koran Radar Banten edisi 20 Februari 2017 |
Kemarin,
seorang teman bercerita soal masa kecil di kampungnya. Suatu kali, ia sedang di
dalam masjid tua bersama teman sebayanya. Layaknya surau-surau di kampung lain,
di daerah Banten khususnya, mereka bersalawat melalui pengeras suara masjid. Keduanya
melakukan itu kira-kira sebelum masuk waktu salat asar. Tentu saja saling
bersemangat menyenandungkan salawat yang mereka hafal dari guru mengajinya.
Nahasnya, tak lama berselang, dari arah belakang keduanya mendapatkan sambitan
keset berdebu dari seorang lelaki tua yang kemudian mereka sadari ia adalah Yai
Fulan (sebut saja demikian), tetua yang dianggap kiyai, sesepuh kampung dan
sejak dulu dipercaya sebagai pengurus masjid alias DKM di kampung tersebut.
Timbullah
pertanyaan kemudian, bahkan ketika teman saya beranjak dewasa. Bukankah hal
lumrah, katanya, memakai pelantang suara masjid untuk hal-hal yang jelas-jelas
kemaslahatannya? Justru mestinya, kalaupun mereka salah ucap bacaan, mereka
diberi pelajaran untuk kemudian berani dan diberi kesempatan lagi untuk
salawatan, bukan malah menakut-nakutinya dan menjaga jarak (baca: membuat kapok)
datang ke masjid? Yang berakibat menimbulkan kebencian pada sosok Kiyai.
Rupa-rupanya,
setelah ditelusuri, di kampung kawan saya itu, pengurus masjidnya sangat keras,
kolot dan alot pemikirannya. Beliau tidak membolehkan melakukan aktivitas
apapun di masjid kecuali salat. Itu saja. Kita sama-sama tahu, di daerah Banten,
budaya riungan, salawatan, musyawarah-mufakat, gotong-royong, muludan, perayaan
Hari Besar Islam, dan banyak hal sejenisnya dilakukan di pelataran maupun di
aula luar dan dalam masjid. Bagaimana bila hal-hal itu dilarang? Bukankah kita
sebagai muslim diminta untuk “menghidupkan” dan memakmurkan masjid?
Belakangan
ini, Islam dan penganutnya benar-benar sedang menjadi sorotan. Wajah muslim
yang ditampilkan di media-media adalah wajah yang keras kepala, garang,
sewotan, banyak omong, intimidatif, menyerang, ingin menang sendiri, arogan,
egosentris, tidak bisa berdamai dan selalu ingin dianggap paling benar.
Sejak dahulu,
di benua Amerika, Australia dan kawasan Eropa sekitarnya perseteruan dua kubu
macam ini pernah berlangsung sampai terjadi perang suku dan ras. Orang-orang
yang terlahir sebagai ras white skin
(kulit putih) merasa paling tinggi derajatnya dibanding mereka yang ras black skin (kulit hitam). Kaum kulit
putih, lantaran kaum mayoritas, merasa perlu melakukan gerilya dan
terus-menerus merongrong kaum minoritas hingga terjadi pembunuhan besar-besaran.
Mereka merasa berkuasa dan paling layak tinggal dengan jabatan dan posisi
tertinggi di tanah tersebut. Menerima perbedaan menjadi barang langka yang
sulit ditemukan pada masa itu. Namun, lambat laun semuanya berjalan sesuai sunatullah dan satu sama lain bisa
saling berterima—sekalipun penindasan masih sering diperoleh kaum minoritas
hingga detik ini.
Sekarang, di
Indonesia perlahan-lahan hal serupa sedang terjadi. Ada upaya “adu-domba” yang
kemudian menimbulkan perpecahan. Saya bukanlah bagian dari Badan Intelijen
Negara (BIN), tidak bisa sembarang asal sebut soal pihak mana yang sedang
“bermain-main” dan menggodok para “korban” dengan memakai bumbu agama. Yang
jelas, untuk memicu perselisihan, agama adalah satu cara yang paling ampuh.
Indonesia
didiami oleh berbagai suku, agama, ras, budaya, adat yang begitu beragam dan
terikat. Perumusan Pancasila, UUD 1945, peraturan-peraturan yang berlaku di negara
ini bukan sembarang tulis dan putuskan secara serampangan. Semuanya berdasarkan
pertimbangan para tokoh besar yang membangun negara ini dengan melihat
perbedaan yang ada di Nusantara. Maka adanya isu bangkitnya PKI, simbol
Palu-Arit di mata uang, berdatangannya warga asing seperti China, Korea,
Amerika dan segala macam adalah salah satu bumbu pemicu konflik
lainnya—khususnya untuk memancing orang-orang bersumbu pendek yang kelewat
banyak itu.
Orang-orang
awam, yang menelan bulat-bulat informasi melalui media cetak dan elektronik
tidak sungguh-sungguh menelusuri kebenarannya. Sebagian besar mereka bahkan
adalah tim hore semata dan merasa paling mengerti soal apa yang terjadi dengan
bangsa tercinta kita ini. Mestinya kita memahami dahulu, seperti kata seorang
kawan, bahwa jangan mengagamakan budaya, tapi budayakanlah agama.
Problem
terbesarnya tentu saja dengan “menggunakan” mayoritas sebagai kendaraan. Bukan
bermaksud sepenuhnya menyalahkan media, sejak dahulu penyampai isu dan fakta
terbaik ya tentu saja media. Sayangnya sebagian sudah beralih fungsi. Berita
bukan lagi menunjukkan satu kebenaran (fakta) di dalamnya. Semua mengandung
unsur-unsur politis dan bermain-main dengan sudut pandang tertentu. Membaca
berita hari ini seperti sedang membaca karya sastra yang tafsirannya bisa
beragam. Karenanya, sebelum kita benar-benar menjatuhi kepercayaan penuh pada
media, kita mesti mempelajari dahulu siapa orang yang berada di belakang media
itu? Kredibel-kah selama ini? Apalagi perpecahan antar warga semakin meningkat
sejak Pilpres hingga hari ini menjelang Pilkada.
Akan sangat
disayangkan andai kita terpecah-belah hanya karena satu momen tertentu. Seribu
teman kurang, satu musuh kebanyakan. Sebagai makhluk sosial tentu kita tidak
akan bisa bertahan hidup hanya dengan mengandalkan diri sendiri maupun
kelompok. Ada saatnya kita memerlukan uluran tangan kelompok lain. Saya percaya
wajah muslim hari ini hanyalah segelintir dari banyaknya wajah berseri nan
tulus lainnya, yang belum sepenuhnya terekspos media. Terlebih sebagai pribumi
Banten, wajah-wajah sesungguhnya ulama, para pewaris Nabi, masih bisa kita
dapati di surau-surau, pesantren, kobong, pondok, juga dari para santri,
penerus-penerus tonggak Islam yang damai, yang dibawa Rasulullah sejak
kedatangannya di dunia ini.
Bukankah
kisah-kisah Nabi Muhammad SAW masih sering kita dengar hingga saat ini? Cara
beliau mengingatkan, cara beliau menegur, hingga cara beliau mengajak seseorang
untuk memeluk Islam yaitu dengan perilaku yang lembut dan santun. Bagaimana
cara beliau menyentuh hati seorang Kafir Quraisy yang gemar meludahinya setiap
kali akan berangkat ke masjid dan sewaktu ia tidak ada beliau malah mencarinya,
lalu setelah tahu sakit beliau mendatangi rumahnya, menjenguknya dan membawakan
buah-buahan? Siapa yang tidak tersentuh dengan ketulusan yang Nabi tunjukkan
itu? Islam adalah agama yang fleksibel dan tidak kaku, sayangnya hal demikian
belum banyak yang menyadari.
Wajah muslim
hari ini, yang selalu ditunjukkan media adalah wajah “para pemula”. Ulama,
Kiyai serta Ustad yang ditampilkan, sebagian besar, menunjukkan kalau mengajak
seseorang untuk menganut ajaran Islam mesti dengan cara kekerasan, pemaksaan
dan sindiran-sindiran yang nyelekit
sekaligus melukai hati. Pada akhirnya, ketika mereka berhasil “mengislamkan”
dan mengajak seseorang mematuhi syariat Islam bukan lantaran ketulusan yang
datang dari hatinya, melainkan karena paksaan dan berpikir bila ia tidak
menurutinya maka ia akan dibenci dan dijauhi. Padahal Islam adalah agama yang
penuh sayang dan cinta kasih. Wallahu’alam
bissawab.
Cilegon, 05 Februari 2017