[SELF-DEPRESSION] RACAUAN DAN PERTANYAAN YANG MENGGANGGU

December 01, 2016

Belakangan, efek dari banyaknya keriuhan yang tampak begitu gamblang di keseharian kita, saya jadi merasa sulit mengambil sikap. Hal-hal remeh, seringkali digodok sedemikian serius dengan mengabaikan hal-hal penting lainnya. Internet salah satunya. Ia menyuguhkan banyak hal baik, sekaligus hal buruk. Ia menyodorkan racun berikut penawarnya. Ia menunjukkan solusi sembari menyelipkan masalah di baliknya. Orang-orang menjelma buah yang, "gumading"--matang sebelum waktunya.
Adu kehebatan; baik soal keilmuan dan kecakapan berbicara kian kentara (hanya) di media sosial. Pengakuan dan sorak tepuk tangan barangkali adalah trofi yang paling ingin mereka rengkuh. Tanpa peduli aspek-aspek lain yang menjadi faktor mendasar dan utama dalam setiap perbincangan (baca: perdebatan) mereka.
Saya selalu membayangkan, orang-orang yang merasa paling agung dan cerdas itu dipertemukan. Saling tatap muka, duduk bersama dan menyesap kopi yang terhidang di meja. Kira-kira, apa yang akan mereka cakapkan? Apakah akan seriuh saat berinteraksi di dunia maya yang menggebu-gebu dan penuh-hawa-nafsu-dendam-kesumat-angkara-murka itu? Atau, mereka akan biasa saja layaknya para pengelana kehidupan yang sekadar mampir di warung kopi atau kedai tepi jalan dan bicara alakadarnya dengan orang yang duduk sebangku dan tak saling kenal sebelumnya itu?
Sering saya amati, ketika satu orang mulai menyulut api, satu orang lainnya malah menyumbang korek dan bahan bakar. Mereka membuat api kecil menjadi api besar yang sebenarnya sedang tidak dibutuhkan. Sebuah perdebatan yang tidak mendasar sungguh tak memerlukan jawaban. Pengabaikan soal benar dan salah bukan lagi jadi topik utama, yang terpenting semua terbakar, semua terluka, semua habis dilalap api dan menjadi abu yang fana.
Saya sering cemburu dengan anak-anak. Saya pernah berada di posisi mereka, tetapi ketika kedewasaan menjemput saya, betapa sulitnya berpikir kembali layaknya kanak-kanak. Padahal, pada usia sekarang saya lebih sering membutuhkan jiwa kanak-kanak dalam diri saya. Ketika saya kesulitan menemukan sebuah jawaban atas masalah-masalah yang tengah menghadang, saya ingin sekali meminjam pikiran kanak-kanak. Saya selalu berandai-andai, "Apa yang akan jiwa kanak-kanak saya lakukan ketika menghadapi masalah begini? kerumitan macam ini? posisi serba-salah ini?" Saya yakin jiwa kanak-kanak saya bisa melakukannya dengan lebih baik dan bebas. Tanpa dipusingkan dengan banyak pertimbangan-pertimbangan; takut salah, takut berantakan, takut nggak sesuai, takut salah paham, takut ini takut itu serta segala ketakutan dan kekhawatiran yang menggunung. Saya pun selalu bertanya apakah kalau saya di posisi mereka saya akan bersikap demikian? atau sebaliknya?
Ah, barangkali memang saya saja yang kurang paham tentang mereka; kurang paham soal diri sendiri bahkan. Ketika sesuatu hal terjadi pada diri saya, saya tak lekas mencari biang onar atau orang-orang sekitar untuk saya salahkan. Sekarang ini saya gemar meneliti soal apa saja yang sudah saya lakukan; kesalahan apa yang kadung saya perbuat baik sadar maupun tidak, sebab apa yang kita alami di hari depan adalah buah dari apa yang sudah kita tanam sebelumnya. Bahkan, soal internet itu, ia tak bisa dijadikan kambing hitam. Ia hanya alat, semisal pisau dapur; bisa kau pakai untuk mengupas bawang, atau menggorok leher ayam di pekarangan belakang rumah orang. Tibalah saat menggoreng dan hal tersebut tentu saja mengundang rasa lapar di malam yang penuh pertanyaan-pertanyaan ini. Lantas, sudahkah kita paham soal diri sendiri? Bahkan menentukan waktu tidur saja sulitnya bukan main.
Malam-malam begini, isi kepala saya terus saja mengganggu, berontak dan meracau. Ia meminta saya menuliskan ketidakjelasan ini tanpa memikirkan si pemiliknya yang belum tidur sejak hari kemarin. Alamaaak!
Terakhir, saya bersetuju dengan Pak Kiai di kampung saya yang malam tadi mengisi sebuah tausiyah pada acara, "Nanggalaken" atau menyambut bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Intinya, hal-hal yang abu-abu sekarang ini selalu ada motif tertentu di belakangnya--kalimat ini saya sendiri yang buat dan tentu dengan kesimpulan bebas saya.
Orang-orang yang terteriak-teriak itu, orang-orang yang mengekor itu, orang-orang yang ada di belakang itu, orang-orang yang sudah lama tak menyentuk kitab sucinya itu, saya yakin lebih banyak tidak tahunya soal masalah yang tengah terjadi. Hanya ada tiga hal yang mendasari mereka melakukan itu: satu, golongan orang-orang yang polos namun tulus. Dua, orang-orang yang hanya mengikuti tren saja atau suara mayoritas. Tiga, orang-orang yang tahu pokok permasalahan tetapi sebab sesuatu tertentu yang diinginkannya, maka ia mengikuti jalur tersebut.
Kembali ke perkataan Kiai tadi, konon ada hadist Nabi yang bunyinya begini: "Barangsiapa yang menginginkan (mencintai) sesuatu maka ia akan menjadi hambanya (pengikutnya)."
Hadist tersebut akan menjadi baik kalau yang dijadikan konteks atau studi kasus semisal: karena kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita mengikuti segala sesuatu dan meneladani perilakunya. Namun, akan menjadi lain kalau konteksnya demi keuntungan pribadi, dengan memanfaatkan orang lain/kelompok (baca: picik) demi tercapainya segala keinginan kita (bisa jadi kedudukan atau pengakuan yang menimbulkan sifat sombong dan takabbur).
Ahoi!
Selamat datang, Desember. Selamat menyambut Hari Maulid Nabi Muhammad SAW yang akan jatuh satu minggu lagi. Semoga syafa'atnya menyertai kita umatnya hingga yaumil qiyamah. Aamiin. Wallahu a'lam bissowab.
Cilegon, 01 Desember 2016

You Might Also Like

1 komentar

  1. It is very good that you discuss this theme with children, because, I think that it is important. I will be waiting for the next post with pleasure.

    ReplyDelete