Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Judul             : Sahut Kabut

    Penulis          : Ade Ubaidil

    Perancang sampul: Sukutangan

    Penyunting   : Dorothea Rosa Herliany

    Harga             : Rp60.000

    ***
    Kusesap lagi sisa-sisa kopi yang hampir dingin. Sampai hari-hari berikutnya, setiap kali istriku membuatkan kopi, selalu saja aku melihat wajah Bapak dalam cangkir kopi. Aku juga mengingat pesan yang pernah Bapak katakan kepadaku, bahwa rasa yang kau peroleh di dunia ini tidak semuanya manis. Terkadang, rasa pahit pun menyentuh hidupmu. Tinggal bagaimana caramu menikmatinya.... 
    Kutipan Cerpen, "Wajah Bapak dalam Secangkir Kopi".

    "Dalam Sahut Kabut, saya banyak bermain di latar realis dengan tema hubungan antarkeluarga dan kekasih. Saya mengambil sikap berbeda dari kebanyakan penulis muda angkatan saya yang lebih banyak menulis surealis. Saya percaya kehidupan sehari-hari bisa ditulis dengan menarik, selama kita memiliki sudut pandang yang unik dan berbeda dari kebanyakan." - Ade Ubaidil

    Buku terbaru saya sudah bisa dipesan via marketplace langgananmu. Atau silakan hubungi penerbit: @indonesiatera dan @patjarmerah_id.

    cover fix


    Continue Reading

     

    credit by Netflix.com

    Score: 8,5/10.

    Season 1 dan Season 2

    "Orang Amerika hidup untuk bekerja sedangkan orang Prancis bekerja untuk hidup," ucap Luc (Bruno Gouery) kepada Emily karena datang ke kantor lebih awal.

    Lewat serial ini, kamu bakal melihat bagaimana orang Amerika yang terkenal modis dan trendy diejek norak dan kampungan ketika pertama kali datang ke Paris. Yang fatal dari itu semua adalah Emily tidak bisa bahasa Prancis, sehingga teman kantor barunya diawal menggunjingkan dirinya dengan bahasa yang tidak dimengerti olehnya.

    Konon, sejak kemunculan season 1 di Netflix, serial ini mendapatkan banyak kritik khususnya dari warga Prancis. Sebab, banyak stigma negatif yang seolah disampaikan oleh sang sutradara dan penulis kelahiran Amerika, Darren Star.

    Serial komedi yang mengisahkan Emily Cooper (Lily Collins), eksekutif marketing sebuah perusahaan yang bermarkas di Chicago, AS karena suatu kondisi membuatnya dikirim ke Paris untuk memperbaiki strategi pemasaran di Savoir.

    Sudut pandang yang dipakai untuk menjalankan cerita semua dari Emily, si gadis lugu dan polos, yang melihat Paris sebatas kota yang romantis. Tetapi, sepanjang perjalanannya ia menemukan banyak hal yang selama ini tidak ia lihat di media.

    Selama saya menonton S1 dan S2 saya tak ada masalah. Barangkali karena pengetahuan saya soal Paris sangat minim. Justru sebaliknya, saya seperti melihat vlog dari Emily, apa saja kesehariannya di sana dan menunjukkan Paris yang apa adanya. Yang jelas Paris adalah kota yang indah.

    Sepanjang episode mata saya dimanjakan oleh warna-warni sinematik yang memuaskan. Serasa saya diajak jalan-jalan dan hidup bersama Emily dan problematika hidupnya di Paris.

    "Orang Prancis menyindir di depan wajahmu, sementara orang Tiongkok di belakang punggungmu," terang Mindy Chen (Ashley Park) teman pertama Emily di Paris. Keduanya lalu bersahabat bahkan tinggal bersama di sebuah kamar apartemen.

    Pergerakan alurnya begitu cepat, termasuk pengenalan karakter yang complicated. Semua tokoh punya masalah dan rahasia hidupnya masing-masing. Dan tentu saja tidak ada tokoh yang dibuat sempurna sehingga terasa begitu nyata.

    Yang membuat penonton peduli adalah sifat dan watak Emily yang keras kepala. Ia begitu tahan banting dan ingin membuktikan banyak hal kepada bos barunya Sylvie (Philippine Leroy-Beaulieu) kalau ia mampu dan bisa diandalkan. Belum lagi tentang hubungan percintaannya yang rumit.

    Banyak wawasan yang saya dapat, soal fashion yang mewah, ilmu marketing, termasuk belajar bahasa Prancis yang terdengar seksi dan berkelas itu. Yang jelas, saya tak sabar menunggu Season 3 dari serial ini.

    Cilegon, 22 Juni 2022

    Continue Reading

     
    © imdb.com
    Score: 7,5/10.

    “Thank you for being born,” ucap So-young ketika lampu telah padam. 

    Sebaris kalimat tersebut akan sangat menghangatkan hati para penonton. Diucapkan dengan sangat perlahan dan hati-hati oleh So-young (Lee Ji-eun/UI) saat mereka sudah merasa nyaman satu sama lain. 

    Broker adalah film drama yang disutradarai dan ditulis oleh Hirokazu Kore-eda, film-film Kore-eda seperti ‘Like Father, Like son’ pernah mendapatkan Jury Prize di Festival Film Cannes 2013 dan berselang lima tahun kemudian, filmnya yang berjudul ‘Shoplifters’ berhasil menggaet penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes. (cineverse.id)

    Di tahun 2022, film terbarunya yang dibuat di Korea Selatan, ‘Broker’ berhasil mendapatkan Penghargaan untuk Aktor Terbaik (Song Kang-ho). Dan usai pemutaran para penonton standing ovation dan bertepuk tangan selama 12 menit, sebuah bentuk kekaguman kepada cast dan crew yang hadir. 

    Sang-hyun (Song Kang-ho) dan Dong-soo (Gang Dong-won) adalah mitra dalam bisnis pasar gelap, mereka mengumpulkan bayi yang ditinggal di ‘kotak bayi’ di gereja Busan dan secara ekstensif mereka mencari calon orang tua yang tidak dapat memiliki anak sendiri atau telah mencoba dan gagal melalui proses adopsi resmi yang rumit.

    Sinematografi film ini mengingatkan saya pada film Parasite, termasuk cara mengenalkan para karakternya. Dan ceritanya sekilas mengingatkan saya pada film Jackie Chan berjudul Rob-B-Hood. 

    Sejak menit pertama, alur cerita berjalan cukup lambat dan bisa memicu rasa bosan penonton. Ada sisipan komedi situasi, tetapi porsinya sedikit sekali, bisa jadi karena isu yang diangkat lumayan sensitif dan serius tentang perdagangan manusia. 

    Para aktor yang terlibat terlihat effortless saat memerankan karakter masing-masing, namun justru itulah letak keberhasilan film ini. Kore-eda mampu membuat sebaris kalimat yang sebetulnya terdengar biasa saja tetapi dapat sedemikian dalam dan penuh makna sebab ia meletakkannya di situasi yang tepat. 

    So-young, sejahat-jahatnya ia kepada Woo-sung anak kandungnya, sebetulnya tidak benar-benar sampai hati ingin menjualnya. Rupanya ia memikirkan semuanya sampai di akhir kita akan dikejutkan dengan rencananya.

    Park Ji-yong, pemeran bayi di film ini betul-betul membuat saya sebagai penonton berdecak kagum sekaligus gemas. Ia tampak seperti aktor profesional yang mampu menjaga geraknya sesuai situasi. Pujian ini patut diberikan kepada Kore-eda selaku sutradara. Termasuk pemeran bocah yang bercita-cita ingin jadi pemain sepak bola. 

    Tidak ada scene yang tergesa-gesa, dialog yang menggebu-gebu, atau pergerakan aktor yang berlebihan. Semua berjalan seolah-olah apa adanya. Bahkan endingnya pun ditutup begitu saja khas film festival yang tenang tetapi "mematikan".

    Setiap karakter memiliki masalah pribadinya sendiri yang kompleks, sehingga ketika dipertemukan semakin terasa kerumitannya. Sayangnya, sampai akhir saya merasa tidak begitu terpuaskan. 

    Cilegon, 16 Juni 2022

    Continue Reading
    Official poster by Imajinari

    Score: 8,3/10

    "Kalau anakmu berkembang, kamu sebagai orang tua pun harus ikut berkembang. Kita itu harus belajar terus."

    Sebaris kalimat yang disampaikan Opung Domu (Rita Matumona) itu barangkali bisa merangkum pesan dari keseluruhan film ini. Betapa orang tua, seharusnya juga selalu belajar memahami zaman yang terus bertumbuh. Segala keilmuan tentang mendidik anak yang diperoleh dari orang tua di masa lampau, ternyata tak sepenuhnya berhasil bila diterapkan pada generasi masa kini. Zaman telah berubah. 

    Dikisahkan Marlina (Tika Panggabean) merasa gelisah karena ketiga anaknya, Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) semakin jarang mengunjunginya di kampung halaman. Hanya ada Sarma (Gita Bhebhita), anak keduanya yang mengurusi mereka.

    Oleh karena itu, sang suami, Pak Domu (Arswendy Beningswara) memutuskan untuk mengatur sebuah pertengkaran hebat dengan Marlina, supaya anak-anaknya segera pulang dari perantauan.

    Berlatar adat budaya suku Batak, film ini berhasil disajikan utuh kepada penonton, baik awam maupun masyarakat Batak itu sendiri. Apalagi dibintangi oleh aktor berdarah Medan dan sekitarnya. Setting lokasinya pun persis di sekitar danau Toba. Dalam beberapa scene, kita akan dimanjakan dengan keindahan alam Indonesia di wilayah sana. 

    Sutradara dan penulisnya pun berasal dari Sumatera Utara, Bene Dion Rajagukguk dan diproduseri oleh Ernest Prakasa. Di setiap wawancara, Bene mengaku ini adalah film drama keluarga. Sisipan komedinya tidak muncul dari komika, tetapi dari situasinya yang komedik. 

    Tanpa mengesampingkan pemeran yang lain, saya mau beri hormat kepada Gita Bhebhita yang tampil memukau sekaligus mengejutkan di dua adegan one take shot yang cukup panjang. Puncak luapan emosi yang akhirnya ditumpahkan Sarma lantaran ia melihat Mamanya yang akhirnya berani "speak up". 

    Entah sudah berapa lama Sarma memendam perasaannya itu, termasuk ia harus mengorbankan cita-citanya demi alasan keluarga. Di scene itu saya jamin siapa pun bakal menangis, meskipun tiga aktor yang menjadi saudaranya sedikit kurang maksimal aktingnya. Cukup disayangkan memang.

    Satu hal lagi yang mengganjal tentang alasan Mamanya menahan anak-anaknya pulang ke perantauan. Sebab, alasan utama mereka pura-pura bercerai agar anaknya pulang dan menghadiri acara adat yang diadakan oleh opungnya, seharusnya selesai di sana. Saya kurang dapat alasan lain mencegah mereka. Kalau karena masih rindu sepertinya egois sekali. 

    Terlepas dari itu, Arswendy, sebagai aktor kawakan sudah tidak perlu diragukan lagi. Saya sebagai penonton merasa kesal dan geregetan dengan perannya sebagai Pak Domu ketika mengambil segala keputusan penting secara sepihak, meskipun untuk tujuan yang baik. Kita tahu, bahwa hal baik harus disampaikan dengan cara yang baik. Itu adalah satu kesatuan. 

    Opung Domu di sini memegang peran penting sebagai simpulan pergerakan para karakter menuju akhir cerita. Dialog nan bernas yang ditujukan kepada putranya, Pak Domu, betul-betul membuat bendungan air mata saya pecah. Betapa orang tua, selalu menjadi tempat berpulang anak-anaknya, sedewasa apa pun kita, di hadapan mereka kita tetaplah bocah yang perlu diberi nasehat. 

    "Kenapa Mama tidak datang ke rumah?"

    "Supaya kau tahu rasanya hidup sendirian tanpa anak dan istrimu," katanya tenang dan dalam. Seketika ego dalam dirinya runtuh. Ia ambruk. Menangis sejadi-jadinya.Dari sana Pak Domu menyadari kesalahannya. Ia rupanya tidak benar-benar mengenali istri dan anak-anaknya hanya karena tertutupi oleh egonya sendiri sebagai lelaki Batak. 

    Saya rasa penantian delapan tahun kisah ini sampai berhasil difilmkan tidaklah sia-sia bagi Bene. Semua terbayarkan ketika melihat penonton keluar bioskop dengan mata sembap dan hati yang lapang. Kisah keluarga yang betul-betul menghangatkan. 

    "HORMAS!"

    Kupang, 6 Juni 2022

    Continue Reading
    Captured by @beatrixyunarti14


    "Kalau ada sumur di ladang

    Boleh kita menumpang mandi

    Kalau anda ingin terbang

    Jangan lupa naik Citilink lagi"


    Seorang pramugari melempar pantun lawas itu, ketika saya sedang asyik mengagumi matahari terbit di Kota Kupang dari jendela pesawat. 

    Kami berangkat dari Jakarta Tanggal 24 Mei 2022 pukul 01.55 WIB dan tiba di Bandara Internasional El Tari Kupang pada pukul 06.00 WIT. Panitia sudah berada di luar dan menunggu kedatangan kami sejak satu jam sebelumnya. 

    Perjalanan kali ini saya diajak oleh Duta Baca Indonesia, Gol A Gong untuk mendampinginya bersafari literasi ke Kabupaten Rote Ndao. Undangan ini kami dapat dari Bang Gusty Richarno, selaku Ketua Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT. 

    Ini kali pertama saya berkunjung ke wilayah paling selatan di Indonesia ini. Sebelumnya, saya tahu Rote hanya dari theme song Indomie yang muncul di televisi saja. Saya tak pernah membayangkan bisa datang kemari untuk berbagi ilmu kepenulisan. Banyak hal baru yang saya alami ketika menjadikan hobi menulis ini sebagai profesi. Saya berutang banyak pada kata-kata. 

    Di hari pertama, kami istirahat beberapa jam di penginapan La Hasienda, sebuah hotel bergaya Meksiko, dengan kafe di rooftop yang indah sekali. Setiap detail ornamen betul-betul seperti memindahkan Meksiko dalam satu ruangan—pemiliknya memang pria Meksiko yang menikah dengan perempuan asal Kupang. 

    Kami diajak berkeliling Kota Kupang dan sempat berkunjung ke kantor Gubernur NTT. Jalan, mal, dan jajaran pertokoan di Kupang mengingatkan saya dengan Kota Serang. Akses ke mana-mana pun mudah karena kotanya tidak terlalu besar. 

    Pukul 16.00 WIT kami diantar panitia ke Bandara lagi untuk menyeberang ke Pulau Rote jalur udara. Ada pilihan jalur laut dengan menumpangi kapal cepat atau lambat, tetapi panitia ingin kami lekas sampai ke Rote. Sebab, perbedaan jarak tempuhnya lumayan jauh. Kalau naik pesawat kecil, kami hanya perlu waktu 15 menitan saja. Sementara kalau menaiki kapal cepat bisa lebih dua jam, apalagi kalau kapal lambat—perbedaan waktu ini tentunya berpengaruh pula pada biaya yang mesti kita keluarkan untuk beli tiket, untungnya ditanggung panitia. 

    Perlu diingat, kami datang selain membawa pakaian, kami juga membawa sekardus buku seberat 15 kilogram untuk dibagikan ke sekolah-sekolah yang kami kunjungi. Ini bagian program dari DBI, yakni Hibah Buku untuk Indonesia, bekerjasama dengan berbagai penerbit. 

    ***

    Setibanya kami di Bandara D. C. Saudale, (diambil dari nama Bupati pertama di Rote) kami dijemput oleh abang Gusty dan beberapa pejabat dari dinas pendidikan, kepala sekolah Lobalain serta Bunda Literasi yang akan dikukuhkan besoknya saat acara Literasi Sekolah. 

    Singkat cerita, kami diajak berkunjung menemui Bupati Rote Ndao, Ibu Paulina Haning-Bullu, SE. Kami disambut dan dikalungkan kain tenun khas Pulau Rote dan topi Ti'i Langga. Sore harinya acara pembukaan dimulai dengan diawali tarian dan petikan alat musik khas Rote, Sasando. 

    Malam harinya kami diskusi kecil dengan tim Cakrawala dan membagi tugas. Setiap sekolah negeri mendapatkan jatah 3 hari untuk pelatihan menulis kreatif. Kurang lebih ada 10 sekolah dan waktu 10 hari saya di sini. Beberapa sekolah disatukan. Jadi sekali mengajar kami sudah langsung bertemu perwakilan guru dan siswa dari 3 sekolah. Sebab kami hanya ada 7 tim formatur termasuk saya sendiri untuk mengisi kelas cerpen. Ada Suci, Dian, Umbu, Felix, Beatrix, Baldus. (Sampai tulisan ini diposting, kelas masih berlangsung sampai 5 Juni nanti). 

    ***

    Keesokan harinya kami diantar-jemput oleh masing-masing perwakilan dari sekolah. Ada pula dari Bunda Literasi. Setibanya di sekolah, kami disambut hangat. Saya memegang kelas siswa. Mereka terlihat antusias. Kesulitan yang saya hadapi tentang membangun kepercayaan diri mereka. Tidak mudah untuk meyakinkan kalau mereka punya kesempatan yang sama. 

    Mereka memiliki semangat belajar yang tinggi, tetapi memang, kemudian saya belajar bahwa tidak adil kalau mereka dituntut mesti setara dengan murid-murid di Ibukota atau kota-kota besar. Sebab, secara akses infrastruktur pun jauh berbeda. Ada dari mereka yang mesti menempuh perjalanan 15 km untuk sampai sekolah. Dan, tidak mudah mencari ojek, boro-boro kendaraan yang bisa dipesan online. 

    Siswa-siswi ini harus nebeng dengan ibu guru atau temannya yang satu jalur dengan sekolah. Sebagian jalan raya pun masih rusak. Belum lagi akses mereka dengan buku bacaan. Kalau mau pesan online, mereka harus menanggung ongkos kirim yang berlipat-lipat dari harga yang dipesan. 

    Saya percaya mereka bisa menulis, hanya butuh dibiasakan dan diberitahu apa nanti yang bisa dihasilkan dari kerja kreatif semacam ini. Mereka butuh kepastian. Sebab, selepas mengerjakan tugas di sekolah, sesampainya di rumah mereka harus membantu ibunya bekerja. Tidak semuanya, tetapi rata-rata kesehariannya begitu. Pengakuan dari guru-guru pun begitu, beliau tidak bisa menuntut siswa-siswinya untuk menyelesaikan PR di rumah.

    Media Pendidikan Cakrawala NTT, Duta Baca Indonesia, dan Rumah Dunia, serta para guru dan pemuda di sana mencoba membagikan api semangat itu. Api literasi untuk terus ditebarkan, agar mereka percaya bahwa siapa pun bisa menjadi apa pun dan berhak memimpikan hal yang sama tanpa dibayangi rasa takut. 

    Kepada semua orang-orang baik, terima kasih untuk kesempatan luar biasa ini. 🙏🙏🙏

    Selamat Hari Lahir Pancasila!!! 


    Rote, 1 Juni 2022

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ▼  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ▼  June (5)
        • [Catatan] Rote, Wilayah Paling Selatan Indonesia
        • [Ulasan Film] Ngeri-Ngeri Sedap Tunjukkan Pentingn...
        • [Ulasan Film] Kotak Bayi dan Perjalanan Bertemunya...
        • [Ulasan Film] Paris dan Kisah Hidup Emily yang Rumit
        • Kumpulan Cerpen: Sahut Kabut (Indonesia Tera, 2022)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top