dok. pribadi |
Ketika sampai
rumah, seorang teman satu profesinya mengirimkan info perlombaan karya tulis
yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Panca
mulanya tak begitu peduli. Perhatiannya masih pada tanaman hias yang baru ia
beli. Ia taruh ponselnya. Lalu mulai mengambil pot kecil seukuran genggamannya,
mengisinya dengan pupuk pilihan dan beberapa biji sayuran dan buah-buahan.
Baru selesai
di pot ke-10, ponselnya kembali berdering. Ternyata satu lagi pesan masuk dari
orang yang sama. “Bro, ayo ikutan. Sudah waktunya yang muda turun tangan. Ini
kesempatan kita menyuarakan pendapat dan gagasan.” Panca hanya memberikan emoticon jempol dan wajah senyum untuk
membalas pesannya. Lalu ia meletakkan lagi ponselnya di meja. Ada satu lagi
yang dirasa harus ia selesaikan lebih dulu. Panca memang bukan tipe orang yang
senang menunda-nunda waktu. Ia mengambil air pakai gayung kecil, lalu
menyiramkannya pada pot tanaman tadi. Dibariskannya satu per satu dengan
telaten. Selesai, ucapnya.
Di sela waktu
istirahat, ia ambil kembali ponselnya dan segera membaca detail dari info lomba
yang tadi dikirimkan oleh kawannya. Di pamplet digital itu tertera tema
perlombaan: “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan
Pemilu”. Ia terkekeh barang sesaat. Tapi setelahnya diam merenung.
Pikirannya
sedang menerawang jauh. Ia lupa kapan terakhir kali memberikan hak suaranya. Ia
sudah putus asa dengan para pemimpin di negeri ini. Banyak harapan besar yang
ia percayakan pada pemimpin tapi akhirnya ia malah merasa dikhianati dengan
janji mereka saat mencalonkan diri. Akan tetapi, di usia yang hampir menginjak
angka 30 itu, ia mulai memikirkan apa yang dikatakan temannya tadi. Pemuda
memang seharusnya bergerak. Bahkan ambil bagian pada hal-hal krusial dan
fundamental seperti saat ini. Apalagi, dari info lomba tersebut ia menangkap
bahwa Bawaslu berusaha terbuka dan berterima dengan segala pandangan, gagasan
juga pendapat dari masyarakat, siapa pun mereka. Saat sedang memikirkan itu,
seekor kucing lewat di teras rumahnya dan tanpa sengaja menjatuhkan salah satu
pot yang baru ia letakkan. Panca segera menggusah kucing itu dan lekas
membenahi tanamannya yang rusak dan tercecar di lantai.
Ketika sedang
membereskan pot, pupuk dan biji-biji yang jatuh berantakan, Panca terbetik
sesuatu dalam tempurung kepalanya. Ia mendapatkan satu garis yang terhubung
antara tema lomba tadi dengan apa yang sedari tadi ia kerjakan. Maka selesai
dari situ, Panca bergegas mengambil alat tempurnya. Ia siap untuk menulis. Ia
siap menyuarakan pandangannya. Ia siap untuk lomba Bawaslu kali ini.
Tugas dan
wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum salah satunya adalah melakukan monitoring, mengawal integritas dan
kualitas demokrasi, termasuk menetapkan peserta Pemilu dan bakal calon yang
diusung dari masing-masing partai maupun melalui independen. Ia memandang bahwa
dirinya yang sebagai pencinta tanaman mengibaratkan diri sebagai Bawaslu.
Ketika ia berbelanja tadi, ia tentu tidak asal pilih bahan-bahan keperluan
tanamannya. Ia harus memilah pot yang kokoh tapi lentur, pupuk berkualitas,
juga biji-biji sayuran dan buah-buahan yang segar juga sehat. Itu tak beda
dengan tugas Bawaslu.
Ia memandang
pot sebagai simbol dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pot itu yang akan
menampung suara rakyat, suara pupuk, akar dan biji pohon yang nanti akan tumbuh
berbuah. Karena, pupuk itu mewakili kami, menurut Panca, seluruh masyarakat
yang memiliki hak suara. Biji-biji sayuran dan buah-buahan itu adalah calon
pemimpin. Kita akan melihat ketika salah satu dari biji-bijian itu disemai, mana
yang akan terpilih untuk tumbuh, naik ke atas dan mendapatkan dukungan serta
apresiasi yang berupa pujian dan kritikan, yang terwakili atas terpaan angin,
juga siraman dari air kran dan air hujan.
Bila semua
sudah saling bersinergi, maka akan tumbuhlah pohon-pohon demokrasi. Yang
akarnya akan menjalar ke bawah, tanpa melupakan mereka yang mendukungnya,
mereka yang membuat dirinya terpilih. Itu artinya pohon yang tumbuh adalah
bukti pemimpin yang mau mendengarkan suara-suara rakyatnya, menepati janji politik
saat mencalonkan diri. Bila semua itu berjalan dengan baik, maka pohon
demokrasi akan berbuah segar. Bisa dinikmati bersama, yang artinya kehidupan
orang-orang yang dipimpinnya akan hidup tenteram, makmur dan sejahtera. Namun,
bila pohon itu busuk atau mati (hatinya), maka dampaknya akan buruk bagi
masyarakat yang dipimpinnya. Mereka akan sengsara, melarat dan jatuh miskin.
Harapan dan
keyakinan dalam diri Panca, saat memikirkan hal itu, seketika timbul. Ia
membayangkan bila rakyat dan Bawaslu bersinergi, tentu pemimpin idaman akan
muncul. Lewat rakyat dan Bawaslu-lah pemimpin akan terlahir, yang berarti
menegakkan keadilan bukan lagi omong kosong. Selama kita bersama-sama saling
bantu dan gotong-royong untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu nanti, tentu
saja harapan memiliki pemimpin yang jujur, berpihak pada kesejahteraan rakyat
dan anti-korupsi akan benar-benar terwujud.
Karena, tulis
Panca, seperti yang pernah ia baca dari sebuah buku karangan Jon Krakauer
berjudul Into The Wild, puncak dari
kebahagiaan adalah berbagi, “happiness
only real when shared.” Maka setelah mengakhiri tulisan dan pendapatnya, ia
bangkit dari kursinya. Ia menuju teras dan mengambil beberapa pot tanaman yang
tadi ia taruh. Kakinya membawa ia ke rumah tetangga-tetangga. Ia membagikan
pohon-pohon harapannya itu. Ia mengajak mereka untuk bersama-sama gemar
bercocok-tanam dan menghias lingkungan, demi merawat generasi setelahnya. Lalu
Panca kembali ke rumah, Panca duduk bersila sembari menghadap bakal calon
pohon-pohon yang tadi ia tanam dengan mata yang berkaca-kaca.[]
Cilegon,
5 April 2018