Jika di samping, depan, belakang, atau ada orang di
sekitar Anda, coba dekati dan ajak bicara. Tanyakan soal keadaan perpolitikan
di Indonesia belakangan ini; berapa pun usianya, saya kira ia pasti sedikitnya
tahu apa yang tengah terjadi dan menjadi bahan perbincangan. Yang paling
menyita perhatian kita tak lain adalah soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang
bulan Februari lalu berlangsung. Akarnya menjadi kian runyam dan menjalar tak
keruan hingga hari ini. Dan kalau Anda berani, coba tanyakan posisi ia dalam
memandang politik jauh sebelum ada fenomena “Ahok” ini macam sekarang. Seberapa
peduli ia pada perpolitikan di tanah air?
Media telah memberitakan, betapa publik teralihkan
perhatiannya sampai rela bergontok-gontokan bahkan hingga rela tak berkawan
lantaran membela dan menyerang Ahok dalam waktu bersamaan. Yang menjadi
ajaibnya lagi mereka sebagian besar bukan warga yang ber-KTP DKI Jakarta, yang
notabene menggunjingkan bukan (calon) pemimpinnya. Sejauh apa kita peduli pada
pemimpin di daerah kita sendiri? Atau jangan-jangan kita lebih mengenal Ahok
ketimbang Gubernur, DPRD, Bupati, Walikota, Kepala Desa, Pak RW, Pak RT di
kampung tempat kita tinggal? Apa keuntungannya dan apa kerugiannya sampai kita
mau bersusah-payah mengambil jalan ruwet itu?
Tahun 2014 lalu, sewaktu menjelang pemilihan Presiden
RI, saya nyaris kehilangan semua "orang-orang baik" yang dulu ada
untuk saya hanya gara-gara kita beda pilihan. Satu ke kubu Prabowo satu lagi ke
kubu Jokowi. Sejak saat itu saya tidak ingin lagi memublikasikan posisi politis
saya; semisal di pemilihan Walikota, Gubernur atau bahkan Lurah sekalipun.
Namun apadaya, nyatanya, meskipun saya berdiam diri dan berusaha meredam untuk
tidak berkoar, toh, pandangan para pembenci tidak sedikit pun berubah. Yang ada
hanya kenyinyiran dan ketidak-ingin-percayaan mereka akan jalan yang saya
tempuh. Alih-alih menegur saya secara langsung, yang ada mereka malah terus
menyindir dan menuduh kalau saya dekat sama anu karena dia dukung anu, saya tak
berkawan dengan anu karena tak dukung anu dan sebagainya dan sebagainya.
Sekarang, fenomena Ahok ini benar-benar berlangsung
secara berlarut-larut. Semua kalangan dilibatkan. Bahkan anak-anak sekalipun.
Apa yang hendak dicapai dengan melibatkan anak-anak? Kita telah berdosa
lantaran menyita masa bermain mereka. Sekolah yang nyaris satu Minggu saja
sudah membuat mereka lelah, kita malah menambah kejengkelan anak-anak dengan
mendoktrin hal-hal yang tak perlu ini. Semua ada tahapannya dalam menerima
pelajaran hidup. Bayi bebek tak perlu langsung bisa berenang.
Bila kita kaji lebih jauh soal kenapa orang Jakarta,
luar Jakarta dan kebanyakan anak muda Indonesia yang selama ini cuek dengan
politik mendadak begitu antusias memberikan dukungan dan atau caci-makian
kepada Ahok, tentu akan menjadi menarik. Bahkan sebelum tulisan ini rampung,
saya sudah menyatakan di akun media sosial pribadi kalau tak lama lagi kisah
Ahok ini akan difilmkan—entah siapa yang akan membuatnya.
Terlepas dari semua keripuhan perpolitikannya, saya
sedang membayangkan perasaan orang-orang terkasih Ahok, semisal: Istri,
Anak-anak, orang tuanya dan semua keluarga besarnya. Merekalah yang mendapatkan
dampak terbesarnya dan tentu juga berpengaruh pada aktivitas sehari-harinya.
Bagaimana interaksi dengan orang sekitarnya yang berubah, baik di sekolah,
ruang publik, tetangga rumah dan sebagainya. Bahkan yang terbaru adalah video
ketika Istri Ahok, Veronica Tan, menangis tersedu-sedu saat membacakan surat
yang ditulis tangan oleh Ahok yang menyatakan untuk tidak naik banding.
Sampai kapankah kita akan berhenti misuh soal Ahok
ini? Kehidupan harus terus berjalan dan anggaplah ini bagian dari pendewasaan
diri—bagian ini saya maksudkan untuk “orang-orang baik” yang sekarang memilih
bertengkar dengan saya. Saya cukup salut dengan cara berpikir Ahok. Bagaimana
cara ia menempatkan diri dan menjalankan semua yang memang harus ia
tempuh—sekalipun saya tahu, sejak pertama kali video di Kepulauan Seribu itu
tidak ada kekeliruan yang berarti, namun menjadi viral dan diperkarakan
gara-gara postingan Buni Yani di akun Facebook-nya (yang tak perlu lagi saya
bahas di sini).
Lantas, kenapa harus Ahok?
Inilah wajah masyarakat Indonesia sekarang.
"Orang-orang baik" yang kemudian menebar kebencian yang saya sebutkan
di atas itu adalah contoh ketidakdewasaan dalam mengambil sikap. Sedangkan,
kekritisan masyarakat kita kini lantaran sudah sejak lama jengah (nyaris muak)
dengan tipe kepemimpinan sebelum-sebelumnya. Hadirnya Ahok, bagi sebagian besar
warga adalah angin segar dan seperti namanya, Tjahaja Purnama. Ia membawa sinar
penyejuk baru bagi orang yang dinaunginya. Semacam ada kebaruan dan dobrakan
yang ia bawa, yang tidak sembarang pemimpin berani lakukan—meski lagi-lagi,
kesalahan fatal Ahok adalah pada cara mengekspresikan kekesalannya yang
berpangkal pada setiap kata-kata yang dilontarkan terdengar “kurang sopan” bagi
para “ orang santun”. Walau kita tahu, ia sudah mau belajar dan mengontrol diri
soal itu.
Namun bila kita contohkan pada diri sendiri,
seandainya kita begitu muak pada kebathilan, yang orang lain lakukan dan
merugikan hak banyak orang, secara naluriah kita pun akan memaki dan mengumpat,
dan hal itu akan dianggap wajar belaka—sialnya tidak bagi Ahok. Kita pun
sebenarnya enak saja menyebut nama orang yang lebih dewasa
‘Ohak-Ahok-Ohak-Ahok’, semisal anak-anak sekalipun. Bila ingin terus
mengajarkan kesantunan, adil-lah sejak dalam pikiran, ucapan dan tindakan. Saya
pun harusnya demikian, tapi karena sudah terbiasa menyebut Ahok, hilanglah
sebutan, “Pak”, “Mas”, “Koh” dan lain sejenisnya.
Kembali lagi soal kenapa harus Ahok?
Saya yakin betul bahwa di hari depan beliau akan
dijadikan semacam panutan sebagai contoh pemimpin yang baik, meski tentu dengan
segala catatan-catatannya. Tapi saya pikir perjalanan Ahok masih panjang. Salah
satu alasan Ahok tidak naik banding barangkali ini cara ia berdiam dan tanpa
perlu lagi memancing keributan. Justru, cara ia diam seperti ini adalah sebuah
bentuk pukulan telak (a-hook).
Istilah “Hook” dalam dunia tinju dikenal sebagai
sebuah pukulan yang mematikan. Hook dapat
dilontarkan kedua tangan, kanan dan kiri. Dan memang posisi seperti itu yang
dilakukan oleh seorang petinju dalam melontarkan hook. Seperti
kita ketahui bersama, Petinju kelas berat Mike Tyson dulu sangat ditakuti
karena pukulan hook-nya sering berhasil memukul KO
lawan, sedang petinju Indonesia Ellyas Pical memiliki pukulan hook kiri yang sangat keras, dan sering memukul KO
lawan dengan senjata andalannya itu. Karena keandalan pukulan tersebut Pical
dijuluki sebagai Exocet. Itulah yang tengah
dilakukan Ahok bagi lawan-lawannya sekarang!
Para pembenci membutuhkan reaksi agar bisa menggodok
terus tipu muslihatnya. Bila yang didapati sikap diam Ahok, maka materi menipis
dan cepat atau lambat ke-superioritas-annya lekas memudar. Dan
ke-megalomaniak-annya akan segera lenyap. Inilah langkah yang paling tepat
untuk Ahok ambil. Terlebih Bulan Ramadhan, bulan yang dimuliakan umat Muslim
sudah di ambang pintu. Saya kira Ahok memperhitungkan sampai sejauh itu. Ia
pula barangkali tidak ingin melupakan rasanya ‘sepi’, ia ingin menghargai
keberadaannya, seperti kata Tulus dalam bait lagunya berjudul, “Ruang Sendiri” berbunyi: “Hingga aku lupa rasanya sepi / Tak lagi sepi bisa kuhargai // Kita
tetap butuh ruang sendiri-sendiri / Untuk tetap menghargai rasanya sepi”.
*lagu ini enak betul, sungguh!
Sayangnya, ‘sebagian’ kita hanya belum siap menerima
kepemimpinan macam yang diterapkan Ahok. Tapi suatu hari kelak, Ahok-Ahok lain
akan bermunculan. Koruptor-koruptor segera dibumihanguskan, dan Indonesia lekas
kembali berjaya. Tunggu saja....
Cilegon, 24
Mei 2017 / larut malam~