Cerpen, "Lelaki yang (Merasa) Dibercandai Tuhan" dimuat Koran Banten News, (03/12/16) |
Suatu pagi aku sedang mengerang kesakitan. Kau tahu, sebabnya tak lain adalah sapu lidi yang menampar-nampari tubuhku. Tentu bukan secara ajaib. Ada si pelaku di sana. Bapakku. Kurasa pagi itu dia sedang kerasukan—walau konon seorang Kiai tak mungkin kerasukan karena setan pun segan. Seperti pagi-pagi kemarin, aku selalu sulit untuk bangun subuh. Atau setidaknya sekadar untuk melaksanakan salat subuh. Tentu Bapak pun tak luput dari murkanya. Jadi dipukuli bagiku sudah menjadi sarapanku setiap pagi. Tetapi, ada sesuatu yang terasa beda. Bapak menyabetkan ujung-ujung sapu lidinya itu—yang terasa pedas dikulitku—lebih lama. Aku memang tak segera beranjak. Masih mencoba menghindarinya dan menutupi tubuhku dengan kain sarung. Meski akhirnya aku yang mengalah dan segera ngacir menuju kamar mandi.
“Kamu coba ubah, toh, kebiasaanmu meninggalkan salat subuh itu, Nak,” pinta Ibuku di depan pintu kamar mandi. Aku ngeloyor saja tanpa sedikit pun antusias mendengarkan celotehannya. Ya, karena ucapan seperti itu pun sudah terlalu kenyang untuk kulahap.
Bapak adalah orang yang cukup disegani di desa ini. Banyak para tamu serta ulama dari luar untuk datang berkunjung ke rumah kami. Ada yang sekadar meminta saran untuk keluarga mereka—kebanyakan mereka yang baru menikah—ada pula yang meminta didoakan untuk kesembuhan sanak keluarganya yang sedang sakit. Kalau sudah begitu Bapak biasanya mengambil segelas air mineral atau tamu itu membawa sendiri dalam botol kemasan kemudian Bapak seperti membacakan jampi-jampi, mulutnya komat-kamit entah apa yang diucapkannya. Terakhir ada pula yang meminta ‘membunuh seseorang’. Bagian terakhir ini yang cukup membuatku penasaran. Membunuh seseorang yang kumaksud tentu hanyalah sebuah kiasan. Tetapi memang bisa dibilang begitu. Bagaimana tidak, sejak aku kecil, kalau ada tamu yang meminta seperti itu, aku biasanya merengek untuk ikut pergi dengan Bapak mengunjungi orang yang sedang sekarat tersebut. Bapak kemudian membaca doa seperti biasa pada segelas air, memasukkan jemarinya dalam air tersebut, lalu seperti sedang memijat tangan serta meraih beberapa tubuh si sekarat—sebutanku untuk orang yang tengah diobati. Sebuah batu berkilauan berbentuk kecil secara tiba-tiba keluar dari tubuh orang itu. ada yang dari kepala, tangan, kaki, payudara, betis, paha, perut hingga bagian wajahnya. ajaib! Itu kata yang tepat menurutku.
Usai itu Bapak biasanya memberikan air yang sudah dibacakan doa tadi kepada keluarga yang bersangkutan. Katanya oleskan, raupkan dan minumkan kepada si sekarat. Setelah itu seperti biasa, keluarga yang bersangkutan menyalami Bapak dengan menyisipkan sebuah amplop di tangan Bapak sambil mengucapkan terima kasih. Aku sigap meraihnya dari tangan Bapak setibanya di rumah.
Tidak beberapa lama, paling cepat malam harinya atau keesokan harinya, Bapak mendapatkan kabar kalau si sekarat yang dikunjunginya telah meninggal. Anehnya keluarga si sekarat malah terlihat tampak senang dan mengucap syukur, bukannya terlihat berduka atau menyesal telah meminta bantuan kepada Bapak yang telah membuat si sekarat wafat. Sejak saat itu setiap kali ada yang datang ke rumah meminta hal semacam itu aku menyebutnya membunuh seseorang.
Kedekatanku di waktu kecil memang sangat erat sekali. Sampai kedua kakakku sering cemburu. Karena kalau pergi ke mana-mana aku yang biasa diajak. Amplop pemberian tamu-tamu Bapak pun selalu diserahkan padaku. Lebih sering, sih, tanpa ketahuan oleh kedua pencemburu di rumahku; Rafli dan Rafla kedua kakak kembarku. Namun lambat laun usiaku bertambah. Kesibukan Bapak dan aku pun semakin padat. Lagi pula, meski diajak pergi-pergi lagi di usiaku saat ini, tentu aku tidak akan mau. Aku malah merasa malu. Tentu sudah pasti teman-teman kampusku akan mengejekku habis-habisan. Sejak saat aku masuk kuliahlah aku mulai menjauh dari Bapak.
“Untuk apa pulang lagi?”
Amuk Bapak tepat di depan wajahku. “Bukan sekolah yang benar, malah keluyuran pulang larut malam.”
Aku gerah!
Tak kupedulikan ocehan apalagi yang keluar dari mulutnya sebab aku memilih pergi. Segera menyalakan motor dan aku tarik pedal gasnya cukup keras, sengaja menggerung-gerungkan bunyi knalpot. Agar Bapak tahu, aku sudah besar dan sudah sepantasnya mengambil sikap dan keputusan sendiri untuk hal-hal yang aku lakukan.
***
Sudah hampir tiga jam aku berdiam sendiri di waduk terdekat. Penampungan air yang besarnya dua kali lapangan sepak bola ini yang menyalurkan air ke rumah-rumah warga. Aku perhatikan lagi jam dipergelangan tanganku dan jarum pendeknya sudah menginjak angka empat subuh. Terkadang orang-orang macam diriku butuh mengenal apa itu sepi. Berkawan dengan kesiut angin yang sesekali berbisik bahwa kehidupan terlalu berisik. Sialnya, detik berikutnya mataku mendapati ratusan, bahkan ribuan orang-orang yang berjalan mendekat. Seraya mengucapkan kalimat tahlil. Sesubuh ini orang-orang berpakaian putih datang berkumpul di waduk? Ada apa? Apakah mereka geng motor yang kehilangan motornya? Sebab sepanjang yang aku pandang hanya ada orang-orang yang terus berjalan kaki? dan semuanya lelaki.
Aku berusaha tak peduli, meski sebenarnya sedikit ngeri juga. Bagaimana tidak, mereka datang berbondong-bondong seperti segerombolan para jihadis yang siap membakar rumah-rumah judi. Tak ada siapa-siapa selain aku di sana yang menyaksikan mereka. Sekira hampir sepuluh langkah dari tempatku berdiam, mereka semua menghentikan langkahnya.
Salah seorang dari mereka, yang kuduga pemimpinnya, menunjuk ke tengah waduk. Lalu mereka semua berteriak, berjalan cepat, dan menggelar sajadah. Ya, sajadah! Dan mereka tidak tenggelam?!
Mereka berjalan di atas permukaan air seolah berjalan biasa saja di tanah datar. Aku benar-benar tidak bisa memercayainya. Meski takut, aku beranikan diri untuk mendekat. Di antara kesadaran dan ketaksadaran, aku pun bisa berjalan serupa yang mereka lakukan. Sayangnya, dari arah belakang ada dua orang yang menarik kuat masing-masing lenganku. Sekeras apa pun aku meronta, tak kunjung lepas juga. Mereka tak bicara apa pun dan tak memedulikan teriakan dan eranganku. Salah seorang dari mereka hanya menunjuk ke arah timur, tepat di arah orang-orang yang tengah berwudhu. Entah sejak kapan mereka di sana, padahal dari pinggiran waduk tadi aku hanya melihat mereka semuanya sudah berkumpul di tengah-tengah waduk.
Aku berusaha menangkap maksudnya dan kemudian berwudhu. Aku menuruti mereka ketimbang permintaan Bapakku. Ada suara orang berdeham, rupanya masih dengan orang yang sama. Ia menunjuk baris paling depan. Lebih depan dari orang yang kuduga pemimpin tadi.
“Silakan dipimpin salatnya.” Ia mempersilakan dengan suara yang tenang dan takzim. Mana sempat aku mengelak sementara mata dari masing-masing mereka menghunjam tepat ke wajahku. Ketika hendak kabur, di sekelilingku seperti ada ribuan tangan tak kasat mata yang menahan laju tubuhku. Aku gagal memutar badan.
Dengan langkah gemetar, aku melewati calon-para-jamaahku dengan kepala yang terus merunduk dan keringat yang perlahan mengalir deras. Padahal tubuhku terasa menggigil menahan dingin waktu subuh yang gelap itu.
Aku sudah berada di posisi imam salat dan menghadap kiblat.
Aku belum juga memulai. Bibirku kelu untuk mengucapkan niat salat. Sedangkan orang yang tepat berada di belakang punggungku, yang tadi kukira pemimpinnya itu, sudah selesai melantunkan iqamah.
Sungguh, apa yang sedang terjadi aku tak paham. Aku menyerah! Lekas saja aku memutar kepala meski sedikit bercampur aduk rasa sungkan-malu-takut. Ingin aku sampaikan kalau aku tak bisa. Namun apa yang terjadi, mereka semua hilang. Tak ada satu pun yang berada di belakangku. Aku semakin kelimpungan saja. Kedua kakiku terkunci, tak bisa dibawa melangkah ke mana pun, dan tak juga kunjung tenggelam. Sementara selang beberapa waktu, di pinggiran waduk sana, terdengar suara orang-orang yang berteriak-teriak ke arahku, ramai sekali. Namun tak ada yang tertangkap mataku selain sosok lelaki bersorban tengah memegang sesuatu di tangannya, mungkin sapu lidi yang terus digoyang-goyangkan. Entah apa yang harus aku lakukan berikutnya. Barangkali Tuhan sedang ingin bercanda.[]
Cilegon, 13 Juli 2016