan penumpangnya. Ba menyesal dan
berpikir salah menumpangi kendaraan. Sopir yang dungu, dan orang-orang yang
tidak peduli. Bayangkan, satu bus, tidak ada yang menolongnya.
Ba berteriak
siapa yang bisa membantunya menjelaskan di mana dia sekarang. Penumpang hanya
bangun dan memandang kosong ke arahnya. Pria Korea itu nyaris tidak bergerak
sama sekali setelah telinganya disumpal earphone
sejak tidur tadi. Sempurna! Sekarang, apa yang mesti aku lakukan? tanya Ba
kebingungan.
Lalu Ba hendak kembali
lagi ke tempat tidurnya. Si sopir pun berdiri dan lekas keluar bus. Ba
penasaran mengikutinya. Ternyata, ban mobilnya betus. Sejauh mata memandang,
tidak ada satu tukang tambal ban pun di sana. Si sopir membuka bagasi, ia punya
ban cadangan. Ba mengecek setiap markah jalan, ia ingin tahu di mana ia
sekarang. Apakah sudah sampai di Siem Reap?
Ia menyalakan ponselnya,
berharap mendapatkan sinyal untuk mengecek google
maps. Usahanya nihil. Baterai ponselnya lemah dan tidak ada satu sinyal pun
yang muncul. Selagi ia sibuk sendiri, si sopir kembali ke pintu masuk. Gerakan
tangannya seolah mengajak Ba untuk kembali ke dalam. Ba diam sesaat. Lalu
menggeleng. Ia mencoba lagi.
“Siem Reap?”
tanyanya berulang-ulang. Ia berharap si sopir paham kali ini. Tapi kemudian ia
ragu sendiri, apa mungkin ia yang salah menyebutkannya? Saat si sopir
menggeleng-geleng, gadis yang tadi dibantu dibukakan pintunya oleh Ba, muncul.
“Aku menyesal harus
mengatakan ini, tapi Siem Riep sudah satu jam yang lalu kita melewatinya,”
katanya lirih dalam bahasa inggris.
“What do you say? Are you kidding me?” Ba
kesal bukan main. Gadis itu menunduk merasa bersalah. Si sopir tak ambil
pusing. Lekas ia duduk lagi di belakang setir bus. Kepalanya ia gelengkan
kepada Ba untuk segera naik kembali.
“Turunlah di
sini, sebelum kamu semakin jauh. Kamu mesti putar balik. Naiklah taksi atau
motor untuk sampai ke Siem Reap. Sekali lagi aku minta maaf,” gadis itu
memelas. Ba jadi tidak enak hati. Tak seharusnya ia lakukan itu padanya. Ia
masuk bus melewati gadis itu, lalu mengambil tas ranselnya. Lekas ia kembali
turun dan sewaktu menatap gadis itu, ia ucapkan terima kasih. Gadis itu
tersenyum dan melambaikan tangannya. Mobil sleeper
bus kembali melaju meninggalkannya seorang diri.
Tas ranselnya ia
banting dengan keras. Ia lihat kembali jam tangannya sudah menunjukkan pukul
3.51 pagi. Tidak ada kendaraan yang lewat. Ia terpekur untuk beberapa lama.
Bagaimana bisa ini terjadi padanya? Ternyata tidak semudah seperti yang
dibayangkannya. Keputusan tetaplah keputusan. Ia tidak bisa menyesalinya begitu
saja atau menyalahkan siapa pun. Semua atas kehendaknya sendiri demi bisa
bertemu Mar. Ada hal yang belum tuntas, hatinya berkata.
Ba duduk di sisi
trotoar jalan, di bawah lampu merah. Satu dua mobil melaju dalam kecepatan
penuh. Mereka tak memberikan kesempatan untuknya sekadar melambaikan tangan.
Kalau bukan karena cinta yang menggerakkan, pastilah bukan keputusan ini yang
ia ambil. Bahkan ia rela kehilangan pekerjaan lantaran izinnya tak dipenuhi oleh
pihak perusahaan. Dengan uang seadanya ia memutuskan untuk menemui Mar ke Kamboja.
Selagi pikiran
kalutnya mengembara dari satu peristiwa ke peristiwa lain, seseorang dengan
motor Honda Astrea melintas di hadapannya. Ia berhenti, lalu bertanya, “Ada yang
bisa aku bantu?”
Ba mengangkat
dagunya. Ia terkejut ada seseorang dengan wajah penduduk lokal mampu berbahasa
melayu. Tak mau buang waktu lekas ia jelaskan hendak ke mana ia diantar.
Tersesat di negara asing itu, ia bukan takut akan ditipu atau dijahati oleh
penduduk setempat, yang ia pikirkan adalah soal bagaimana ia mengirit-irit
uangnya.
Sebelum ia naik,
ia tunjukkan berapa sisa uang yang ada di dompetnya. Si pemilik motor
tersenyum. Ia mengatakan tidak perlu khawatir, aku datang hanya untuk membantumu
keluar dari masalah ini.
Ba membalas
senyumnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ternyata, perjalanan bukan tentang
seberapa banyak uang yang dimiliki, tetapi seberapa banyak kebaikan yang kau
semai, untuk kemudian kau tuai hasilnya.
Mar, tunggu aku....
Cilegon, 15 Februari 2019
bersambung....