http://www.pasanggarahan.com/2015/10/musim-layang-layang.html |
Terpaan
angin mengepakkan layang-layang beraneka warna buatanmu. Kau menikmati
pekerjaanmu sebagai pengrajin mainan tradisional itu. Sejak pagi, kau sudah
menempati lapakmu. Kau sadar betul, sainganmu kian bertambah di sepanjang jalan
Drangong yang tak jauh dari gerbang tol Serang Barat. Rupanya, orang-orang pun
tahu akan hadirnya musim panen padi dan tentu di seperempat tahun ini angin
semakin kencang berembus. Orang-orang kampung sangat senang bermain
layang-layang, tak menutup kemungkinan pula dengan orang-orang kota yang
melintasi lapakmu.
Alat-alat
sudah memenuhi tas lapukmu. Bahan-bahan yang tidak terlalu sulit telah kau
dapatkan. Bambu tipis yang sudah kau potongi seukuran kurang lebih: lebar 1
sentimeter dan panjang 40 sentimeter. Juga potongan bambu tipis lainnya, yang memiliki
lebar 1 sentimeter dan panjang 80 sentimeter. Kau bahkan menerima pesanan
tergantung permintaan pembeli. Ada yang berbahan kertas tissue juga kertas
minyak. Kau rangkai mengikuti ukuran bambu yang sudah tersedia, seorang diri.
Tentunya
dalam tasmu juga telah terisi dengan spidol, pita gulungan yang agak tebal, temali
dan benang yang biasa kau kaitkan pada satu bambu ke bambu lainnya, tak luput
gunting dan isolasi. Satu lagi, penggaris dan meteran itu yang membuat layang-layang
buatanmu bisa terbang stabil. Kau layaknya seorang Arsitek, membuat layang-layang
sederhana namun dengan teknik yang setara mahasiswa jurusan Teknik Sipil. Kau
ukur satu sama lain bambu dan benangmu dengan cermat dan teliti.
Beraneka
bentuk dan warna sebagian sudah jadi. Kau gantung pada tali yang sebelumnya
telah kau ikat sejajar dari ujung pohon besar ke pohon besar lainnya. Kau amat
terampil merangkai semua layang-layangmu tanpa bantuan orang lain.
Musim
layang-layang tak lebih dari tiga bulan, dan kau menyadari itu. Karenanya,
pikiranmu sudah menerawang jauh, tentang pekerjaan apa lagi yang nanti akan kau
lakoni bila anak-anak sudah tidak tertarik lagi bermain layang-layang.
Ketika
tak ada pembeli, kau terkadang senyum-senyum sendiri. Membayangkan saat pertama
kali kau diajari cara membuat layang-layang oleh ayahmu. Bahkan kau tak
menyangka sampai akhirnya kau berkeluarga dan memiliki seorang anak, kau
memanfaatkan keterampilanmu itu. Kau merasa berhutang budi kepada ayahmu. Dan
dengan menjajakan layang-layang, kau bisa bernostalgia. Walaupun yang kau tampakkan
hanyalah senyum getir.
Bukan
sekali dua kali kau meminta anak semata wayangmu yang beranjak remaja untuk
menemanimu menjual layang-layang, tetapi bentakan dan tolakan malah yang selalu
kau dapatkan.
“Sore
nanti kamu temani Bapak menjajakan layang-layang, ya.” Kau mengajaknya di suatu
pagi.
“Aku
sudah janji main futsal dengan teman-teman, Pak! Lagipula, aku malu kalau harus
menemani Bapak menjual layang-layang. Mau di kemanakan wajahku kalau mereka
melihatku di jalanan sana?!”
Hatimu
bergeletar mendapatkan jawabannya. Padahal apa pun kau kerahkan demi dia dan
istrimu, hingga peluhmu berderai di sekujur tubuh. Tetapi kau ayah yang baik.
Kau tidak memarahinya, tidak pula mengusirnya. Kau malah berlalu
meninggalkannya dengan memberikan sejumlah uang untuk jajan sekolahnya.
***
Dua
jam lalu lonceng tanda pulang sudah berdentang. Murid-murid SMA Gemilang
berlalu-lalang. Membanjiri pelataran sekolah, menuju gerbang. Tampak dari
kejauhan dua orang lelaki tengah asyik berbincang seraya berjalan keluar dari
tempat yang bukan dari salah satu ruang kelas. Di depan pintu tempat itu
bertuliskan, “Rental Playstation”. Ya, sepertinya mereka tahu kalau jam pulang
sekolah telah berlalu.
“Jadi,
kan, main futsalnya, Yar?” tanya lelaki sebelah kiri yang mengenakan tas
selempang dengan celana seragam abu-abu yang robek di bagian lututnya.
“Tentu,
dong. Nanti kamu ajakin yang lainnya, ya. Aku mau pulang dulu, mau minta uang
lagi. Jajan sekolahku ludes gara-gara kalah taruhan sama kamu,” sanggah lelaki
lainnya yang memakai kaca mata hitam dan membawa tas ransel di punggungnya. Wajahnya
terlihat jengkel. Rokok di tangannya sesaat ia sesap hingga tulang pipinya
tampak jelas, kemudian ia menghempaskan asapnya kuat-kuat sampai mengepul ke
udara.
“Hahaha....”
Ia terkekeh. “Aku juga mau pulang dulu, Yar. Mau ganti sepatu.”
Lelaki
yang mengenakan sepatu kets warna biru mengkilap itu pamit di persimpangan. Sejak
kelas satu SMA mereka selalu bergaya layaknya kaum borju. Padahal, orang tua
mereka hanya orang biasa yang tengah memeras peluh demi menghasilkan uang yang
digunakan untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari. Mereka terlahir di
desa, akan tetapi kerap kali mereka bergaya layaknya orang kota.
Hari
itu lelaki yang bernama Tyar memilih untuk berjalan kaki. Di kantong celananya
sudah tidak ada lagi uang yang tersisa. Ia ingin meminjam kepada temannya yang
tadi, tetapi karena gengsi yang begitu tinggi ia memilih untuk mengurungkan
niatnya.
“Terpaksa
aku harus melewati jalan itu. Ah, sial sekali nasibku!” umpatnya merutuki diri
sendiri.
***
“Pa,
aku mau yang warna hijau itu.”
Ucap
seorang bocah buyarkan lamunanmu. Ayahnya mengulang permintaannya padamu ketika
turun dari sebuah mobil mewah yang terparkir tepat di hadapanmu. Wajah lelahmu
di sore itu sedikit terbayar. Ini pembeli ketiga di sepanjang hari sejak kau
membuka lapak. Kau tetap tersenyum. Kau tetap bersyukur dengan apa yang Tuhanmu
berikan. Satu buah layang-layang kau ambil.
Kemudian,
senyummu hanya tertuju untuk bocah berusia empat itu. Seraya memberikan layang-layang
hijau yang diinginkannya.
“Berapaan,
Pak?”
“Seribu
lima ratus.”
Kau
polos menjawab pertanyaan Ayah si bocah lucu itu. Padahal sejak awal kau sudah
melihat ia menggenggam uang kertas yang seharga 50 layang-layang yang sama.
Jika saja orang itu berhenti di pedagang layang-layang sainganmu, tentu mereka
akan membandrol layang-layang semacam itu seharga lima ribu lebih. Kau bisa
seperti mereka, tetapi kau masih percaya akan dosa. Kau mampu mencegah hati dan
pikiranmu. Lidahmu kau kendalikan supaya berkata jujur kepada siapa pun.
“Maaf,
Pak. Nggak ada kembaliannya.”
Kau
tampak bingung, uang dari mana untuk memberi kembalian padanya. Sedangkan uang
di dompetmu hanya ada tiga lembar seribuan, itu pun untuk kau gunakan membeli
makan.
“Biar
aku tukarkan dulu, Pak. Di warung sana.”
Tiga
puluh lima meter samar-samar terlihat warung dari pandangan Ayah si bocah itu.
Kau meninggalkan mereka juga lapakmu hanya untuk menukarkan uang di warung yang
cukup besar di seberang sana.
Waktu
semakin sore, kau memutar lagi langkahmu. Beberapa lembar uang kertas dan koin telah
berada di tanganmu. Wajahmu masih menampakkan senyum yang tulus. Meski hatimu
terus bergumam; anak dan istriku makan apa nanti malam.
“Maaf,
membuat Bapak menunggu.”
“Oh,
tak masalah.”
“Ini
kembaliannya, silakan dihitung lagi.”
Kau
menyerahkan seluruhnya. Bahkan uang seribu lima ratus hakmu masih berada di
genggaman tangannya. Kau menjelaskan padanya, kemudian ayah dari bocah itu pun
memberikan hakmu. Ia membayar sesuai apa yang sebelumnya telah kau sebutkan
padanya.
Bocah
lucu itu masih bermain-main dengan layang-layang. Ia tidak menghiraukan
percakapanmu dengan Ayahnya. Angin semakin berhembus kencang di sepanjang
jalan. Secara tiba-tiba, layang-layang hijau pada tangan kecil itu terlepas
hingga ke tengah jalanan. Beruntung kau bisa mencegah bocah itu berlari
mengejarnya. Rasa tanggung jawabmu begitu tinggi; sama seperti Ayahmu dulu.
Sorot
matamu terkunci pada layang-layang itu. Seketika kau sudah berada di tengah
jalan dengan layang-layang di tanganmu. Kau angkat lagi dadamu, kemudian matamu
menangkap seorang anak berseragam putih abu-abu tengah berjalan mendekat ke
arahmu. Lamat-lamat kau perhatikan wajahnya.
Dia Tyar, Anakku....
Batinmu
yakin.
Kau
tersenyum bangga mendapati wajah anakmu di seberang sana. Sesegera kau
memanggilnya.
“Tyaaarrr!!!”
Lelaki
itu menoleh ke arahmu. Seketika ia langsung membuang batang rokok yang terselip
di sela jarinya. Ia takut kalau kau memergokinya sedang menghisap racun itu. Namun,
kau kemudian dibuat bingung saat melihat ekspresi berikutnya dari anakmu. Ia melambai-lambaikan
tangannya seperti memberikan isyarat padamu. Mulutnya berkomat-kamit seperti
sedang menyampaikan sesuatu. Namun karena faktor usia, pendengaranmu lambat
laun semakin berkurang.
Kau
baru menyadari maksudnya saat suara klakson membuatmu memalingkan wajah ke arah
belakang punggungmu.
“Awas
Paaaakkk!!!”
Teriakan
dari anakmu tak berhasil membuatmu berlari ke tepian trotoar. Tubuh bungkukmu terlanjur
dihantam tanduk besi kuat dari kepala Truk yang melaju cepat. Kau terpental
jauh melewati langkah anakmu. Kopiah hitam yang bersila di kepalamu turut
terlepas meninggalkanmu. Pun sepasang sandal jepit yang hampir putus ujungnya
terlontar ke pematang sawah samping trotoar. Anak-anak yang tengah mengejar
layang-layang putus di sawah itu sesaat terpaku melihat kejadian yang baru saja
menimpamu.
Masih
ada sisa senyuman yang kau siapkan untuk anak lelakimu sejak pagi tadi. Suara
remang-remang dari anakmu semakin tenggelam. Kedua kelopak matamu pun perlahan terkatup.
Napasmu yang tersengal terbebas melalui kerongkonganmu yang kering. Tak ada
lagi yang kau ingat, seketika hampa dan gelap.
Anakmu
terus-menerus meraung dan air mata bening menguar hangat membanjiri wajahnya
saat menghampiri tubuhmu yang sudah tak berdaya.
“BAPAAAKKK!!!”
Ia mendekap tubuhmu. Berusaha menghentikan aliran darah segar yang mengucur bak
keran air dari kepalamu akibat benturan keras pada sisi trotoar. Wajah
penyesalan meliputi paras anakmu.
***
Satu
tahun berlalu. Terlihat seorang anak lelaki tengah sibuk merangkai
layang-layang di sisi jalan Drangong, Serang. Sejak pagi ia berangkat dari
rumah untuk menempati lapak yang beberapa waktu lalu orang yang sangat
menyayanginya berada di sana. Sesekali ia termangu dan tanpa terasa wajahnya
telah dihujani air mata. Bukan perkara satu pun layang-layang yang belum berhasil
dijualnya, yang ia buat sendiri dengan sangat buruk, akan tetapi sesuatu hal
yang membuatnya menangis dan merutuki nasibnya adalah saat batinnya bergumam
lirih:
Pada siapakah aku harus
bertanya cara membuat layang-layang yang baik dan benar?[]
Pinggir
Trotoar Serang, Mei-Juni 2014
*Ulasan cerpen Musim Layang-Layang dimuat di titiktemu.co klik: http://titiktemu.co/2015/11/01/motif-dalam-cerita/