[CERPEN] GUNUNG PINANG DAN ROTI PENGGANJAL PERUT (Litera.co.id, 15 Mei 2017)
image by: bantenfoto.com |
Jika kau berjalan dari arah Timur maka tersebutlah kampung Krapcak. Sedang bila kau menyusur dari arah Barat maka kau akan melewati kampung Pejaten. Lain hal andai kau tinggal di kampung yang sama dengan Mang Asmin. Cukup menapaki tanah lurus yang mengarah langsung ke gunung pinang itu. Kampung yang dimaksud bernama Pelabuhan Bulan. Asal-usul namanya memang unik dan mudah diingat sebab berbeda daripada dua kampung yang sudah tertulis. Tetapi, mungkin lain waktu saja sejarah dan filosofi nama kampung itu akan diceritakan, tidak untuk kisah ini.
Plang dipasang pada tiang panjang setinggi satu meter setengah. Memuat tulisan yang mungkin bagi warga cukup meresahkan. Mobil-mobil pengunjung, di esok hari, bisa jadi tidak akan seramai hari ini atau hari-hari kemarin. Jelas saja kalau sampai itu terjadi, pemasukan warga lokal akan menurun drastis. Bahan bakar kian hari—kian berganti pemimpin—harganya semakin melonjak. Memaksa segala macam bandrol harga kebutuhan hidup melangit. Sementara biaya sekolah pun tak kunjung menurun.
Program sekolah gratis laksana panggang jauh dari api. Warga kampung sekitar tiada merasakannya. Bahkan beberapa anak dari masing-masing kepala keluarga terpaksa memenggal cita-cita. Bagi kaum terpinggirkan, menyelesaikan sekolah tingkat SMP dan sederajat saja itu sudah sebuah prestasi. Namun ketika sebuah keputusan diambil, dan tanpa persetujuan pihak lain—dalam hal ini warga sekitar—maka salah satu sumber mata pencaharian resmi diganjal tumpukan batu besar yang akan menjelma sebuah bangunan.
Mang Asmin, sehari sebelum plang itu dipatok pada salah satu sudut gapura, tengah merapikan barang dagangannya. Selain mengerjakan hal rutinitas di setiap akhir pekannya itu, Mang Asmin pun sering atau bahkan tak pernah terlewat membersihkan surau yang berada di antara pepohonan rindang di atas bukit sana. Beliau bisa dibilang salah satu warga yang memetik rezekinya di tempat wisata Gunung Pinang itu. Biasanya, selalu saja ada acara yang dibuat di tengah hutan lindung tersebut. Seperti ketika Mang Asmin sedang mengeluarkan botol-botol air mineral di warung sederhananya. Salah satu orang berpakaian seragam datang mengunjunginya.
“Ada nasi uduk, Mang?” Tanya pria itu sambil segera menduduki dipan di depan warung.
“Ada, Mas,” jawabnya lekas, “mau pesan berapa?”
“Satu saja, atuh. Makan di sini, ya.”
Mang Asmin menyuguhkan teh tawar hangat kepadanya. Pria itu mengenakan pakaian pengendara sepeda.
“Ikutan, juga?” Basa-basi Mang Asmin memantik obrolan. Istrinya masih di rumah mengambil perlengkapan makan untuk pengunjung. Beruntung di warungnya ada beberapa piring plastik yang pekan lalu tidak dibawanya pulang. Mang Asmin beserta istrinya biasa memasak nasi uduk di rumah. Jadi, beliau hanya menyediakan nasi sekiranya satu bakul, kalaupun ramai pengunjung, dalam 5-6 jam saja sudah ludes.
“Ya, nih, Mang. Kebetulan saya pertama kali juga main ke sini,” tanggapnya antusias. “Penasaran juga, euy, sama trek-nya.”
Gunung Pinang, sekaligus hutan yang resmi didaulat sebagai hutan lindung kira-kira lima tahun lalu ini memang karismanya bak magnet bagi pecinta alam. Pun bagi mereka penggila olahraga ekstrem seperti balap sepeda gunung atau pun panjat tebing. Sebab jalanan yang terjal dan menanjak-berkelok adalah tantangan tersendiri bagi mereka. Beraneka pepohonan serta tanaman langka pun banyak tumbuh di sekitar gunung. Mang Asmin memang tak setiap hari pula berdagang di sana, sekalipun terkadang ada acara yang terselenggara selama satu minggu penuh. Jadwal berdagangnya untuk hari Senin-Jumat beliau memilih tempat di Sekolah Dasar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari gunung pinang.
“Ti Bandung, Kang?”
“Leres. Tepatna ti Cianjur. Mang Asmin sendiri asli urang diye?” pria itu balas bertanya. Tentu ia tahu nama Mang Asmin sebab di atas warung beratap belarak itu terpampang namanya pada sebuah papan triplek dalam goresan arang, tertulis: NASI UDUK MANG ASMIN.
“Kebetulan istri orang Sunda. Saya memang asli sini, Wong Banten.” Ia tersenyum lebar sembari menyodorkan sepiring nasi uduk.
Awan berarak, matahari cerah bersinar. Kawanan kambing berlarian digiring penggembala. Dekat warung nasi Mang Asmin, bertumbuhan rumput-rumput liar. Di sekitar sana memang tak ada larangan untuk menggembala hewan ternak. Sayangnya, itu tidak akan bertahan lama. Abah Rohman, bapak sepuh berusia sekira enampuluhan itu mengeluh.
“Kopine, Mang.” Keringatnya mengucur deras. Ia harus menyeberangi jalan raya yang ada di depan pintu masuk Gunung Pinang. Berjalan kaki sambil mengarahkan ternaknya adalah hal yang merepotkan, apalagi diusia senjanya kini.
“Endi Muhrojine, Mang? Dewekan bae, tah?” ia bertanya bungsu Abah Rohman. Sebab setiap ke sana, bapak tua itu mengajak cucunya. Ia gemar sekali bermain di Gunung Pinang.
“Iya, keh. Dewekan. Muhroji lagi sakit, Mang.” Ia mengela napas panjang. “Payah, yah, Mang. Ada-ada saja pemerintah. Gunung yang lagi tenang gini masa mau dikeruk. Aneh!”
“Ya, wong cilik. Bisa apa, coba? Mengeluh dan mengeluh saja. Mau rumah digusur, gunung dikeruk, pohon ditebang, jalan diperlebar, kita mah nggak bisa apa-apa,” ucapnya lemas. Ia berjalan keluar. Kemudian duduk di sebelah Abah Rohman. “Cuma manut dan nurut.”
Terlihat dari pintu gerbang banyak pendatang. Mereka sedang menurunkan sepeda dari atas mobil masing-masing. Satu-satunya upaya dari pemuda dan Karang Taruna setempat ya menyelenggarakan kegiatan itu. Barangkali, mereka berpikir, kalau sampai ramai, semoga penggusuran dan pengerukan lahan oleh pemerintah dan pihak terkait bisa dipikirkan ulang. Beruntungnya kegiatan itu bisa terlaksana dan mendapatkan izin jauh-jauh hari.
“Mampir, Mas...,” ucap Bu Kusuma setibanya di warung. Ia menegur sapa para pendatang. Mereka pun bertukar senyum. Ada satu dua orang yang beristirahat sejenak di warung nasi uduknya.
“Lama sekali, Bu? Bapak hampir saja kehabisan piring tadi.” Ia menyambut barang-barang yang dibawa oleh istrinya ke dalam warung.
“Iya, Pak, Maaf. Di jalan tadi terjadi kecelakaan.”
“Rawan pisan, ya, Bu. Di jalan Wulandira itu, ya?”
“Bener, Bah. Duh, anak zaman sekarang. Kalau bawa kendaraan nggak bisa pelan-pelan.” Raut muka Bu Kusuma tampak sembilu. “Makanya saya mah cerewet sama anak-anak, kalau bawa kendaraan mesti hati-hati. Kalau udah kecelakaan kayak tadi, keluarga juga yang repot.”
Hari semakin terik. Warung-warung lain sudah buka. Banyak warga yang berkeliling menjaja air mineral. Mereka mendatangi satu per satu para pendatang dan peserta. Di bawah pohon asem, ada gadis kecil tengah menangis seorang diri. Ia meringkuk sembari terus sesenggukan. Seorang anak perempuan, sekitar usia tiga belas tahun datang mendekat. Ia membawa sekantong karung besar. Keduanya ternyata pemulung. Dari dalam kantung itu, ia mengeluarkan satu plastik berisi makanan.
“Ini makan dulu. Habis ini kita pulang.”
Anak kecil itu menggeleng, meski ia tampak begitu lapar. Kedua tangannya memeluk perut mungilnya.
“Nanti kamu juga sakit kalau nggak makan.”
“Tapi Ibu juga belum makan, Kak.”
“Kakak sudah pisahkan buat Ibu, tenang saja.” Mendengar itu, ia lekas melahap roti dari dalam plastik merah yang digenggam kakaknya. Lahap betul. Sampai lupa menawari kakaknya.
Suara gemuruh orang-orang dan bunyi kendaraan saling bersahutan. Namun tidak ada waktu untuk sepasang kakak-adik itu. Mereka harus segera pulang dan menemani ibunya yang sedang sakit. Bahriah, si adik, tampak riang setelah berhasil mengganjal perutnya. Sementara Siti, tengah memutar otak. Ia mau tidak mau berbohong pada adik bungsunya itu. hanya ada satu buah roti dalam karung yang dibawanya. Ia berkata seperti tadi agar Bahriah mau memakannya. Tentu akan sangat merepotkan kalau adiknya ikut sakit juga. Soal perutnya sendiri, ia tak ambil pusing. Karungnya berisi banyak sekali barang bekas juga botol-botol plastik. Apalagi setiap kali ada acara semacam ini, pikirnya. Bahkan ia pun berniat untuk datang lagi ke sana setelah memastikan perut ibunya terisi makanan dan juga meminum obat. Ia yakin akan mendapatkan cukup uang setelah menjual barang rongsokannya itu ke pengepul.
Sekitar duapuluh menit, mereka hampir sampai rumah. Namun sebelum itu, di dekat gang kampungnya, ia berbelok ke kanan. Di sana ia akan menukarkan isi karungnya dengan uang.
“Cuma sekilo. Nih!”
“Yang bener, Bang? Tambahin, dong. jangan segini....” Ia tampak kecewa dan berharap uang yang diterima lebih dari itu.
“Gua kepret, Lu. Masih untung gue bayar! Pergi sana!”
Adiknya ketakutan. Ia menarik ujung baju kakaknya sembari bersembunyi. Siti tak bisa berbuat banyak. Ancaman itu benar sering terjadi. Ia pernah menukar hasil rongsokannya dan tidak mendapatkan sepeser pun. Makanya ia lebih baik mengalah dan mengajak Bahriah pergi dari sana.
“Cuma dapet tiga rebu.” Ia sedang menghitung-hitung, sembari berjalan menuju warung terdekat. Tak lama kemudian, ia telah sampai di depan warung.
“Bu Anah, rotinya satu sama obat batuk yang semalem itu satu lagi, ya....” Ia celingak-celinguk. Tak ada siapa-siapa di dekat warung itu. Ibu Anah menyilakan Siti mengambil sendiri rotinya yang ada di depan. Sementara ia mengambil satu tablet obat batuk. Ia mengguntingnya sebuah. Tanpa ia tahu, di luar Siti mengambil dua buah roti. Satu ditunjukkan padanya, satu sudah Siti sembunyikan di balik bajunya.
“Berapa duit, Bu?”
“Tiga ribu.” Siti tersenyum getir. Adiknya sudah lebih dulu berlari tanpa tahu apa yang telah kakaknya lakukan. Setelah Siti menyerahkan uangnya, ia melangkah pulang dengan hati gamang. Namun ia bergumam berusaha menenangkan diri sendiri, “besok bakal saya ganti sembari minta maaf.” Ia telah sampai di depan pintu rumahnya. Ibunya sudah menunggu.
Cilegon, 16 Februari 2017
________________
*) pernah dimuat di: Litera.co.id - Gunung Pinang dan Roti Pengganjal Perut