dokumentasi pribadi |
Di suatu hari, seorang gadis kecil bertanya pada
ayahnya, “apa itu artinya berbohong demi kebaikan, Yah?”
Lalu seorang bapak dengan senyum bersahajanya berkata,
“mari duduklah di sebelah ayah, Nak. Biar ayah ceritakan sebuah kisah dari
perkotaan.” Si gadis kecil manut dan wajah lugunya tampak antusias untuk
mendengarkan.
Pada siang yang cerah, ada dua perempuan berjalan
beriringan. Mereka bersahabat baik sejak kecil. Kau boleh menyapa mereka dengan
nama Darmi dan Ara.
Saat itu mereka hendak menuju bioskop. Katanya sedang
ada film drama korea yang bagus dan mereka nantikan sejak satu tahun lalu.
Tetapi, siapa nyana, ketika baru turun dari kereta, pandangan mereka seperti
hanya tertuju pada satu sosok kakek yang bersila di emperan stasiun. Di belakangnya
ada potongan kardus bertuliskan, “Peramal Telapak Tangan” .
Awalnya Ara ragu, sebab ia tak suka mengubah rencana.
Namun, Darmi si jago merayu berhasil meluluhkan keraguan Ara.
“Film bakal tayang satu jam lagi, kok, masih ada
waktu.”
“Iya, tapi aku nggak mau diramal.”
“Kok, begitu? Buat seru-seruan, aja, Ra....” Ara belum
merespons lagi. “Aku dulu, deh, yang diramal. Baru setelah itu kamu.
Bagaimana?” bujuk Darmi.
Ara akhirnya mengangguk kecil. Lalu keduanya
menghampiri si kakek.
“Kalian dua sahabat yang beruntung,” puji si kakek
berjanggut putih lebat itu. Ara dan Darmi dibuat takjub. Bagaimana bisa si kakek
tahu kalau kami bersahabat? pikir keduanya.
“Silakan duduk. Apa yang ingin kalian tanyakan dan
ketahui?”
Darmi belum tahu ingin bertanya apa. Ia malah terkesan
dengan iket totopong khas Sunda yang
dipakai kakek tua itu di kepalanya. Ukiran batik di bahan iket miliknya tampak menawan.
Sementara Darmi melamun, Ara menyenggol siku Darmi. “Katanya
kamu dulu. Itu julurin tangannya,” rupanya si kakek peramal meminta satu di
antara mereka menunjukkan telapak tangannya. Dengan sedikit kaget Darmi lekas
menyodorkan tangan kanannya.
“Bagaimana persahabatan kita ke depannya, Mbah? Apakah
kita akan selalu bersama?” Akhirnya Darmi mengajukan pertanyaan.
Si kakek berpikir sesaat, lalu berujar, “kalau itu
pertanyaannya, aku perlu melihat garis tangan sahabatmu juga,” Darmi lekas
melirik ke Ara. Ia mengedikkan sedikit kepalanya sebagai kode agar Ara
menjulurkan salah satu tangannya juga.
“Tangan yang kiri,” tambah si kakek. Ini di luar
rencana, pikir Ara. Tetapi, apa boleh bikin, mereka sudah terlanjur terjebak
dalam sebuah labirin si kakek.
Kini, telapak tangan kanan Darmi di atas telapak
tangan kiri si kakek dan telapak tangan kiri Ara ada di atas telapak tangan
kanan si kakek peramal. Ia memejamkan matanya. Pikirannya mulai bekerja. Jiwa
si kakek terbang sesaat dari raganya, ia melesap ke masa depan, untuk mengintip
apa yang bakal terjadi di antara dua sahabat itu.
Lima menit berlalu, Darmi dan Ara bertukar tatap.
Keduanya melihat ekspresi wajah aneh dari si kakek. Kerut di antara kedua
alisnya bertambah. Seperti orang yang tengah kebingungan. Setelah itu, ia
membuka kedua matanya lebar-lebar. Dua orang di hadapannya berhasil dibuat
terkejut.
“Aku melihat, di masa depan kalian akan tetap menjadi
sahabat baik. Bahkan ketika sudah berumah tangga, kalian tinggal di satu
kompleks yang sama dan hidup berdampingan. Anak-anak kalian akan meneruskan
kisah persahabatan kalian....”
Darmi dan Ara tersenyum lega. Mereka saling memeluk
penuh kehangatan. Sementara si kakek berusaha menyembunyikan keraguan di dalam
senyumannya.
“Ada lagi yang ingin kalian ketahui?” Lalu Darmi dan
Ara mulai menikmati ramalan si kakek. Mereka bergantian bertanya tentang jodoh,
rezeki dan pekerjaan. Mereka sampai lupa menunaikan janji menonton bioskop
dengan satu orang lelaki yang mungkin sedang menantinya. Ia juga bagian dari
sahabat mereka.
Setelah puas dengan jawaban-jawaban si kakek, mereka
diminta membayar jasa meramalnya. Barulah kemudian mereka pergi melanjutkan
perjalanannya. Selesai.
“Sudah?”
“Iya.”
“Lalu siapa yang berbohong di antara dua sahabat itu?”
“Besok lagi ayah ceritakan kelanjutannya, ya.”
Si gadis kecil kesal. Ia merasa belum mendapatkan
jawaban atas pertanyaannya di awal. Tetapi, ketika ia hendak meluapkan
amarahnya, dari luar rumah terdengar suara temannya memanggil. Ia ingin
mengajak pergi sekolah bersama.
“Tuh, teman kamu sudah datang. Ini jajan kamu. Ayah juga
mau siap-siap pergi kerja. Belajar yang tekun, ya.”
Akhirnya si gadis kecil mengalah. Ia berangkat ke
sekolah dengan perasaan gelisah. Sedangkan ayahnya, lekas menuju kamar. Ia
mengambil satu setel pakaian, ikat kepala, jenggot palsu dan alat rias di atas
lemari pakaiannya—sengaja ia taruh di sana agar tak ditemukan anaknya. Satu
lagi yang tak boleh terlupa, potongan kardus yang sudah lusuh dengan tulisan
yang hampir memudar. Setelah itu, ia pergi ke sebuah stasiun untuk bekerja.[]
Cilegon, 23 Juli 2018