Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda



    YUNI
    Novel Adaptasi

    Penulis               : Ade Ubaidil
    Skenario            : Kamila Andini & Prima Rusdi
    Penerbit             : Gramedia Pustaka Utama
    Halaman            : 174 hal
    Copy-edit           : Teguh Afandi 
    Sampul Film     : Alvin Hariz 
    Tipografi font   : Tablesix 
    Desain isi           : Mulyono

    Harga Normal: Rp 63.900,-
    Harga PO: Rp 55.000 + tanda tangan

    * * * * *
    Sinopsis:

    Apa yang terjadi bila perempuan menolak lamaran hingga dua kali? Dipercaya ia tidak akan menikah selamanya. Begitulah yang dialami Yuni, remaja SMA yang begitu menggemari warna ungu. Yuni menampik lamaran-lamaran itu demi sebuah cita-cita untuk melanjutkan pendidikan. Tak hanya soal lamaran, ia pula harus menghadapi cibiran tetangga dan stigma sosial bahwa perempuan tidak perlu pendidikan tinggi untuk menjadi istri dan ibu.

    Yuni beruntung memiliki teman-teman Cilegenk yang menyenangkan, Suci pemilik salon, Ibu Guru Lis yang diam-diam mendukung, juga keluarga dan Bu Ndek yang memberi kekuatan untuk tetap teguh menggenggam impian.

    Diangkat dari skenario film karya Kamila Andini, yang telah diputar di berbagai festival film dunia juga memenangkan penghargaan bergengsi. Di antaranya, Platform Prize dalam Toronto International Film Festival (TIFF) 2021 dan pemenang kategori pemain perempuan terbaik dari Festival Film Indonesia 2021.

    * * * * *

    Setelah melewati perjalanan yang panjang dan berliku, akhirnya saya bisa mengabarkan berita baik ini ke teman-teman semua. Dalam waktu dekat, novel Yuni yang diadaptasi dari skenario karya Kamila Andini, akan segera terbit di Gramedia Pustaka Utama.

    Saya dan penerbit berusaha mempertahankan bahasa Jawa Serang dan Sunda Banten agar tidak hilang dalam novel ini, seperti dalam film yang memakai bahasa daerah. Siap-siap diborong, ya. Namun sebelum itu, saksikan filmnya lebih dulu mulai tanggal 9 Desember 2021 di seluruh bioskop di Indonesia!

    Novel ini sudah bisa dipesan Pre-Order pula via marketplace penerbit:


    LINK PO YUNI (9-16 DESEMBER 2021) 

    >>> SHOPEE GPU
    >>> SHOPEE GRAMEDIA
    >>> TOKOPEDIA GRAMEDIA STORE
    >>> GRAMEDIA.COM


    Thanks to:
    @fourcoloursfilms @starvisionplus @kamilandini @ifaisfansyah @chandparwez @sastragpu @bukugpu @teguhafandi

    #Yuni #novelyuni #filmyuni #preedomabis #gpu






    Continue Reading



    Sejak tanggal 21 Oktober, saya sudah berada di Yogyakarta. Perjalanan kali ini untuk memenuhi undangan guru menulis saya, Pak Edi Mulyono. Terakhir kami bertemu tahun 2018, dan alhamdulillah tahun ini bisa bertemu lagi dengan belio dalam keadaan sehat wal'afiat--cerita ini akan dibahas di postingan lain.

    Semalam, saya melihat story @dr_tompi di Instagram. Belio sedang mengisi acara Prambanan Jazz Festival di Jokja. Saya iseng bertanya via DM apa masih di Jokja? Belio merespons cepat malam itu, katanya baru selesai dan sedang makan sate klathak. Saya ajak ketemu apakah ada waktu? Belio dengan lekas membalas bisa, ia memberikan waktu pertemuan dan di hotel mana ia menginap. Saya meminta belio share lokasi di WA, karena sebelumnya memang kami sering chatting.

    Saya merasa senang ketika belio bertanya soal film Yuni. Apakah saya terlibat? Saya katakan iya. Belio bilang, baru menonton trailernya, dan suka. Menurutnya, film bagus bisa dilihat dari cuplikan trailer. Saya agak kurang setuju, maka hal inilah yang jadi obrolan pembuka kita ketika bertemu.

    Menurut saya, kita tidak bisa semena-mena secara serampangan menilai film yang durasi 2 jam hanya dari cuplikan tak kurang dari 2 menit. Apalagi yang mengerjakan trailer dan film, baik visi dan misinya, berbeda. Tapi dengan enteng, belio bilang begini:

    "Lo dikasih kue nih, terus lo cicipin sedikit. Lo nggak mesti makan semua, kan, untuk tahu kue itu enak atau nggak?"

    Mendapat jawaban itu, kok, saya mengangguk, ya. Tapi, ya, itulah pendapat. Kita tidak bisa menyamaratakan pemahaman.

    Kami bertemu di resto sebuah hotel dari pukul 22.30 sampai tak terasa jam menunjukkan pukul 02.30, padahal belio harus balik ke Jakarta pukul 07.00 pagi hari karena ada jadwal operasi, saya merasa bersalah karena sudah mencuri jam tidurnya. Tapi, kata belio jam tidurnya memang tidak teratur, ia sering tidur hanya 5 jam setiap harinya.

    Awal saya bisa komunikasi dengan belio salah satunya karena pernah menawarkan proposal film. Kami bicara banyak soal perfilman Indonesia, dan kemudian saya banyak tahu fakta soal ini dan itu yang kalau bocor ke media bisa geger. Perspektif belio juga menarik dan memberi masukan serta sudut pandang baru kepada saya tentang bagaimana sebuah film/karya itu dikatakan bagus.

    Konon, cita-citanya ia sewaktu SMA adalah menjadi filmmaker. Tetapi karena dorongan almarhumah Ibunya, ia akhirnya melanjutkan kuliah kedokteran. Orang mengenalnya arogan dan sombong, apalagi sewaktu ia menanggapi kritik atas film terbarunya "Selesai". Tetapi ketika tahu alasan dibuatnya film itu, saya jadi paham cara berpikir belio. Ia sangat mengerti semua aspek teknis perfilman; baik kamera, penyutradaraan, editing, pengadeganan, dan banyak lainnya. Saya dibuat takjub soal pengetahuannya.

    Saya juga ditunjukkan hasil foto dan video iklannya. Dan, ada satu film pendek yang bagus banget tapi belum dia keluarkan untuk publik, karena isu yang diangkat begitu sensitif, ia merasa belum menemukan waktu yang tepat, beruntungnya saya diberi kesempatan menontonnya.

    Terakhir, ia menyinggung soal persahabatannya dengan Glenn Fredly dan betapa baiknya dia. Katanya, Kaka Bung pernah memintanya untuk dibuatkan film biopik tentangnya, dengan guyonan, Tompi mengatakan: "Nanti nunggu lo meninggal dulu, baru kita buat filmnya, Bre," tidak lama dari obrolan itu, Kaka Bung wafat.

    Kejutannya, mereka betulan pernah membuat draft skenario soal kisah masa kecil Glenn. Dan Glenn berpesan hanya Tompi yang boleh menyutradarainya. Saya dibuat merinding malam itu setelah dikisahkan secuil hidup masa lalu Glenn yang begitu keras, wajar kalau kemudian ia bisa menjadi seniman hebat seperti yang kita kenal. Saya yakin ini bakal jadi film yang bagus, apalagi di tangan Tompi dan Angga Dwimas Sasongko. Mari berdoa saja semoga kejadian.
    Salam hormat untuk para seniman yang penuh dedikasi dalam membuat karya!

    Jokja, 25 Oktober 2021
    Continue Reading
    ilustrasi by kompasiana.com

    Di sepanjang lorong itu, ia hanya menggumamkan kalimat yang sama berulang-ulang. Dalam kesendiriannya, ia terus melangkah menuju ruang pelayanan laboratorium. Sesuai instruksi dari perawat, ia harus mengambil sampel darah milik kakaknya. Ia mengantre, lalu saat tiba gilirannya ia menyebutkan nama kakaknya dan tak berselang lama si suster memberikan sampel darah dalam tabung seukuran ruas jari orang dewasa.

    “Mas tolong bawa ini ke Bank Darah, ya, samping tempat pengambilan obat itu,” ujar seorang suster muda kepada Agus. Bocah lima belas tahun itu hanya mengangguk. “Semua salinan dan kelengkapan data seperti kartu identitas, kartu berobat, dan kartu jaminan kesehatan mohon disiapkan, nanti tinggal diserahkan saja ke perawatnya,” tambahnya lagi. Agus mengatakan terima kasih lalu melenggang pergi.

    Sejak kecil Agus terobsesi pada kakaknya. Selisih usia di antara mereka nyaris duabelas tahun. Agus pernah terkagum-kagum sewaktu sedang menonton televisi berdua dengan kakaknya. Band Dewa19 sedang tampil saat itu dalam sebuah acara musik di stasiun televisi swasta. Band memainkan intro lagu lebih dulu. Tiba-tiba, dengan yakin kakaknya berseru pada Agus, “lagu Risalah Hati ini,” katanya. Agus sempat menyepelekannya. Bagaimana mungkin, baru suara gebukan drum dan petikan gitar persekian detik itu kakaknya bisa tahu.

    “Sotoy,” seloroh Agus sekenanya. Namun saat menit berikutnya siapa sangka, tebakan kakaknya benar.

    Di mata seorang bocah, pengalaman semacam itu adalah sesuatu yang luar biasa. Agus membayangkan andai ia melakukan hal serupa di hadapan teman- temannya, pasti mereka bakal terkesan, pikirnya. Lantas, sejak saat itu ia mulai menggemari musik yang disukai kakaknya. Apa yang dilakukan kakaknya, sebisa mungkin ia tiru. Karena baginya, kakaknya adalah orang terkeren yang ia kenal. Dan ia bangga akan hal itu.

    Saat sedang mengingat-ingat masa kecilnya, Agus menghentikan langkahnya. Seketika ia menangis. Tak pernah ia membayangkan di suatu hari, kakaknya yang ia kagumi, akan berada di masa kritis di sebuah rumah sakit dengan selang infus menggelayut di pergelangan tangannya, dan selang oksigen di wajahnya.

    “Lho, Gus, masih di sini?” Seseorang datang menghampirinya. Lekas saja Agus menyeka air matanya yang terlanjur tumpah.

    “Eh, Bapak. Iya ini Agus dari ruang lab, sekarang mesti ke ruangan itu,” Agus menunjuk ruangan sebelah kiri yang jaraknya tak kurang dari limapuluh meter di hadapannya

    “Ya, sudah, cepat, ya. Bapak mau beli makan dulu buat Emak, kasian belum makan dari pagi,” ucap bapaknya lalu berjalan mendahuluinya.

    Emak. Sosok malaikat tak bersayap bagi Agus. Ia tidak pernah ingin terlihat sedih ketika berada di sisi ibunya. Seketika ia seperti mendapatkan kekuatan baru. Langkahnya pasti dan optimis bahwa kakaknya akan sembuh dari sakit paru-paru yang diidapnya.

    Kalau dipikir, menurut Agus, Emaknyalah sosok paling kuat di rumahnya. Meski wajah lelahnya tidak bisa ditutupi, tetapi tekad dan ketulusan yang diberikannya begitu besar melebihi siapa pun. Wajar kalau Allah titipkan surga pada wanita berjuluk ibu itu.

    “Permisi, Suster. Ini sampel darah milik Hari,” ia menyerahkan lewat jendela yang berlubang di bagian bawahnya.

    “Pasien umum atau pakai jaminan kesehatan, Mas?”

    Agus tidak segera menjawab. Ia terbayang ucapan tetangga yang disampaikan lewat ibunya. Konon, penanganan pasien umum dan pengguna kartu jaminan kesehatan dibedakan. Agus melihat ke sekitarnya. Mata orang-orang yang mengantre di ruang tunggu seolah menghakiminya.

    Sedikit ragu-ragu, Agus menjawab, “Jaminan kesehatan, Sus. Ini fotokopi dan kelengkapan data lainnya,” ia juga menyerahkan semua hal yang dibutuhkan sebagai syarat mendapatkan perawatan.

    Suster yang melayaninya tersenyum. Ia meminta Agus untuk menunggu sementara ia mempersiapkan kebutuhan untuk pasien lain yang lebih dulu mengantre.

    Bagi Agus, sejauh ini pelayanan untuk pasien umum maupun peserta jaminan kesehatan dirasa sama saja. Ia sendiri belum melihat perbedaan sejak pertama kali masuk rumah sakit itu. Sementara ibunya dibayang-bayangi oleh ucapan tetangga yang berobat menggunakan jaminan kesehatan bakal dianaktirikan. “Bagaimana kalau rumah sakit menolak merawat Hari?” benak Agus kembali mengingat kejadian sehari sebelum mereka berangkat ke rumah sakit.

    “Dicoba dulu saja, Mak. Kenapa pesimis begitu? Toh, Bapak tiap bulan rajin membayar iuran untuk kartu jaminan kesehatan kita sekeluarga,” kata bapaknya berusaha menenangkan.

    Akhirnya malam hari lalu kakak Agus dibawa ke rumah sakit diantar oleh Mang Dikin, paman Agus, pakai mobil bututnya.

    “Butut-butut begini, ada gunanya juga, kan, mobil Mamang, Gus?” Agus terkekeh mengingat ucapan pamannya itu. Menurutnya, Mang Dikin adalah paman yang paling dekat dengan dirinya dibanding pamannya yang lain.

    “Atas nama Hari?” suara suster menggaung dari pelantang. Agus sempat kaget. Lekas ia buyarkan lamunannya dan segera bangkit lalu berjalan mendekat ke depan jendela. “Hb pasien cukup rendah, di bawah 8. Di dalam kotak ini ada dua kantung untuk transfusi darah pasien. Masnya tanda tangan dulu di sini, ya.” Suster menyodorkan cooling box berukuran sedang. Lalu memberikan salinan surat keterangan setelah ditandatangani Agus.

    “Terima kasih, Sus,” ucap Agus santun. Ia bergegas membawa kotak itu dengan hati-hati sesuai yang disampaikan oleh suster sebelum ia pergi.

    ***

    Semua bermula ketika Hari akhirnya pulang ke rumah setelah tiga malam menginap di kediaman temannya. Hal itu dianggap wajar dan kedua orang tuanya tidak bisa melarang. “Mau cari kerja,” ucapnya sewaktu meminta izin. Namun, malam itu kondisi Hari tampak lesu. Seorang ibu selalu lebih tahu kondisi anaknya bahkan sebelum diceritakan.

    “Jangan keseringan begadang, Ri. Lihat sekarang, kamu jadi kurus begini,” kata ibunya lembut. Sementara Hari berjalan masuk tak menghiraukannya. Ia lebih fokus pada batuknya yang sulit dikontrol.

    “Minum air hangat, ya, Emak masakin.”

    Sepanjang malam, Hari batuk tak henti-henti. Ia sekamar dengan Agus. Batuknya betul-betul membuat tidur adiknya terganggu. Agus terbangun dan mendapati dahak yang keluar dari mulut kakaknya berwarna merah.

    “Emak, Kang Hari batuknya berdarah,” seru Agus seraya memberikan segelas air hangat yang sudah disediakan oleh ibunya. Hari biasanya akan marah dan meminta Agus untuk tidak berisik. Akan tetapi, malam itu ia seperti tak memiliki daya. Maka kemudian bapaknya lekas menghubungi Mang Dikin.

    Setelah sehari dirawat di rumah sakit, dokter menyatakan Hari terkena penyakit emfisema. Penyakit ini, menurut keterangan dokter, menandakan bahwa alveoli rusak, melemah, dan akhirnya pecah. Kondisi ini mengurangi luas permukaan paru dan jumlah oksigen yang dapat mencapai aliran darah. Hari adalah seorang perokok berat. “Lebih baik tidak makan daripada tidak merokok,” selorohnya suatu ketika pada adiknya yang masih kecil.

    “Ini pasti gara-gara kamu sering bergadang dan jarang berolahraga,” ucap Emak setibanya Agus di pintu kamar isolasi.

    “Iya, Mak, Hari minta maaf. Hari salah nggak mau ngedengerin Emak,” ucap Hari. Ia dirawat di ruangan khusus sendirian dan tidak boleh sembarang orang menjenguknya.

    “Mak, darah buat transfusinya udah Agus kasih ke dokter. Katanya setengah jam lagi ke sini,” terang Agus yang tampak kelelahan.

    “Ya, udah, kamu sini makan dulu sama Emak.”

    “Maaf, ya, Gus, Kang Hari udah bikin kamu kerepotan,” suara Hari terdengar lemah. Agus mengangguk kecil lalu duduk di tikar sebelah ibunya.

    Tiga puluh menit berlalu. Dokter bersama dua orang perawat masuk ke ruangan. Mereka melakukan apa yang menjadi tugasnya. Agus dan ibunya mempersilakan. Sementara bapaknya izin pulang, ia mesti bekerja di sebuah bank sebagai penjaga keamanan.

    ***

    Malam kian larut. Hari dan ibunya sudah terlelap. Agus terbangun dari tidurnya setelah bermimpi tentang keranda. Entah pertanda apa. Kepalanya terasa sedikit berat. Ia keluar dari kamar isolasi. Di sepanjang lorong begitu sunyi. Kamar tempat kakaknya dirawat berada di paling ujung ruangan. Ia semakin khusuk dengan kesendiriannya. Ia duduk terpekur, menyandarkan punggungnya ke dinding rumah sakit. 

    Di sudut pintu masuk kamar isolasi, tanpa sengaja ia melihat beberapa serangga sekarat. Ada yang berputar-putar, ada yang terkapar, ada yang kaku tak bergerak, begitu banyak. Ia tahu ini pasti suatu pertanda, tapi ia tak betul-betul paham pertanda apa ini?

    ─teruntuk Asep Jumhuri, yang bahagia di sisi-Nya.

    Cilegon, 30 Juli 2021

    ____________

    *) Cerpen ini pernah tayang di: www.ngewiyak.com (01/10).

    Continue Reading

    Ketika seorang teman merekomendasikan serial ini di Netflix, saya tak menaruh ekspektasi terlalu tinggi, karena seringnya, setiap menonton dengan ekspektasi malah akan berakhir kecewa. Tetapi kali ini berbeda, serial 8 episode yang masing-masing episodenya berdurasi sekitar 40-50 menit ini berhasil membuat saya begadang sampai jam lima pagi karena rasa penasaran yang ditimbulkan. Rasanya tak mau berhenti sebelum tahu akhir ceritanya.

    Kalau saja Clickbait ini sebuah novel, pastilah bakal menjadi karya tulis yang baik. Kalimat per kalimatnya yang diubah ke dalam gambar terjalin begitu apik. Terlebih setiap akhir episode memiliki cliffhanger yang baik. Penokohan yang kuat juga berhasil membuat saya menaruh kepedulian pada setiap karakter yang hadir.

    Clickbait menceritakan tentang kasus penculikan seorang kepala keluarga bernama Nick Brewer (Adrian Grenier). Suatu hari, video penculikannya diunggah di internet dan memperlihatkan Nick yang didudukkan di sebuah ruangan gelap. Salah satu tangannya diikat dan satunya lagi memegang plang bertuliskan, “Saya melecehkan wanita. Saya seorang pembunuh. Dan saya akan mati jika video ini ditonton oleh 5 juta orang.” Sejak pertama kali diunggah, dalam waktu kurang dari satu jam cuplikan video itu sudah ditonton lebih dari satu juta penonton. Intensitas ketegangan cerita pun terasa kian meningkat.

    Tony Ayres dan Chritian White selaku penulis memulai episode pertama dengan mengenalkan tiap karakter dalam keluarga Nick yang sedang merayakan ulang tahun Ibunya. Konflik kecil dimulai saat Pia Brewer (Zoe Kazan) adiknya Nick kaget setelah melihat kado yang diberikan Nick kepada ibunya berbeda dengan apa yang sudah disepakati dengan dirinya. Ia menuduh istri Nick, Sophie (Betty Gabriel) yang menghasut si suami untuk mengubah hadiahnya. Menurut Pia kakak satu-satunya itu bertingkah aneh. Bahkan malam itu Nick meledakkan amarahnya dan mengusir Pia dari rumahnya. Sebaris kalimat terakhir yang dia terima dari kakaknya adalah: “Enyahlah dari kehidupanku!”

    Keesokan harinya, saat sedang bekerja, Pia melihat video kakaknya yang memegang plang tulisan itu. Cerita sebenarnya dimulai di sini. Semua tokoh yang muncul memiliki motif dan keterkaitan dengan kematian Nick yang jasadnya ditemukan di bantaran sungai dekat hutan. Cerita semakin bercabang dan melebar ke segala kemungkinan yang terjadi; tentang perselingkuhan Nick dan Sophie, hubungan rumah tangga yang bermasalah, Perseteruan, persekongkolan, hingga konspirasi.

    Sepanjang cerita, penonton akan dibuat menduga-duga dan berasumsi layaknya detektif. Brad Anderson sang sutradara berhasil menggiring opini penonton dan mengerucutkan ke beberapa nama yang kemungkinan melakukan pembunuhan. Sialnya, bahkan sampai episode akhir saya tidak bisa menebak dengan benar pelaku sebenarnya, karena memang petunjuk kunci muncul di bagian menjelang akhir cerita. Ketimbang memakai judul Clictbait, serial ini lebih cocok berjudul Prank. Hehehe...

    Terlepas dari itu, hal menarik lainnya ada pada setiap episode yang diberi judul sesuai hubungan tokoh dengan Nick. Seperti: Sang Adik, Sang Anak, Sang Simpanan sampai sampai episode terakhir: The Answer.

    Pengalaman yang ditawarkan film ini cukup membekas dan meninggalkan kesan usai menontonnya. Pesan pentingnya juga berhasil ditangkap, salah satunya tentang jangan mudahnya memberi kepercayaan pada orang lain, lebih-lebih orang terdekat kita sendiri. Bisa jadi, dan memang yang paling memiliki kemungkinan besar, merekalah yang akan membuatmu kecewa.

    Cilegon, 03 September 2021

     

     

     

     

    Continue Reading

    image by @netflixid


    Efek pandemi Covid-19 berpengaruh besar bagi industri perfilman Indonesia. Film-film yang mestinya tayang di bioskop, harus dicarikan jalur alternatif dan akhirnya sebagian besar film Indonesia beralih ke platform-platform digital. Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah satu di antaranya. Film yang berkisah tentang pencarian jati diri ini bakal tayang di bioskop tahun 2020, namun karena Covid-19, bioskop pun belum sepenuhnya dibuka, maka film ini akhirnya dirilis di Netflix secara global sebagai film asli Netflix pada 17 Juni 2021.

    Ali yang diperankan oleh Iqbaal Ramadan adalah sosok remaja 17 tahun yang merindukan kehadiran ibunya yang telah lama pergi mengejar impiannya sebagai penyanyi di New York, Amerika Serikat. Kerinduannya tak terbendung lantaran ia ditinggal pergi sejak kecil. Petualangannya dimulai ketika ia menemukan tiket, yang pernah dikirim oleh ibunya, di sebuah laci yang disimpan oleh mendiang ayahnya. Ada banyak surat-surat yang baru ia ketahui saat itu.

    Cerita berjalan mengalir tanpa ada hambatan yang berarti, bahkan untuk urusan visa. Setibanya Ali di New York, ia segera mencari alamat tempat tinggal ibunya yang tertera di amplop surat, sampai ia tiba di suatu daerah bernama Queens. Di sanalah cerita sesungguhnya dimulai dan keterkaitan dengan judul film. Ali berjumpa dengan para “ratu” yang tinggal di distrik Queens yang ternyata semua berasal dari Indonesia. Rupanya Mia, yang diperankan oleh Marissa Anita, Ibu Ali, sudah tidak tinggal di sana lagi. Lewat pertolongan Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Ance (Tika Panggabean), dan Chinta (Happy Salma) akhirnya Ali dibantu untuk mencari ibunya.

    Eksplorasi ruang yang disuguhkan film Ali dan Ratu-Ratu Queens sekilas terdengar menggembirakan. Pertama, karena ada kesan bahwa film-film karya sineas Indonesia tidak hanya berkutat di setting lokasi lokal; dan kedua, kita mengenal istilah psikologi xenomania, dimana kekaguman dan kebanggaan kita pada luar negeri yang berlebihan. Jadi, segala sesuatu yang mengadopsi nilai kebarat-baratan akan mendapatkan poin tersendiri, jauh sebelum bicara isi ceritanya. Beruntungnya, film ini tidak terjebak untuk menunjukkan panorama New York yang berlebihan. Lokasi yang ditunjukkan masih sesuai porsi dengan kebutuhan adegan saja, juga dengan sentuhan sinematografi yang sangat memanjakan mata.

    Bila melihat premis utama, film ini sudah selesai di satu jam pertama alias pertengahan film. 40 menit sisanya hanya upaya sutradara, Lucky Kuswandi, memanjang-manjangkan cerita. Bila skenario yang ditulis Gina S. Noer ini menerapkan metode 8 sequence (dibagi dalam 3 babak), artinya ia belum berhasil menjalankan sequence kelima yang memasuki tahap bigger problem. Peralihan babak dua ke babak ketiga malah semakin menunjukkan cerita kehilangan arah dan menurunnya intensitas cerita.

    Puncak klimaks cerita jelas ketika Ali dan Mia bertemu di suatu malam, di gang kecil dekat rumah Mia tinggal, untuk mengurai segala permasalahan. Ali meminta penjelasan Mia mengapa memilih membangun keluarga baru di New York, dan Mia meladeninya dengan menjabarkan berbagai alasan yang ia amini sendiri bahwa dirinya adalah ibu yang buruk: “Ali, Mama udah ninggalin kamu. I’m a bad Mother!”

    Scene di atas sebetulnya bisa dipadatkan ke sequence empat dan di babak berikutnya intensitas klimaks dari konflik cerita mestinya dibuat semakin memuncak, karakter berada di titik terendah (rock bottom). Sayangnya, fokus cerita terbelah pada printilan premis yang kadung ditebar; tentang para ratu yang akan membeli rumah makan, kehidupan pribadi mereka, Ali yang memutuskan ingin menetap di New York, sampai premis tentang hubungan Ali dengan Eva (Aurora Ribero), putri tunggal Ance yang alih-alih bisa jadi pemanis cerita, malah digantung begitu saja tanpa kejelasan.

    Gina S. Noer selaku penulis skenario memaksa semua tokoh show-off sampai lupa mengenai porsi karakter utama. Saya tak sedang mengatakan kalau karakter-karakter yang muncul itu buruk, tetapi justru menyayangkan, karakter sedemikian hidup di tangan para aktris kenamaan jadi anti-klimaks lantaran keluar dari misi utama film ini.

    Kemungkinan adanya sekuel tampak dari akhir cerita yang dibiarkan terbuka, akan tetapi, kalau boleh memilih, saya lebih setuju film ini dikembangkan sebagai serial. Karena setiap karakter memiliki potensi cerita yang kaya dan kompleksitasnya masing-masing. Latar belakang dari masing-masing queen misalnya, lalu alasan mereka bisa terjebak di New York, motivasi hidup sebelum dan setelah hidup di sana, pemaknaan tentang jati diri dan nilai-nilai kebebasan bisa digarap lebih matang lagi di serial, ketimbang menjejalkan semua hal dan menembar banyak premis tapi dieksekusi kurang maksimal dalam durasi film tak lebih dari dua jam ini.

    Kalau boleh menyebutkan satu serial, film Ali dan Ratu-Ratu Queens bisa digarap ke arah drama keluarga yang hangat seperti serial Reply 1988. Cerita yang sederhana tetapi memiliki karakter masing-masing yang begitu kuat. Ketika dibenturkan dengan masalah apa pun, akan selalu menarik karena setiap tokoh punya cara tersendiri dalam menyelesaikan masalahnya, itu pula yang saya temukan dari karakter para ratu yang dihadirkan Gina.

    Sayangnya, karena kadung digarap jadi satu film utuh, fokus penonton Ali dan Ratu-Ratu Queens tidak boleh terbelah selain mengikuti misi si tokoh utama. Empat orang ratu itu cukup diberi porsi seperti para hero di film animasi Big Hero 6 (Walt Disney, 2014). Party, Biyah, Ance, dan Chinta adalah Go Go Tomago, Fred, Wasabi No-Ginger, dan Honey Lemon yang membantu Hiro Tamada (baca: Ali) untuk membongkar siapa orang yang bertanggung jawab (baca: mencari) atas kematian kakaknya Tadashi (baca: Mia) dalam sebuah kebakaran (baca: di New York).

    Dalam bahasa yang lebih ekstrem, Ali dan Ratu-Ratu Queens adalah film yang kurang percaya diri dengan premis utama sehingga bersembunyi di balik karakter para ratu yang hampir atau malah terlampau lebih kuat. Bahkan, motif Mia memilih mengejar impian sebagai penyanyi di New York pun belum terjabarkan secara jelas. Segalanya terasa serba nanggung, sehingga bagi penonton seperti saya kesulitan saat akan memberi empati kepada Mia, meskipun tentu saja Marissa cukup memegang kendali dan mampu memainkan suasana untuk karakter Mia, walaupun harus berhadapan dengan Iqbaal yang emosinya lepas dan tidak utuh di beberapa scene saat menjadi Ali.[]

    Cilegon, 26 Agustus 2021


     

    Pengulas:
    Ade Ubaidil, hobi nonton dan nulis cerita.

    Continue Reading
    Bisa dibaca di website: Jawapos.com

    Judul            : Keluarga Lego
    Penulis         : Cicilia Oday
    Penerbit       : Kakatua
    Cetakan       : Pertama, Juni 2021
    Tebal             : viii + 278 hlm
    ISBN              : 978-623-75432-9-9

    *** 

    Babak Pertama
    Keluarga menjadi perangkat penting bagi mereka yang dihargai hidupnya, tetapi keluarga juga bisa menjadi mimpi buruk untuk mereka yang tidak dianggap keberadaannya. Dalam novel Keluarga Lego, ada dua alasan kenapa orang bertahan hidup; cinta dan dendam.

    Cicilia Oday mempercayakan ceritanya dituturkan lewat seorang nenek cerewet bernama Yohana. Ia salah seorang pasien yang tinggal di sebuah panti jompo Rumah Peristirahatan Termulia. Ia berkisah tentang dirinya dan teman sekamarnya bernama Naomi. Dalam ceritanya yang putus-putus, Yohana menangkap kalau Naomi ingin keluar dari tempat yang baginya penjara itu.

    Yohana ingin membantu Naomi keluar dari sana setelah menemukan iklan lowongan adopsi yang terpampang di sebuah surat kabar. Lewat lembaran koran itulah sebuah “grand design” cerita Cicilia Oday dimulai. 

    Victor Yuda menjadi nama penting di sepanjang cerita. Ia mengenalkan dirinya sebagai “Seorang pria, 33 tahun, lajang, berprofesi sebagai pengusaha, dan tidak memiliki keluarga.” (halaman 18). Semua posisi dari Ayah-Ibu hingga Nenek, diberi kesempatan untuk menjadi keluarganya dengan sederet syarat yang ia tulis secara detail di surat kabar tersebut. Tak pernah ada yang menduga, bahkan penghuni panti jompo yang lain, setelah Naomi ikut seleksi, ia diterima sebagai Nenek Victor Yuda.

    Di dalam dunia rekaan yang dibangun Cicilia, mengadopsi keluarga selain anak menjadi sesuatu yang lazim. Membaca Keluarga Lego mengingatkan saya pada novel Rumah Kertas karangan Carlos María Domínguez. Sebab setelah Naomi pergi dari panti jompo, petualangan sebenarnya yang dihadapi Yohana baru dimulai. Persis ketika tokoh aku dalam Rumah Kertas yang mendapat paket buku misterius berprangko Uruguay datang untuk Bluma yang mati tertabrak saat sedang membaca buku puisi Emily Dickinson. Kedua buku ini memberikan perjalanan yang rumit bagi tokoh-tokohnya dan bertemu dengan banyak orang asing. Bedanya, Yohana dipertemukan dengan kisah masa lalunya yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

    Babak Kedua
    Memasuki babak baru, Yohana bertemu seorang wanita sebaya di dalam sebuah bus yang mengenakan bros pohon di dadanya. Bros kecil itu terbuat dari susunan lego dan ada lampu yang menyala berwarna merah. Ia nantinya akan tahu kalau wanita tua itu adalah sebuah robot yang dipekerjakan oleh perusahaan jasa sewa-menyewa anggota keluarga bernama Keluarga Lego. Robot-robot ini bisa dipesan lewat aplikasi di ponsel android. Yohana merasa tertarik untuk menyewa seorang anak apalagi setelah tidak memiliki teman berbincang seperti Naomi. Suatu hari ia mendatangi perusahaan Keluarga Lego. “Di dinding utama di belakang konter tertulis dalam huruf-huruf balok yang besar, Keluarga Lego; Create Your Family As You Wish.” (Halaman 46).

    Isu yang diangkat oleh Cicilia ini sekilas terkesan konyol. Namun bagi saya ia berhasil meyakinkan pembaca bahwa suatu hari, fenomena sewa-menyewa anggota keluarga akan betulan terjadi. Persis seperti semesta yang ia bangun dalam novel perdananya ini. Masyarakat bakal menganggap itu adalah hal lumrah. Sama halnya yang dialami Theodore dalam film Her. Ia berhubungan asmara dengan sebuah sistem operasi komputer. Bedanya dalam novel Keluarga Lego robot yang dibekali kecerdasan buatan ini berbentuk fisik persis seperti manusia.

    Gaya tutur yang luwes menunjukkan kematangan Cicilia Oday sebagai penulis. Informasi yang diberikan pun tidak terkesan mengada-ada dan asal tempel. Artinya, ia membekali dirinya dengan pengetahuan mumpuni mengenai robot-robot. Bahkan ia bisa dengan detail mendedah aplikasi yang ketika membacanya memberi kesan seperti sedang menonton film.

    Keterkaitan Babak Pertama dan Kedua
    Novel ini dibagi ke dalam lima bab. Saya membaginya dalam tiga babak. Di bagian ketiga inilah cerita akan terang dan pembaca akan melihat keterkaitan antara babak satu dan babak kedua. Dugaan-dugaan pembaca diawal bisa saja benar tapi masa lalu Yohana hanya benar-benar akan kau temui kalau membacanya sampai halaman terakhir.

    Sejak masa muda hingga di usia senjanya, Yohana seperti dikejar karma. Hidupnya sedemikian nelangsa tetapi lewat narasi yang dituturkannya ia seolah hidup baik-baik saja dan lebih beruntung dari siapa pun yang ditemuinya. Seperti ketika ia bertemu dengan Nina, seorang perempuan muda yang rajin datang ke panti jompo untuk membantu para suster merawat pasien. Nina merasa hidupnya berarti di panti ketimbang di keluarganya. Ia merasa tak dianggap oleh kedua orang tua dan saudaranya. Berbeda ketika Nina bertemu dengan Yohana. Kedua orang yang sama-sama kesepian itu merasa satu sama lain saling melengkapi. 

    Cicilia Oday cukup jitu menyindir fungsi keluarga. Ia menunjukkan secara gamblang kalau tidak ada keluarga yang sempurna, dan lewat novelnya ia ingin mengajak kita untuk mengamini hal itu tanpa berusaha ditutupi dari dunia luar. Hadirnya Keluarga Lego adalah upaya ia untuk mengkritik mereka yang menganggap keluarga sedarah adalah segalanya. Lewat tokoh-tokoh yang dihadirkan, Cicilia Oday seolah ingin menunjukkan perspektif lain bahwa keluarga, bukan hanya mereka yang terikat pertalian darah. Tetapi lebih dari itu, keluarga adalah ia yang hadir ketika kita dalam situasi sulit atau menggembirakan. Mereka adalah support system yang penting kehadirannya dalam kondisi apa pun.

    Selain itu, Cicilia melihatkan simbol ketika seseorang sudah tidak dianggap keberadaannya, maka seperti yang dialami Nina, ia melihat pantulan dirinya di cermin tampak memudar.

    “Di dalam sana, ia hanya segumpal ampas. Ia melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia terlihat nyaris transparan dan bukan karena efek cahaya lampu. Kulitnya memang setengah tembus pandang seperti kulit cicak atau sehelai kertas tisu.” (Halaman 90).

    Keluarga Lego menghadirkan tokoh yang nyata karena ketidaksempurnaannya. Segala konflik dan realitas objektifnya, menentukan kita sebagai pembaca akan berdiri bersama siapa.

    Cilegon, 06 Agustus 2021

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ▼  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
        • [Ulasan Buku] Perihal Keluarga dan Dendam Masa Lal...
        • [Ulasan Film] Ali dan Ratu Ratu Queens: Premis Tum...
      • ►  September (1)
        • [Ulasan Film] Clickbait: Jangan Mudah Percaya pada...
      • ►  October (2)
        • [Cerpen] Pertanda (Ngewiyak.com, 01 Oktober 2021)
        • [Catatan] Perjumpaan dengan Seniman
      • ▼  December (1)
        • Novel Adaptasi: YUNI (Gramedia Pustaka Utama, 2022)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top