image by: www.google.com |
Pintu
kaca berderak. Terlihat pria dewasa yang aku taksir berusia tak kurang dari
tiga puluh, memasuki sebuah ruangan tempat kami berdiam. Hanya ada aku dan
temanku satu saja di dalam sini. Tak ada yang menghiraukan kami. Semua menuju
ke penghuni baru. Ya, penghuni baru, sedang aku dan temanku hanya ibarat barang
bekas yang tak rela dibuang begitu saja dengan pemiliknya.
“Semoga
ia mendekat,” bisikku kepada Ve, temanku yang menatap sendu. Sepertinya
semangat dalam dirinya tengah meredup, ia sudah pasrah menggantungkan harapan
kepada orang-orang yang selalu berlalu lalang di hadapan kami, namun lebih
sering tak menyentuh tubuh kami, bahkan menoleh pun tak sempat.
Ah,
entah sampai kapan kita di sini, dilumat butiran debu yang kian menebal, tak
diperhatikan dengan pengoleksiku yang padahal dahulu aku ingat sekali, ia
memuji-mujiku di hadapan mitra kerjanya.
“Ve,
kenapa diam? Tenang saja, pada waktunya tentu harapan kita akan terpenuhi.” Ia
menoleh sesaat kemudian kembali lesu. Tak banyak yang bisa aku perbuat.
Setidaknya, aku masih memiliki harapan dengan pria yang masih mondar-mandir di
hadapanku sejak tadi ia masuk. Aku terus berdoa dan memohon agak ia
menyentuhku, atau setidaknya, memperhatikanku walau beberapa detik.