Judul Buku : Jalan Tak Ada Ujung
Jenis Buku : Novel
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
ISBN : 978-979-461-980-3
Tahun Terbit : Februari 2016
Tebal : 168 halaman
Jenis Buku : Novel
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
ISBN : 978-979-461-980-3
Tahun Terbit : Februari 2016
Tebal : 168 halaman
Serdadu Nica, setiap kali melihat orang yang berlarian dan hendak
bersembunyi, lekas saja mengokang senjata dan menembakkan peluru panasnya
secara membabi-buta. Dalam satu kesempatan, salah satu anggota Nica berkata,
“Mampus lu, anjing Soekarno! Mau merdeka? Ini merdeka!”—(hal.06). Nahasnya tak
ada yang berani melawannya. Sembari menembaki mereka terus berjalan. Entah
ditembakkan ke berapa, tepat berada di pandangan Guru Isa, serdadu Nica itu
menembak seorang perempuan Tionghoa yang halaman rumahnya ia pakai untuk
bersembunyi. Guru Isa gemetar takut tertangkap. Meski setelah itu para serdadu
keparat kembali ke dalam truk dan melanjutkan perjalanan. Sejak saat itu, guru
Isa selalu merasa kalah, dan ketakutan selalu berada selangkah di belakangnya,
menjadi bayang-bayang yang menghantuinya ke manapun ia berjalan, bahkan sampai
terbawa ke alam mimpi. Setiap kali hendak tidur, ia selalu gusar.
Entah bisa dibilang nasib buruk atau baik, dalam keadaan guru Isa yang
dalam ketakutan, ada seorang pemuda bernama Hazil yang menemuinya. Mula-mula
mereka ada kecocokan pada hobi yang dimilikinya. Hazil datang kepadanya karena
ia senang menggesek biola, dan seseorang membawanya kepada Guru Isa, si pemain
biola terbaik di sekolah tempatnya mengajar. Akan tetapi, karena intensitas
Hazil datang ke rumah Guru Isa, pada akhirnya ia mengajak juga guru yang lugu
dan berperangai kaku dalam bergaul itu untuk tergabung dalam gerakan perjuangan
yang mereka dirikan. Lagi-lagi karena ketidakenakan serta kurang beraninya ia
menolak ajakan Hazil, maka ia menurutinya. Hingga di kemudian hari ia ditunjuk
sebagai pemimpin gerakan. Dan sejak saat itu berpikir bahwa pada akhirnya semua
ibarat jalan. Apa yang ia kerjakan dan putuskan adalah jalan. Jalan tak ada
ujung.
Penggalian karakter yang sedemikian detil itu berhasil merasuk ke dalam
benak pembaca. Betapa Guru Isa adalah orang yang sangat pendiam dan selalu
memendam segala perasaannya. Ia penuh keragu-raguan sampai membuat ia harus
menjadi orang lain. Berperang, bertarung secara fisik adalah bukan guru Isa
yang ia sendiri tahu. Ia hanya seorang guru. Guru sekolah dasar. Selama ia
bersama Hazil, ia hanya orang yang berpura-pura; pura-pura berani, pura-pura
berontak. Ia sekali pernah berucap pada istrinya, Fatimah, “aku tidak suka pada
orang yang berpura-pura”—(hal.71).
Guru Isa menaruh kekaguman pada Hazil ketika pemuda itu menggesek biola pinjaman
darinya. Ada karakter baru yang ia lihat, bukan sebagai pemuda pemberontak,
tetapi pemuda yang berhasil memberikan ekspresi positif. Sayangnya,
kekagumannya itu tak berlangsung lama. Ketika guru Isa sedang terbaring sakit,
sudah sejak jauh hari ternyata Hazil pernah bertukar pandang secara diam-diam
dengan Fatimah. Mereka menaruh rasa satu sama lain. Hingga tiba sebuah
kesempatan, saat mereka berdua di dapur, mereka pun melenggangkan nafsu
birahinya masing-masing. Bibir keduanya saling berpagut, tak peduli lagi kalau
di dalam rumah itu ada orang lain selain mereka, yakni suaminya Fatimah.
Bahkan, alih-alih menyesali perbuatannya—karena memang Fatimah sudah tak
menaruh gairah lagi dengan guru Isa—mereka malah semakin menjadi. Puncaknya
ketika guru Isa sedang mengajar, Hazil datang menemui Fatimah. Mereka
berhubungan layaknya suami istri di kamar guru Isa. Kebiasaan Hazil selalu
menaruh pipa rokoknya di bawah bantal. Ia akan selalu diingatkan Fatimah untuk
tidak lupa mengambil pipa rokoknya. Sepandai apapun kau menyembunyikan bangkai,
baunya akan tercium juga. Begitulah aksioma bersabda. Dan benar saja, ketika
malam hari, saat guru Isa hendak tidur, tangannya tanpa sengaja mendapati
sebuah pipa di bawah bantalnya. Kegeraman guru Isa pun dirasakan oleh pembaca
tentunya. Lebih-lebih dengan keputusan Guru Isa untuk tidak memperpanjang
masalah dan tidak menanyakannya. Bahkan pipa itu ia simpan dalam laci kerjanya
dan tak butuh bertanya apa pun pada kedua tersangka.
Kebohongan demi kebohongan pun mulai terbangun. Satu kebohongan timbul
menutupi kebohongan lainnya. Hazil dengan kawannya Rahmat setelah berhasil menyelundupkan
senjata dan granat, mereka merencanakan untuk menyerang serdadu Hindia Belanda
yang ramai berada di bioskop. Hazil meminta Guru Isa untuk ikut dan memastikan
keduanya setelah penyerangan akan baik-baik saja. Setelah mengangguki,
terjadilah segalanya. Granat berhasil meledak meski hanya dua serdadu saja yang
tewas. Hazil dan Rahmat aman, tentara belum berhasil melacak siapa pelakunya.
Sayang hanya berlaku satu Minggu saja. Minggu berikutnya Hazil tertangkap dan
membuat guru Isa ketakutan. Hari-hari berikutnya ia tidak bisa terlelap. Selalu
saja membayangi kalau suatu waktu para tentara datang menjemputnya. Tetapi
sesekali ia berpikir akan aman. Sebab Hazil dan Rahmat sebelum melakukan aksi
itu, bila tertangkap nanti tidak akan menyebut-nyebut nama Guru Isa. Sayangnya
Hazil hanyalah orang bodoh yang tak tahu rasa terima kasih. Karena
ketidaktahanannya oleh hukuman dan penyiksaan yang dilakukan serdadu Nica
padanya, maka ia pun mengatakan kalau masih ada dua orang lagi kawan yang
berkomplot dengannya. Yakni guru Isa dan Rahmat.
Rahmat berhasil kabur keluar kota. Sedangkan guru Isa tak berdaya apa-apa
saat digelendang tentara ke jeruji besi. Ia sungguh tak menyangka, Hazil si
pemuda yang ia kagumi ternyata menelan ludahnya sendiri. Ia berkhianat padanya.
Novel Jalan Tak Ada Ujung berhasil mengilustrasikan sisi gelap dari
orang-orang yang hidup di masa pra-kemerdekaan. Tidak semua yang berkata
berjuang untuk negara benar-benar tulus. Banyak yang menjadikan gaung
perjuangan sebagai jalur mencari keuntungan diri sendiri, menjadikan
orang-orang oportunis. Bahkan hingga tak peduli lagi pada orang lain. Hazil
adalah apa yang biasa kita temui dan kita lihat hingga kini. Orang-orang
terdekat kita sangat berpotensi besar untuk menjadi pengkhianat. Sebab ia sudah
tahu banyak hal dari apa yang diri kita miliki.
Mochtar Lubis berhasil kuat menampilkan suasana empiris tokoh-tokoh yang
dibuatnya. Juga penggambaran suatu ruang dan waktu di masa kelam negara
Indonesia. Pada akhirnya, kemerdekaan hanya menjadi sebuah pertanyaan yang
mengapung-apung di udara. Ia bak sebuah debu yang dihempas angin ke
sana-kemari. Ia juga bak jalan yang tiada habisnya. Tiada tujuannya. Tiada
ujungnya.[]
Cilegon, 17 Agustus 2016