image by: kibul.in |
Di usia ke-27 saya dipaksa
khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah
dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu
saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih
baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau
“kapan nyusul?”—yang kecepatannya
bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.
Saya ingin cari angin segar, kata
saya sebelum ibu bertanya, “mau ke mana?” seperti biasanya. Kunci saja, saya
bawa duplikatnya, susul saya sebelum resmi menutup pintu dengan rapat—dan
sebelum pertanyaan kedua ibu mencuat.
Ini malam ketiga saya ada di
rumah, dan tiga kali pula saya menemukan sepah buah seri bergelimpangan di
terasnya. Mulanya saya kira bulatan tak sempurna yang tak lebih besar dari
kancing baju itu adalah tahi wirog atau kambing atau keduanya. Namun lima menit
sebelum magrib tadi, saya ingat betul waktunya lantaran sedang menonton bokep yang sialnya gagal orgasme di
menit akhir, ibu mengetuk pintu kamar saya. Saya hanya ber-hmm agak keras dari
dalam. Untungnya ibu tidak memaksa saya membuka kunci pintu saat itu juga—sebab
akan sangat merepotkan ketika tubuh bongsor saya harus mencari ke mana sempak dan
kolor yang tadi saya lempar, di belantara kamar saya.
Kemudian ibu berkata sedikit
lantang dari luar, “besok pagi tolong perbaiki atap depan. Codot sudah mulai
bersarang lagi di sana. Ibu capek membersihkan lantai, apalagi sepah seri yang
lengket itu.” Saya menduga kalau ibu masih akan terus berdiri di sana sebelum saya
ber-hmm untuk kedua kalinya..., oh tidak, maksud saya tiga kali, sebab kalimat
berikutnya menyusul, “mandi sana. Sebentar lagi magrib. Solat, Run, kamu sudah
besar.” Saya yakin setelah bicara begitu ia kembali duduk di depan televisi
sambil menunggu acara dangdut dimulai. Lagi pula, sejak kapan ibu melihat badan
saya kecil?
Setelah tahu di lantai itu ternyata
sepah seri, saya menendangnya sekalian. Sial betul codot yang masih sepupuan
dengan kampret itu. Dia yang dapat manisnya, saya yang dapat sepahnya. Mana
bisa tubuh tambun begini menaiki atap, Bu. Saya jadi semakin yakin seseorang
yang membuat pribahasa, “habis manis sepah dibuang” mengalami hal yang sama
seperti saya; bertubuh besar, disuruh ibunya memperbaiki atap, dan sebelum
melakukannya ia menendangi sepah di lantai sebanyak lima kali sambil meratapi
dirinya yang baru ditinggal mantannya menikah.
Ya, kalau kau ingin tahu alasan
saya pulang ke rumah, selain karena uang habis, tak lain karena Ardhelia
menikah. Sekuat-kuatnya lelaki, ketika mendengar kabar orang yang masih
disayanginya dipersunting lelaki lain, tentu hatinya akan hancur. Apalagi terlalu
banyak kenangan di indekos dengannya, saya belum sanggup untuk kembali ke sana.
Saya perlu menata hati, ya, paling tidak sampai ada panggilan kerja dari salah
satu perusahaan yang kemarin saya ajukan lamaran.
“Hi, kawan lamaku, lesu betul
kayak tisu kesiram aer.” Sungguh suara seseorang yang ingin saya hindari bahkan
sebelum saya dilahirkan. Lebih-lebih mendengar tawanya itu yang mirip suara
tikus di loteng yang terjepit genting.
“Oi, Man...,” saya menoleh, lalu
tertawa ala kadarnya. Si muka bopeng itu malah berjalan mendekat.
“Minggu depan bantu-bantu, ya.”
Saya hanya ber-hmm ditambah
sedikit anggukan.
“Kapan, nih, nyusul?” Si keparat
tampak ingin belaga. Kalau saja saya habis menenggak bir dua botol, pasti sudah
saya jotos hidung babinya itu. Tapi toh, saya memilih diam. Sesekali berusaha
menghindar dari rangkulan badannya yang menguarkan bau kakus terminal yang
sebulan belum disiram.
“Aku kok, masih heran, ya.
Bisa-bisanya Sandra mau aku nikahi, padahal kata teman-teman aku ini jelek,
kamu lebih sering bilang gitu, kan?” ia terbahak sembari memberi bukti kalau
barisan gigi kuningnya mengalahkan warna kecapi matang.
“Kau akan disebut lebih beruntung
kalau Makhsi mantannya tak membunuhmu sebelum pernikahan,” kata saya sedikit
menciutkan nyalinya.
“Kamu ada masalah, apa, toh? Mana
mungkin Makhsi berani sama Herman anak Lurah Hasan. Punya apa dia?”
“Paling tidak, sekarang kau sudah
bisa menjawab pertanyaanmu sendiri,” ucap saya enteng. Ia tampak tersinggung.
“Ah, gayamu, Badrun,” dengusnya
kesal. “Omong-omong, sudah kerja apa sekarang? Eh, tunggu, sarjana sastra
biasanya kerja apa, sih?”
Kalau saya jawab secara serius,
ia pasti tidak akan paham. Kalau saya jawab bercanda pun ia pasti mengira saya
sedang serius. Satu-satunya meladeni orang sepertinya adalah dengan, “Warung
kopi Mang Mahdum, yuk. Kita lanjut ngobrol di sana. Sudah lama aku tidak
ditraktir anak Pak Lurah,” kelakar saya menggamit bahunya, dengan sedikit lebih
keras.
“Ditanya apa jawab apa. Kamu
duluan saja, aku masih ada urusan. Maklum, seminggu lagi nikah. Banyak hal yang
harus disiapkan,” tangkisnya seperti biasa. Herman, sejak saya kenal di bangku
SD, dia satu-satunya anak yang tidak mau berbagi apa pun. Kami menjulukinya
kepiting, tentu tanpa sepengetahuan dia. Dan kalau saya pikir lagi, kepiting
terlalu mewah untuk disandingkan dengannya.
Pertama, ia jalannya rada miring,
itu benar secara harfiah, karena kakinya pernah terserempet sepeda motor dan
pelakunya baru keluar penjara setelah sepakat membayar upeti setiap bulan pada
Lurah yang katanya punya kenalan banyak polisi itu. Kedua, ia juga senang
“mencapit”. Kalau saya pinjam bahasa ibu, ia termasuk anak yang memen atau kerahang atau pengenan.
Apa yang orang lain makan ia selalu minta. Kami para temannya tahu ia diberi
jajan yang lebih, tetapi meditnya minta ampun, bahkan untuk dirinya sendiri.
Kalau kau pernah lihat sekerumunan kepiting ditaruh dalam ember, kau akan tahu
apa maksud saya. Ketika mereka hendak keluar dan menyelamatkan diri, pasti satu
atau dua kepiting di bawahnya akan menyeret dan menariki kaki kepiting yang
sudah sampai di puncak.
Itu yang yang pernah dilakukan
Herman sewaktu saya dan beberapa teman hendak kabur saat jam pelajaran dulu.
Rosyid korbannya, dan sejak saat itu ia bersumpah setelah lulus tidak akan lagi
mengenalnya. Kalau saja ada program komputer yang bisa menghapus ingatan soal
itu, ia pasti yang baris paling depan untuk memakainya. Rosyid saat itu sudah
ada di atas tembok pagar. Herman, yang tanpa kami ajak ternyata ikut keluar
kelas. Ia menarik-narik kaki Rosyid dan memintanya untuk dibantu naik. Lantaran
kesal, Rosyid menendang-nendangi mukanya. Saya dan Aji yang sudah ada di luar
pagar sebelum lonceng masuk, tertawa terbahak-bahak. Dan bagian ketika sepatu
Rosyid mengenai lobang hidung Herman-lah yang tidak pernah kami lupakan. Bagian
terbaiknya!
Nah, yang membuat saya tidak
sepakat adalah pada poin ketiga ini; kepiting saat dijual di restoran-restoran
atau warung makan sea food pinggir
jalan, ia memiliki harga jual yang cukup tinggi ketimbang jenis lauk lainnya.
Lah, si Herman, siapa pula yang mau menawar harga tinggi untuknya andai ia
dijual di pasar loak sebelah pasar Kranggot sana? Ada yang menanyai harganya
saja sudah prestasi. Jadi, maksud saya bicara begini agar kalian tahu kalau
alasan Sandra mau menikah dengannya hanya karena Herman anak satu-satunya Pak
Lurah. Cukup diracun ketika hendak ngewe
malam pertama saja, orang tuanya pasti tidak akan curiga—barangkali malah
bersyukur. Dan Sandra, sudah mengantongi mahar yang lumayan mahal yang konon
dimintanya sebelum dilamar.
Saya biarkan Herman berbelok ke
gang menuju rumahnya. Urusan apa, bullshit.
Palingan dia cuma mau tidur sambil ngocok
dan memandangi foto Sandra yang bohai itu. Kadang saya miris sekaligus merasa
lucu, orang-orang seperti Herman, yang terlahir dari keluarga kaya, apa tidak
bosan menjalani hidupnya? Hidup adalah perjuangan, mungkin sebaris kalimat
motivasi itu tidak pernah ia rasakan. Sekolah hasil nyogok—karena otaknya
mentok dan ia menolak tidak mau lanjut kuliah—, kerja di perusahaan besar pakai
orang-dalem, dan hanya untuk
gaya-gayaan, lalu apa pun yang dimintanya selalu dituruti. Hidup, kok, mudah
betul. Kasian sekali, kau, Herman!
“Kopi hitam satu, Mang.”
“Pakai gula?”
“Nggak usah, Mang. Pahit aja.”
Bertemu orang-orang seperti
Herman-lah yang membuat saya tidak betah lama-lama di kampung. Lagipula untuk
apa terburu-buru menikah? Tetapi herannya, di kampung, teman lelaki seusia saya
hampir semuanya sudah menikah bahkan sudah punya dua anak. Orang macam dia, di
pikirannya barangkali hanya soal ngewajang,
selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi dan mengukuhkan, “gue bisa elu
kagak!”. Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam
ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa
paling bahenol.
“Ini, Run, kopinya.”
“Nuhun, Mang.
Mang Mahdum kembali ke dapur.
Lalu terdengar suara piring dan gelas saling beradu, juga suara air dari keran.
Malam sepekat kopi. Sedang dinginnya sedingin hati saya yang gamang. Tiba-tiba
pertanyaan Herman tadi menyeruak di benak saya. Sial! Ibu juga sering bertanya
apa kerjanya seorang sarjana sastra? Guru, bapak lekas menjawab di dalam kepala
saya. Sewaktu bapak masih hidup, ia yang paling mendukung. Sialnya ia meninggal
sewaktu saya di semester lima. Bukan meninggalnya yang membuat saya sedih,
tetapi biaya dari mana untuk melanjutkan semester berikutnya? Ibu hanya
pedagang kecil-kecilan. Ia membuka warung di depan rumah. Bapak yang seorang
guru honorer tidak mendapatkan pesangon, selain sumbangan belas kasihan dari
teman sepekerjaan. Saya harus putar otak untuk bisa membiayai kuliah. Beruntung
ada seorang kawan di perantauan yang mengerti keadaan saya. Ia menawari saya
pekerjaan sebagai editor buku di penerbitan kecilnya. Lumayan. Paling tidak
saya bisa membuktikan kalau saya bisa lulus dari hasil jerih payah sendiri,
melanjutkan biaya yang ditanggung bapak dan ibu di awal masuk kuliah.
“Kamu masih kerja di temanmu itu?”
pertanyaan ibu tiga hari lalu.
“Sudah lama berhenti, Bu.”
“Kenapa?”
Saya berjalan menuju kamar
setelah melepas sepatu. “Bangkrut kantornya, Bu. Saya, ya, nulis-nulis saja di
koran,” terang saya secukupnya.
Lamunan saya buyar ketika dua
orang datang ke warung kopi dengan tergopoh-gopoh.
“Lihat orang lewat sini, nggak,
Mang?”
“Kalau pun saya lihat, saya nggak
ingat mukanya, Mang, dan nggak peduli juga, sih,” kata saya malas.
“Bawa motor?” susul Mang Mahdum, “kalau
Mamang, sih, tadi lihat bolak-balik depan warung. Dua orang boncengan. Kayak
orang nyasar, tapi nggak tahu lagi terus ke mana.”
“Wah, benar, itu dia orangnya!”
“Ada apa gitu, Mang?” tanya Mang
Mahdum. Sementara saya lihat dari gang rumah Herman orang-orang tampak
tergesa-gesa, saling celingungan dan setengah berlari.
“Teror, Mang, teror! Ada yang
nggak seneng sama Si Herman. Pulang-pulang dia babak belur, Mang. Ada yang
cegat dia di jalan.” Setahu saya dari gang yang tadi Herman lalui, untuk sampai
ke rumahnya tidak terlalu jauh. Tetapi sebelum rumah Pak Lurah memang ada jalan
kecil dan pohon-pohon besar; semi-hutan. Khas perkampungan tempo dulu. Saya
tidak mau terlibat percakapan lebih jauh dan tak peduli soal kontur wajah
Herman bonyok atau rahangnya hancur. Justru saya berharap itu akan mengubah
presisi wajahnya agar lebih enak dipandang.
“Kamu benar nggak ngelihat
siapa-siapa, Run?” seseorang lainnya menepuk bahu saya.
“Soalnya Herman cerita kalau dia
habis ketemu kamu sebelum gang itu,” pria satunya menyahut. Heran, sudah berapa
lama saya tidak pulang kampung sampai banyak wajah yang asing di mata saya.
“Sudah saya katakan, saya tidak
tahu. Tak peduli,” saya bangkit. “Berapa, Mang?”
“Tiga ribu,” sahut Mang Mahdum.
“Ini, Mang. Nuhun.” Kemudian saya
memilih untuk menjauhi kerumunan. Mengganggu saja!
Saat jalan pulang, ponsel saya
berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Tertulis namanya Rosyid. Saya sedikit
lupa Rosyid yang mana. Lalu saya buka pesannya, “Run, saya sedang di depan
rumahmu, nih. Keluar dong. Mau
mampir. Saya berdua sama Makhsi!” Seketika saya ingat, ia ternyata yang tadi
saya ceritakan, Rosyid yang pernah dicapit
Herman saat SMA dulu. Tak biasanya ia datang bersama adiknya. Akhirnya ada
kawan untuk berbincang, ucap saya senang. Saya berjalan lebih cepat, tak sabar
ingin menemuinya.[]
Cilegon, 06 Januari 2018