Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    “SEMAKIN banyak orang mengutip ucapanmu, itu menandakan bahwa kau sudah terkenal!”
    “Berhenti menggodaku.”
    “Aku serius!”
    “Aku juga serius!”
    Kau tahu? Ketika dua orang tengah berbincang dan melontarkan kalimat dengan nada kencang, yang terjadi di detik selanjutnya adalah saling diam. Membungkam. Rumah-rumah warga kampung ditelan malam. Laut tampak hitam, legam. Dua orang yang duduk bersisian itu tak saling pandang. Lebih tepatnya mereka mulai tak saling peduli. Kalaupun ada seseorang di tengah laut yang tenggelam atau kapal yang karam, mereka pasti tak akan menggeser posisi duduknya barang satu depa. Sungguh suram. Sungguh runyam.

    Ketika jam kantor usai, mereka berjanji bertemu di pesisir pantai kota C. Pantai yang terkenal dengan panorama alamnya. Biasanya mereka menghabiskan waktu untuk memuaskan matanya menikmati mentari terbenam (bermaksud menghindari kata asing: baca, sunset). Tetapi sore itu berbeda. Ada yang harus diselesaikan, kata lelaki yang masih mengenakan dasi. Orang yang ada di sebelahnya bersetuju. Jadi, dari dua tempat bekerja yang berbeda, mereka bertemu di sana.
    “Sampai kapan kita harus menjalani ini?”
    “Sampai laut mengering.”
    “Konyol.”
    “Sama konyolnya dengan pertanyaanmu.”

    Mereka kembali membisu. Jutaan kata-kata seolah telah habis mereka ucapkan. Burung-burung saling mengepak menyeberangi lautan. Mereka kembali pulang menemui keluarganya di sarangnya masing-masing. Penjaja makanan di sepanjang bibir pantai berbenah. Merapikan barang dagangan yang hari itu tak disentuh barang secuil oleh pengunjung. Satu per satu jiwa manusia di lingkup pantai menyublim. Perlahan menjauh, benar-benar jauh, hingga seolah tak akan kembali lagi sebab langkahnya sudah teramat jauh.
    Dalam pikiran lelaki berdasi, dia tengah bingung menghadapi orang-orang. Setiap kali apa yang ditulis dalam buku-buku karyanya, selalu banyak yang mengutip. Dia membenarkan ucapan orang yang berada di sebelahnya, tetapi justru semakin orang memakai kata-kata rangkaiannya maka semakin besar pula ketakutan yang menjelma dalam hatinya.
    “Aku kotor.”
    “Tak ada manusia yang benar-benar bersih.”
    “Aku mengajakmu kemari untuk membantuku mencarikan solusi. Bukan semakin mempersulitku.”
    “Lantas, apa yang harus aku katakan padamu?”
    “Katakan sebuah solusi.”
    “Solusi,” katanya polos. “Sudah?”
    “Aaarrgghhh!!!”
    Lelaki berdasi geram. Tak dinyana orang di sebelahnya justru semakin memperumit keadaan. Sudah tigapuluh enam purnama mereka lalui bersama, namun kali itu dia dibuat benar-benar dongkol. Pikirannya semakin diliputi bayang-bayang menakutkan. Dia memutuskan untuk tidak menulis lagi. Sebab bila dia melanjutkan, maka hatinya berontak. Aku seperti bermuka dua, keluhnya.
    “Baiknya aku sudahi karir kepenulisanku.”
    “Maksudmu?”
    “Aku ingin hidup tenang. Aku tak mau mati dalam ketakutan.”
    “Aku tak paham....”
    “Kau…” Jari telunjuk lelaki berdasi mengarah ke wajah orang di sebelah yang memasang wajah tak bersalah. Giginya saling beradu menahan kekesalan. Akhirnya dia tak sanggup melanjutkan. Pandangannya redup sesaat memalingkan wajah dari orang di sampingnya. Bumi terus berputar. Waktu kian berjalan. Malam berkelindan. Di sepanjang pantai hanya dijatuhi lampu temaram dan cahaya rembulan.
    Seperti ada yang ingin disampaikan oleh lelaki berdasi itu namun lidahnya tertahan. Orang di sebelahnya menjatuhkan kepala pada kedua paha lelaki berdasi. Lelaki berdasi bergeming. Dia tengah memikirkan sesuatu yang selama ini ditulisnya. Apa mungkin itu bagian dari dosa? Dia banyak menulis perkara agama samawi. Menjelaskan soal hukum agama dan larangannya. Itu semua tak terlepas dari jurusannya di masa kuliahnya dahulu. Namun sejak minggu-minggu kemarin, namanya semakin melejit. Mendapatkan undangan dari sana-sini untuk mengisi seminar motivasi dan mengisi kuliah meski dia pun memiliki pekerjaan tetap di sebuah perusahaan sebagai seorang Manajer. Semua yang dituliskannya dengan apa yang dikerjakannya selama ini, hanyalah kemunafikan belaka.
    “Aku mau menikah.”
    Mendengar ucapan yang tiba-tiba itu sontak membuat orang yang bermanja di kedua pahanya terlonjak. Dia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Sementara lelaki berdasi menundukkan kepalanya dalam. Seperti ada beban yang harus segera dia lepaskan hari itu juga.
    “Aku belum siap….”
    “Bukan….” Lagi-lagi lelaki berdasi tercekat. Dia menangkis cepat. Kepalanya berulang-ulang menggeleng. Tiba-tiba dia tak sanggup mengendalikan air mata yang jatuh berlinang. Dia membiarkan sang ombak di hadapannya berdebur berkali-kali membentur karang, kemudian melanjutkan ucapannya. “Semua ini tentang pilihan.”
    “Apa maksudmu? Sejak tadi kau bertingkah aneh. Ucapanmu tak jelas. Apa sebenarnya tujuanmu mengajakku bertemu di sini. Apa sesungguhnya yang ingin kau katakan, Wisnu?”
    “Aku…, aku akan menikah dengan seorang gadis. Dia teman kerjaku di kantor. Aku ingin merasakan kehidupan yang sebenarnya.”
    “Apa selama ini hanya kepura-puraan saja yang sedang kita jalani? Hah?!”
    “Hidup adalah tentang pemakluman-pemakluman. Dan anggaplah hubungan kita ini sebagai pencarian jatidiri.”
    Hanya desauan angin yang terdengar berikutnya. Isak tangis datang menyusul. Kali ini giliran orang yang mengenakan kemeja lengan pendek itu. Lelaki berdasi kesulitan menghadapi ini semua, namun dia sudah berani mengambil keputusan. Berhari-hari dia menantikan hari itu tiba dan terjadilah sudah. Dia memberikan pelukan terakhirnya. Berbisik tentang rencana-rencana yang akan dilakoninya dalam kehidupan barunya nanti.

    “Aku sekarang mengerti. Dalam hidup memang selalu ada pilihan. Aku terima keputusanmu meski berat.”
    “Kau tetap akan menjadi sahabat terbaikku. Hadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nantinya.”
    “Boleh aku meminta sesuatu padamu? Mungkin ini menjadi permohonan terakhirku.” Dia menghela napas. Kemudian mengembuskannya dengan teramat berat.
    “Katakan saja, Chris…”
    “Masih banyak orang yang mencintaimu. Maksudku…, mencintai karya-karyamu. Kumohon, janganlah berhenti menulis. Aku percaya bahwa segala sesuatu di bumi ini hanyalah tentang pilihan-pilihan yang sulit. Tetapi, menulis bukanlah sebuah pilihan. Kau yang lebih paham itu, sayang…”
    Raut muka lega terpancar seketika dari lelaki yang bernama Chris itu. Dia mendekapkan tangannya di bahu Wisnu yang kekar dan tegap. Lalu memeluknya erat, seolah belum siap untuk kehilangan sosok tinggi besar itu dalam hidupnya.
    “Aku akan penuhi permintaanmu. Terima kasih, Chris!”
    Angin membawa terbang pasir-pasir pantai. Pohon nyiur yang berjajar tak henti melambai-lambai. Mereka seperti merestui keputusan yang Wisnu ambil. Lelaki berdasi biru itu mengangkat tangan kiri di hadapan wajahnya. Jarum jam menapaki angka sembilan. Perahu-perahu cadik mengapung mendekati pesisir. Orang-orang kampung keluar rumah. Mereka menghampiri perahu seraya membawa pelita. Saling bahu-membahu mendorong perahu ke daratan. Suhu dingin menjalari tubuh besar dua orang yang memiliki warna kulit saling berlawanan itu. Keduanya masih menghadap ke hamparan laut nan tenang.

    Aroma ikan asin yang dijemur warga pesisir sejak pagi tadi masih merebak. Mengusik naga di perut mereka yang lapar dan memaksanya untuk segera bangkit. Keduanya perlahan melangkah menjauhi pantai. Meninggalkan jejak kisah yang sudah dibangun sejak tiga tahun silam. Dari sana bermula dan dari sana pula berakhir. 
    Wisnu tersenyum lapang: ada cerita baru yang nanti akan aku tulis, batinnya. Esok. Lusa. Hingga nanti waktu yang akan menghentikannya.[]

    Cilegon, 03 Desember 2014

    Continue Reading
    image by ibtimes.co.uk
    Awal September lalu, saya menghadiri acara Festival Seni Multatuli 2018 di Museum Multatuli, Lebak, Rangkasbitung. Sebuah konsep acara yang mengangkat satu nama tokoh pergerakan di masa kolonial. Melalui novel masterpiece-nya yang berjudul, Max Havelaar (1860), Multatuli, atau yang bernama asli Eduard Douwes Dekker menolak sistem pemerintahan dan mengkritik perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Padahal, ia sendiri lahir di Amsterdam, Belanda. Berkat karya heroik itulah namanya dikenang hingga 100 tahun kepergiannya.

    Berbagai tema diskusi dan pertunjukkan seni ditampilkan, mulai dari simposium pascakolonial bersama sejarawan dan budayawan, musikalisasi puisi, drama musikal, menyanyikan lagu-lagu perjuangan hingga menerbitkan buku antologi puisi berjudul, Kepada Toean Dekker (FSM, 2018), yang ditulis oleh penyair se-Indonesia yang telah dikurasi sebelumnya oleh dewan juri yang kompeten.

    Artinya, kita patut berbangga bahwa warga Lebak masih apresiatif terhadap tokoh pergerakan di masanya, yang konon dulu membela masyarakat Lebak dari penindasan—sekalipun ia terlahir dari tanah para penjajah. Lalu, apakah tokoh-tokoh yang lahir dan besar di Banten, bahkan membawa citra baik Banten hingga ke kancah Internasional sudah mendapatkan apresiasi serupa?

    Sekadar menyebutkan, ada satu tokoh, ulama besar dari Indonesia yang lahir di Provinsi Banten, tepatnya di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara (Tirtayasa), Kabupaten Serang pada tahun 1230 H./1813 M. Beliau adalah Muhammad Nawawi atau lebih dikenal dengan julukan Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Lahir dari orang tua bernama Syekh Umar bin Arabi dan Zubaidah.

    Di usia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar agama Islam langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama di kampungnya. Beliau mempelajari bahasa arab, fiqih, tauhid, alquran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, beliau berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama termasyhur di Banten saat itu. Kemudian, Syekh Nawawi melanjutkan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf, Purwakarta.

    Sejak kecil beliau memang sudah memperdalam ilmu agama. Bahkan di usia limabelas tahun, beliau pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama masyhur di tanah suci Mekah. Ketika dirasa telah mumpuni dengan keilmuan yang diperolehnya, beliau mengajarkan kepada murid-muridnya di Masjidil Haram. Beberapa muridnya yang berasal dari tanah air bahkan telah menjadi ulama besar dan mendirikan pondok pesantren, di antaranya yakni: K.H. Hasyim Asyari (Jombang, pendiri Nadhlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Syekh Kholil al-Bangkalani (Madura), K.H. Asyari (Bawean), K.H. Tubagus Asnawi (Caringin), K.H. Hasan Genggong (Jawa Timur, pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong), K.H. Mas Abdurrahman (Pandeglang, pendiri Mathla'ul Anwar), Syekh Arsyad Thawil al-Bantani (Tanara, pejuang Geger Cilegon 1888) dan masih banyak lagi.

    Nama Syekh Nawawi kian masyhur setelah beliau diberi amanah untuk menjadi imam besar di Masjidil Haram menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekah dan Madinah, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan pun namanya harum. Ketokohannya sebagai ulama juga terbukti pada karya-karya intelektualnya, yang telah menuliskan sekitar 115 kitab, yang meliputi kitab ilmu fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist.

    Salah satu karangannya yang fenomenal dan monumental adalah Tafsir al-Munir. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya beliau menulis, Tanqih al-Qaul. Khusus di bidang Ilmu akidah ada Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Dalam bidang Ilmu Fiqih yakni beliau menulis kitab Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Untuk kalangan santri di daerah Jawa, ada syarah’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain yang sering dijadikan kajian. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawwuf, beberapa karyanya yang populer adalah Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi.

    Tak heran, banyak sekali julukan yang beliau terima baik dari ulama Arab Saudi maupun ulama dari dalam negeri. Di Indonesia sendiri, beliau mendapat predikat sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia. Sampai di sini, bukankah telah cukup mumpuni dan tak perlu diragukan lagi untuk diselenggarakannya Festival Kitab Kuning di Banten? Tetapi sejauh ini, saya belum menemukan apresiasi yang cukup besar dan pantas terhadap karya beliau dari pemerintah Banten sendiri. Padahal, kita perlu menghadirkan tokoh atau role model untuk dikenalkan, atau diberi semacam penghargaan atas karya dan dedikasinya dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya pengarang kitab kuning (mushanif), apalagi sampai membawa nama baik Banten ke kancah internasional. Beliau wafat dan dimakamkan di  Hijaz, Mekah pada tahun 1314 H/1897 M. Meski beliau telah tiada, tetapi, sampai hari ini, karyanya terus dikaji dan dipejari oleh para generasi santri dan akademisi di perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri.
    Belum lagi, selain Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sebagai ulama, beliau juga seorang pejuang di masa pemerintah Hindia Belanda—tahun lahir Syekh Nawawi hanya selisih tujuh tahun dengan Multatuli. Setelah tiga tahun bermukim di Mekah, Syekh Nawawi kembali ke tanah kelahiran, namun sesampainya di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat.
    Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 M.), hingga akhirnya ia kembali ke Mekah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 masehi.
    Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.[1]

    Dari jejak sejarah di atas, melihat jasa-jasa besar beliau untuk negeri ini, menurut saya, apresiasi semacam dibuatnya Festival Kitab Kuning atau sejenisnya adalah sebuah keharusan, karena berguna untuk menambah pengetahuan dan memupuk kebanggaan, khususnya untuk santri, umumnya untuk masyarakat Banten sendiri. Juga bisa dijadikan motivasi bagi para generasi milenial bahwa untuk mengisi hari-hari bisa dengan belajar menulis dan mengkaji karya-karya para pendahulu.

    Dengan begitu, kita bisa meningkatkan produktivitas yang bernilai positif. Adapun, untuk pelaksanaannya sendiri, Presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu, telah mengukuhkan Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober. Artinya, pemerintah setempat, bekerjasama dengan pondok pesantren bisa menyelenggarakan Festival Kitab Kuning bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Ini bisa dijadikan momentum untuk menyatukan para santri dan mendekatkan diri dengan masyarakat di Provinsi Banten.

    Cilegon, 19 Oktober 2018


     *) pernah dimuat di laman Perpusda Banten: [KLIK]





    [1] Solahudin, M. (2012). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama. ISBN 9786029872026.

    Continue Reading
    image by: www.radarbanten.co.id
    Terlahir dan besar di Provinsi Banten tak berarti saya kebal bacok dan mampu membengkokkan besi baja dengan tangan kosong. Kemistisan dan kejawaraan di wilayah taklukan Kerajaan Cirebon (1472-1473) ini masih sangat kental. Sering kali, ketika saya sedang di luar kota, iseng bertanya pada beberapa orang, “apa yang kamu tahu tentang Banten?” hampir dari mereka menjawab sama: debus. Kesenian debus memang sangat dikenal karena memiliki daya magis dan daya tarik tersendiri. Ketika daerah-daerah lain memiliki budaya dan kesenian di daerahnya berupa seni tari dan alat musik, warga Banten dengan gagahnya datang membawa parang lalu digorok-gorokkan ke lehernya sembari berseloroh, “saguru saelu ulah ngaganggu” di atas pentas.

    Stereotip Banten sebagai “tanah jawara” masih kita dengar hingga hari ini. Bahkan, artis-artis bila sedang di acara televisi, selalu mengatakan “berguru di Banten” ketika berlagak menunjukkan kekuatan fisiknya. Apakah kita sebagai orang yang lahir dan besar di Banten senang dengan hal itu?

    Sejujurnya saya sangat ingin Banten dikenal lebih jauh dari itu. Bukan tak bangga, tetapi amat disayangkan bila potensi lainnya yang ada di Banten tenggelam begitu saja. Banten punya sejarah kemenangan dan kemakmuran di masa kerajaan dulu, di bawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanudin. Selain itu ada potensi obyek wisata yang bisa dikomersilkan dan jadi “barang dagangan” dengan segala keeksotisannya. Curug atau air terjun pun banyak di beberapa daerah yang belum terekspos khalayak ramai. Juga pantai yang mestinya mendapatkan perhatian dan perawatan yang baik dari pemerintah setempat.

    Sekadar menyebutkan semisal Pantai Tanjung Lesung dan Pantai Sawarna adalah Kawasan yang sudah diajukan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus sejak tahun 2012 dan KEK Tanjung Lesung sudah resmi beroperasi sejak 23 Febuari 2015. Pengembangan KEK Tanjung Lesung difokuskan untuk kegiatan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tetapi pengelolaannya sekarang menurun, sehingga wisatawan tak begitu ramai. Harus ada upaya peningkatan baik secara strategi promosi maupun kolaborasi dengan pemuda kreatif.

    Namun, dari semua itu yang paling menggiriskan, beberapa tahun terakhir Provinsi Banten dikenal dengan sarang koruptornya. Satu per satu pejabat daerahnya terlibat penyalahgunaan uang negara. Mulai dari Gubernur, Walikota hingga tingkat lurah sekalipun. Beritanya tak main-main, menemus hingga media nasional dan menjadi headline di berbagai media cetak maupun online. Wajah-wajah mereka berseliweran di televisi sebagai seorang kriminal. Membawa nama Banten, putra daerah dengan gelar “tubagus” dan “ratu”—gelar kebangsawanan masyarakat Banten di masa kerajaan.

    Belum lagi soal kejawaraan yang disebutkan di awal. Superioritas sebagai pribumi masih sering menghinggapi orang-orang Banten. Makna kejawaraan kini bergeser maksudnya dari arti sebenarnya. Ia bukan lagi memiliki arti pendekar atau warga yang selalu melindungi orang lain, tetapi lebih ke memanfaatkan penyematan “jawara” untuk keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.

    Ambil contoh, ketika kami sedang syuting untuk film, “Tirtayasa”, kami membuat semacam gubuk. Sehari setelahnya ketika kami cek lokasi, gubuk itu dibongkar secara sepihak (padahal belum kami pakai untuk syuting). Saat ditanya, kurang lebih mereka mengatakan kalau kami belum membayar tempat atau uang keamanan. Padahal, kami sudah mendapatkan izin dari kepala daerah setempat dengan surat bertandatangan. Artinya, kita tidak akan pernah maju dalam berpikir. Perlakuan “pungli” macam itu bukan sekali terjadi. Orang-orang Jakarta, yang hendak memakai setting daerah Banten untuk garapan filmnya selalu terhenti oleh perlakuan mereka yang sok jagoan itu. Sialnya pungli itu terus-terusan terjadi sampai proses syuting selesai. Mereka memanfaatkan keberadaan kami. Akhirnya, orang-orang Jakarta atau Production House itu menyerah. Mereka memilih untuk ambil lokasi syuting lain yang di rasa jauh lebih aman.

    Alih-alih “uang keamanan” bikin aman, ini malah bikin khawatir dan tidak nyaman. Cara mereka memperlakukan pendatang sangat tidak patut untuk terus dilestarikan. Coba bila cara berpikir mereka terbuka, seharusnya mereka senang ada sutradara film yang tertarik mengangkat daerah Banten sebagai lokasi syuting. Karena bisa bersinergi dan menaikkan ekonomi warga setempat. Bukan malah memanfaatkan demi keuntungan pribadi dan membikin sineas kapok.
    Tentu saja saya tidak bicara keseluruhan, saya hanya menggarisbawahi sebagian dari orang Banten atau yang mengaku orang Banten dan merasa memiliki wilayah kekuasaan di daerahnya. Sayangnya, sebagian besar warga Banten memang semacam itu.

    Saya sangat yakin Banten di masa depan bisa kembali berjaya. Besar di luar dan dikenal bukan lagi sebagai wilayah dengan banyak koruptor dan jawara, selama kita mau sama-sama berbenah sejak hari ini.

    Wisata ziarah perlahan sudah mulai membaik. penziarahan di Banten Lama sudah dalam proses renovasi dan perbaikan, saya sangat mengapresiasi itu. Di tangan pemimpin Banten yang sekarang, saya berharap banyak sekali perubahan baik yang terjadi. Paling tidak, janji-janji sewaktu kampanye bisa terealisasi di masa jabatannya. Kepesimisan atau keapatisan kita terhadap pemimpin daerah, saya harap bisa segera hilang dengan datangnya pemimpin yang baru. Kita sudah terlalu sering dikecewakan oleh pemimpin-pemimpin terdahulu ketika Banten mulai memisahkan diri dari Jawa Barat.

    Di usianya yang ke-18 sudah semestinya Banten bersolek. Warganya mesti open-minded dengan perubahan zaman yang terus bergerak. Kalau kita tidak bergerak, kita akan tertinggal dan tergerus zaman. Pemuda Banten sudah semestinya muncul dengan ide dan gagasan besar. Membawa kreativitas dan inovasi dalam berbagai hal. Bukan lagi menjadi warga konsumtif yang tidak produktif menghasilkan karya.

    Kita memang berjaya di masa lampau, tapi bukan berarti kita mesti merasa cukup dengan hal itu. Di masa depan, kita mesti kembali berjaya dan melanjutkan tongkat estafet kejayaan Banten agar gaungnya didengar seantero nusantara. Di tanah ini lahir Bapak Kitab Kuning Indonesia, Syekh Nawawi Al-Bantani, pengarang kitab termasyhur hingga hari ini. Tidak menutup kemungkinan di masa depan Banten bakal melahirkan tunas-tunas baru, penulis paling masyhur berikutnya dan menginspirasi dan membawa perubahan di negeri tercinta ini.

    Berkhayal boleh, selama masih realistis dan memungkinkan untuk kita wujudkan. Dirgahayu Banten, mendewasalah!

    Cilegon, 16 November 2018

    Continue Reading
    image by: www.tribunnews.com

    Membicarakan puisi seperti membicarakan seorang kekasih, tak pernah ada ujungnya; yang satu selalu menghadirkan makna baru, satu lainnya selalu memberikan kenikmatan yang baru. Kedua hal itu perlu dimiliki seorang kekasih dan ketika hendak menghadirkan puisi. Agar selalu ada rasa penasaran yang terus timbul yang membuat hubungan baik terus terawat. Hal demikian diamini oleh Linda Christanty, seorang jurnalis dan sastrawan, ia menulis, “semakin banyak yang kuketahui tentang dirinya, semakin ia tak menarik lagi. Hubungan kita bisa panjang, karena aku tak tahu seluruhnya tentang dirimu”.

    Dewasa ini, orang-orang semakin keranjingan puisi. Bisa kita temui di media-media sosial yang begitu menjamur. Netizen gemar mengutip puisi seorang penyair untuk merayu kekasihnya atau membuat orang-orang di sekelilingnya kagum. Apalagi setelah ada banyak film-film remaja yang tokohnya jago membuat kalimat-kalimat puitis macam di film Ada Apa Dengan Cinta atau yang terbaru Dilan 1990. Puisi telah dijadikan sebuah tren tersendiri di mata awam. Bahkan ditransformasikan ke media lain semacam video lirik yang tengah booming di jagat per-youtube-an. Sifatnya yang personal dan menggugat, kini fungsinya bisa bernilai hiburan dan sekadar untuk seru-seruan. Demi meraup ciye-ciye dari para pembaca dan menambah jumlah pengikutnya (followers) di Instagram, Twitter maupun media lainnya.

    Namun demikian, tidak berarti orang yang semula tekun mendalami puisi-serius memilih mengikuti tren dan beralih menulis puisi-populer bertema cinta-cintaan. Meski arusnya kuat, tetapi ia tetap kokoh dengan kekonsistensiannya di jagat perpuisian. Orang yang mau bersusah payah itu bernama Muhammad Rois Rinaldi, penyair muda kelahiran Kramatwatu, Serang yang lebih banyak bergiat di Komunitas GAKSA, Kota Cilegon.

    Buku tunggal pertamanya berjudul, Terlepas (Pustaka Jaya, 2015) berhasil mencatatkan namanya sebagai penyair Banten yang fokus mengangkat kegelisahan dan ketimpangan yang ada di Provinsi Banten, dengan perspektif dan sudut pandang seorang penyair. Ia detil dan berhasil menuliskan sesuatu yang orang anggap sepele menjadi sesuatu yang perlu kita renungkan dan perbaiki bersama. Bukunya itu juga meraih penghargaan dari E-Sastera Malaysia sebagai buku terbaik 2005-2015 posisi kedua. Tak cukup sampai di sana, penghargaan demi penghargaan berhasil ia sabet, sekadar menyebutkan beberapa di antaranya yakni: Anugerah Penyair Siber Asean 2016 (E-Sastera Malaysia), Tokoh Sasterawan Alam Siber 2015 (E-Sastera Malaysia), Anugerah Utama Penyair Alam Siber 2015 (E-Sastera Malaysia), Anugerah Utama Puisi Dunia (Numera Malaysia, Maret 2014) dan Anugerah Penyair dan Tokoh E-Sastera Indonesia 2013.

    Tahun ini, rupanya ia juga tak mau lekas berpuas diri. Ia kembali dengan membawa sesuatu hal yang baru, tentu saja puisi. Yang membedakan dengan puisi-puisi sebelumnya adalah pada bahasa yang ia gunakan. Sebagai lelaki yang lahir dan besar di tanah Banten, ternyata ia tidak mau melupakan itu. Cara ia berterima kasih, salah satunya dengan menuliskan puisi berbahasa Jawa Banten. Buku itu ia beri judul Beluk (Gaksa Enterprise, 2018).
    doc. pribadi
    Dalam satu kesempatan, sewaktu ia ditanya kenapa menulis puisi Bahasa Jawa Banten, ia mengatakan karena belum ada sastrawan Banten modern yang menuliskannya, “Saya harus menulisnya sebagai pembuka,” katanya melalui pesan WhatsApp. “Saya juga mewarisi Bahasa Jawa Banten dari lahir, baik yang bahasa surah kitab, bahasa bebasan atau bahasa harian. Maka saya merasa perlu mentransformasikan itu kepada generasi selanjutnya apalagi generasi Banten hari ini.”
    Ia juga menyampaikan kekhawatirannya tentang penggunaan Bahasa Jawa Banten yang jarang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di Banten. Mungkin kurang dari 30 persen pengguna Bahasa Jawa Banten saat ini. “Bisa jadi, sepuluh tahun mendatang, atau satu generasi mendatang mungkin tinggal 5 persen pengguna Bahasa Jawa Banten”, katanya serius.
    Menulis Bahasa Jawa Banten tentu memiliki kesulitannya tersendiri. Rois mengakui, kesulitannya adalah ketika mentransformasi kebiasaan menggunakan Bahasa Indonesia ke bahasa daerah. Karena struktur bahasa berbeda, idiom juga berbeda, pola mindset juga berbeda. Untuk merampungkan buku puisi Beluk ini sendiri, ia membutuhkan empat tahun untuk sedikit beradaptasi dengan pola-pola Bahasa Indonesia agar tidak terjebak di sana dan menemukan pola Bahasa Jawa Banten.

    Ali Faisal, SH., MH., ME, Anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Banten periode 2017-2022, yang juga menulis pengantar dalam buku ini mengakui kesulitan itu. Dalam pengantarnya yang berbahasa jawa ia menulis, “Tembenan niki kulÄ“ ngÄ“wacÄ“ puisi sing ditulis ngÄ“ngge bahasÄ“ JawÄ“ Banten. Lagi damÄ“l puisine saos angel, napik malih puisi ingdalÄ“m bahase JawÄ“ Banten. KakÄ“ Rois sampun ngÄ“baktekakÄ“n sÄ“kalihe.”—baru kali ini, saya membaca puisi yang ditulis dalam Bahasa Jawa Banten. Menulis puisinya saja sudah susah, apalagi menulis puisi dalam bahasa Jawa Banten. Rois sudah membuktikan keduanya.

    Di Indonesia sendiri, pada masa di bawah penjajahan Hindia Belanda, penerbit Balai Pustaka cukup serius menerbitkan buku-buku berbahasa daerah. Tujuan didirikannya untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama, melingkupi bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu dan bahasa Madura.
    Jauh setelah itu, yakni tahun ini, Dinas Kebudayaan (Disbud) di Sleman menerbitkan majalah berbahasa jawa yang diberi nama Memetri. Singkatan dari memasah endahing manah emut trapsilaning rasa ingwang. Maknanya mengasah keindahan hati untuk membentuk jati diri manusia menuju perilaku dan budi pekerti yang luhur. Tujuannya tak lain untuk melestarikan bahasa Jawa daerah Sleman.

    Menurut catatan, surat kabar berbahasa Sunda pertama yang diterbitkan di Bandung adalah Sora-Merdika pimpinan Moh. Sanoesi. Tahun I No. 3 terbit pada tanggal 1 Mei 1920. Di zaman pendudukan Jepang semua surat kabar yang ada di Bandung dan Jawa Barat ditutup. Semuanya disatukan menjadi satu penerbitan yaitu surat kabar Tjahaja di bawah pengawasan Sendenbu. Pimpinan Tjahaja pada waktu itu ditunjuk Oto Iskandar Di Nata dan Bratanata.
    Setelah proklamasi kemerdekaan, di masa “Negara Pasoendan” diterbitkan Harian Persatoean yang terakhir dikelola Djawatan Penerangan pada waktu itu. Selanjutnya pada tahun 1950-an terbit “Harian Pikiran Rakjat” yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk, menayangkan berita dalam bahasa sunda. Tahun 2016 di Bandung terbit Majalah Simpay Pasundan, majalah yang khusus berbahasa sunda dan terbit perbulan.

    Di Provinsi Banten sendiri, ada Majalah Kandaga yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Banten. Ada satu kolom khusus yang menayangkan puisi berbahasa daerah; Jawa dan Sunda Banten. Rois, sewaktu ditanya adakah penulis lain yang menekuni bahasa daerah ia malah menanyakan balik, daerah mana yang dimaksud? Untuk beberapa daerah seperti Banyumas dan Jawa Timuran, cukup banyak penulis atau penyair yang concern menulis puisi bahasa daerah dan menerbitkannya. Sedangkan, menurut Rois sendiri, jika di Banten, belum ada penyair yang menulis puisi bahasa Jawa Banten dalam pengertian serius. Kalau yang sekadar menuliskannya ketika diminta memang ada, tetapi yang konsisten menulis belum tertangkap dalam radarnya. Meski begitu, untuk sekarang ada indikasi dua penyair yang sedang menggarap buku bahasa Jawa Banten; Encep Abdullah dari Pontang dan K.H. Mukti Jayaraksa asal Kota Cilegon.
    Pertanyaannya kemudian, Bisakah menulis puisi dalam Bahasa Jawa Banten ini dijadikan sebuah tren semisal apa yang sudah disebutkan di pembuka tulisan ini?

    Ketika mendapati pertanyaan seberapa perlu penulis muda Banten menulis karyanya dalam bahasa daerah, Rois menanggapinya dengan sebuah pertanyaan lagi, “Saya, sih, tidak merasa mereka harus, tapi saya tanya lagi, merasa perlu tidak? Sebagai pegiat literasi, pegiat bahasa dan pegiat kesusastraan, kalau melihat dari perspektif kebudayaan dan warisan kultural, kira-kira merasa perlu atau tidak? Kalau secara pribadi dari saya, saya tidak perlu mengatakan perlu,” tandasnya.

    Pada akhirnya, menjadi tren atau tidak, kembali lagi pada proses penempaan setelah karya itu terbit dan sampai ke tangan masyarakat pembaca. Akan ada semacam penilaian dan seleksi alam di sana, tugas penulis sebenarnya telah selesai ketika karyanya sudah menjadi milik khalayak. Tinggal ia seberapa konsisten dalam membangun keseriusannya menulis puisi-puisi berbahasa daerah. Akankah ini sebagai proyek coba-coba belaka atau memang benar-benar hasil dari perenungan dan dedikasinya sebagai sumbangsih untuk tanah kelahiran?
    Cilegon, 24 Oktober 2018



    ________________________________
    *) esai ini pernah dimuat di: www.bantennews.co.id
    Continue Reading
    image by: www.shopee.co.id


    Judul      : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat
    Penulis   : Mark Manson
    Penerbit : Grasindo
    Cetakan : ke-7 Agustus, 2018
    Tebal      : 258 halaman
    ISBN     : 978-602-452-698-6


    Banyak sekali dengan mudah kita temui buku-buku motivasi yang mengajarkan pembacanya agar menjadi sukses, kaya raya dan hidup berkecukupan. Seolah kebahagiaan manusia adalah menjadi sukses dengan harta dan material belaka. Sebagian lainnya memang ada yang menulis tentang kiat menjadi bijaksana dan mapan. Namun, selama ini, perspektif yang dipakai selalu sama, yakni kacamata positif. Kita seolah bersepakat untuk mengatakan bahwa satu perilaku negatif tetap akan bernilai negatif. Beruntungnya, Mark Manson menemukan perspektif lain dari satu kata negatif: bodo amat.

    Dalam buku pertamanya ini, Mark melihat bahwa sikap bodo amat adalah sebuah seni. Dengan memakai tagline, “pendekatan yang waras demi menjalani hidup yang baik” Mark berhasil menduduki ranking pertama buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail. Bukan hanya itu, bukunya pun diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia.

    Blogger kenamaan yang tinggal di New York ini membagi 9 bab dalam bukunya. Pendekatan yang dipakai adalah bentuk narasi seperti novel. Tidak serupa dengan buku motivasi kebanyakan, Mark tampaknya lebih senang berbagi dengan teknik bercerita. Ia selayaknya kawan di kafe atau kedai kopi pinggir jalan, lalu bercerita apa pun yang ia kehendaki. Terlepas ada pesan moral maupun tidak dari apa yang disampaikan, ia terus saja berkisah secara jujur tanpa menutup-nutupi dan terkesan ingin dipuji.

    Di bab pertama, Mark memberikan satu pandangan kepada pembacanya melalui kisah Bukowski penulis besar asal Amerika. Bukowski dipandang sukses, pantang menyerah, percaya diri dan gigih melawan rintangan. Kenyataannya, di atas batu nisannya, Bukowski meninggalkan pesan: “Jangan berusaha”. Meski bukunya laris, sosoknya terkenal, mendapatkan kegemilangan sebagai penulis, Bukowski dulunya adalah pecundang.

    Keberhasilannya bukan hasil kegigihannya untuk menjadi seorang pemenang, namun dari kenyataan bahwa ia tahu kalau dirinya pecundang, menerimanya, dan kemudian menulis secara jujur tentangnya. Ia tidak pernah mencoba untuk menjadi selain dirinya sendiri (hlm. 3).
    Berbeda dari motivator kebanyakan, Mark tidak berusaha mengajak orang lain untuk berusaha keras dalam meraih sesuatu. Di sanalah letak bodo amat yang seolah ingin ia sampaikan. Alih-alih menulis “jangan menyerah”, ia malah memilihkan frasa “jangan berusaha” untuk diterapkan para pembacanya di kehidupan yang keras ini. Menerima keadaan diri sendiri, seburuk apa pun, dengan setulus hati adalah bentuk pertama dari kebijaksanaan.

    Sering kali, orang-orang di lingkungan sekitar kita, seolah memaksa kita untuk menjadi orang lain, menjadi apa yang mereka inginkan, bukan yang kita maui. Di lain bab Mark mengatakan kalau kita tidak istimewa. Sejak sekolah dasar, kita selalu diminta untuk meyakinkan diri kalau kita semua terlahir istimewa, padahal, kalau semua istimewa artinya tidak ada lagi yang istimewa, karena kita semua sama dan setara.

    Meyakinkan diri sebaga makhluk yang spesial, merupakan sebuah strategi yang gagal. Ini hanya membuat Anda “tinggi” / nge-fly. Tapi, itu bukan kebahagiaan. Pengukuran yang benar tentang penghargaan diri seseorang bukan pada bagaimana seseorang merasakan pengalaman positifnya, namun lebih pada bagaimana dia merasakan pengalaman negatifnya (hlm. 55).

    Jujur pada keadaan diri sendiri, berkata apa adanya pada siapa pun tanpa melebih-lebihkan pencapaian kita adalah bentuk dari kebijaksanaan. Pada satu titik, kita mesti berani memutuskan untuk berkata “bodo amat” untuk hal-hal yang memang tidak kita senangi.

    Bahkan, dalam bab 8 Mark menyampaikan pentingnya berkata “tidak” kepada orang yang mengajak kita pergi ke suatu tempat atau bergabung ke satu kelompok tertentu. Penolakan membuat hidup Anda lebih baik (hlm. 197). Mark berhasil mematahkan pendapat dan merobek-robek buku motivator lain lewat bukunya ini.[]

    Cilegon, 31 Oktober 2018

    Continue Reading


    image by @iyddesign

    Saat lagi asyik berselancar di Instagram, tiba-tiba postingan Coki Pardede muncul di news feed saya. Dia mengunggah video berjudul, “Debat Kusir - Episode Terakhir” dengan tumbnail bertuliskan “Coki Muslim Pamit” dan dua topi tergeletak di meja. Segera saya klik, karena video yang ada mereka biasanya jaminan kelucuan nan HQQ. Tapi, sepanjang video berdurasi 7.05 menit itu tak nampak tektok jokes dari mereka. Keduanya bicara serius dan mengklarifikasi soal kasus yang sedang santer menimpa mereka.

    Di menit terakhir mereka menyampaikan undur diri dan pamit dari dunia per-standup-an. Di beberapa detik terakhir, saya masih menunggu “tapi boong” dan #hiyahiyahiya dari mulut jail Muslim maupun Coki—seperti video sebelumnya ketika membahas Atta Halilintar. Sialnya nihil. Saya kembali ke akun instagram mereka, rupanya semua postingan mereka yang berkaitan dengan MLI telah mereka hapus/disembunyikan. Bahkan cuma ada satu video itu di galeri Instagram Coki. Menyedihkan sekali....

    Penganut agama Islam makin hari makin dikenal sebagai agama yang mudah mara-mara. Hampir semua media mencitrakan itu. Untuk mengerti ilmu agama, kini seolah tidak perlu lagi bertemu dan meng(k)aji langsung ke para ahli, ulama dan kiai. Cukup sediakan kuota internet, ketikkan keyword pada kotak pencarian browser kamu, lalu tekan enter. Semua hadist, penggalan ayat Alquran berikut terjemahannya deras muncul di layar monitor atau smartphone kamu.

    Tak perlu pendalaman ilmu agama, kamu telah menjelma umat paling cerdas seantero dunia maya. Misal, ada seorang teman ketika salah sedikit dalam mengeluarkan pendapat lewat statusnya, kamu datang dengan sigap mengutip ayat-ayat Alquran dan menyampaikan lo salah gue yang bener, di kolom komentarnya. Bulian-demi-bulian datang, bahkan kamu sendiri yang sengaja mengundang orang-orang yang dalam #golongankami untuk nimbrung menceramahi. Persekusi di media sosial sudah bukan lagi barang langka. Justru toleransi beragama dan berpendapatlah yang telah pudar. Terus saja begitu, tanpa mau menghadirkan diskursus yang serius atau membuka ruang diskusi di dunia nyata.

    Di grup-grup WhatsApp misalnya, ada satu anggota yang meneruskan artikel soal PKI. Ketika itu saya bilang jangan bahas di grup chat, kalau mau mari ketemu, kita bikin diskusi khusus membahas tema tersebut dan undang semua anggota grup, kita hadirkan para pakar yang mengerti soal sejarah PKI yang ada di Indonesia. Tapi apa jawabannya, dia bilang saya cuma meneruskan dari grup sebelah, intinya jangan biarkan PKI bangkit kembali. Di akhir balasannya dia menulis, “biar rame aja grupnya”, lalu dia menghilang dan tak tahu arah jalan pulang dan tidak menanggapi tawaran awal saya.

    Banyak orang-orang di sekitar kita, atau bisa jadi kita sendiri, telah menjelma monster itu. Kita membatasi banyak sekali ide kreatif orang lain hanya karena cara berpikirnya berbeda dengan orang kebanyakan. Yang terjadi kemudian, ketika ada pernyataan atau candaan yang tak lazim mencuat, semua kaget, tak percaya, dan meyakinkan diri kalau ia salah—dan tak pantas mendapatkan maaf. Itulah yang dialami Coki Pardede dan Tretan Muslim, dua orang sahabat lintas agama yang dipersatukan oleh Stand Up Comedy Indonesia.

    Nama mereka santer terdengar saat bersama-sama membuat akun @majelislucuindonesia (MLI) di Twitter. Fokus awalnya adalah menilai jokes-jokes content creator lain menggunakan alat ukur yang mereka standardisasikan sendiri. Beraneka label mereka buat, semisal untuk jokes yang dianggap buruk selera komedinya, mereka memberi cap “Titik Terendah Kelucuan”, sedangkan untuk yang membuat mereka terkekeh-kekeh sampai ngakak diberi cap “Ultimate!”. Awalnya menarik, salah satu pembuat konten lucu-lucuan macam @dagelan jadi lebih berhati-hati saat membuat jokes.

    Kemudian MLI merambah ke dunia per-yutub-an. Menggaet banyak komika lain yang diangkat sebagai hakim untuk genre-genre komedi tertentu, semisal dark komedy, absurd, asmara, dll. MLI semakin dikenal dan digemari. Aplot-an pertama mereka video roasting sesama komika. Rupanya itu meledak, dan memang jokes-jokes yang muncul sangat sensitif, tak heran bila sepanjang video bertebaran sensor pada bagian punchline-nya.

    Sialnya, ungkapan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh, itu benar. Coki dan Muslim yang selama ini aman-aman saja menyinggung dan mengkritik agama, ormas, dan oknum-oknumnya lewat komedi sarkasme, akhirnya “tercyduk”. Kasus video memasak daging babi dengan saus kurma kemarin pungkasnya. Perkataan mereka diolah-alih sampai kemudian dianggap menyinggung, menghina dan menistakan agama.

    Saya heran, apa yang #golongankami pahami dengan istilah menistakan agama? Kalau kita percaya pada Kemahabesaran Tuhan, harusnya kita bisa sewoles Almarhum Gusdur yang mengatakan, “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Atau kita bisa bercermin dari ucapan Mbah Sudjiwo Tejo, “untuk menghina Tuhan itu tidak perlu dengan umpatan atau membakar kitabNya, khawatir besok tidak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan”.
    Lantas sudah berapa kali kita menistakan Kemahaagungan Tuhan? Dan herannya, ormas-ormas yang jago demo berjilid-jilid itu, tak sekalipun mau turun menyuarakan hukum apa yang pantas bagi pelaku korupsi. Mereka lebih fokus ke sesuatu yang berbau “politik”.
    Coki dan Muslim bagi saya bisa dimaafkan, karena mereka berdua tak bermaksud menistakan agama, konteks dari konten yang mereka buat lebih mengacu ke ajakan untuk saling bertoleransi dalam beragama. Sialnya kita tidak mau berterima soal itu. Sekali salah tetap salah. Bukan lagi #golongankami. Padahal, menurut Raditya Dika, di channel-nya sewaktu "Ngomongin Standup Comedy Indonesia" bareng Pandji, pernah bilang kalau MLI (baca: Coki dan Muslim/red) sedang masuk ke sekat-sekat yang selama ini kita batasi sendiri, bahkan tak berani kita sentuh. Seandainya batasan itu berhasil mereka dobrak, perlahan-lahan mereka akan membuat batasan baru; dalam hal ini batasan bercanda mengenai agama.

    Harusnya, tegur mereka, beritahu letak kesalahan dan mana saja yang perlu diperbaiki. Bukan membatasi mereka berkarya dengan mempersekusi kehidupannya bahkan keluarga terdekatnya. Ancaman tidak akan menyelesaikan apa pun. Selesaikan masalah dengan kepala dingin, layaknya Nabi Muhammad SAW yang rela menjenguk si kafir yang sedang sakit, padahal ia yang sering menghina bahkan meludahi Rasulullah.

    Mundurnya dua komika dari dunia per-standup-an Indonesia adalah duka kita semua. Ketika Indonesia mengalami banyak sekali goncangan, musibah dan cobaan, salah satu hiburannya adalah dengan berterima dan “menertawai” keadaan sendiri. Itu bisa jadi wujud syukur kita. Tetapi dua orang bertalenta, yang pandai menghibur itu mesti pergi entah kapan bakal kembali.

    Lucunya, selain Coki dan Muslim yang mendapatkan persekusi, orang-orang di sekitar mereka pun mengalaminya, begitu pengakuan keduanya di video yang diunggah MLI di youtube channel-nya. Mereka menyatakan pamit dari dunia hiburan yang membesarkan namanya, karena alasan itu, bahkan tour stand up #dewakomedi Ananta Rispo yang bakal dilaksanakan di beberapa daerah pun kena imbasnya dan dibatalkan secara sepihak.

    Padahal, lewat klarifikasi Muslim, video memasak itu diunggah di channel pribadinya, Tretan Universe, bukan channel MLI. Video itu di luar kehendak MLI, pure atas keinginan mereka berdua. Tapi lagi-lagi hal demikian menjadi sia-sia bila harus dijelaskan. Yang kini sudah jelas adalah kreativitas mereka harus putus di sini dan menciptakan sesuatu yang baru entah itu kapan akan terjadi dan kapan bisa kita nikmati?

    Satu hal lagi yang jelas adalah ini sebuah kemenangan #golongankami.

    Cilegon, 31 Oktober 2018


    ***
    Penulis:
    *) Ade Ubaidil pecinta sten-ap yang belum berani openmik~

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
        • [Esai] Pamitnya #CokiMuslim adalah Kemenangan #Gol...
        • [Ulasan Buku] Bijaksana dengan Bersikap Bodo Amat
        • [Esai] Melestarikan Bahasa Jawa Banten lewat Puisi...
        • [Esai] 18 Tahun Banten, Mendewasalah!
      • ▼  December (2)
        • [Esai] Festival Kitab Kuning di Banten (dpk.banten...
        • [Cerpen] Percakapan di Pesisir (Rakyat Sultra, 27 ...
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top