Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by:poskotanews.com


    “Aku datang hanya untuk bertemu denganmu lagi dan menceritakannya....”

    Beberapa waktu lalu resmi harga BBM dinyatakan naik. Presiden sendiri yang menyampaikannya langsung melalui para media. Di indekos, sebelum berangkat bekerja, aku menyaksikan berita tersebut di layar televisi 14 inch—hasil tukar-tambah dengan sepeda ontel mendiang bapak. Entah harus berkomentar dan berekspresi seperti apa; bila bahagia, apa yang patut aku banggakan? Toh, tak ada pengaruhnya mungkin, aku tetaplah seorang buruh. Namun bila aku bersedih, untuk apa pula aku lakukan? Tetap saja tak akan ada yang peduli. Kalaupun aku berteriak-teriak di depan televisi, apa Pak Presiden akan mendengarnya? Ha-ha-ha... bisa-bisa aku dianggap gila andai tetangga lewat di gang sempit depan indekos ini.

    Ah, segera saja kubunuh televisi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.53, entah aku sudah terlambat berapa menit dari jadwal masuk kerja. Malas sekali untuk mengingat-ingatnya. Beruntung aku punya banyak teman yang saling mengerti. Mereka akan memberikan alasan sebaik mungkin kepada atasan sampai aku datang—begitupun bila sebaliknya terjadi.

    Andai mencari pekerjaan semudah mendapatkan kerikil untuk menahan buang air besar, tentu aku sudah tidak ada di perusahaan sepatu ini. Kau percaya tidak, bila kerikil ditaruh di saku celana belakangmu ketika perutmu sedang mulas, maka lambat-laun, tanpa kau sadari rasa ingin buang air besar itu hilang begitu saja. Aku percaya itu, bapaklah yang sewaktu kecil mengajarkannya padaku. Seperti itu pula sebenarnya alasanku hari ini datang terlambat. Sejak pagi perutku mulas-mulas. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik ke kamar mandi. Jadi, ketika aku ingat pesan bapak itu, lekas saja aku melakukannya. Sampai di tempat kerja, benar saja, mulasku lenyap. Betapa ajaibnya pikiran orang zaman dulu, mereka sudah menemukan teori sugesti mengalahkan seorang hipnoterapi di masa sekarang.

    Baiklah, aku berlebihan.
    ***

    Rupanya kenaikan BBM berbanding lurus dengan naiknya harga barang-barang pokok di pasaran. Dan ketika harga kebutuhan kian meningkat, tak sedikit beberapa perusahaan yang gulung tikar. Jelas sekali itu berdampak cukup besar pada kehidupan khalayak ramai. Satu di antaranya adalah terlahirnya para pengangguran. Orang-orang kehilangan pekerjaannya. Maka oleh sebab itu, aku berjanji ini kali terakhir aku datang terlambat ke tempat kerja.

    Aku bekerja tak lebih dari sepuluh jam di jadwal biasa. Tetapi, sesekali kami juga ada jadwal lembur. Karenanya jam pulang bisa sampai larut malam—tergantung pada pembagian shift juga. Sebelum pulang ke indekos, aku menuju ke salah satu minimarket untuk membeli rokok dan minuman—juga alasan lainnya..., kau tahu,  setiap pulang bekerja, di tengah perkotaan yang panas ini, memasuki sebuah mal, ruang mesin ATM, atau apa pun yang memasang AC di dalamnya adalah hal wajib yang harus aku kunjungi. Setidaknya keringat di kening dan ketiakku bisa hilang. Selagi itu gratis, kenapa tidak kita manfaatkan?

    Sore ini sedang banyak pembeli rupanya. Tak sekali dua kali bahkan aku sampai beradu bahu. Tentu tanpa kesengajaan.

    “Maaf.” Entah berapa kali aku mengucapkan kata itu. Heran, kenapa orang-orang begitu buru-buru sekali menjalani kehidupannya. Seolah pagi akan segera datang lagi dan menyediakan berbagai kesibukan dan kesumpekan. Terus begitu sampai presiden berganti hingga seratus kali—mungkin. Padahal, nikmati sajalah.

    “Sorry.” Dengan arti yang sama seseorang mengatakan itu setelah menyenggol punggungku. Ia tampak tergesa sekali. Aku mengangguk tak mempermasalahkannya. Ia melanjutkan lajunya tanpa menoleh ke arah belakang—bahkan mungkin sewaktu ia meminta maaf tadi tak menunjukkan wajahnya. Entahlah aku tak begitu memerhatikannya. Kemudian aku lanjut mengambil air mineral dan menuju kasir. Apa yang terjadi? Dompetku lenyap. Satu yang kuingat adalah seseorang dengan jaket hitam tadi. Beruntung di saku baju ada beberapa lembar uang. Cukup untuk membayar rokok dan minuman. Lekas saja aku keluar minimarket. Kepalaku seperti kipas angin, memutar dari kanan ke kiri berulang-ulang. Aku mencari orang yang memakai topi jeans dan ada sedikit robek di bagian punggung jaketnya.

    Minimarket ini berada di bahu jalan. Kebetulan jalan raya sedang macet, maklum jam pulang para karyawan. Ini kesempatan untukku.

    Aku harus segera mengejarnya. Bukan apa, di dompet itu masih kusimpan uang gajian lusa lalu. Mati aku kalau sebulan ke depan tak ada uang. Makan apa coba, di kota sebesar ini?—sedang di indekos aku tinggal sendiri. Ibu dan kedua adikku berada di desa. Apalagi aku belum mengirimi mereka uang untuk tambah-tambah biaya hidup dan sekolah. Aku harus segera menangkap pencopet itu. Pasti belum jauh dari sini.

    “Mas, permisi. Ngeliat orang pakai topi sama jaket item nggak?” tanyaku tergesa-gesa. Bahkan aku lupa mematikan mesin motor Astrea Legenda warisan dari almarhum bapak ini.

    “Barusan ngeliat, Mas. Tapi dia pake helm. Jaketnya agak robek di punggung—”

    “Ya itu!” aku menyela.

    “Orang itu kayak lagi kebingungan. Dia bawa motor mondar-mandir di depan saya. Bahkan mau lawan arah. Mungkin karena di depan ada polisi, dia puter balik lagi. Ngelewatin minimarket itu.” Dia menunjuk tempat kejadian bermula.

    “Dia nyopet dompet saya, Mas.” Aku mengangguk tak jelas. Orang yang kuajak bicara terlihat bingung, mungkin dia berpikir, apa yang kudu gue lakuin?

    Gegas saja aku memutar sepeda motorku. Pasti dia belum jauh, aku terus-menerus menghibur diri. Apalagi, di depan jalan setelah persimpangan ada lampu lalu lintas. Semoga dia terjebak di sana, di tengah kemacetan. Kalau sampai ini benar dan aku berhasil menangkapnya, aku akan bersyukur bahwa kemacetan di kota besar ada manfaatnya juga. Aku masih memacu motor Astrea ini. Meski konon mesinnya telah berumur, setidaknya motor bapak ini masih lincah, buktinya beberapa kali aku berhasil menyalip mobil dan motor lainnya.

    Saking tergesanya bahkan aku tak peduli dengan kepalaku yang tak mengenakan helm. “Nggak ada waktu,” batinku. Toh, polisi juga bakalan memaklumi kalau-kalau melihatku kebut-kebutan di jalan raya tanpa helm. Justru pencopet tadi akan lebih mudah dibekuk bila ada bantuan polisi.

    “Nah, ada polisi.” Ucapanku seolah terkabul begitu saja. Dengan pede-nya aku bangga mendengar sirene mobil patroli polantas. Dari spion aku memastikan, dan benar saja, mereka ke arah kami. Bisa jadi mereka turut mengejar pencopet itu karena diberitahu orang yang tadi aku tanyai. Dari jarak tiga mobil ke depan, aku melihat orang berjaket hitam itu. Tak salah lagi pasti dia. Celaka, saat jarak kian dekat, lampu lalu lintas berganti hijau. Kendaraan berebut jalan. Pandanganku semakin kabur. Tetapi aku masih terus menancap gas motornya.

    “Dia belok!” tak sadar aku berteriak lantang. “Woy, copet!” orang-orang mengalihkan perhatiannya. Sebagian bertanya yang mana, aku sekenanya memberi petunjuk pada mereka yang peduli. Lantas membantuku mengejar pria itu.



    Sesekali aku menatap spidometer, aku tercengang. Ini kali pertama aku memacu sepeda motor dengan kecepatan hampir 100km/jam. Aku ingin mengurangi tarikan gas, tetapi apa daya, pencopet itu pasti akan mudah lepas dari pandanganku. Alih-alih fokusku terbagi pada sisi kiri-kanan jalan, mataku lekat tak lepas mengunci gerakan pencopet itu. Bahkan, sampai aku tak sadar, di jalan yang tak cukup lebar itu, sebuah truk melaju cukup kencang keluar dari salah satu pertigaan. Aku kalap. Stang motorku hilang kendali. Truk itu melaju dari arah kiri. Aku berusaha membelokkan motorku ke arah berlawanan, tetapi tak berhasil. Kecepatannya terlalu tinggi. Seketika saja oleng. Kontan saja ban depan motorku beradu dengan sisi kanan truk. Tubuhku melayang. Aku merasakannya setelah terdengar bunyi, “braaakk!!!”—benturan antara tubuhku dengan truk. Lalu terpelanting lagi ke bahu jalan. Tulang-tulangku seperti remuk. Kepalaku terantuk trotoar dengan suara debam yang keras sekali. Setelah itu pandanganku samar. Jalanan depan tertutupi truk. Entah ke mana pencopet itu berlari. Orang-orang berkerumun mengitari tubuhku. Sesuatu mengalir dari kepalaku yang tak mengenakan helm. Tanganku sempat mengelusnya. Ia berwarna merah dan hangat. Ini darah. Aku menyisakan jejak di bahu jalan.

    Tiba-tiba aku bertemu bapak. Lekas saja aku memeluknya.

    “Beruntung aku bisa menjumpaimu di sini, di sebuah ruang kosong dengan pintu dari jeruji besi. Sengaja memang aku datang hanya untuk menceritakan segalanya. Lalu akan kuajak kau bertemu dengan bapakku juga. Simpan saja dompetku dan segala macam isinya itu. Di sana uang tak lagi berguna.”[]

    Cilegon, 29 Oktober 2015

    -----------------------------------------------------------------------------------------------
    *Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
    Continue Reading

    Salah satu fungsi dari sebuah paku adalah sebagai alat penghubung dan penguat suatu benda atau bangunan yang satu dengan benda lainnya. Katakanlah sebuah papan kayu akan mudah direkatkan oleh paku pada dinding-dinding bangunan sehingga menyatu dengan kokoh. Tentu saja dibutuhkan paku yang tajam dan palu sebagai alat bantunya. Begitulah fungsi dasar paku. Lantas, apa kiranya yang hendak saya analogikan dari fungsi sebuah paku?

    Dalam hal ini saya mencoba mengaitkan kegunaan paku dengan manfaat keberadaan sebuah madrasah. Menurut kaidah bahasa, madrasah sama artinya dengan sekolah, hanya saja tambahannya di madrasah mengenalkan ilmu agama kepada peserta didiknya. Lebih jauh lagi kita kenal, madrasah selalu erat hubungannya dengan pondok pesantren, sebagaimana kita tahu, di sana mempelajari ilmu-ilmu penerapan yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadist. Kemudian akan dikenalkan juga tata-cara membaca kitab gundul atau kitab kuning; baik secara makna, penulisan dan pelafalannya (nahwu-sharaf).

    Dewasa ini, terlepas dari pembahasan sistem pendidikan di Indonesia, mulai banyak sekolah-sekolah swasta maupun negeri yang kian menggeliat. Bukan hanya soal bangunan yang satu per satu berdiri menjulang, tetapi di saat yang sama biaya keperluan sekolah pun kian melangit. Kendati demikian, para orang tua seolah berlomba mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah terbaik, sekalipun tak sedikit dari mereka yang ngos-ngosan mencari biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sayangnya, dari sekian romantisnya hubungan antara orangtua-dan-sekolah, mereka tak secuil pun memasukkan sekolah madrasah atau pondok pesantren dalam daftar ‘sekolah yang dijadikan rumah kedua’ bagi anak-anak mereka. Padahal, bila dilihat dari peninggalan orang-orang terdahulu, dalam hal ini para pendiri Banten, adalah para ulama besar yang disegani dunia. Bahkan ada sebuah sajarah yang dikenal dengan sebutan Geger Cilegon.

    MADRASAH PERTAMA

    Pendidikan akhlak atau attitude adalah pelajaran dasar yang harus diterapkan kepada anak-anak kita sejak dini. Pengetahuan tentang segala macam perkara agamawi jelas harus berjalan beriringan dengan ilmu duniawi. Menurut Albert Einstein, ilmu agama dan ilmu dunia (pengetahuan umum) bila dipegang oleh orang cerdas maka akan didudukkan secara beriringan. Sedangkan bila orang bodoh yang memegangnya maka ia akan mendudukannya secara hadap-hadapan. Alih-alih buah hati kita menjadi manusia yang baik dan bijak, ia malah menjadi sulit diatur dan selalu menyalahkan satu peraturan dengan peraturan lainnya. Selalu berusaha membentur-benturkan suatu hal yang pada hakikatnya sudah tidak bisa diubah lagi. Peran orang tua dalam hal ini sangatlah diperlukan. Ibu dan bapak menjadi madrasah pertama bagi mereka. Pengenalan tauhid dan keimanan sudah semestinya mereka kenyam. Miris sekali bila melihat kondisi pergaulan anak-anak di zaman modern ini. kehidupan hedonisme diagung-agungkan, seolah tujuan ia hidup di dunia hanyalah untuk mengejar materi dan kenikmatan yang sementara. Padahal jauh daripada itu ada alam nan kekal, yakni alam akhirat yang harus dipersiapkan bekalnya sejak hidup di dunia.

    Bisa kita saksikan sendiri, melihat dalam berita di televisi atau membaca dalam media cetak; kasus kekerasan, perilaku menyimpang hingga pemerkosaan kian menjangkiti anak-anak di bawah umur. Mereka sudah mengenal perbuatan yang belum saatnya untuk mereka ketahui. Mereka kesulitan dalam memilah mana yang boleh mereka kerjakan dan mana yang tidak. Padahal, tidak ada satu kepercayaan atau agama apa pun yang mengajari kita untuk berbuat keji dan melawan aturan. Di titik inilah pendampingan orang tua harus lebih intens, jangan biarkan anak kita bertumbuh dan berkembang tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Berani menentang dan melawan norma-norma agama dan negara.

    Seharusnya kita yang tinggal di provinsi Banten ini patut bersyukur. Masih banyak pondok pesantren dan madrasah-madrasah yang bertahan di beberapa daerah. Walaupun di tengah hiruk-pikuknya sekolah-sekolah bergengsi lainnya. Ini kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Sebab, di beberapa provinsi atau bagian Indonesia lainnya, sekolah-sekolah agama semakin sulit ditemukan. Bisa jadi alasannya karena pelajaran umumlah yang wajib dipelajari. Salah satu acuannya bisa jadi lantaran di Ujian Nasional pendidikan agama tidak diujikan; tidak termasuk dalam mata pelajaran wajib dan berjejer dengan ilmu pengetahuan umum lainnya. Itu kesalahan sistem pendidikan kita yang sudah seharusnya ditinjau kembali. Andai kita berdalih bahwa negara kesatuan Indonesia ini tergabung dari penduduk yang heterogen, tetapi mau bagaimanapun kita adalah negara yang menganut budaya timur. Sopan santun dan tatakrama menjadi hal utama yang harus didahulukan.

    Untuk menjaga paku-paku itu tetap tajam dan kokoh, tentu kita harus terus merawatnya, menyiapkan palu yang juga sama kuatnya, dengan cara menjadikan anak-anak kita bagian dari sekolah-sekolah berbasis agama seperti madrasah, pondok pesantren, TPA dan semacamnya, serta memberikan pemahaman yang baik, agar suatu kelak anak-anak kita, para penerus bangsa tersebut tidak kehilangan jati dirinya. Seseorang akan mudah hilang kontrol ketika nafsu sudah mengendalikan diri sepenuhnya. Hati dan pikiran tak akan berguna lagi ketika tak ada sedikit pun iman di dalam dirinya. Itu sebabnya mengajari anak-anak kita budi pekerti dan pemahaman tentang adanya Tuhan sangatlah penting.
    Kembali ke Madrasah adalah salah satu cara yang patut dilakukan. bila paku itu sudah menancap kokoh, berharaplah bumi ini akan hidup lebih lama lagi; atau biarkanlah sisanya alam yang bekerja.[]

    Cilegon, 10 oktober 2015



    *Ade Ubaidil, Alumni Madrasah Aliyah Al-Jauharotunnaiyyah Cibeber angkatan tahun 2011-2012.

    (Esai ini dimuat bertepatan setelah peringatan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober 2015 di Kantor Gubernur Banten, Palima-Serang).
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ▼  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ▼  October (2)
        • [ESAI] AYO KEMBALI KE MADRASAH! (Banten Raya, 24 O...
        • [CERPEN] Jejak di Bahu Jalan
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top