Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Foto: Arya Ananda Indrajaya Lukmana saat mempresentasikan aplikasi EndCorona. (doc.SIA)

    Sebulan Sebelum Covid-19 Singgah ke Indonesia
    Terhitung sejak tanggal 20 Januari 2020 sampai tanggal 08 Februari 2020 menjadi awal tahun yang berkesan bagi saya. Untuk pertama kalinya, orang kampung Cibeber ini terlibat syuting film layar lebar yang berlokasi di Provinsi Banten. Ketika pertama kali dihubungi oleh Mang Qizink, teman di Komunitas Rumah Dunia, saya sempat meremehkan: “Paling cuma bikin film pendek,” pikir saya. Namun sejujurnya saya tak menolak tawaran itu, saya malah langsung menyetujuinya tanpa bertanya perihal terkait honorarium atau semacamnya lebih dahulu─padahal setelah sekarang serius menjalani profesi menulis, hal ini adalah hal pertama yang perlu kita bahas sebelum mulai bekerja. 

    Saat itu saya dihubungi untuk membantu para aktor dan aktris berdialek bahasa Jawa Serang (Jaseng) dan Sunda Banten. Mang Qizink saat itu memang pendiri sekaligus pengurus Komunitas Bahasa Jawa Serang. Ia dihubungi PH untuk mencari tim Pelatih Bahasa (Dialect Coach). Alasan utamanya kenapa mengajak saya kala itu lantaran ia pernah menonton Youtube komunitas film saya, RSM Production, membuat film pendek berbahasa Jaseng. Selain itu tentu saja karena saya seorang penulis yang lahir dan besar di Cilegon, salah satu kota di Banten.

    Tibalah hari di mana semua kru dari departemen masing-masing berkumpul untuk memulai syuting keesokan harinya. Tanggal 19 Januari 2020 kami saling bertemu, untuk berdoa dan memotong tumpeng. Saya dikenalkan oleh Mang Qizink ke Mbak Kamila Andini, selaku sutradaranya, dan Mas Ifa Isfansyah, produser dari Fourcolours Films (sekarang Forka Film) sekaligus suami dari Mbak Dini. Film yang akan diproduksi saat itu berjudul “Yuni” film yang 95% berbahasa daerah Banten─yang di kemudian hari skenarionya diadaptasi ke dalam bentuk novel dan dipercayakan kepada saya sebagai penulisnya (barangkali bagian ini akan saya ceritakan di lain kesempatan).

    Awal Kemunculan Covid-19 Si Virus Misterius
    Ketika itu, saya ingat betul isu yang sedang hangat di media cetak maupun digital, yakni tentang kemunculan virus “misterius”. World Health Organization (WHO) pertama kali menyebutkan coronavirus disease yang ditemukan pertama kali di wuhan, China pada akhir Desember 2019 dengan novel coronavirus 2019(2019-nCoV) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

    Mengutip Wikipedia, konon awalnya virus corona ini ditemukan pada hewan seperti unta, ular, hewan ternak, kucing, dan kelelawar. Manusia dapat tertular virus apabila terdapat riwayat kontak dengan hewan tersebut, misalnya pada peternak atau pedagang di pasar hewan. Namun, dengan adanya ledakan jumlah kasus di Wuhan, China menunjukkan bahwa corona virus dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Virus bisa ditularkan lewat droplet, yaitu partikel air yang berukuran sangat kecil dan biasanya keluar saat batuk atau bersin. Apabila droplet tersebut terhirup atau mengenai lapisan kornea mata, seseorang berisiko untuk tertular penyakit ini.

    Kami, yang saat itu belum paham tentang penyakitnya, menganggap sepele belaka. Bahkan kami sempat meremehkan dan menjadikan virus Covid-19 sebagai bahan bercandaan. 

    “Orang Banten, mah, kebal-kebal. Jago debus! Virus begitu doang moal mempan!”

    Kurang lebih begitu kalimat yang muncul diikuti kalimat serupa lainnya dan ditanggapi dengan tawa bersama. Kami tak sungguh-sungguh paham apa yang sedang menimpa dunia, karena saat itu hanya terjadi di China. Sampai kemudian hari itu tiba. Hari-hari berkesan saya tak bertahan lama di awal tahun 2020. Setelah syuting film selesai, tepat tanggal 02 Maret 2020, untuk pertama kalinya, pemerintah Indonesia melaporkan 2 kasus positif Covid-19 terjadi di Depok. Pemerintah menyarankan masyarakat untuk tidak panik, tetapi sebetulnya saat itu perasaan kami campur aduk. Beberapa bulan kemudian, bukan hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, kehidupan manusia berubah total.

    Semua orang mencoba beradaptasi, aktivitas luar rumah sempat dibatasi bahkan dilarang. Manusia yang satu dan yang lainnya bila ingin bertemu mesti menggunakan masker, sekolah dan para pegawai kerja dari rumah atau Work From Home (WFH), hampir semua kegiatan secepat kilat beralih ke media daring.

    Arya Ananda Indrajaya Lukmana Si Inisiator Aplikasi EndCorona
    Sementara itu, para ilmuwan dan dokter di seluruh dunia berlomba-lomba mencari tahu obat penawarnya, sedangkan satu demi satu “korban” terinfeksi virus Corona terus berjatuhan, sebagian bertahan sebagian lainnya meninggal dunia. Jujur, saat itu saya betul-betul ketakutan virus itu bakal menyerang keluarga saya, beruntungnya, sampai hari ini kami baik-baik saja.

    Barangkali, karena berawal ketakutan itulah Arya Ananda Indrajaya Lukmana, yang juga berasal dari Cilegon, kota yang sama dengan tempat kelahiran saya membuat aplikasi EndCorona, sebuah alat digital yang berfungsi sebagai pendeteksi risiko Covid-19. Selain itu ia merasa perlu turut andil sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hingga akhirnya menginisiasi terciptanya aplikasi ini.

    Ia berkolaborasi dengan rekannya sesama mahasiswa lintas jurusan dan disupervisi oleh tim dosen-dokter dari FKUI-RSCM. EndCorona sendiri adalah aplikasi penyedia asesmen gratis yang dapat mendeteksi risiko terkena Covid-19 sehingga masyarakat bisa mengetahui apakah dirinya masuk ke dalam kategori risiko “Rendah”, “Hati-hati”, “Rentan”, atau “Sangat Rentan”.

    Aplikasi yang ditemukannya tahun 2020 itu, tentu sangat berguna. Sebab, masyarakat benar-benar tak tahu harus bagaimana karena media simpang-siur memberitakannya. Berita hoaks berseliweran di mana-mana. Lewat aplikasi EndCorona mereka berupaya untuk mencegah penyebaran dan perkembangan kasus lebih jauh, mengedukasi masyarakat sekaligus membantu fasilitas kesehatan di Indonesia.

    Selain fitur utamanya yaitu asesmen pendeteksi gejala dan risiko, EndCorona juga dapat digunakan untuk mengakses informasi dan edukasi mengenai Covid-19 mulai dari situasi terkini penyakit, hotline darurat provinsi, hingga pembasmi hoaks seputar Covid-19 yang disusun berdasarkan jurnal, literatur dan referensi yang terpercaya. Fitur WhatsApp helpline yang disambungkan dengan Tim Dokter FKUI-RSCM juga disediakan untuk memberikan informasi lebih lanjut bagi pengguna yang mendapatkan hasil risiko “Rentan” atau “Sangat Rentan”.

    Pembentukan program pengabdian masyarakat melalui EndCorona murni bertujuan untuk sosial tanpa mengejar keuntungan ekonomi. Mereka merasa bahagia hanya dengan melihat karyanya dapat bermanfaat untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan segera pulih dari Pandemi Covid-19. Mereka bahkan mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mewujudkan keinginan mencegah membludak dan kolapsnya fasilitas kesehatan yang bisa membahayakan banyak pihak.

    Berkat ketulusan dan inisiasinya membantu sesama inilah Arya Ananda Indrajaya Lukmana diganjar penghargaan dan menerima apresiasi dari SATU Indonesia Awards 2020 yang diprakarsai oleh Astra Group. Pemuda seperti Arya inilah yang dibutuhkan Indonesia di hari depan. Kita bisa menyiapkan diri, tidak ada kata terlambat untuk menyambut Indonesia Emas 2045.

    Tahun 2045 merupakan momentum bersejarah, karena Indonesia genap berusia 100 tahun atau satu abad Indonesia. Hal ini yang menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana, dan gagasan Generasi Emas 2045. Indonesia 2045 masih 22 tahun lagi dari sekarang. Namun, pada dasarnya bibit-bibit unggul seperti Arya sudah ada dari sekarang, dan SATU Indonesia Award merangkumkan nama-nama yang berperan aktif dari tahun ke tahun untuk kemajuan Indonesia, dan mencatatkannya menjadi semacam ensiklopedia orang-orang keren yang lewat gagasan dan bakatnya akan menjadikan Indonesia negara yang bermartabat!

    Cilegon, 06 November 2023

    Continue Reading

     

    Sewindu sudah saya bergelut di dunia kepenulisan ini. Beragam karya telah berhasil saya tuliskan. Banyak sekali orang yang berjasa selama saya berproses meningkahi anak tangga kekaryaan. Saya tak bisa menyebutkan satu per satu lantaran terlampau banyak, yang jelas siapa pun yang pernah berbagi pengetahuan hingga hari ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

    Semua ini baru awalan. Setelah saya menyelami lautan aksara, ternyata terlampau dalam dunia kesusastraan ini, dan saya masih berada jauh di permukaan, dengan buih-buih yang sesekali lenyap tersapu angin. Saya tak ingin menjadi bagian dari buih-buih itu. Saya ingin menjadi ikan, pasir, terumbu karang, bahkan air laut itu sendiri. Saya ingin menghasilkan karya yang indah, yang bisa dinikmati oleh mereka para pembaca setia.

    Melalui tulisan, pikiran saya bisa merasa merdeka. Menulis juga bagi saya bisa sebagai terapi ketika ada perasaan yang sulit diungkapkan secara lisan. Maka setelah 8 tahun berkarya, saya tak akan pernah berhenti menulis. Banyak hal yang mesti saya selesaikan, banyak hal yang mesti saya tuliskan....

    Mari bertualang di rimba kata-kata!

    * * *

    BUKU PERTAMA

    Saya hampir tak boleh mengikuti pelatihan menulis lantaran pernah memberikan buku ini ke salah seorang mentor.

    “Kamu udah bisa nulis, kenapa ikut kelas ini,” katanya. Saya tersipu malu, bukan karena saya merasa jago, tapi saya menulis buku ini secara otodidak, belum paham benar tentang teori kepenulisan. Selain itu, alasan saya mengikuti kelas menulis bukan hanya untuk belajar menulis, tetapi ingin mencari teman menulis. 

    Saya lahir dan besar di Cilegon, tahun 2012 saat itu saya tidak tahu ke mana harus belajar menulis. Semuanya saya pelajari dari media sosial, saya tergabung di beberapa grup kepenulisan. Tapi rasanya kurang, saya ingin bertemu teman menulis yang bisa dan mau mendengarkan ide-ide saya. Kau tahulah, ketika saya membicarakan hal itu ke orang-orang yang tidak gemar membaca dan menulis, percuma saja. Sama seperti sebagian besar kawan-kawan saya di kampus. Mereka sering menganggap saya meracau dan mengkhayal.

    Karenanya, setelah menemukan Komunitas Rumah Dunia, saya tak lagi merasa menjadi penyihir aneh di antara muggle-muggle di sekitar saya. Dan seorang mentor yang saya sebutkan di atas, dialah Gol A Gong. Guru kehidupan saya di komunitas itu.

    Fun Fact: Buku pertama ini menginspirasi saya untuk membuat perpus pribadi yang saya kelola di samping rumah, namanya “Rumah Baca Garuda”. Alasannya simpel; agar saya bisa mendapatkan teman berdiskusi. Kalau sesuatu belum ada di lingkunganmu, bukankah itu artinya kamu yang harus menciptakannya?

    * * *


    BUKU KEDUA

    Menulis bukan pekerjaan yang mudah. Begitu juga pekerjaan lainnya. Maka bila kamu berpikir perjalanan karier kepenulisan saya mulus-mulus saja, tentu kamu salah besar. Novel ini adalah buktinya. Saat pertama kali jadi draft, saya ikutkan ke ajang lomba. Saya berharap sekali menang, tapi sebagaimana kita tahu kemudian, sesuatu yang pertama kali dibuat, seringkali hasilnya tak pernah bagus. Saya kalah di lomba itu. Saya down dan merasa gagal menulis novel.

    Namun, saat saya baca ulang, ternyata betapa berantakannya draft novel itu. Logika cerita yang masih belum utuh, dan kesalahan penulisan di sana-sini. Karenanya menulis bukan pekerjaan mudah. Usai dituliskan, tugas berikutnya kita mesti mengendapkan karya itu. Barulah masuk proses editing. Setelah melewati semua prosesnya, barulah saya kirimkan ke penerbit. Dan setelah penantian panjang, novel ini terbit di salah satu penerbit besar di Indonesia. Naskah saya lolos dan dicetak ribuan lalu menyebar ke toko buku seluruh nusantara.

    Betapa semua perjalanan berkelok-kelok itu terbayarkan. Apresiasi dari kawan-kawan berdatangan. Media sosial saya penuh dengan mention dari mereka yang berfoto di toko buku di kotanya. Dan di sanalah kepuasan penulis muncul. Rasa penasaran timbul untuk terus berkarya lebih baik lagi dan melahirkan karya-karya berikutnya.

     * * *


    BUKU KETIGA

    Ini buku paling istimewa. Saya akan membahasnya singkat saja, karena cerita lengkapnya ada di pengantar dalam buku ini. Suatu kali saya dihubungi Pengurus Yayasan kampus saya. Ia mengajak bertemu dan makan bersama. Ia mengapresiasi buku-buku saya sebelumnya. Pertemuan yang hangat. Kami berbincang-bincang mengenai banyak hal. Sampai di satu obrolan, saya mengatakan sedang menyiapkan buku kumpulan cerpen. Belio bersedia atas nama kampus untuk menerbitkannya. Dan setelah pertemuan itu muncullah buku ini. Semua biaya ditanggung olehnya, dan hingga hari ini, sisa-sisa bukunya bisa kamu dapatkan di toko buku kampus saya.

    * * *

    BUKU KEEMPAT

    Buku ini eksklusif sekali. Tidak akan kamu temui di toko buku online maupun offline. Buku ini lahir setelah saya termasuk dalam 100 pegiat taman bacaan masyarakat study banding ke Singapura. Kami terpilih sebagai peserta bimbingan teknis vokasi menulis Kemendikbud RI.

    Selama kurang lebih seminggu di sana, kami diminta menuliskan pengalamannya berupa karya fiksi maupun nonfiksi dalam bentuk buku. Maka terbitlah buku ini. Kamu bisa mengaksesnya dengan cara langsung menghubungi Kemendikbud RI, sebab buku ini tidak diperjualbelikan~

    * * *

    BUKU KELIMA

     Sebetulnya inilah novel pertama yang saya tulis di laptop. Namun tidak kunjung menemukan jodohnya. Setelah saya posting beberapa bagian babnya di Wattpad, salah satu platform digital, barulah ada seorang pemilik penerbitan dari Kalimantan yang meminangnya untuk diterbitkan.

    Bagi kamu yang berpikir tak pernah bertemu dengan jodohmu, belajarlah dari perjalanan buku ini. Sesungguhnya semua sudah ada pasangannya masing-masing, yang berbeda barangkali belum ketemu saja. Atau mungkin belum dilahirkan hehe... canda yaela~~

    * * *


    BUKU KEENAM

    Sebelum buku ini terbit, beberapa cerpennya saya kirimkan ke Ubud Writers and Readers Festival 2017. Siapa kira, ternyata saya terpilih bersama 15 penulis lainnya dari berbagai daerah di Indonesia sebagai penulis emerging.

    Setelah itu, manuskrip cerpennya saya kirimkan ke penerbit. Syukurlah, tak butuh waktu lama, dengan kebaikan hati pemilik penerbit, naskah saya diterbitkan dan sempat saya bawa ke acara UWRF di Bali. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi saya. Salah satu pencapaian tertinggi di dunia kepenulisan.

    * * *


    BUKU KETUJUH

     Tinimbang cerpen-cerpen lain di buku sebelumnya, saya menulis cerpen yang rata-rata bertema realis dalam buku ini. Saya diperkenankan oleh penerbit untuk terlibat dalam konsep cover dan bentuk fisik buku yang lebih kecil dibanding buku lainnya. Saya memang ingin bentuknya seperti buku saku yang mudah dibawa ke mana-mana tanpa banyak makan tempat.

    * * *


    BUKU KEDELAPAN

    Untuk pertama kalinya saya menulis novel keroyokan. Ditulis oleh tujuh orang yang menamai kelompoknya Pitulis. Buku yang lahir atas kerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam suatu acara yang diselenggarakannya.

    Perjalanan buku ini lahir ke bumi penuh liku, onak berduri, dan tentu saja penuh drama. Namun akhirnya terbit juga. Saya yakin suatu saat buku ini akan dialihwahanakan ke media film atau webseries. Ceritanya memang sangat filmis dan cocok untuk diaudiovisualkan. Semoga saja suatu hari.

    So, setelah membaca ulasan singkat soal sejarah masing-masing buku ini, buku mana saja yang sudah kamu miliki dan kamu baca?

    Bersiaplah, tahun depan buku baru saya akan terbit. Ayo nabung!




    Continue Reading


    Geliat cerita anak saban waktu kian mendulang peminat. Banyak penulis dewasa bermunculan yang juga menulis cerita anak. Ini juga berkat adanya ruang-ruang media yang menyediakan cerita anak untuk terus eksis, meskipun tidak sebanyak ruang karya sastra lainnya.

    Buku-buku yang masuk jajaran best-seller dan stabil dalam penjualan juga cerita anak. Menurut Tirto.id, Pada 2013, nilai penjualan buku di Indonesia mencapai Rp7,3 triliun. Jumlah ini meningkat jadi Rp8,5 triliun setahun berikutnya.

    Dan, siapa penguasa pasar buku Indonesia? Tak lain tak bukan adalah buku cerita anak.
    Pada 2013, pangsa pasar buku anak adalah 22,31 persen dari total penjualan buku di Indonesia. Setahun kemudian, jumlahnya jadi 22,64 persen.

    IKAPI mengambil data penjualan buku dari Gramedia, toko buku terbesar di Indonesia. Peringkat 1 penjualan mereka adalah buku anak. Pada 2014, sekitar 10,1 juta eksemplar buku cerita anak berhasil dijual oleh Gramedia. Mengalahkan buku religi dan spiritual, fiksi dan sastra, bahkan buku pelajaran sekolah.


    Artinya, dalam segi bisnis, ada peluang besar bagi para penulis cerita anak. Apa yang dilakukan oleh para penulis buku, “Hantu-Hantu Palsu” ini semacam langkah awal yang patut mendapatkan apresiasi.

    Hebatnya lagi, adik-adik ini penulis cerita anak yang masih anak-anak. Sebab, data yang dijabarkan di atas adalah data tentang buku anak yang ditulis oleh orang dewasa. Tentu apresiasinya akan berbeda ketika yang menulis cerita anak adalah anak-anak. Ada nilai tersendiri dan keistimewaan yang tidak bisa diperoleh orang dewasa.

    Keluguan bertutur dan polosnya anak-anak dalam menulis dan menyampaikan gagasan, itu akan berbeda ketika orang dewasa “pura-pura” polos untuk menjadi anak-anak. Baik dalam narasi, dialog, dan ketika mendeskripsikan sesuatu. Seperti yang saya tangkap dari cerpen-cerpen dalam buku ini.

    Di halaman pertama kita disuguhkan dengan cerita sederhana tentang persahabatan antara Lala dan Doni dalam cerpen, “Bunga Lala” karya Adila Safawati. 

    Cerpen itu berkisah tentang dua anak sekolah yang akan mengikuti lomba menghias bunga pada festival cinta lingkungan di sekolahnya. Bunga yang dirawat Lala tumbuh subur sedangkan milik Doni layu. Keesokan harinya, saat akan dilombakan, Doni berpikir untuk mencuri bunga Lala karena dia ingin mendapatkan hadiah. Namun, saat Doni sudah berhasil mendapatkan bunga Lala, ayam di pekarangannya mematuki bunga itu. Akhirnya dia pun tidak memenangkan lomba. Dan Lala tahu kalau bunga itu miliknya. Doni merasa bersalah dan takut kalau Lala akan menjauhinya, tapi tidak, meski kecewa Lala menerima maaf Doni. 


    Sebagaimana anak-anak, cerita ini ditulis dengan kalimat lugas dan mudah dipahami. Alur ceritanya pun berjalan maju dan rapi. Meskipun, ada beberapa bagian yang lompatannya terlalu mengagetkan, dalam arti, paragraf satu ke paragraf berikutnya tidak disampaikan dengan baik. Penghubung antar kisah masih kurang halus. 

    Namun, di sanalah letak nilai itu tadi. Nilai ke-anak-anak-an yang tidak bisa diganggu gugat. Kalau cerita anak ditulis sedemikian sempurna selayaknya kisah yang ditulis orang dewasa, tentu tak ada bedanya. Ini bukan berarti anak-anak mesti menulis cerita begitu, ya, tapi ini adalah upaya menunjukkan kalau anak-anak mesti bebas mengekspresikan imajinasinya dan tak perlu takut dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baku dan kaku. Misal, kalau menulis cerita harus dari judul dulu, setiap paragraf ada berapa baris, cerita dimulai dengan laporan cuaca, pengenalan tokoh, dan lain sebagainya yang membosankan itu. 

    Orang dewasa saja malas diatur-atur apalagi anak-anak yang belum begitu paham dengan aturan-aturan tersebut. 

    Cerpen berikutnya karya Alya Miftahul Farihah berjudul, “Baju Baru”. Saya sudah pernah baca cerpen ini sebelumnya dan pernah dimuat di media yang saya dan relawan Rumah Dunia kelola bernama kurungbuka.com.

    Alya ini tahu betul bagaimana caranya menutup cerita. Maksudnya, ketika kita menulis, kadang kita merasa ada tekanan untuk menulis sekian halaman, berapa kata atau karakter. Sedangkan, sebetulnya cerita sudah bisa diselesaikan di halaman pertama. Seperti yang ditulis Alya ini, cerpennya pendek saja namun sudah memiliki nilai yang ingin dicapai. Bagian terbaiknya adalah paragraf di akhir. Biasanya, untuk menggambarkan cerita yang berakhir bahagia, tokoh akan diceritakan berhasil meraih sesuatu. Tapi Alya berbeda.


    Dia tahu si tokoh Khoir akan mendapatkan apa yang ingin dimilikinya, yakni baju baru, tapi cara menutup kisahnya patut diacungi jempol, begini kalimatnya: “Malam harinya, sebelum tidur, Khoir teringat terus pada baju barunya. Dia ingin sekali hari cepat-cepat berganti pagi. Khoir  tidak sabar ingin memakai baju barunya itu sampai-sampai terbawa mimpi.” 

    Kalimat itu berhasil membawa pembaca masuk ke dalam cerita dan penasaran ingin tahu seperti apa kelanjutannya. Pembaca tahu Khoir sudah membeli bajunya, tapi pembaca dibuat menunggu karena Khoir belum diceritakan mengenakan baju itu karena waktu sudah malam. Akhirnya, pembaca akan menggunakan imajinasinya sendiri untuk menebak kisah yang sudah Alya tulis. 

    Cerpen yang baik, adalah cerpen yang mampu memberikan ruang kepada pembaca untuk berimajinasi. Tidak semua hal perlu dijelas-jelaskan secara berlebihan, dan cerpen Alya ini berhasil memenuhinya. 

    Terakhir adalah cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” karya Kaila Salsabila yang jadi judul utama buku ini. Hampir di semua cerpen adik-adik ini paham soal sebab-akibat. Itu pula yang saya temukan di cerpen Kaila. Ia seperti hendak menunjukkan bahwa apa yang kita tanam itulah yang akan kita tuai.

    Diceritakan tokoh bernama Doni dan kawan-kawan yang jahil ingin mengerjai warga dengan berpakaian seperti hantu. Lalu mereka bersembunyi di atas pohon dan semak-semak, tapi sial di hari berikutnya setan asli (begitu Kaila menulisnya) turut nimbrung dan menakut-nakuti Doni dan teman-teman hingga akhirnya persembunyian mereka diketahui Pak RT dan warga lainnya. Akhirnya mereka mengakui perbuatan tercela itu dan meminta maaf kepada warga. 

    Cerita ini bagus, meskipun Kaila kurang menyebutkan detil tentang usia tokoh-tokohnya. Sebab, ini menjadi penting untuk membangun logika cerita. Seperti  diceritakan, anak-anak ini keluar tengah malam, naik pohon, dan memakai make up juga rambut palsu. Sulit saya membayangkan kalau mereka berusia 8 atau 10 tahun. 

    Untuk usia tokoh, baiknya beri angka pasti agar pembaca tidak mengira-ngira. Tentu ini tidak bisa disamakan dengan cerpen sebelumnya yang harus membuat pembaca penasaran, karena usia seharusnya dibuat pasti agar logika cerita bisa diterima pembaca dan agar cerita bisa mendapatkan simpati dari pembaca. 

    Pada akhirnya, cerita yang baik, selain memenuhi seluruh unsur intrinsik dan ekstrinsik, adalah cerita yang dituturkan dengan jujur dan penuh rasa. Ketika ingin bercerita, kita selayaknya seperti anak-anak dalam buku ini, bercerita saja apa adanya tanpa ada motif lain selain ingin berbagi informasi dan pengalaman. Tuliskan sesuatu yang dekat dan kita ketahui, karena itu bisa menjadi amunisi yang baik sebagai penulis pemula saat ingin menghadirkan cerita untuk dibaca orang banyak.[]

    Serang, 26 September 2019




    __________________
    *) Ulasan ini ditulis untuk buku Kumpulan Cerpen, “Hantu-Hantu Palsu” ( Gong Publishing, 2019) dan disampaikan pada acara Bedah Buku di MTsN 3 Kota Cilegon.
    Continue Reading
    image by: google.com

    Score: 3/5

    Barangkali saya akan menjadi yang paling berbeda dari penonton lainnya. Saya bahkan masih ragu untuk menuliskan ulasan singkat ini, tapi ya bagaimana, saya cukup menyayangkan (menghindari kata kecewa) setelah selesai menonton film Parasite ini. Pertama kali saya tahu film ini dari akun instagram Joko Anwar. Ia mengatakan kalau ini adalah “film jenius bikinan orang jenius”. Lalu setelahnya review bermunculan termasuk dari teman-teman saya. Semakin penasaran dongs, tentunya. Saya sampai khawatir nggak kebagian nonton di bioskop lantaran di Cilegon nggak ada CGV, Cinemaxx, dan Flix. Intinya film itu nggak masuk ke Bioskop di Cilegon dan Serang. Kebetulan karena saya sedang ada di Depok sekarang, jadilah saya nonton di Dmall pukul 21.10, karena pagi dan siang ada jam kuliah. >>> baca di sini <<<

    Ekspektasi saya soal film ini cukup tinggi sekali, karena dipuja sana-sini seolah tidak ada cacatnya yang patut diperdebatkan, saya saja sampai khawatir dicap nggak ngerti film/penonton alay/ceb-kamp atau ejekan lainnya, tapi kemudian saya bertanya kenapa saya mesti memikirkan stempel itu, ini hanya soal selera dan sudut pandang sebagai penonton.

    Opening film sangat bagus, menggambarkan kemiskinan tanpa perlu diungkapkan lewat dialog, cukup dengan memvisualkan situasi, dan begitulah sebuah film seharusnya bekerja. Film ini, seperti yang dikatakan para pengulas, banyak memainkan simbol dan metafora-metafora. Tentu saja itu sebatas asumsi penonton yang membandingkan dengan pengalaman-pengalaman menontonnya, interteks dari sebuah karya a ka asumsi.

    Dan asumsi, kadang bisa melampaui apa yang sebetulnya ingin disampaikan kreator itu sendiri. Sepengalaman saya, pernah ada yang meneliti cerpen-cerpen saya untuk skripsi, saya terkejut karena pembaca punya interpretasi tersendiri dari karya saya yang bahkan saya sendiri tidak mempersiapkan sejauh itu—bisa jadi itu pula yang dialami Bong Joon-ho, sutradara dan penulis skenario film ini (meski kemudian netijen akan bilang, makanya tonton film-film Bong sebelumnya, dan ini asumsi saya, dan bodoh amat dengan film sebelumnya, biarkan karya berdiri sendiri). Bahkan banyak yang memberi nilai film ini dengan skor tertinggi seperti 10/10, 100/100, 95/100 dan seterusnya.

    Film ini memang detil, saya sepakat. Saya justru mengkhawatirkan jangan-jangan, lagi-lagi asumsi saya, para fanboy dan fangirls film ini sulit menemukan atau enggan mencari celah karena sebelum film diputar, di bagian awal tertulis, “Wins Palme d'Or at Cannes film festival 2019”. Berhubung terlampau banyak yang memuji, jadi biarkan saya yang membuat antitesisnya, meski saya tidak bilang film ini jelek. Jujur film ini memang bagus, tapi bukan bagus banget, hanya bagus saja gitu, khas rata-rata film-film luar negeri lainnya; yang rapi, detail, gagasan yang kuat, ide brilian dan lain-lain.
    image by: google.com
    Saya mempertanyakan kenapa anak kecil si orang kaya jadi tiba-tiba nurut dengan guru les seninya, tanpa ada penjelasan setelahnya (“kan nggak semau scene kudu dijelasin, Bambang”, netijen said). Lalu soal batu cendekia yang saya naruh harapan besar banget sama scene itu, dia muncul di hampir setiap scene penting, tapi lepas begitu saja dari cerita. Kalaupun itu simbol, saya nggak relate. Lalu kenapa si tokoh bapak miskin sampe ngebunuh majikannya hanya karena merasa dilecehkan dibilang bau? Film ini dibuat abu-abu mungkin, ya, agar penonton terpecah untuk berada di belakang karakter yang mana. Tapi saya berpikir, seharusnya ending film ini bisa dibuat dengan alternatif lain, kalau memang ingin menyampaikan pesan damai, bukan dendam. Kalau begitu, lalu apa bedanya posisi si miskin dan si kaya? Atau memang itu pesan sebenarnya bahwa kita semua adalah Parasite?

    Paling fundamental, kenapa rumah orang kaya nggak ada cctv di bagian dalam rumah? Saya nggak tahu ya budaya korea bagaimana, tapi setahu saya, orang kaya pasti insecure dan mudah curigaan—mereka juga pasti punya penasehat dan orang yang dipercaya sebelum mengambil sebuah keputusan. Buktinya, saat ada tamu, pintu gerbang mesti dibuka otomatis dari dalam agar tamu bisa masuk dan mesti bicara dulu pada semacam walkie-talkie yang dipasang di depan gerbang, masa cctv dalam rumah saja nggak ada?

    Saya juga ingin tahu ke mana temannya yang kuliah, kenapa tidak diberi scene tambahan atau apa pun agar membuat ia juga khawatir dengan murid yang disukai dan dititipkan pada guru les penggantinya. Kalau dari awal disebutkan banyak simbol dan metafora, kenapa ending-nya tidak dibuat metaforis juga sekalian, bukan dengan saling membunuh seolah bunuh-membunuh adalah cara terbaik untuk mengakhiri cerita dan menyelesaikan sebuah masalah(?)

    Depok, 17 Juli 2019

    Continue Reading


    Ini tahun Pemilu yang memilukan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, di Indonesia, Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Legislatif  (Pileg). Tahun 2019 ini jadi momentum bagi rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dalam satu waktu.

    Sejarah digelarnya Pemilu serentak berawal dari aksi Effendi Ghazali dan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak. Pada 2013, peraih gelar Ph.D., dalam bidang komunikasi politik dari Radboud Nijmegen University Belanda ini menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK mengabulkan dan mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) untuk UU yang digugat Effendi Ghazali tersebut pada Mei 2013 kendati baru resmi disidangkan pada Januari 2014, seperti yang dikutip dari Tirto.id.

    Menurut MK, Pemilu serentak dapat pula mengurangi pemborosan waktu dan menekan konflik atau gesekan horizontal di masyarakat pada masa-masa Pemilu. Selain itu hanya dengan Pemilihan Umum serentak warga negara dapat menggunakan haknya untuk memilih secara cerdas dan efisien. MK juga meyakini bahwa Pemilu serentak akan membuat proses pesta demokrasi menjadi lebih bersih dari kepentingan-kepentingan tertentu terkait lobi-lobi atau negosiasi politik yang dilakukan oleh partai-partai politik sebelum menentukan pasangan capres-cawapres yang bakal diusung.

    Nyatanya, Pemilu serentak tahun ini perlu dievaluasi ulang. Bahkan boleh jadi yang terakhir. Apa yang disampaikan MK rupanya jauh dari yang kita bayangkan. Kalaupun akan terus dilaksanakan, pastikan sistemnya sudah matang dan siap eksekusi. Karena, sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di daerah saya tinggal, saya merasakan betapa kewalahannya kami para tim pelaksana. Mulai dari cara penghitungan surat suara, berkas-berkas yang harus diisi, juga lampiran yang bertumpuk-tumpuk. Sementara, masing-masing anggota untuk tiap KPPS hanya berjumlah 6 orang. Ditambah satu penjaga tinta dan dua orang petugas keamanan.

    Pada pelaksanaannya, semua anggota dilibatkan tak terkecuali petugas keamanan. Sebab, tidak akan terpegang andai hanya satu atau dua anggota yang bekerja; baik saat menulis berita acara, laporan, juga saat penghitungan suara. Waktu yang disediakan pun boleh dibilang sangat mepet. Bisa dibayangkan, mulai pencoblosan pukul 07.00 dan mesti selesai pukul 13.00 wib. Padahal, kotak surat suara baru boleh dibuka ketika saksi, Bawaslu dan anggota sudah berkumpul. Itu juga memakan waktu yang tidak sedikit. Akhirnya anggota kewalahan dan keteteran, karena harus mengisi data surat suara yang ditandatangani Ketua KPPS terlebih dahulu.

    Hal berikutnya yakni masuk ke proses penghitungan suara. Ini tidak kalah kompleks dari saat pemungutan suara. Karena pertama-tama kami harus menggelar kertas penghitungan suara dalam ukuran besar, dan itu jumlahnya cukup banyak. Lagi-lagi banyak waktu yang terpakai. Tak heran, seperti yang diberitakan banyak media, paling cepat penghitungan suara selesai pukul 01.00 malam. Di sanalah jam kerja manusia umum terlampaui. Pegawai atau buruh yang biasa kerja maksimal 6-8 jam, ini kami nyaris 24 jam—bahkan sebetulnya lebih dari 48 jam. Karena H-1 kami harus menyiapkan semuanya sendiri, termasuk soal mendirikan tenda, menyiapkan kursi, dan perlengkapan lainnya. Belum lagi kami mendapatkan C6-KPU (surat pemberitahuan pemungutan suara) H-2, kami harus membagikannya kepada Daftar Pemilih Tetap (DPT).

    Saat hari pelaksanaan, semua proses harus selesai dalam satu hari itu. Usai pemungutan suara, penghitungan suara dan merekap laporan, kami harus segera mengantar surat suara ke Kecamatan. Tanpa ada waktu jeda sehari. Untuk ibadah dan makan saja kami harus bergiliran, demi memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Tenaga anggota benar-benar terkuras habis.

    Artinya, kami para anggota KPPS bukan hanya bekerja pada hari H pelaksanaan, tanggal 17 April 2019, tetapi juga di hari-hari sebelumnya. Karenanya, dan ini yang membuat Indonesia berduka, banyak dari PPK dan KPPS yang tumbang akibat kelelahan. Korban yang meninggal dunia tercatat berjumlah 230 orang dan ada 1500 orang lainnya yang sakit dan mesti dirawat.

    Ini menjadi masalah yang serius dan perlu penanganan yang intensif. Awalnya pelaksanaan Pemilu 2019 serentak yang digadang-gadang akan menghemat anggaran ini justru semakin membengkak hingga 24,8 triliun rupiah. Sungguh angka yang fantastis.

    Sedangkan, upah atau bayaran untuk masing-masing anggota pelaksana Pemilu tidak sampai angka 1 juta. Untuk ketua KPPS 550 ribu sedangkan anggotanya 500 ribu rupiah. Lain hal yang diterima oleh Petugas Keamanan, hanya sebesar 400 ribu rupiah dan tanpa diberi seragam. Padahal di setiap pemilihan umum selalu ada anggaran untuk seragam petugas keamanan. Dari masing-masing angka itu dipotong pajak sebesar 6 persen. Pasti sulit dibayangkan untuk pekerjaan yang boleh dibilang tidak sebanding itu. Belum lagi kami harus menanggung hujatan dan tuduhan kecurangan dari masing-masing pendukung Capres-Cawapres dan Caleg.

    Titik fokusnya bukan pada soal pantas atau tidaknya ukuran upah yang diterima, karena toh ini bagian dari berkontribusi untuk negara. Yang perlu diperbaiki lebih ke sistem yang bisa jadi keliru. Semisal persiapan kelengkapan alat semacam tenda, kursi dan sebagainya yang baiknya disediakan oleh KPU, sosialisasi dan Bimtek yang intens, dan penjemputan hasil surat suara yang progresif. Sehingga anggota KKPS cukup menaruh perhatian pada hari H pelaksanaan saja.

    Saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Pramono Ubaid Tanthowi, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Ia mengatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 perlu dievaluasi dan Pemilu serentak dengan sistem lima surat suara cukup menjadi yang pertama dan terakhir. Sistem serentak lima surat suara langsung ini diamanatkan UU nomor 7/2017 sekaligus putusan MK nomor 14/2013. Tidak dilaksanakan pada tahun 2014 karena dianggap terlalu mendadak dan belum adanya kesiapan.

    Akan tetapi, setelah kejadian demi kejadian bertumbangannya para tim pelaksana PPK dan KPPS tahun ini, bukankah sistem Pemilu 2019 ini juga masih belum siap untuk dilaksanakan dan perlu ditinjau ulang?
    Cilegon, 29 April 2019



    source by: dmii.or.id



    Continue Reading
    Image by indiatoday.in

    Selepas ikamah, jamaah salat magrib merapatkan barisan. Satu di antara mereka maju ke tempat pengimaman atas kehendaknya sendiri. Tidak ada yang protes, paling tidak secara verbal. Barisan terbentuk dan salat berjamaah pun dimulai.

    Sewaktu sang imam membaca surat al-fatihah, terasa ada yang janggal, kurang sempurna. Bacaan ayat sewaktu ibadah salat magrib mestilah jahr (dengan suara keras). Ia tidak begitu fasih membaca ayat, juga sewaktu memproduksi huruf dari rongga tenggorokannya semisal huruf ‘ain pada kalimat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Selain itu ia juga mesti memenggal ayat ke-7 saat berjumpa wakaf, bila memang tidak kuat napasnya hingga akhir ayat. Sayangnya ia terus saja membaca dengan lantang hingga pada kalimat, “walaa dhdhaalliin” ia kehabisan napas.

    Contoh kasus di atas bukanlah yang pertama terjadi dan biasa kita temukan di masjid-masjid atau surau yang kita singgahi. Banyak orang merasa kompeten dalam satu bidang bukan lantaran karena ia seorang ahli, tapi bisa jadi karena modal nekat, modal berani, dan modal dukungan. Sebab seperti dalam ruang kelas, diam berarti setuju: itu pola pikir yang terbentuk di masyarakat dan calon pemimpin di Indonesia.

    Pada pemilihan umum 2019 ini, semua mata mengerucut pada Pemilihan Presiden (Pilpres) saja. Padahal, di tahun yang sama kita juga mesti menentukan pilihan untuk anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD). Riuhnya orang di media sosial, seolah menafikan hal ini. Pemilihan calon anggota legislatif dianggap tidak menarik bagi kebanyakan orang.

    Pilpres dianggap lebih menarik karena pertarungan partisan terlampau begitu menonjol. Apalagi pada Pilpres sekarang, warga dipaksa mendukung dua calon saja, walau setelah diamati secara mendalam tidak banyak perbedaan antara kedua kubu. Program kerja, visi dan misi tak ada yang tampak baru, bahkan nyaris usang dan mengulang apa yang dulu pernah dijanjikan. Jadi, sekalipun minat menjadi anggota legislatif tetap tinggi, umumnya warga kurang memperhatikan manfaatnya.

    Bila kita cermati, para calon anggota legislatif ini nantinya akan menjadi perwakilan masyarakat sebagai legislator alias penyusun undang-undang, dengan kata lain menciptakan hukum. Andai kita memilih pemimpin yang salah dan tidak kompeten dalam bidangnya, tentu ibarat meminta kambing untuk membajak sawah. Hanya akan menimbulkan kekacauan dan polemik, persis seperti beberapa waktu lalu tentang legislasi pembuatan UU Permusikan.

    Kita bisa saja meminimalisir keputusan-keputusan mentah dari para calon anggota legislatif nantinya, andai kita sudah menentukan calon pemimpin yang terbaik sebelum tiba waktu pemilihan. Paling tidak, pilih mana yang mendingan dari yang terbusuk.

    Studi kasus lainnya soal kesalahan fatal memilih pemimpin yakni pada video ceramah yang beredar belakang ini di media sosial. Seorang yang mengaku ulama bernama Nur Sugik (Gus Nur), berdakwah dengan gaya yang jauh dari norma dan nilai kesantunan, bersama jamaahnya melakukan persekusi yang dialami seseorang bernama Ahmad Muzani, Ketua Rijalul Ansor Deli Serdang dalam acara yang mengundang Gus Nur sebagai pembicara. Banyak kalimat-kalimat kasar yang semestinya bisa ia redam tapi memilih untuk mendiamkan jamaahnya melakukan tindak kesewenang-wenangan itu. Lalu ia mengaku tidak paham soal kitab kuning, dalil-dalil usul fikh, dan bahkan ia dengan yakin mengutip Alquran padahal ia salah menyebutkan ayatnya.

    Sebagai makhluk yang dibekali akal, jamaah yang hadir mestinya menginterupsi, bukan mendiamkan kesalahan itu lalu mengamininya bersama-sama. Gong dari cacat logika dan cara berpikirnya ialah ketika ia diminta menunjukkan apa kaidah fiqh yang bisa dijadikan landasan untuk menyesatkan istilah Islam Nusantara? Untuk menjawab pertanyaan itu ia malah bertanya balik pada jamaahnya, lalu mengambil suara terbanyak dan ia menyatakan itulah dalilnya. Dalil kearifan lokal, katanya.
    Kalau kita membiarkan pemimpin-pemimpin tidak kompeten alias amatiran ini muncul kepermukaan dan duduk sebagai penguasa, alangkah tidak bijaknya kita sebagai masyarakat yang memiliki hak suara (konstituen).

    Uji kompetensi pemimpin sangatlah penting untuk diadakan. Paling tidak, bisa kita mulai dari diri kita sendiri, cara berpikir kita dan mempelajari hak dan kewajiban yang bakal dijalankan oleh setiap pemimpin.

    Khususnya kepada para calon pemimpin, seharusnya memiliki kesadaran penuh atas kemampuan yang dimilikinya. Persis seperti contoh imam salat di atas, karena ia menaungi banyak orang dan menjadi contoh atau panutan untuk diikuti orang banyak (makmum), juga memiliki tanggung jawab beribadah, mestinya ia sudah selesai dalam urusan keilmuan semisal fasih dalam bacaan; mengerti tajwid, fikih, syarat dan rukun salat serta semua perkakas dan perangkat salat. Bukan cuma modal nekat, modal berani, dan modal dukungan—dan modal uang—seperti para calon pemimpin kita itu.

    Jangan biarkan kebodohan membutakan kita. Apalagi soal agama dan memilih pemimpin negara. Bila kita hendak taklid pada salah seorang ulama, pastikan kita tahu soal sanad keilmuannya, dari mana ia belajar, siapa gurunya, apa saja yang ia baca dan pelajari, andai merasa cocok dengan apa yang kita butuhkan, angkat ia jadi guru.

    Sama halnya ketika hendak memilih pemimpin. Kita bisa mulai dengan menyusuri track record-nya jauh sebelum ia mencalonkan diri. Baik di lingkungan masyarakat, pendidikan atau akademik, bagaimana ia dipandang di lingkungan partainya, serta yang paling penting posisi ia dalam lingkaran keluarga. Sebab, bila di lingkungan keluarga ia diterima, didukung, dan dibanggakan, artinya ia sudah siap untuk terjun langsung ke masyarakat. Jangan sampai hanya memilih calon pemimpin yang cuma jago “mendongeng”. Karena terlampau banyak pemimpin yang banyak bicara di awal, ketika terpilih sedikit bahkan nyaris sedikit kontribusi yang bisa ia berikan.

    Selalu curigai motif para calon pemimpin kita, apa alasan ia mengajukan diri sebagai pengabdi masyarakat. Kalau hanya untuk mengikuti tren—public figure misal (demi menghindari menyebut artis)—, adu gengsi, mencari proyek dan bukan mementingkan kepentingan rakyat, pastikan dirimu untuk menghindarinya sejak radius 10 kilometer dari tempatmu berdiri.[]


    Cilegon, 01 Maret 2019

    Continue Reading
    image by ibtimes.co.uk
    Awal September lalu, saya menghadiri acara Festival Seni Multatuli 2018 di Museum Multatuli, Lebak, Rangkasbitung. Sebuah konsep acara yang mengangkat satu nama tokoh pergerakan di masa kolonial. Melalui novel masterpiece-nya yang berjudul, Max Havelaar (1860), Multatuli, atau yang bernama asli Eduard Douwes Dekker menolak sistem pemerintahan dan mengkritik perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Padahal, ia sendiri lahir di Amsterdam, Belanda. Berkat karya heroik itulah namanya dikenang hingga 100 tahun kepergiannya.

    Berbagai tema diskusi dan pertunjukkan seni ditampilkan, mulai dari simposium pascakolonial bersama sejarawan dan budayawan, musikalisasi puisi, drama musikal, menyanyikan lagu-lagu perjuangan hingga menerbitkan buku antologi puisi berjudul, Kepada Toean Dekker (FSM, 2018), yang ditulis oleh penyair se-Indonesia yang telah dikurasi sebelumnya oleh dewan juri yang kompeten.

    Artinya, kita patut berbangga bahwa warga Lebak masih apresiatif terhadap tokoh pergerakan di masanya, yang konon dulu membela masyarakat Lebak dari penindasan—sekalipun ia terlahir dari tanah para penjajah. Lalu, apakah tokoh-tokoh yang lahir dan besar di Banten, bahkan membawa citra baik Banten hingga ke kancah Internasional sudah mendapatkan apresiasi serupa?

    Sekadar menyebutkan, ada satu tokoh, ulama besar dari Indonesia yang lahir di Provinsi Banten, tepatnya di Kampung Pesisir, Desa Pedaleman, Kecamatan Tanara (Tirtayasa), Kabupaten Serang pada tahun 1230 H./1813 M. Beliau adalah Muhammad Nawawi atau lebih dikenal dengan julukan Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Lahir dari orang tua bernama Syekh Umar bin Arabi dan Zubaidah.

    Di usia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar agama Islam langsung dari ayahnya yang juga seorang ulama di kampungnya. Beliau mempelajari bahasa arab, fiqih, tauhid, alquran dan tafsir. Pada usia delapan tahun, bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, beliau berguru kepada K.H. Sahal, salah seorang ulama termasyhur di Banten saat itu. Kemudian, Syekh Nawawi melanjutkan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf, Purwakarta.

    Sejak kecil beliau memang sudah memperdalam ilmu agama. Bahkan di usia limabelas tahun, beliau pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu kepada ulama-ulama masyhur di tanah suci Mekah. Ketika dirasa telah mumpuni dengan keilmuan yang diperolehnya, beliau mengajarkan kepada murid-muridnya di Masjidil Haram. Beberapa muridnya yang berasal dari tanah air bahkan telah menjadi ulama besar dan mendirikan pondok pesantren, di antaranya yakni: K.H. Hasyim Asyari (Jombang, pendiri Nadhlatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), Thahir Jamalauddin (Singapura), Syekh Kholil al-Bangkalani (Madura), K.H. Asyari (Bawean), K.H. Tubagus Asnawi (Caringin), K.H. Hasan Genggong (Jawa Timur, pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong), K.H. Mas Abdurrahman (Pandeglang, pendiri Mathla'ul Anwar), Syekh Arsyad Thawil al-Bantani (Tanara, pejuang Geger Cilegon 1888) dan masih banyak lagi.

    Nama Syekh Nawawi kian masyhur setelah beliau diberi amanah untuk menjadi imam besar di Masjidil Haram menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekah dan Madinah, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan pun namanya harum. Ketokohannya sebagai ulama juga terbukti pada karya-karya intelektualnya, yang telah menuliskan sekitar 115 kitab, yang meliputi kitab ilmu fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf dan hadist.

    Salah satu karangannya yang fenomenal dan monumental adalah Tafsir al-Munir. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya beliau menulis, Tanqih al-Qaul. Khusus di bidang Ilmu akidah ada Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Dalam bidang Ilmu Fiqih yakni beliau menulis kitab Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Untuk kalangan santri di daerah Jawa, ada syarah’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain yang sering dijadikan kajian. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawwuf, beberapa karyanya yang populer adalah Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi.

    Tak heran, banyak sekali julukan yang beliau terima baik dari ulama Arab Saudi maupun ulama dari dalam negeri. Di Indonesia sendiri, beliau mendapat predikat sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia. Sampai di sini, bukankah telah cukup mumpuni dan tak perlu diragukan lagi untuk diselenggarakannya Festival Kitab Kuning di Banten? Tetapi sejauh ini, saya belum menemukan apresiasi yang cukup besar dan pantas terhadap karya beliau dari pemerintah Banten sendiri. Padahal, kita perlu menghadirkan tokoh atau role model untuk dikenalkan, atau diberi semacam penghargaan atas karya dan dedikasinya dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya pengarang kitab kuning (mushanif), apalagi sampai membawa nama baik Banten ke kancah internasional. Beliau wafat dan dimakamkan di  Hijaz, Mekah pada tahun 1314 H/1897 M. Meski beliau telah tiada, tetapi, sampai hari ini, karyanya terus dikaji dan dipejari oleh para generasi santri dan akademisi di perguruan tinggi dalam negeri dan luar negeri.
    Belum lagi, selain Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal sebagai ulama, beliau juga seorang pejuang di masa pemerintah Hindia Belanda—tahun lahir Syekh Nawawi hanya selisih tujuh tahun dengan Multatuli. Setelah tiga tahun bermukim di Mekah, Syekh Nawawi kembali ke tanah kelahiran, namun sesampainya di tanah air dia menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat.
    Tak ayal, gelora jihad pun berkobar. Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 M.), hingga akhirnya ia kembali ke Mekah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 masehi.
    Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti-kolonialisme dan imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.[1]

    Dari jejak sejarah di atas, melihat jasa-jasa besar beliau untuk negeri ini, menurut saya, apresiasi semacam dibuatnya Festival Kitab Kuning atau sejenisnya adalah sebuah keharusan, karena berguna untuk menambah pengetahuan dan memupuk kebanggaan, khususnya untuk santri, umumnya untuk masyarakat Banten sendiri. Juga bisa dijadikan motivasi bagi para generasi milenial bahwa untuk mengisi hari-hari bisa dengan belajar menulis dan mengkaji karya-karya para pendahulu.

    Dengan begitu, kita bisa meningkatkan produktivitas yang bernilai positif. Adapun, untuk pelaksanaannya sendiri, Presiden Republik Indonesia, dua tahun lalu, telah mengukuhkan Hari Santri Nasional jatuh pada tanggal 22 Oktober. Artinya, pemerintah setempat, bekerjasama dengan pondok pesantren bisa menyelenggarakan Festival Kitab Kuning bersamaan dengan peringatan Hari Santri Nasional. Ini bisa dijadikan momentum untuk menyatukan para santri dan mendekatkan diri dengan masyarakat di Provinsi Banten.

    Cilegon, 19 Oktober 2018


     *) pernah dimuat di laman Perpusda Banten: [KLIK]





    [1] Solahudin, M. (2012). 5 Ulama Internasional dari Pesantren. Kediri: Nous Pustaka Utama. ISBN 9786029872026.

    Continue Reading
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ▼  2025 (1)
      • ▼  January (1)
        • Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar (AG ...

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top