Di ruangan
ini, aku seperti tengah menyaksikan video usang. Benakku kembali ke sebuah
peristiwa yang terjadi persis dua puluh tahun lalu. Aku masih ingat jelas apa
yang dikatakan sahabat kecilku itu. Serupa suara bocah usia tiga belas tahun
pada umumnya. Tak beda. Namun ada sebuah cita-cita besar yang ia punya. Yang
tak semua anak miliki, termasuk aku. Tentang masa depan sebuah tempat. Tempat
kami dilahirkan.
***
Kakiku berhati-hati
meniti jembatan gantung ini. Kayu-kayunya rapuh. Bahkan, di beberapa bagian
sudah rusak dan patah. Sehingga terlihat dari lubang itu aliran Sungai Ciberang
yang deras. Setiap pagi, kami harus melalui jembatan ini untuk sampai ke
sekolah. Letaknya ada di jalan raya yang bila ditempuh melalui jalur darat maka
akan menghabiskan waktu selama dua jam. Itu sebabnya sejak kecil, setiap kali
kami akan ke kota, ibu dan kakakku selalu melalui jembatan ini. Jalur
penghubung antara kampung Waru, desa Sangiangtanjung dan desa Pasirtanjung.
“Tunggulah,
Mat. jangan buru-buru!”
“Sebentar
lagi masuk. Ayo lekas!”
Ketika
itu aku sungguh geram. Ia berlari dengan lincahnya, sementara aku ketakutan
karena lantai jembatan terus bergoyang-goyang dan miring. Semakin kencang
hingga memaksa aku melipir ke tepi
dan berpegangan dengan kawat sling yang menggantung. Hanya satu, sedangkan
kawat lainnya sudah lama putus akibat diterjang banjir.
Ah,
untuk berangkat ke sekolah saja betapa sulitnya. Terserahlah kalaupun aku
telat. Lebih baik berjemur di sebelah tiang bendera, daripada harus menempuh
perjalanan berkilo-kilo meter ini.
“Hari
ini aku tidak mau sekolah,” kataku datar. Mungkin terdengar seperti bisikan.