image by: biem.co |
Mahasiswa mana pun, pasti akan bertemu dengan yang namanya tugas; bisa tugas membuat laporan makalah, paper, membuat jurnal, resume dan sejenisnya. Apalagi kalau mahasiswa yang terlibat di sebuah organisasi kampus seperti, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan sebagainya. Pastilah sedikitnya kita akan mengerti dan bahkan paham apa itu proposal anggaran, dan cara penyusunannya—meski hanya pada bagian nama acara dan anggaran saja yang biasanya cukup diubah—untuk menjalankan acara-acara kegiatan di kampus. Lantas, dari penjabaran itu apa yang bisa kita tarik untuk sebuah hipotesis sementara?
Ya, koruptor itu adalah kita!
Namun karena ini barulah sebuah
hipotesis sementara—atau bahkan terasa terlalu tergesa-gesa—maka yang
diperlukan berikutnya adalah perunutan secara detail bukti-bukti konkret atas
simpulan yang kadung saya buat. Dan mencari kebenaran tentulah mutlak adanya.
Korupsi
berasal dari bahasa Latin Corruptio atau Corruptus.
Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan Korupsi. Alatas (1987), menandaskan esensi korupsi
sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.
Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu
dengan metode pencurian dan penipuan. Korupsi sebagai fenomena penyimpangan
dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan
ditelaah secara kritis oleh banya ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya,
yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang
disebutnya sebagai korupsi moral (moral
corruption).
Sedangkan mungkin, kita mengerti bahwa istilah korupsi
hanya pantas disematkan bagi mereka yang menjabat sebagai kepala atau salah
satu bagian di pemerintahan. Atau barangkali kita hanya mengerti bahwa korupsi
adalah sebuah perilaku penyelewengan uang yang berkisar hanya dalam jumlah
besar saja. Apalagi didukung dengan istilah yang dijelaskan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) tentang arti kata korupsi: ko·rup·si n
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain. Sehingga dengan begitu kita merasa
lega, bahwa selama ini, apa yang telah kita lakukan, hal-hal kecil yang dirasa
tidak merugikan siapa pun, bukanlah bagian dari korupsi itu sendiri. Dan tentu,
andai begitu yang dipikirkan, maka kita sudah menjadi bagian dari koruptor atau
penerus para pejabat-pejabat korup yang kian hari berseliweran mengisi berita
di media-media Indonesia itu. Selamat!
Korupsi pantas diberangus, makanya lebih baik segera
turun ke jalan, membuat barisan, atau sekadar kumpul-kumpul rapat dengan banyak
aktivis dan kakak-kakak senior. Perkara membuat file laporan praktikum, paper, jurnal, resume, dan makalah cukup
berbisik saja pada kakak angkatan yang satu jurusan, meminta file laporan yang mirip-mirip, kemudian
tinggal ubah dan ganti saja judul, tanggal, pendahuluan, font tulisan, nama mahasiswa dan aksesoris lainnya yang pantas
untuk dipoles, persis pula seperti yang dilakukan sebagian dari senior-senior
mereka yang terdahulu.
Tak ada yang salah dengan titip absen ketika jam kuliah
sedangkan kita memilih untuk mengikuti demo antikorupsi! Jelas-jelas itu dua
hal yang berbeda, dan kita sedang ‘membela negara’. Dan begitulah terus sampai
turun-temurun. Tapi, itu lebih baik ketimbang para pejabat yang kadang
memutuskan sebuah kebijakan pemerintah tanpa riset serius. Bila dia mahasiswa,
barulah sah-sah saja. Mengerjakan tugas memakai Sistem Kebut Semalam (SKS) pun
pasti sanggup dan itu tidak dilarang. Siapkan saja kuota internet atau paket
begadang, modal Wikipedia saja makalah bakalan kelar, dan mengaku hasil buah
pikirnya, tanpa menyertakan sumber otentiknya. Wong, kalau dilihat-lihat, terkadang materi presentasi yang biasa
dosen sampaikan saja sama persis dengan apa yang pernah kita dapatkan dari Google.
Tinggal klik, semua beres! Seimbang, kan?
Akhir-akhir ini, kita kembali dihebohkan—meski setiap
periode selalu hal serupa terulang—oleh pemberitaan media bahwa para pejabat
pemerintahan, yang sebagiannya DPR menggunakan APBN hanya untuk studi banding.
Celakanya studi banding itu lebih pantas diistilahkan dengan jalan-jalan
belaka. Apa yang kita dapatkan dari hasil kinerjanya? Tak jelas adanya. Berbeda
dengan mahasiswa yang serius saat kunjungan ke sebuah perusahaan industri, misal, lalu
diminta dosen untuk membuat sebuah laporan dari hasil kunjungannya. Sayangnya karena
ada urusan dan hal-hal yang lebih genting seperti; mengurusi proposal acara dan
anggaran untuk kegiatan, maka dengan berat hati laporan atas kunjungan itu
cukup menyadur saja dari laporan yang dibuat oleh teman-teman yang pendiam
tetapi sedikit cerdas di kelas. Tak masalah, toh, mahasiswa yang seperti itu
sedang memperjuangkan keperluan khalayak ramai demi kemaslahatan mahasiswa
lainnya, tentu kita wajib mendukungnya. Daripada
pejabat, yang sebagian besar para mafia a
ka maling berdasi itu, mereka pandai memain-mainkan uang rakyat,
menggelapkannya hingga siapa pun sulit mendeteksinya, sekalipun itu sebuah
lembaga sebesar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masih lebih mulia
kawan-kawan kita di bangku perkuliahan, yang jiwanya masih menggebu-gebu. Hati
dan pikirannya masih jernih dan ‘idealis’ dalam mengambil keputusan. Bahkan
sesama anggota begitu royal dan saling memahami. Kesalahan tulisan anggaran di
lembar proposal acara, dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang sedikit mengelembung,
itu tak masalah, bisa dimaklumi. Karena memang mengurus organisasi butuh biaya,
ada ‘ongkos capeknya’. Meskipun tidak setimpal.
Begitulah yang bisa saya pertanggungjawabkan atas
simpulan hipotesis sementara di atas. Anda bisa sepakat atau tidak, yang jelas
disadari atau pun tidak kita seringkali melakukan sesuatu tanpa benar-benar
paham dan menyadarinya secara menyeluruh. Padahal, paling lama, kita akan
menjadi mahasiswa dalam kurun waktu 4-7 tahun saja. Boleh sekarang kita asyik
dan merasa nyaman dengan apa yang kita lakukan, tetapi, tanpa kita sangka dan
sadari, kita akan menjadi bagian dari kata sakral, “korupsi” itu sendiri. Kita
menjadi warga sipil yang terjerat di dalamnya. Sesungguhnya kita tidak berada
di mana-mana. Kita terikat, di sebuah lingkaran sistem yang mengurung kita
untuk lari di tempat. Sesungguhnya ini baru perumpamaan dalam dunia kampus
belaka, masih banyak contoh-contoh korupsi kecil dalam kehidupan sehari-hari,
yang lagi-lagi secara sadar ataupun tidak, telah kita lakukan. Dalam beribadah
pun kita sering melakukan tindakan korupsi waktu. Menawar-nawar kepada Tuhan
soal waktu ibadah yang sudah ditentukan. Datang di akhir, pulang di awal bahkan
saat pengkhotbah masih memimpin doa, misal.
Kita, adalah warga Indonesia yang sejak kecil selalu
dicekoki dengan apologia, pemakluman-pemakluman tentang hal-hal yang dianggap
sepele. Sekalipun itu melanggar peraturan dan norma adat, negara, lebih-lebih
agama. Dan nahasnya hal itu terus membudaya sampai sekarang. Maka berhentilah
beretorika melawan dan menentang korupsi, bila kita belum sepenuhnya berkaca diri.
Karenanya, bila bicara ‘Berjamaah
Lawan Korupsi’, maka bersiaplah berjamaah melawan diri sendiri!
Cilegon,
03 Januari 2016
*) Esai ini sudah dimuat di biem.co (20/02/2016)