“Hidup sudah makmur, untuk apa menulis dan membaca terus, Bung!”
Dunia sastra menjadi bahan ejekan, barangkali, bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh menggelutinya. Meski kita, orang-orang yang terjun di dunia kesusastraan, sudah disuguhkan dengan berbagai “akibat” atas totalitas yang dilakukan para penggiat sastra terdahulu, tapi toh tetap saja, kita masih mau menekuninya. Biar kata hidup mereka melarat, nelangsa, susah cari uang buat beli rokok, tapi kita tetap enjoy-enjoy saja dengan menulis. Kecintaan sejati tak pernah neko-neko.
Sebelum jauh berbicara soal..., ya, minat baca rakyat Indonesia yang rendah, coba tengok dulu apa yang sudah dilakukan pemerintah terhadap para pemikir (penulis). Konon dari 1000 orang, hanya 1 yang benar-benar gemar membaca. Kalau boleh saya bilang, 1000 orang dalam perumpamaan itu bukanlah orang-orang yang malas. Tetapi mereka orang-orang yang miskin di antara 1 orang kaya yang berkecukupan.
Andai harga buku—sial, di malam-malam begini mendadak saya mau ngoceh, sampe nggak peduli betis dan paha dirubungi nyamuk sampe bentol dan gatal!—dari masing-masing penerbit dibandrol dengan harga murah, pastilah banyak orang yang gemar membaca. Ya, minimal, mereka bisa menjatah uang pengeluarannya untuk membeli buku. Persetan dengan slogan, “tidak ada buku mahal, yang ada kita yang kere!” busyeeeet!!! Begini susahnya mendapatkan ilmu pengetahuan.
Jangan sekali-kali bicara soal perpustakaan daerah di depan muka saya. Saya sungguh muak dengan isi perpustakaan di Banten. Baca baik-baik, kalau bisa dengan mengeluarkan suara saat membacanya: “Perpustakaan di seluruh kota di provinsi Banten sangat tidak layak disebut perpustakaan!”
Buku-buku yang lapuk, ngejengking, terjungkal, terbalik, yang sobek, belum lagi buku-buku keluaran terbaru tidak ada (bahkan saya cek sampai berulang-ulang tiap bulan), buku seks ada di rak buku anak, buku filsafat ada di rak ekonomi, buku komputer ada di rak sastra, buku sastra ada di keranjang sampah!
Ya, itulah kenyataannya. Karenanya ketika hidup susah begini, boro-boro mau baca buku. Jangan salahkan pula kalau kecerdasan kita jauh tertinggal dengan anak-anak di negara lain. Mereka terfasilitasi. Terserah mau bilang kami cengeng atau apa pun. internet lagi-lagi hanya bagi mereka yang memiliki gadget serta kuota, dan kuota tentu saja mesti ada uang. Lagi-lagi pangkalnya uang. Andai saja dunia tanpa uang. Saya sering kali membayangkan hal demikian. Kira-kira, masih adakah kesenjangan sosial macam ini. Tapi, ah, saya kan masih anak ingusan. Tidak terlahir pada zaman penjajahan, atau zaman dahulu kala yang konon alat tukar masih dengan sistem barter.
Kembali ke awal. Lagi-lagi saya mempertanyakan, apa gunanya sastra sekarang ini? para sastrawan, budayawan, aktivis kok kayaknya teriak-teriak baik secara langsung maupun melalui karya tulis sama sekali tidak memberikan efek apa pun? tidak ada yang berubah—paling tidak secara signifikan. Apa yang kita kritisi tidak berubah bentuk. Ia tetap saja berjalan seperti sediakala. Siapa yang berkuasa otentusaja ia yang kendalikan. Sastra? katanya barangkali, tak lebih dari pemanis buatan.
Chairil, Pram, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, AA Navis, Kuntowijoyo, dan semua sastrawan senior itu sampai detik ini belum ada yang bisa melampaui karya mereka dan pemikiran-pemikiran mereka. Penulis sedemikian ditakutinya sampai mereka dipenjara, diasingkan, dibumihanguskan buah pikirannya dan segala macam. Pemerintah macam gemeridig bila sastrawan sudah bersuara. Mahasiswa? Astaganaga, boro-boro. Saya tidak sedang membicarakan orang lain. Saya sedang memandang diri sendiri. Skripsi saja tidak kelar-kelar. Boro-boro mau mikirin negara yang terlanjur awut-awutan begini.
Mahasiswa yang tiap kali didengungkan sebagai agent of (social) change itu, halah sudah basi! Tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada pergerakan. Saya memang tak begitu lama berkecimpung di keorganisasian kampus, tapi melihat sekarang kok miris betul. Membaca sejarah para pendahulu, mahasiswa itu ditakuti pemerintah. Tiap gerak geriknya, tiap ucapan-diskusi-perkumpulannya diperhitungkan. Sekarang paling banter mahasiswa duduk di kantin sambil ngopi-ngopi dan berbagi video bokep. Ada memang yang memikirkan bangsa ini, tapi berhubung minoritas, jadilah ia milih mendekam saja dengan segala konsep-konsepnya. Bersembunyi di antara tumpukan buku tak guna di dalam kamarnya.
Kita butuh gebrakan. Sesekali saya pun jengah dengan pemerintahan yang loyo macam begini. Indonesia, kok, sepertinya cuma milik orang Jawa saja. Ke mana Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, apalagi Papua. Wong Jowo ki diam-diam menghanyutkan. Sampe negaranya ikutan kanyut. Lebih-lebih, akibat dari malas membaca itu tadi, orang-orang mudah termakan isu/berita palsu, alias hoax!
Sayang betul saya ini sama Indonesia. Tapi lagi-lagi kalau bicara begini macam sudah menyesap asam-garam saja hidup saya ini. Tidur saja masih numpang sama orang tua. Halah!
Soal sastra, barangkali sekarang sudah tidak penting lagi. Orang-orang tidak ada yang gemar membaca sastra. Sekalipun saya tak melulu percaya data statistik, tapi nyatanya peminat sastra memang minim. Andai pegiat sastra melimpah, kalau penikmatnya jarang-jarang, yo, tidak akan berkembang. Orang-orang itu saja yang akan berkubang. Setiap kali saya mendatangi kegiatan sastra, para pendatangnya tak pernah melebihi acara konser musik. Sastra mestinya membumi, bukan memberi jarak. Juga harga-harga buku yang melangit, entah bagaimana caranya saya tak paham, cobalah pemerintah mensubsidi agar kaum menengah ke bawah pun bisa turut membeli buku-buku baru. Bukan hanya menunggu buku yang setelah 3 tahun berada di tumpukan diskonan. Itu pun harus berebut. Buku macam kacang tanah saja ditumpuk jadi timbunan gunung. Buju-buneng, dah, betapa susahnya merampungkan buku-buku itu. Saya tahu bagaimana setiap perjuangan penulisnya. Tetapi, di hadapan para pemburu diskonan, buku-buku macam kertas bekas gorengan. Tak ada yang peduli ia terinjak-injak, melowek sampulnya, robek halamannya dan segala macam kenelangsaan buku.
Bila sudah begini, masih maukah kita menjadi penulis?
Bila dari kacamata pembaca, masih maukah membeli buku-buku yang mahal itu?
Kalaupun masih, mau sampai kapan kita menulis dan membaca buku?
Saya tak benar-benar yakin. Menjadi miskin saja malas membaca, apalagi kalau sudah kaya. Tak ada waktu untuk membaca. Membaca dan menulis hanya berlaku bagi mereka yang mau bersusah-susah hidupnya. Tengoklah para sastrawan yang lahir pada masa-masa revolusi. Buah pikirnya yang dituangkan dalam tulisan benar-benar menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu, pemerintah gemetar dan karyanya menjadi gempar. Kalau sekarang, segalanya telah berubah, konon, sehingga menulis dan membaca itu aktivitas yang menjenuhkan. Duduk berlama-lama, dan hidup dalam kebosanan. Tetapi lagi-lagi saya katakan, bila sudah sampai pada kecintaan yang hakiki, tak perlulah banyak bicara. Pada akhirnya membaca dan menulis adalah soal kecintaan. Itu saja, sih, intinya. Tulisan di atas hanya kengawuran saya yang sedang tidak jelas begini. Dari ketidakjelasan itulah maka lahirlah tulisan semrawut seperti yang sudah kalian baca. Senang rasanya sudah membuang-buang waktu kalian.[]
Cilegon, 25 Maret 2017