Kerinduan yang Menjelma Hujan di Paru-Paru
Judul Buku : Hujan Bulan Juni
Jenis Buku : Novel/Fiksi
Penulis : Sapardi
Djoko Damono
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Tahun Terbit : Juni 2015
ISBN : 978-602-03-1843-1
Tebal : vi +
138 halaman.
Harga : Rp. 50.000,-
Harga : Rp. 50.000,-
Sejauh apa biasanya Anda sampai terhanyut dari kumpulan kata-kata dalam sebuah puisi? Kandungan tersirat apa yang kita beroleh saat sedang atau setelah membacanya? Adalah Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono—yang biasa dijuluki SDD—yang menurut saya selalu berhasil memberi rasa dari setiap puisi karangannya. Penyair sekaligus sastrawan besar Indonesia yang puisi romantiknya biasa tercetak di surat undangan nan sakral, dan kartu ucapan pada kado antar kekasih. Sedikitnya saya sebut satu puisinya berjudul “Aku Ingin”. Saya kutipkan larik lengkapnya yang hanya berisi dua bait saja, yaitu: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu// Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Sederhana tapi ‘ngena’. Namun, terlepas dari karya puisi penyair yang sering (baca: sebagian besar) menyelipkan kata ‘hujan’ dalam puisi-puisinya, kali ini saya akan sedikitnya menuliskan review untuk karya teranyarnya. Yakni sebuah novel yang judulnya sama persis dengan puisi fenomenalnya yang diterbitkan pertama kali oleh Grasindo di tahun 1994 dan berhasil melambungkan namanya serta disejajarkan bersama Pujangga/Penyair besar Indonesia lainnya.
Berkisah tentang hubungan
percintaan antara Pria sederhana dan kaku bernama Sarwono dengan gadis, yang
kalau boleh saya kategorikan seperti syarat untuk menjadi Miss Universe: Brain, Beauty dan, Behavior. Dialah Pingkan. Perempuan yang berdarah blasteran dari dua
suku: Jawa (Solo) dan Minahasa (Menado). Toar adalah Kakak Pingkan sekaligus
sahabat Sarwono. Dan dari sana kisah cinta mereka bermula.
Sarwono seorang Antropolog. Ia
tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti—ia mendapatkan tugas
tersebut dari dosen seniornya. Singkatnya kemudian, mereka, Pingkan dan
Sarwono, karena sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta, meski
dibenturkan oleh sebuah kendala; berbeda agama. Uniknya, cinta mereka dibumbui
dengan obrolan yang remeh-temeh setiap kali sedang jalan bersama. Tetapi,
justru sebab obrolan mereka itulah yang membuat keromantisan di antara keduanya
semakin terbangun.
Di bab awal, Sarwono dibuat
gembira, sebab, tiga puisinya dimuat sebuah koran bernama Swara Keyakinan—
(Hal.02). Sayangnya, tanggapan Pingkan setelah mengetahui itu biasa saja. Ia
berkata bahwa: “Puisimu kisruh
(hal.25)” dan cengeng, ketika membaca sajak Sarwono selain dari yang dimuat
hari itu. Sarwono belum sempat melihatkan kepadanya, dan ia tahu, mungkin
Pingkan tidak akan terlalu merespons. Tetapi, meski begitu, gadis berkulit
putih itu tetap menaruh perhatian pada Sarwono. Malah ia pernah juga merasa
kasihan ketika Sarwono yang bertubuh kerempeng itu terbatuk-batuk. Walau Sarwono
berdalih, “tapi kan sehat. (hal.35)”
dan pingkan membalasnya, “Sehat apa? Suka
ngrokok dan batuk-batuk kok sehat! (hal.35)” begitu cara ia menunjukkan
rasa sayangnya kepada Pria jawa yang dicintainya. Sebab, ia tahu, “Sarwono pernah gagal melanjutkan studi ke
Amerika gara-gara ada flek yang mencurigakan di paru-parunya (hal.28)”.
Sayangnya, Pingkan harus
melanjutkan studinya di Jepang. Ia dikirim dari kampusnya dan mengikuti
perintah Prodinya. Sarwono dibuat semakin galau ketika tahu itu. Lebih-lebih ia
pernah mendengar, kalau pria Jepang bernama Katsuo yang pernah berkunjung ke
Indonesia dan bertemu (baca: pernah dekat) dengan Pingkan, telah lulus program
pascasarjana dan menjadi dosen di Universitas Kyoto yang tak lain kampus yang
nanti menjadi tempat Pingkan menuntut ilmu—(hal.64). Di akhir bab, Sarwono
jatuh sakit dan cairan dalam paru-parunya disedot—(hal.129). Ia menderita
paru-paru basah. Ditambah benak dan hatinya yang basah sebab lama menahan
rindunya ingin bertemu sang kekasih.
Entah karena apa, dari novel tipis
total 144 halaman ini, saya kehilangan sosok SDD. Memang menulis puisi
(mungkin) tidak bisa disamakan dengan penulisan novel. Tetapi, andai saya
diminta untuk memberikan bintang, bukan karena saya tidak mengenal karya beliau,
saya akan beri 2,5 dari 5 bintang. Artinya, ada sedikit rasa kurang ‘terpuaskan’ (tanpa harus menyebutnya:
mengecewakan) dari kalimat-kalimat sederhana
yang beliau tuliskan hingga mewujud sebuah novel berjudul Hujan Bulan Juni—berbeda
sekali dengan puisinya. Saya menangkap, malah seperti ada keterpaksaan dan
keharusan pada novelnya ini diberi judul yang sama dengan puisi terkenalnya
itu. Bahkan, sampai diakhir bab, saya tidak mendapati klimaks atau rasa
penasaran yang berarti. Meski di penghujung ending-nya
masih ada kemungkinan untuk hadir sequel
atau seri buku berikutnya.
Dan lagi, saya kurang sreg dengan perdebatan dan berbincangan
yang menyatakan kalau Pingkan lebih senang disebut Jawa tinimbang Menado atau
sebaliknya. Bukan terhadap isi dari narasi tersebut yang saya permasalahkan,
tetapi lebih ke pengulangan-pengulangan yang beberapa kali bermunculan di
lembar-lembar berikutnya dan sepertinya hanya pemborosan kalimat saja dan
kurang menunjang jalannya cerita. Terlepas siapa yang memperbincangkan itu;
Ibu, Kakak, Sarwono atau Pingkan sendiri. Saya rasa, baiknya itu dikurangi. Dan
yang berikutnya adalah beberapa typo
yang saya temui, sepertinya ini menjadi catatan penting untuk editornya—pun
penulisnya tentu saja—agar setidaknya membuat pembaca (seperti saya) merasa
nyaman. Apalagi bukunya terbit di sebuah penerbit terbesar di negeri ini—saya
tidak bermaksud membandingkan dengan apa dan siapa pun.
Meminjam kalimat yang sedang
populer di kalangan kaula muda (baca: anak Meme Comic), novel ini: kurang gereget! Meski bila bicara
sampul, saya sangat jatuh cinta. Terkesan sederhana namun elegan, ditambah
rintik hujan yang membuat judul itu tampak pudar dan asli. Implementasi dari
makna tulisannya sendiri.
Namun, jauh dari itu semua,
saya sangat salut kepada SDD, yang diumurnya ke-75 tahun ini, beliau masih
produktif menulis. Bahkan tiga bulan sebelum me-launching Hujan Bulan Juni
(Juni, 2015), ia merilis novelnya yang lain berjudul Trilogi Soekram (Maret, 2015). Tentu ini menjadi lecutan tersendiri
untuk mereka yang usianya jauh lebih muda dari beliau, dan berhenti pada
pertanyaan: berapa banyak karya yang sudah Anda (baca: saya) lahirkan?[]
Cilegon,
27 Juni 2015