[Self-Depression] Apa Itu Kemanusiaan?
September 08, 2019image by: pexels.com |
Pria di hadapanku menutup
wajahnya dengan kesepuluh jemarinya. Ia menarik napas berulang kali lalu
mengembuskannya dengan berat. Kepalanya ia tundukkan, lemah. Kali ini ia tampak
tidak tahu lagi harus berkata apa. Melihat dunia hari ini, katanya lima menit
lalu, aku seperti kehilangan arti kemanusiaan. Apa itu kemanusiaan?
Aku juga tidak tahu....
Awan berarak, langit jauh lebih
cerah dari biasanya. Ia belum menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Televisi
dan media yang ada, justru makin memperkeruh keadaan. Berita-berita yang
tertulis dan disuarakan saban hari hanya bikin resah. Bikin menambah daftar
pertanyaan. Satu di antaranya adalah: apa yang bisa kita lakukan?
Aku juga tidak tahu....
Dari jauh kulihat kendaraan
berhenti. Lampu lalu lintas masih berwarna merah. Merah.... mengingatkan pria
di hadapanku dengan korban pemerkosaan yang sebelumnya dibunuh, dimutilasi,
dihilangkan nyawanya; gadis baduy tak berdosa. Ia kini semakin hilang kendali. Rambutnya
yang panjang sepunggung ia jambak sekuat-kuatnya. Helai demi helai rambutnya
tercerabut paksa. Lalu ia menggebrak meja; selain mengutuki perbuatan keji mereka, apa yang bisa
kita lakukan?
Aku juga tidak tahu....
Mobil pribadi, bus angkutan umum,
sepeda motor berebut jalan ketika lampu lalu lintas berganti warna kuning. Saat
lampu hijau menyala, semua kendaraan sudah jauh di depan. Kita ini manusia yang
macam apa, kata pria di hadapanku. Ia mulai mengambil sebatang rokok, merogoh
korek api dari saku kemejanya, lalu ia mulai menyalakannya. Kali ini ia
terlihat sedikit lebih tenang. Perlahan-lahan asap rokok ia embuskan dari
lubang hidung dan mulutnya. Kita ini betul-betul perusak, ya?
Aku betul-betul tidak tahu....
Seorang loper koran menghampiri
warung yang sedari tadi kami singgahi. Katanya semua harga barang-barang pokok
naik; beras, kartu jaminan kesehatan, BBM, bahkan hingga tarif pelacur yang
biasa ia kencani, yang tentu saja bagian itu tidak tertulis di koran yang
sengaja ia letakkan di meja kami. Aku sungguh tidak peduli, tapi tidak dengan
pria di hadapanku. Ia menandaskan ujung puntung rokoknya di atas bungkus kosong
yang ia jadikan asbak. “Harus ada yang kita lakukan!” serunya sembari berdiri.
Namun, belum ia melanjutkan
kalimat berikutnya, di jalanan seseorang berkulit hitam sedang dikejar-kejar warga.
Entah apa masalahnya, yang jelas, kami hanya mendengar mereka mengumpat, “MONYET!”
berkali-kali. Hingga pria di hadapanku tubuhnya limbung. Ia menjatuhkan
badannya di atas meja. Tubuhnya menggigil dan bergetar. Aku ingin melakukan
sesuatu tapi percuma saja, aku hanya seberkas bayangan hitam dirinya yang tak bisa
melakukan apa-apa. Aku bahkan tak punya hati!
Diriku yang berwujud itu terkulai
lemah, lalu berkata, “Kita ini semua memang hanya monyet, bahkan jauh lebih hina
dari itu....”
Cilegon, 08 September 2019
0 komentar