Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    Media Indonesia
    Angin gurun berkesiur pada telinga Naseer. Matanya lekas terbelalak, memastikan sekitar tempatnya bersembunyi aman dari kejaran musuh. Langit masih gelap. Napasnya perlahan ia atur. Nyeri di paha dan punggungnya terasa lagi. Lelap dan kantuknya hilang seketika. Darah yang mengucur di kakinya mulai melambat. Kain putih yang diikatkan oleh Narayya bekerja sebagaimana mestinya. Meski malam, ia bisa memastikan kain itu telah berubah warna menjadi merah legam.

    Naseer perlahan bangkit. Ia ingin memastikan apakah Narayya sudah terjaga. Agak pincang, kakinya membawa ia ke sebuah goa kecil, tempat Narayya merebah lelah. Sebelum ia betul-batul masuk, pandangan ibanya sekali lagi ia tujukan pada kuda hitam yang membawa mereka berdua sampai ke sana. Luka akibat lemparan panah dan tombak tak sedikit menggores di tubuhnya. Namun ia yakin, kuda kesayangannya itu kuat. Ramuan tumbuhan yang dibuat Narayya sepertinya cukup ampuh. Sebab jelas sekali kuda itu tenang, tidak lagi meringkik dan merintih.

    Di dalam goa lumayan terang. Nyala obor masih bertahan walau hanya tersisa satu. Tiga yang lain telah padam. Perasaannya mulai sedikit khawatir. Sorot matanya kembali awas melihat ke sekeliling. Gegas ia memacu langkahnya. Tepat ketika ia menoleh ke arah kiri, Narayya tidak ada di tempatnya. Ia yakin betul perempuan dari kerajaan Moor itu ada di sana—dan ia yang memintanya untuk masuk ke dalam goa dan rehat di ruang sempit itu. Naseer merasa kecolongan! Padahal ia pikir tidak lelap-lelap amat sewaktu berjaga di luar. Kalaupun ada seseorang yang masuk, kuda hitamku pasti akan meringkik, lebih-lebih pada orang asing yang tak dikenalnya, pikir Naseer. Tapi, mengingat kudanya ia malah tercekat untuk beberapa saat. Kuda....? Kudaku!

    Dugaannya benar. Kuda hitam, tinggi, dan penuh luka itu, telah mati. Naseer mengutuki dirinya sendiri. Ia melepas tudung dan jubahnya lalu ia hempaskan ke hamparan pasir. Tidak ada suara selain angin yang berkesiur masuk ke rongga-rongga bebatuan goa. Angin gurun menerbangkan pasir-pasir halus ke udara, mengabarkan pada langit aroma anyir kematian. Naseer pikir kuda itu hanya sedang tertidur lelap. Sejak mula memang kuda itu merebahkan tubuhnya dengan kepala menyentuh tanah. Namun entah bagaimana caranya, mulut kuda miliknya menyisakan bau racun. Dan leher sebelah kanannya robek oleh sayatan pedang. Pasir di bawah kepalanya cekung dan ada kubangan darah. Aku benar-benar lengah! Kesatria payah! Pecundang gurun!

    Sejauh mata memandang hanya ada hamparan gurun nan luas. Undakan-undakan pasir yang jumlahnya ribuan seolah hendak menyentuh langit gelap di atasnya. Tiada yang bisa ia lakukan sekarang. Meski bintang-bintang mengabarkan ke mana arah permukiman, namun serasa percuma. Tak soal kalau hanya 10-50 km yang mesti ia tempuh. Tetapi, ada puluhan mil yang harus ia lalui dengan luka di sekujur tubuhnya. Tanpa kuda? Tanpa unta? Lebih baik mati tertimbun pasir dan lenyap ditelan bumi, pikirnya.

    Kemudian ia menyesali hal yang sampai membuatnya terlibat pada pengejaran ini. Bahkan Narayya baru ia kenal tiga hari lalu. Sewaktu mereka menaiki karavan yang sama menuju sebuah rumah bordil. Ia tak berniat meniduri wanita manapun—setidaknya waktu itu. Ia datang ke sana hanya untuk berjudi. Hasratnya berjudi memang yang paling kuat hingga membawa ia mengembara dari satu perkampungan hingga ke sebuah kerajaan lain.

    Naseer turun dari karavan. Matanya sudah tertuju pada kuda hitam yang diikat di dekat pintu masuk. Ia tersenyum. Wajahnya tampak begitu tertarik. Jari-jarinya yang memakai banyak cincin berhiaskan batu-batu itu mengelus rambut kuda. Ia tampak begitu akrab. Sorot matanya yang tajam itu, tiada berkedip sewaktu melihat pelana kuda di depannya. Ia hanya mengangguk kecil seperti mendapati satu jawaban yang memuaskan—entah apa.

    Seorang putri, yang beberapa jam setelahnya akan ia kenal dengan nama Narayya, juga turun. Mereka melangkah masing-masing. Perempuan itu lebih dulu memasuki rumah bordil. Selang beberapa orang asing lain masuk, barulah Naseer menyusul di belakangnya. Tidak ada yang istimewa. Orang-orang biasa saja memandangnya. Meski saat itu ia membawa logam, emas, dan uang yang cukup lumayan. Sesaat lagi mereka akan paham dari mana pria hitam berambut kriting itu mendapatkan hartanya.

    “Perkenankan aku bergabung di meja kalian.” Naseer menaruh barang bawaannya di atas meja. Bandar dan penjudi lainnya menyilakan. Dadu berbentuk pentahedron, yang terbuat dari tulang atau gading hewan itu dikocok dalam gelas kayu. Tapi sebelum dadu dilempat Naseer menahannya. “Kupertarukan semua harta milikku ini untuk kuda hitam di luar sana.” Ia mendorong harta bendanya hingga ke tengah meja. Melihat keberaniannya, para penjudi bisa mengira kalau semua harta bendanya itu hasil berjudi.

    Seseorang, yang tak lain pemilik kuda itu, keberatan. Namun, beberapa orang yang duduk melingari meja itu memberi tanda. Naseer menangkapnya kalau akan ada satu muslihat yang bakal mereka mainkan.
    “Aku setuju. Karibku ini hanya butuh diyakinkan. Maklum, itu kuda yang baru ia peroleh dari seorang pengembara,” ucap pria tambun yang bersurban hitam di kepalanya, si bandar. “Katakan, berapa angka keberuntunganmu?”

    Mulanya Naseer tampak ragu, sebab ia sudah masuk dalam perangkap. Namun, demi mendapatkan kuda hitam miliknya lagi, ia harus memenangkan pertaruhannya. “Angka 3, entah mengapa aku tak pernah seyakin ini saat berjudi,” ia menggertak.

    Lalu si bandar bertanya pada penjudi yang lain, setuju untuk ikut atau tidak. Karena gengsi, mereka yang tak memiliki kuda hitam, pantang mundur. Segala emas, perak, perunggu, uang, logam dan benda berharga lainnya mereka pertaruhkan di meja judi itu. Sedangkan si pemilik kuda hitam mau tidak mau harus turut dalam permainan. Si pria tambun menatapnya penuh ancaman—Naseer menangkap gelagat itu.

    Dan Narayya, matanya membahasakan sesuatu kepada Naseer. Ia memberi kode dan petunjuk apa yang mesti ia lakukan kalau menang. Ia berdiri tidak jauh dari balik punggung si bandar. Naseer tidak tahu bagaimana ia tahu kalau perempuan itu memang sedang menyampaikan sesuatu yang ia tangkap dalam kepalanya. Ia yakin betul pesan itu yang ingin si perempuan berikan.

    Lalu dadu segi delapan itu di lempar ke meja judi. Tidak ada angka lain yang keluar selain titik tiga berada di atas. Semua penjudi tidak yakin. Mereka semua berdiri dan memastikan kalau angka lain yang muncul. Tak soal karibnya yang menang asal bukan si pengembara asing itu.

    Apa mau dikata, nasib mujur memang sedang menimpa Naseer. Narayya tanpa aba-aba maju ke dekat meja dan membantu mewadahi hasil taruhan ke dalam tas milik Naseer. Dari air mukanya, semua penjudi tampak geram. Jangan ditanya bagaimana wajah si bandar; merah kehitam-hitaman dengan urat-urat menjalari kedua sisi dahinya.

    “Sebaiknya kita pergi sekarang,” bisik perempuan berkalung manik-manik yang berkilauan itu. “Perkenalkan, namaku Narayya.”
    “Tuan, angkat aku jadi budakmu. Aku tak punya apa-apa lagi, kumohon,” salah seorang penjudi mengiba. Namun belum Naseer menjawab, Narayya mendorong si calon budak itu.
    “Ingat, di tanah asing, jangan memercayai siapa pun.” Sekali lagi Narayya meyakinkan Naseer. Dengan menggondol tiga karungan besar hasil judi, perempuan itu berlari keluar menuju kuda hitam. Naseer bingung mengapa perempuan itu tiba-tiba membantunya.
    “Terima kasih atas kebaikanmu. Ambillah ini dan biarkan aku pergi sendiri,” dua bongkah emas batangan ia serahkan pada perempuan itu.
    “Apa maksudmu? Aku tidak ingin hartamu. Aku hanya butuh tumpangan sampai ke permukiman bangsa Moor. Aku seorang putri. Ayahku memiliki harta benda semacam ini seratus kali lipat dari yang kau punya,” ucapnya sembari menaiki pelana kuda.

    Naseer tidak mau ambil pusing. Kuda hitam miliknya yang sempat dicuri orang telah kembali ke tangannya. Ia hanya perlu mengantarkan perempuan itu ke tempat asalnya. Lalu ia bisa kembali melanjutkan perjalanan. Lagipula, pandangan orang-orang di tempat judi itu sudah tidak mengenakkan. Bahkan beberapa berpindah dari tempat duduknya untuk mengambil.... senjata masing-masing. Ia harus segera pergi dari sana!

    “Lekaslah! Mereka murka atas kemenanganmu!” Narayya menarik lengan Naseer. “Pegangan yang erat. Pastikan kau tidak merusak hari keberuntunganmu.”
    “Kau boleh mengerti wilayah ini, tapi urusan menunggang kuda, serahkan pada ahlinya.” Naseer ambil sikap. Ia memacu kuda hitam kesayangannya itu. Entah bagaimana bisa ia menuruti apa kata si perempuan asing yang baru dikenalnya—bahkan mengenalkan diri tanpa ia pinta. Orang-orang saling berlari dan berteriak. Mereka tak terima dengan kekalahannya. Bergegaslah mereka menaiki kuda dan unta milik masing-masing. Panah, pedang dan tombak tak luput mereka bawa. Naseer jadi buronan seperti kijang dalam kepungan harimau.

    Beruntung Narayya tahu ke mana mesti Naseer membawa kudanya. Meski pendatang, perempuan itu begitu hafal lekuk jalan dan watak orang-orang di sana, pikir Naseer. Namun ia tak mau banyak bertanya. Ia mesti fokus dan keluar dari masalah ini.

    Sialnya, para penjudi itu membawa banyak kawanan. Situasinya betul-betul seperti dalam perang dua negara yang tak usai-usai. Bahkan hingga ke gurun Naseer dan Narayya dikejar-kejar. Sehebat apa pun mereka menghindar, beberapa anak panah dan tombak melukai tubuh mereka masing-masing, termasuk si kuda hitam.

    “Dan sekarang aku di sini, di tengah gurun pasir, seorang diri. Di tanah asing, seharusnya aku tidak memercayai siapa pun. Termasuk perempuan keparat dari bangsa Moor itu!”
    Cilegon, 9 Februari 2019



    ______________________________
    *cerpen ini pernah dimuat di Media Indonesia edisi 17 Maret 2019 

    Continue Reading
    Image by indiatoday.in

    Selepas ikamah, jamaah salat magrib merapatkan barisan. Satu di antara mereka maju ke tempat pengimaman atas kehendaknya sendiri. Tidak ada yang protes, paling tidak secara verbal. Barisan terbentuk dan salat berjamaah pun dimulai.

    Sewaktu sang imam membaca surat al-fatihah, terasa ada yang janggal, kurang sempurna. Bacaan ayat sewaktu ibadah salat magrib mestilah jahr (dengan suara keras). Ia tidak begitu fasih membaca ayat, juga sewaktu memproduksi huruf dari rongga tenggorokannya semisal huruf ‘ain pada kalimat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Selain itu ia juga mesti memenggal ayat ke-7 saat berjumpa wakaf, bila memang tidak kuat napasnya hingga akhir ayat. Sayangnya ia terus saja membaca dengan lantang hingga pada kalimat, “walaa dhdhaalliin” ia kehabisan napas.

    Contoh kasus di atas bukanlah yang pertama terjadi dan biasa kita temukan di masjid-masjid atau surau yang kita singgahi. Banyak orang merasa kompeten dalam satu bidang bukan lantaran karena ia seorang ahli, tapi bisa jadi karena modal nekat, modal berani, dan modal dukungan. Sebab seperti dalam ruang kelas, diam berarti setuju: itu pola pikir yang terbentuk di masyarakat dan calon pemimpin di Indonesia.

    Pada pemilihan umum 2019 ini, semua mata mengerucut pada Pemilihan Presiden (Pilpres) saja. Padahal, di tahun yang sama kita juga mesti menentukan pilihan untuk anggota legislatif (DPR, DPRD, DPD). Riuhnya orang di media sosial, seolah menafikan hal ini. Pemilihan calon anggota legislatif dianggap tidak menarik bagi kebanyakan orang.

    Pilpres dianggap lebih menarik karena pertarungan partisan terlampau begitu menonjol. Apalagi pada Pilpres sekarang, warga dipaksa mendukung dua calon saja, walau setelah diamati secara mendalam tidak banyak perbedaan antara kedua kubu. Program kerja, visi dan misi tak ada yang tampak baru, bahkan nyaris usang dan mengulang apa yang dulu pernah dijanjikan. Jadi, sekalipun minat menjadi anggota legislatif tetap tinggi, umumnya warga kurang memperhatikan manfaatnya.

    Bila kita cermati, para calon anggota legislatif ini nantinya akan menjadi perwakilan masyarakat sebagai legislator alias penyusun undang-undang, dengan kata lain menciptakan hukum. Andai kita memilih pemimpin yang salah dan tidak kompeten dalam bidangnya, tentu ibarat meminta kambing untuk membajak sawah. Hanya akan menimbulkan kekacauan dan polemik, persis seperti beberapa waktu lalu tentang legislasi pembuatan UU Permusikan.

    Kita bisa saja meminimalisir keputusan-keputusan mentah dari para calon anggota legislatif nantinya, andai kita sudah menentukan calon pemimpin yang terbaik sebelum tiba waktu pemilihan. Paling tidak, pilih mana yang mendingan dari yang terbusuk.

    Studi kasus lainnya soal kesalahan fatal memilih pemimpin yakni pada video ceramah yang beredar belakang ini di media sosial. Seorang yang mengaku ulama bernama Nur Sugik (Gus Nur), berdakwah dengan gaya yang jauh dari norma dan nilai kesantunan, bersama jamaahnya melakukan persekusi yang dialami seseorang bernama Ahmad Muzani, Ketua Rijalul Ansor Deli Serdang dalam acara yang mengundang Gus Nur sebagai pembicara. Banyak kalimat-kalimat kasar yang semestinya bisa ia redam tapi memilih untuk mendiamkan jamaahnya melakukan tindak kesewenang-wenangan itu. Lalu ia mengaku tidak paham soal kitab kuning, dalil-dalil usul fikh, dan bahkan ia dengan yakin mengutip Alquran padahal ia salah menyebutkan ayatnya.

    Sebagai makhluk yang dibekali akal, jamaah yang hadir mestinya menginterupsi, bukan mendiamkan kesalahan itu lalu mengamininya bersama-sama. Gong dari cacat logika dan cara berpikirnya ialah ketika ia diminta menunjukkan apa kaidah fiqh yang bisa dijadikan landasan untuk menyesatkan istilah Islam Nusantara? Untuk menjawab pertanyaan itu ia malah bertanya balik pada jamaahnya, lalu mengambil suara terbanyak dan ia menyatakan itulah dalilnya. Dalil kearifan lokal, katanya.
    Kalau kita membiarkan pemimpin-pemimpin tidak kompeten alias amatiran ini muncul kepermukaan dan duduk sebagai penguasa, alangkah tidak bijaknya kita sebagai masyarakat yang memiliki hak suara (konstituen).

    Uji kompetensi pemimpin sangatlah penting untuk diadakan. Paling tidak, bisa kita mulai dari diri kita sendiri, cara berpikir kita dan mempelajari hak dan kewajiban yang bakal dijalankan oleh setiap pemimpin.

    Khususnya kepada para calon pemimpin, seharusnya memiliki kesadaran penuh atas kemampuan yang dimilikinya. Persis seperti contoh imam salat di atas, karena ia menaungi banyak orang dan menjadi contoh atau panutan untuk diikuti orang banyak (makmum), juga memiliki tanggung jawab beribadah, mestinya ia sudah selesai dalam urusan keilmuan semisal fasih dalam bacaan; mengerti tajwid, fikih, syarat dan rukun salat serta semua perkakas dan perangkat salat. Bukan cuma modal nekat, modal berani, dan modal dukungan—dan modal uang—seperti para calon pemimpin kita itu.

    Jangan biarkan kebodohan membutakan kita. Apalagi soal agama dan memilih pemimpin negara. Bila kita hendak taklid pada salah seorang ulama, pastikan kita tahu soal sanad keilmuannya, dari mana ia belajar, siapa gurunya, apa saja yang ia baca dan pelajari, andai merasa cocok dengan apa yang kita butuhkan, angkat ia jadi guru.

    Sama halnya ketika hendak memilih pemimpin. Kita bisa mulai dengan menyusuri track record-nya jauh sebelum ia mencalonkan diri. Baik di lingkungan masyarakat, pendidikan atau akademik, bagaimana ia dipandang di lingkungan partainya, serta yang paling penting posisi ia dalam lingkaran keluarga. Sebab, bila di lingkungan keluarga ia diterima, didukung, dan dibanggakan, artinya ia sudah siap untuk terjun langsung ke masyarakat. Jangan sampai hanya memilih calon pemimpin yang cuma jago “mendongeng”. Karena terlampau banyak pemimpin yang banyak bicara di awal, ketika terpilih sedikit bahkan nyaris sedikit kontribusi yang bisa ia berikan.

    Selalu curigai motif para calon pemimpin kita, apa alasan ia mengajukan diri sebagai pengabdi masyarakat. Kalau hanya untuk mengikuti tren—public figure misal (demi menghindari menyebut artis)—, adu gengsi, mencari proyek dan bukan mementingkan kepentingan rakyat, pastikan dirimu untuk menghindarinya sejak radius 10 kilometer dari tempatmu berdiri.[]


    Cilegon, 01 Maret 2019

    Continue Reading
    Image by: Starvision
    Salah satu hal yang bisa menyatukan banyak orang adalah komedi. Itu yang berhasil dilakukan oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak lewat sekuel film Yowis Ben 2 yang tayang perdana kemarin, 14 Maret 2019.

    Berbeda dengan Yowis Ben 1 yang bercerita tentang perjalanan terbentuknya sebuah Band anak SMA, di film keduanya ini jalinan kisah dan konfliknya lebih kompleks. Fajar Nugros mengembangkan cerita lewat karakter-karakter yang muncul. Kalau di film pertama mereka hanya berada di lingkungan Jawa (Malang), kali ini dihadirkan banyak tokoh berlogat Sunda dan Bali. Bahkan sampai menggunakan setting lokasi di Kota Bandung.

    Cobaan orang-orang yang sedang berusaha adalah menghadapi kegagalan. Bagaimana cara kita merespons keadaan terburuk dalam hidup kita? Itulah yang dialami Bayu dan kawan-kawan band-nya. Ia harus mengorbankan banyak hal demi meraih cita-citanya. Yang menarik, ketika Yowis Band mendapatkan label dan bertemu seorang produser musik, lalu mereka ditawari rekaman, Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim) dan Yayan (Tutus Thomson) dibuat geram. Lantaran, lagu andalan mereka diubah menjadi lebih buruk ketika harus berduet dengan rapper cum youtuber, yang diperankan oleh  duo Skinnyindonesian24.

    Doni menggugat, kalau urusan yang terkait dengan hal prinsipil, mereka tidak bisa menerima begitu saja, sekalipun dibayar mahal. Akhirnya Bayu di hadapkan pada dilema antara mempertahankan kerjasamanya dengan label rekaman atau mementingkan keutuhan band-nya. “Keluarga itu nggak kayak gini, Bay!”—sekalimat menohok dari Nando yang terus terngiang sampai film usai.

    Salah satu pemain yang patut diacungi jempol adalah Cak Jon alias Arif Didu. Pembawaannya yang natural, berhasil membuat penonton (saya) bersimpati pada kondisi hidupnya. Kalian akan menemukan satu scene paling haru antara Cak Jon dan Bayu dkk. Dan film yang berhasil menurut saya salah satunya adalah ketika lo dibuat ketawa sekaligus nangis dalam waktu yang nyaris bersamaan. (Gimana dah, tuh!). Saya sarankan sebelum menonton siapkan beberapa lembar tisu untuk mengelap ingusmu. Hahaha!

    Buat kamu yang belum menonton Yowis Ben 1, tenang saja. Meski sekuel, film kedua ini tetap bisa berdiri sendiri dan tidak akan membuat penonton bingung. Selain itu juga, sepanjang film diputar kita akan dibuat tertawa tiada henti. Laugh per Minute (LPM)-nya rapat dan padat sekali. Bahkan, dalam satu set bukan hanya satu punchline, tetapi double dan triple punchline. Salut untuk Joshua Suherman selaku comedy consultant film ini—padahal kalau nonton doi stenap sungguh garing sekali. (piss, bro!)

    Meski 80% menggunakan bahasa daerah, tenang saja, sepanjang dialog selalu disertakan subtitle. Hanya, ada esensi tersendiri bagi kalian yang mengerti bahasa daerah. Untuk beberapa jokes, misal, ada yang work kalau dibawakan dalam bahasa daerah, kalau baca terjemahannya komedinya jadi kurang nendang—beruntunglah saya yang dilahirkan dari Ibu Sunda (Pandeglang) dan Bapak Jawa (Cilegon).

    Entah bisa disebut kekurangan atau tidak, scene yang muncul bahkan benang merah film banyak dipengaruhi oleh film Thailand. Buat kamu yang udah nonton film Suckseed pasti paham. Ada beberapa adegan yang akan mengingatkanmu pada film Thailand tersebut, karena memang berkisah tentang band remaja di sekolahnya. Bisa jadi sutradara dan penulis naskahnya terinspirasi dari film tersebut.

    Terlepas dari itu semua, saya tidak kecewa dengan film ini. Hampir 3-5 lagu yang nyelip di scene penempatannya cukup cocok dan mendukung cerita, tidak terkesan tempelan dan paksaan. Selain enak didengarkan, rupanya Bayu dan kawan-kawan menggarap lagu berbahasa Jawa ini lumayan serius. Musikalitas mereka di beberapa lagu cukup bagus. Saya cukup enjoy dan bahkan ikut bernyanyi karena lirik lagunya pun disediakan di layar.

    Saya menduga—dan berharap—akan ada series-nya tersendiri dari film ini nantinya. Seperti film Cek Toko Sebelah yang dibuat series-nya dan tayang di Hooq.id. Semoga saja. Dan sebelum itu terwujud, pastikan kamu segera menonton film ini selagi masih hangat diputar di seluruh bioskop-bioskop Indonesia.

    Salam Jiancuk!

    Score:
    8.5/10.


    Cilegon, 15 Maret 2019

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ▼  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ▼  March (3)
        • [Ulasan Film] Yowis Ben 2: Pecahnya Berantakan!
        • [Esai] Uji Kompetensi Calon Pemimpin
        • [Cerpen] Narayya dari Moor (Media Indonesia, 17 Ma...
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top