Poster official by Starvision. |
Salah satu hal yang mungkin paling "gila" untuk dilakukan sebagai kreator atau sineas adalah membuat sekuel dari karya terbaiknya—untuk tidak menyebutnya masterpiece. Itu pula yang dilakukan Ernest pada film Cek Toko Sebelah.
Saat pertama kali penayangannya di tahun 2016, film CTS berhasil melambungkan nama Ernest Prakasa sebagai sutradara dan penulis skenario pendatang baru yang paling bersinar.
Terbukti dari perolehan nominasi dan penghargaan pada ajang perfilman bergengsi tanah air yang diterimanya, satu di antaranya CTS memenangkan kategori penulis naskah skenario asli terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2017.
Tahun ini, dengan gagahnya Ernest membuat film CTS2 setelah sebelumnya berhasil dengan musikal dan series dari IP yang sama. Sebagian besar penggemar karyanya gembira, sebagian lagi ragu-ragu, dan sebagian kecilnya tidak peduli. Saya ada di gerombolan kedua.
Saya pernah dikecewakan, dan ini sering saya ulang-ulang di catatan dan postingan saya, soal karya fenomenal Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Karya itu, sukses hanya pada jalur puisi, tidak untuk novel trilogi apalagi filmnya. Kekaguman saya pada puisi itu jadi berkurang akibat ternodai oleh "ambisi" mengulang keberhasilan masa lalu.
Ernest sendiri mengakui, dalam beberapa wawancara, alasan muncul CTS2 tak lain untuk menarik penonton ke bioskop pasca-pandemi karena ia dan Starvision, PH yang menaunginya ada kekhawatiran soal itu. Walau ternyata, pemulihan masyarakat dan kerinduannya menonton di bioskop malah meningkat lebih cepat dari perkiraan.
Kenapa CTS1 yang dipilih untuk dikembangkan, alasannya jelas, karena film ini secara jumlah penonton mencapai jutaan dan terus diminati hingga saat ini—saya termasuk yang menontonnya berulang kali.
Beruntungnya, film CTS2 ini tidak gagal. Sayangnya, tidak bisa pula disebut sukses menjadi lebih baik dan melampaui film terdahulunya. Seperti yang saya katakan di awal, karya yang sudah sebagus itu, kalau dipaksa untuk ditarik-tarik lebih panjang ceritanya, pasti sulit. Walaupun, di beberapa kasus boleh dikatakan berhasil. Avatar contohnya, eskalasinya terus meningkat dari yang pertama ke yang kedua.
Dari segi cerita, isu yang dibawa oleh Ernest dan Meira jauh lebih serius dibanding sekadar mewariskan toko kelontong seperti yang pertama. Kali ini para karakter ditunjukkan backstory-nya yang kelam dan traumatik.
Namun lagi-lagi, terlalu banyak sub-plot yang dijejalkan sehingga fokus penonton jadi terbagi-bagi. Kita akan melihat masalah yang terjadi dengan Erwin (Ernest) dan Natalie (Laura Basuki) perihal pernikahan, dan belum selesai dengan itu, muncul masalah baru di keluarga kecil Yohan (Dion Wiyoko) dan Ayu (Adinia Wirasti) tentang keinginan punya anak, yang isunya digali sedalam itu.
Belum lagi perkara "pergantian pemain" Natalie yang sebelumnya diperankan oleh Giselle, kini diganti posisinya oleh Laura Basuki. Memang, pemilihan Laura adalah keputusan yang sangat tepat, tetapi masalahnya kemudian adalah, terjadi ketimpangan yang tidak bisa ditutupi oleh Ernest.
Terlalu banyak beban pikiran yang mesti ditanggung Ernest secara personal. Ia merangkap banyak tugas: aktor, sutradara, dan penulis skenario. Sehingga yang terjadi adalah tampak di beberapa adegan, Ernest terlihat bekerja lebih keras dan kesulitan mengimbangi akting Laura yang brilian.
Secara komedi, walau tak sebanyak film pertama, porsi di sekuelnya ini tetap pas dan enak dinikmati. Kuartet geng Capsa masih selucu itu meski pakai format komedi yang sama, tapi justru menjadi ciri khas tersendiri tektokan dan celetukan masing-masing tokohnya—mereka bisa nih dijadiin spin-off.
Terlepas dari itu semua, penulisan skenario Ernest dan Meira masih layak diacungi jempol. Penulisan rapi, eksekusi ciamik, hanya masih kurang tegaan untuk menerapkan teori "killing the darling" pada naskahnya. Mereka sesayang itu sampai semua sub-plot dipaksa masuk—padahal bisa, kan, disimpan untuk series atau prekuel berikutnya.
Kehebatan mereka dalam penulisan bisa dilihat pada babak tiga alias pada menit menjelang akhir film. Ernest boleh dibilang cukup jago "mengakhiri" problematika yang ruwet itu dengan menawarkan alternatif solusi yang masuk akal dan tidak ada kesan memaksa.
Kunci dari cerita CTS2 ini ada pada Koh Afuk (Chew Kin Wah). Aktingnya yang effortless berhasil membuat saya menangis sejadi-jadinya saat ia datang untuk menghibur Erwin anak bungsunya, dan menekan egonya sebagai ayah untuk menghadapi Agnes (Maya Hasan), mamanya Natalie. Gila, sebesar itu pengorbanan orang tua demi anak-anaknya 😭
Film yang hangat dan layak ditonton sebagai penutup akhir tahunmu. Kemarin saya mengajak Emak saat menonton di hari pertama penayangannya yang bertepatan dengan Hari Ibu. Kami menangis bersama di bioskop dan itu menjadi salah satu momen paling berharga.
Film ini mengajarkan banyak hal tentang bagaimana seharusnya menghargai pendapat orang tua terhadap anak, dan begitu pun sebaliknya.
Cilegon, 23 Desember 2022