Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Perbandingan buku "Einstein" cetakan lama dan cetakan baru.
    Score: 9/10

    Setelah hampir sepuluh tahun, buku biografi fenomenal yang sempat langka ini kembali dicetak ulang oleh Penerbit Bentang Pustaka. Tentu ini kabar yang menggembirakan khususnya untuk kamu yang senang membaca kisah hidup para tokoh dunia. Dan tentu saja, tulisan Walter Isaacson sulit untuk diabaikan.

    Jika diibaratkan hari ini, setiap lembar bab-nya kamu seperti sedang menonton vlog Isaacson dari dekat. Ia seperti memiliki akses ke ruang-ruang "laboratorium rahasia" Albert Einstein. Semua penemuannya ia temukan mulai dari manuskrip rumus-rumus dan cetak biru rancangannya bisa dengan mudah kita temukan di buku ini.
    Daftar isi buku "Einstein" cetakan baru
    Selain itu, Isaacson pun mengajak kita menyelinap di balik pintu rumah Einstein dan melihat langsung bagaimana masa kecilnya yang suram karena harus menghadapi ejekan keluarga dan teman-temannya, lalu beranjak ke usia dewasa saat ia bertemu kekasihnya, menikah, memiliki anak, hingga perceraian pertamanya, kita seolah hadir di sana, termasuk rancangan dan manuskrip bom atom untuk proyek Manhattan, kita tahu siapa dalang sebenarnya.
    "Para politikus tidak menghargai berbagai kemungkinan dan akibatnya tidak mengetahui seberapa besar ancamannya." (Hal.518)
    Gaya tutur Isaacson yang indah dan lugas membuat kita terpukau bagaimana buku setebal ini bisa sebegitu ringan untuk dibaca meski saya awam dengan segala teori relativitas dan rumus-rumusnya itu.
    Lewat bukunya ini, Isaacson seperti ingin menunjukkan bahwa Einstein juga manusia biasa. Meski dikenal sebagai manusia paling jenius di muka bumi, tetapi di bagian tertentu ia pernah merasa terpuruk, gagal, dan nyaris menyerah berkali-kali.
    Salah satu Quote terkenal Einstein.
    Buku ini memperlihatkan bagaimana manusia seutuhnya menjalani hidup dan tanpa sadar penemuannya memberikan sumbangsih serta dampak yang besar bagi peradaban manusia. Ia yang memegang teguh paham pasifisme harus rela rumus fenomenalnya: E=MC2 "disalahgunakan" untuk mengembangkan bom nuklir dan dijadikan senjata perang melawan negara lain.

    Andai saja buku ini dibuatkan pula versi beberapa jilid atau boxset sepertinya akan lebih digemari Gen Z, karena rata-rata pembaca kiwari ingin bacaan yang tipis dan mudah dibawa ke mana-mana.

    Beberapa waktu lalu, saya diajak oleh Penerbit Bentang Pustaka sebagai pembaca pertama buku versi cetak ulangnya ini, kami berdiskusi via Zoom Meeting. Saya merasa berterima kasih dilibatkan dalam persiapan launching buku ini. Selalu menyenangkan membicarakan buku bersama para pencinta buku lainnya.

    Cilegon, 20 Oktober 2023
    Continue Reading

    Official Poster Bioskoponline.com

    Score: 8,5/10.

    "Orang Islam itu pantang melihat sebelah mata, lihatlah orang itu seluruhnya."

    Kalimat di atas disampaikan oleh Diding, ustaz muda yang mengajar ngaji kitab untuk tingkat/kelas enam. Dokumenter ini menampilkan apa adanya kehidupan pesantren yang membuat saya bernostalgia, walaupun saya tidak benar-benar mengenyam pendidikan pesantren tidur dan menetap, tetapi lingkungan saya di kampung sangat dekat dengan dunia santri. 

    Berlokasi di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Cirebon, Jawa Barat, bahasa yang digunakan sama persis dengan bahasa Jaseng (Jawa Serang) yang sering kami gunakan di sini—serupa tapi tak sama, beberapa kata memang berbeda maknanya. 

    Saya bisa melihat kehidupan santri dari dekat, saat mereka mengaji, menghafal Al-Quran, sorogan, menjemur pakaian, menelepon orang tua minta kiriman uang, tangis mereka yang tidak kerasan dan banyak lagi lainnya. 

    Pondok ini dipimpin seorang ulama perempuan, Nyai Masriah Amva. Pemikirannya yang terbuka membuat kita melihat pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan agama Islam pada umumnya, tetapi terlihat sekali bagaimana mereka dididik berpikir mandiri dan kritis dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, serta pengetahuan modern yang sejalan dengan ajaran Islam.

    Salah satu caranya dengan mengikuti diskusi isu kontemporer yang dibahas melalui sudut pandang Islam dan mengadakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia pertama di dunia. Bukan hanya perempuan muslim, perempuan dari berbagai agama pun turut hadir dan bertukar pikiran bersama. 

    Termasuk adanya pelajaran seni seperti bermusik, menari, dan ber-stand up comedy. Menyenangkan sekali menyaksikan kehidupan para santri ini. Saya seperti berada bersama mereka. Wawasan pendidiknya pun cukup luas dan menawarkan sudut pandang yang lebih beragam, menyampaikan agama Islam dengan baik dan meneduhkan, tidak dengan marah-marah. 


    Ada satu scene yang membuat saya menangis tersedu-sedu dan mengingat kebaikan orang tua yang tak mungkin bisa saya balas.

    Cara Nyai menyampaikan ihwal seni juga menjadi hal penting yang ingin saya dengar agar saya yakin bahwa jalan kesenian ini juga bisa jadi jalan dakwah saya dan layak saya perjuangkan. 

    Saya pikir, film dokumenter ini sangat layak ditonton oleh banyak santri dan orang di luar lingkungan pesantren, agar streotipe tentang pesantren yang akhir-akhir ini cukup meresahkan bisa sedikitnya membuat kita lega bahwa banyak juga kok pesantren yang fokus dengan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan yang disampaikan dengan cara yang baik dan benar. 

    Cilegon, 25 Mei 2023

    Continue Reading

    Official poster Imax

    Score: 8,5/10.

    "I feel I have blood on my hands.” 

    Kalimat bernada penyesalan di atas diucapkan oleh Oppenheimer (Cillian Murphy) kepada Presiden Amerika Serikat ke-33, Harry S. Truman (Gary Oldman), pasca diledakkannya bom atom di Hiroshima, Jepang. 

    Film besutan Christopher Nolan ini berdasarkan buku biografi Oppenheimer “American Prometheus" yang ditulis oleh Kai Bird dan Martin J. Sherwin yang terbit tahun 2005 lalu. Film ini berdurasi selama 3 jam, khas film Nolan lainnya. 

    Menurut saya, film ini terlalu panjang durasinya, terlihat dari beberapa scene yang semestinya bisa dipangkas, dan cukup berfokus pada bagaimana Bapak Bom Atom itu meracik temuannya saja.

    Tema film ini boleh dibilang cukup sensitif karena membahas perihal kejadian Perang Dunia ke-2 dan mungkin akan menyakiti beberapa pihak dan memunculkan trauma masa lalunya.

    Fakta lainnya yang menyakitkan adalah bom itu dijatuhkan ketika Jepang akan menyerah dan Amerika tahu informasi itu tetapi negara adidaya tersebut tetap melancarkan Proyek Manhattan-nya bahkan seperti tak puas setelah membunuh 144.000 orang, Truman kembali menjatuhkan bom atom tiga hari kemudian ke Nagasaki dan menewaskan 74.000 orang. Belum termasuk orang yang terkena dampak radiasinya beberapa tahun kemudian. 

    Sayangnya, seperti banyak kritikus lainnya sampaikan, dalam film ini tak menunjukkan "penyesalannya" dengan misalnya menampilkan adegan penduduk Jepang yang menjadi korban bom atom. Saya membayangkan mungkin bisa ditunjukkan lewat surat kabar dan semacamnya. Kematian manusia seolah tak lebih dari hanya sederet angka belaka. 

    Terlepas dari itu semua, scene favorit saya adalah ketika Oppenheimer menemui Albert Einstein, terlihat sekali bagaimana ia menghormati fisikawan peraih nobel tersebut.

    Selain itu, saya sangat salut dengan akting Cillian Murphy yang intens dan menjaga ekspresi wajahnya sepanjang film. Ia berhasil mentransfer rasa gamang, frustrasi, dan penyesalannya sekaligus kepada penonton. Caranya memerankan tokoh Oppenheimer layak diganjar piala Oscar. 

    Cilegon, 21 Oktober 2023

    Continue Reading

    Official Poster Fight Club
    Score: 9/10.

    Film yang rilis menjelang tahun milenium ini garapan David Fincher yang diangkat dari novel berjudul Fight Club karya Chuck Palahniuk. Menceritakan seorang pekerja di pabrik mobil yang memiliki kesehatan fisik dan mental tidak baik akibat rutinitas dan tekanan pekerjaannya sehingga terjangkit insomnia akut. Orang tersebut tak disebutkan namanya, hanya sebagai narator yang diperankan oleh Edward Norton. 

    Ia merasakan tekanan pekerjaan, sehingga ia memutuskan untuk mengikuti support group. Ia merasa "sembuh" setelah mengikuti support group penderita kanker testis, meskipun ia tidak menderita penyakit tersebut. Sang narator kemudian mengikuti seluruh support group dengan penyakit berbeda setiap hari hingga dia bertemu dengan Marla Singer (Helena Bonham Carter). Suatu hari, di pesawat ia bertemu dengan Tyler Durden (Brad Pitt) seorang pengusaha sabun. Perjalanan hidup sang narator yang kompleks, dimulai dari sini (Wikipedia).

    Mereka menjadi sahabat setia, membuat fight club jalanan yang kemudian memiliki banyak anggota, sampai ide merancang Project Mayhem pun tercetus dari Tyler tanpa sepengetahuan narator. Ini bertujuan untuk melakukan aksi vandalisme di seluruh dunia. Setelah salah satu anggota Project Mayhem yang disebut Space Monkey tewas akibat tembakan polisi setelah melakukan aksi vandalisme, sang narator mulai kontra terhadap rencana-rencana Tyler.

    Saya tak pernah tak kagum dengan cerita-cerita yang disutradarai David Fincher. Boleh dibilang saya cukup telat menonton filmnya, tetapi tak masalah. Setiap karya menemukan waktunya sendiri untuk dinikmati. Dan saya sangat puas menonton film berdurasi 2 jam 19 menit ini. Film ini seperti mewakili zamannya, betapa vandalisme terjadi di mana-mana, pertarungan jalanan, orang-orang yang setres akibat pekerjaan, semua dimunculkan secara gamblang, hebatnya semua keresahan itu dibungkus dalam alur dan teknik cerita yang memikat.

    Kita akan dibuat tercengang dengan endingnya yang mengejutkan, khas film-film Fincher. Beres menonton kita akan dipaksa untuk mengecek dan mengingat ulang setiap scene-nya. Dan kalau kita cermat, sebetulnya petunjuk-petunjuk itu ditebar di beberapa adegan hingga membawa klimaksnya di ending.

    Karena ini film lama, saya akan spoiler mulai dari sini. Saya menemukan fakta ternyata orang-orang yang ada di antara narator dan Tyler sebenarnya tak benar-benar berkomunikasi secara bersamaan. Ketika misalnya Marla sedang ada di satu ruangan dengan narator dan Tyler, ia pasti hanya akan melihat dan berkomunikasi ke salah satunya, tidak akan ada percakapan panel, karena memang sebenarnya dua orang itu hanya ada satu, penonton ditunjukkan dari sudut pandang Tyler atau narator. Kita ikut terjebak dan sama-sama mencari jalan keluar menemani si tokoh utama.

    Tidak dijelaskan penyakit apa yang diidap oleh Tyler, tetapi yang pasti ia memiliki gangguan psikologi, atau ia sebenarnya memiliki kepribadian ganda; dirinya dan alter egonya. Saya jadi teringat dengan animasi Spongebob yang memiliki sisi gelap dan terang di salah satu episodenya, itu cukup relate dan menggambarkan film ini. Sisi liar Tyler dan narator muncul bisa jadi karena tekanan pekerjaan itu tadi, walaupun sebenarnya terlalu ekstrem dengan apa yang dilakukannya di kota tersebut, tetapi mungkin saja ada orang yang seperti itu. Untuk mengakhiri rencana besar ini, Tyler harus bertarung melawan dirinya sendiri.

    Secara keseluruhan, ini film yang bagus, Fincher bisa menguraikan hal rumit itu dengan sangat mulus dan rapi. Saya malah membayangkan bagaimana proses syuting dan cara ia mengarahkan semua departemen dan aktornya dengan cerita yang rumit begini. Saya jadi tak sabar ingin menonton film David Fincher lainnya!

    Cilegon, 17 Oktober 2023

    Continue Reading

    Official Poster by Netflix

    Score: 7/10.

    Di awal tahun 2016, kasus “Kopi Sianida” ini mencuat. Boleh dibilang saya sampai bosan melihat hampir semua stasiun televisi menayangkan berita dan persidangannya yang berjam-jam itu. Saya tak sungguh-sungguh mengikutinya. Tanggal 28 September 2023 lalu, Netflix menayangkan dokumenter berjudul “Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso”. Berita tentang dua orang sahabat yang bertemu di sebuah kafe berujung tragis; salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah meminum kopi dan seorang lainnya dituduh sebagai pembunuhnya. Kita sama-sama tahu, Jessica dinyatakan bersalah dengan dakwaan pembunuhan berencana dan dihukum 20 tahun penjara.

    Film ini disutradarai oleh Rob Sixsmith, sutradara asal Amerika Serikat yang kerap membuat film dokumenter internasional. Dia bekerja sama dengan Beach House Pictures, sebuah rumah produksi independen terbesar di Asia, untuk mengulas lebih dalam mengenai misteri di balik kasus kematian Wayan Mirna Salihin.

    Nyaris semua orang yang terlibat dalam penanganan kasus ini berhasil diwawancarai sebagai narasumber, meskipun saya menyayangkan beberapa orang tidak berhasil diwawancarai seperti: pihak kepolisian, para hakim, Hani teman Mirna dan Jessica yang ada di lokasi kejadian, keluarga Jessica, dan Arief Soemarko, suami Mirna. Konon pihak Netflix sudah berusaha menghubungi mereka tetapi sebagian ada yang menolak, sebagian lain ada yang meminta bayaran sehingga tidak ditayangkan. Karena menurut pengakuan Otto Hasibuan, pengacara Jessica, semua narasumber di film dokumenter ini tidak ada yang menerima bayaran.

    Kalau kita perhatikan lebih cermat, saya menangkap bahwa dokumenter ini tidak sedang mengarahkan penonton untuk membela pihak tertentu. Saya menilai materi tayangannya disajikan cukup berimbang dari kedua pihak baik korban maupun pelaku. Justru, dokumenter ini memunculkan spekulasi baru dan pertanyaan: Anggaplah kalau misalnya bukan Jessica pelakunya, lalu siapa pembunuhnya? Kalau bukan karena sianida, lalu apa penyebab kematian Mirna?

    Mengutip apa yang disampaikan Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif Institute for Crime Justice Reform) dalam dokumenter ini, ia menyatakan bahwa tingkat bersalah di Indonesia itu tinggi sekali. Polisi punya power yang begitu besar, jaksa pun punya power yang begitu besar, yang itu tidak seimbang dengan kewenangan dari advokat. Power jaksa dan polisi yang begitu besar ini memposisikan hakim tidak lagi menjadi wasit, jadi hakim tidak lagi di tengah.

    Saya sepakat dengan pernyataannya, dan itulah yang dimunculkan di dokumenter ini, peradilan yang terasa berat sebelah. Sehingga, lewat dokumenter ini, si “bule-bule” yang ngide ngerangkum kasus “Kopi Sianida” ini seolah ingin menunjukkan betapa lemahnya sistem peradilan dan hukum di Indonesia.

    Bahkan Yudi Wibowo, sepupu Jessica sekaligus tim hukum Jessica mengatakan dengan blak-blakan jangan mengharapkan keadilan karena: “No money, no justice”. Rob selaku sutradara seolah lewat tayangan 1 jam 26 menit ini ingin menggiring opini penonton ke arah sana. Bagi saya ini justru semacam cara lain untuk mempermalukan Indonesia, dan sialnya tak bisa kita tolak karena sudah sering kita temukan sendiri hukum di negeri ini yang tebang pilih; tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.

    Rasanya terlalu buru-buru untuk menyimpulkan sesuatu dalam durasi yang sependek itu, bahkan sampai kemudian Jessica dinyatakan bersalah pun, jaksa dan hakim tidak bisa menunjukkan ada bukti telak kalau Jessica yang meracun. Malah kemudian muncul prasangka lain tentang “alasan” naik jabatan para polisi yang mengurus kasus tersebut dan perlahan mulai terurai satu per satu hal-hal di luar kasusnya, termasuk soal pernyataan-pernyataan susulan dari Edi, ayah Mirna yang blunder (?)

    Erasmus menutup pernyataannya dengan usulan agar sistem peradilan pidana perlu direformasi supaya cita-cita reformasi kita, cita-cita kemerdekaan bahwa seluruh rakyat Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap keadilan itu bisa dicapai. Kita perlu melakukan reformasi sistem peradilan pidana.

    Terlepas siapa pelaku pembunuhan "sebenarnya", lewat dokumenter ini kita jadi tahu sekarang siapa pemenang sebenarnya, kan? Yups, Netflix itu sendiri.

     Cilegon, 16 Oktober 2023

    Continue Reading
    Poster Stand Up Comedy Show Netflix

    Score: 8,8/10.

    Dalam beberapa bulan kemarin, saya menonton show stand up comedy dari komika Indonesia seperti Pandji Pragiwaksono, Abdur Arsyad, dan Raditya Dika. Dua nama yang saya sebut paling depan menawarkan tema yang cukup berat dan sensitif, soal ketersinggungan (agama, politik, dls) dan problematika para guru. Narasi yang dibangun sebelum show begitu menarik dan membuat penasaran, apalagi di beberapa podcast mereka memberi bocoran premis materi yang nanti akan dibawakan. 

    Walaupun tiketnya cukup mahal, saya coba beli, karena penasaran dan ingin tahu penulisan materi komedi dengan isu "berat" itu seperti apa. Nyatanya, beberapa hal tak membuat saya takjub dan kagum. Bahkan patahan komedinya bisa saya tebak dan benar. Lucu, tapi tak membuat saya merasa kalau materi tersebut "spesial". Itu komentar atas dua show, Pandji dan Abdur. 

    Baru saja bulan lalu saya menonton show Raditya Dika. Banyak komika di beberapa podcast dan channel Youtube bilang kalau mau tahu sifat asli dan materi "berani" Radit, coba tonton show off airnya. Saya tonton, dan ternyata biasa aja, Radit di show "Cerita Sebelku" ya membahas soal sebelnya dia sama istri dan anaknya walaupun kemudian ditutup dengan pengakuan itu bentuk lain dari cintanya. Tak semengejutkan seperti yang dibilang komika-komika, bedanya cuma ngomong jorok dan kasar aja, yang tidak dia lakukan di Youtube-nya, tetapi secara penulisan materi ya masih segitu, saya sudah tahu. 

    Siang tadi saya coba nonton show Chris Rock di Netflix. Tema yang diangkat sama kayak Radit, perihal kekesalan dan sebelnya dia sama anak-anaknya. Bedanya, dia membungkusnya dengan tema aborsi, sentimen kulit putih dan kulit hitam, soal kesetaraan gender, penembakan di sekolah, dan materi lainnya dengan perspektif yang baru saya tahu. 

    Apalagi Chris Rock menutup show-nya di sepuluh menit akhir membahas soal insiden Will Smith yang menampar wajahnya di malam penganugerahan Oscars 2022 lalu. Menariknya, dia tak menyalahkan Smith, dia mengakui betapa dia mengidolakannya, dia malah menawarkan perspektif lainnya yang jenaka dan ditutup dengan satu kalimat yang membuat saya terpana. 

    Penampilan comedy special macam itu yang saya harapkan. Saya ingin usai menonton dibuat terkagum-kagum dengan penulisan materi serta mengeksekusinya dan cara komika menawarkan perspektifnya. 

    Satu jam yang sangat memuaskan! 

    Cilegon, 07 Oktober 2023

    Continue Reading


    Judul Buku : Akhirnya Aku Menemukanmu
    Penulis       : Adi Rustandi
    Penerbit     : Yrama Widya
    Terbit          : Juli, 2023
    Tebal          : vi + 202 halaman
    ISBN          : 978-623-205-841-5

    ***

    “Selalu ada kebaikan pada diri orang lain, bagaimanapun jahatnya dia.” (hal.34). 

    Nadira harus merawat Baha, kakaknya yang ODGJ setelah mengalami kecelakaan. Ayah dan Ibunya telah wafat lebih dulu. Dalam ketabahan dan kesabaran, satu per satu laki-laki berusaha mendekati Nadira, namun ketika sudah saling jatuh cinta, sebagian besar laki-laki memutuskan mundur ketika tahu kondisi kakaknya.

    Nadira digambarkan sebagai sosok perempuan tangguh yang mampu bertahan dari banyaknya terpaan badai dalam hidupnya. Ia harus rela ditinggal pergi Aziz, kekasihnya lalu diam-diam menjalin hubungan dengan Ranti, sahabat dekat Nadira.

    Kemudian kisah cintanya terpaksa kandas dengan Devan, seorang donatur di salah satu panti jompo tempat Nadira mengabdikan diri sebagai relawan. Kemudian ia dipertemukan lagi dengan Pak Ruby, seorang duda beranak dua yang hampir menjadi calon suaminya. Namun, dari banyaknya ujian yang menimpa dirinya, justru menjadikan Nadira semakin dekat kepada Allah. Ia memasrahkan semua kepada-Nya. 

    Sampai suatu hari akhinya ia menemukan tambatan hatinya yang mau menerima ia apa adanya. Silakan temukan sendiri sosok tersebut dengan membaca langsung novel “Akhirnya Aku Menemukanmu” ini.

    Adi Rustandi sebagai penulis tampak begitu lihai memainkan perasaan pembacanya. Ia menarik ulur rasa sakit yang dialami Nadira hingga sampai ke hati pembaca. Selain itu, ia cukup pandai menempatkan diri sebagai narator orang ketiga serba tahu. Cara ia membuat dialog antar tokoh pun tampak sekali pengalaman yang berbicara. Kita sebagai pembaca akan percaya kalau yang berdialog, tokoh-tokohnya sendiri tanpa ada suara “aku-penulis” di sana. Sosok laki-laki yang disembunyikan namanya sejak awal pun berhasil membuat penasaran sampai halaman terakhir.

    Saya hanya menyayangkan karakter Baha yang malu-malu diperkenalkan. Sebutan “orang gila” pun tampaknya cukup risih didengar oleh sebagian besar orang. Melansir dari Liputan6.com, Sesuai UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, jenis gangguan jiwa itu terdiri ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Karakter Baha ini perlu riset yang mendalam masuk dalam kategori apa.

    Perkumpulan Himpunan Jiwa Sehat (HJS) menegur masyarakat, sebaiknya jangan menggunakan istilah “orang gila” bagi orang dengan gangguan jiwa. Sebab menurut mereka, ODGJ hanya mengalami gangguan di otaknya saja. Namun, hati dan perasaannya masih normal sama seperti orang pada umumnya.

    Andai karakter Baha dibahas lebih dalam lagi, novel ini jadi punya nilai tambah sebagai buku edukasi, walaupun tugas utama karya fiksi sebagai hiburan semata, tetapi apa salahnya menambahkan nilai-nilai edukasi tentang tokoh seperti Baha ini yang jarang diekspose di novel pada umumnya. Kecelakaan yang menimpa Baha pun tidak secara terperinci dijelaskan apa sebabnya sehingga mengakibatkan Baha seperti itu. Walaupun ia hanya karakter pendamping, tetapi ini penting untuk mendukung motivasi karakter utama sekaligus meyakinkan pembaca akan “kebenaran” kisahnya.

    Secara keseluruhan, novel ringan namun sarat makna ini layak dibaca oleh banyak kalangan. Ditulis dengan bahasa yang santun dan banyak pesan-pesan kehidupan, cocok dibaca khususnya bagi kamu yang sedang mencari pendamping hidup seperti Nadira~

    Cilegon, 05 Oktober 2023

     

     

    Continue Reading

    Score: 8/10.

    Di tahun 2005, salah satu manusia paling terkenal di dunia, Steve Jobs, menyampaikan pidato di hadapan wisudawan Universitas Stanford, Amerika Serikat. Pidato itu sangat inspiratif dan dinobatkan oleh berbagai kalangan sebagai salah satu pidato terbaik di dunia. 

    Pidato itu, seperti yang dijelaskan oleh Helmi Yahya, melahirkan istilah yang kemudian menjadi judul buku ini: "Connect the Dots."

    Berisi 8 bab yang menguliti perjalanan karier hingga kisah hidup yang dialami Helmy Yahya, baik cerita suka maupun dukanya, tak ada yang ia tutupi, semua diceritakan dari perspektifnya sendiri. Dibantu oleh Dodi Mawardi sebagai co-writer, buku ini ditulis dengan kalimat ringkas dan tangkas, begitu mengalir dan tahu-tahu kita sampai di halaman terakhir. 

    Berbagai kisah perjuangan Helmy diceritakan, mulai dari masa kecilnya yang hidup serba pas-pasan karena terlahir dari keluarga miskin; tak bisa melanjutkan kuliah ke fakultas kedokteran; gagal pilkada 3 kali berturut-turut; hingga dipecat TVRI semua dibuka secara blak-blakan, termasuk pencapaian-pencapaian luar biasa dalam hidupnya yang diraih lewat kerja keras pantang menyerahnya. 

    Buku ini semacam autobiografi singkat yang diceritakan oleh tokohnya sendiri memakai sudut pandang orang pertama. Pada beberapa bagian, terasa pas, tetapi di bagian yang lain terasa canggung sebab rasanya aneh memuji dirinya sendiri. Memang buku ini ditulis sebagai motivasi untuk pembaca, namun bila tidak tepat penyampaiannya akan terasa cringe dan terkesan butuh pengakuan—di bagian tertentu bahkan prestasi yang diraih terus diulang-ulang di semua bab. 

    Terlepas itu semua, secara keseluruhan buku ini mengajak kita untuk mau bekerja keras dan jangan berlarut-larut meratapi kekalahan. Sukses dan gagal adalah pilihan yang kita tentukan sendiri jalannya. Yang jelas, semua kejadian diibaratkan titik-titik yang suatu saat, ketika kita sudah jauh melangkah ke depan, akan menyadarkan kita ternyata semua titik itu saling terhubung dan memiliki maksud tertentu kenapa kita mesti melaluinya. 

    Helmy Yahya tentu tak asal berteori, semua ia tulis berdasarkan kehidupannya sendiri. Dan bagi pembaca awam, buku ini memberikan banyak kemudahan. Semisal di setiap akhir bab, akan ada konklusi atau istilah dalam buku ini "Pelajaran Berharga" yang bisa diambil dari setiap peristiwa. 

    Cilegon, 05 Oktober 2023


    *) Omong-omong, saya dapat buku ini dari Mas Gol A Gong. Hanya dalam tiga hari, tumben, saya berhasil merampungkannya~

    Continue Reading

    Poster film Forrest Gump (1994)
    Score: 8,9/10. 

    “Run, Forrest, run!”

    Terlahir dengan IQ rendah di bawah rata-rata di masanya, justru membuat Forrest Gump (Tom Hanks) banyak meraih kesuksesan di masa depan berkat kerja keras dan ketekunan ibunya.

    Jenny (Robin Wright & Hanna Hall), cinta pertama dan satu-satunya, selalu mendekam di dalam pikiran Forrest. Sialnya, Jenny sulit berkomitmen dan bikin gendek, bisa jadi karena trauma masa lalu bersama ayahnya. Saat punya anak ia justru mengatakan itu anak Forrest dan kita sama-sama tahu, perempuan dewasa itu berbohong pada Forrest. Namun pria polos itu benar-benar memercayainya.

    Forrest Gump diangkat dari novel yang dituliskan Winston Broom pada 1986 dan divisualisasikan melalui film pada 1994 oleh Robert Zemeckis. Film lawas ini meraih banyak piala Oscar dan penghargaan lainnya.

    Tokoh Forrest mengingatkan saya pada Prajurit Schweik di buku karangan Jaroslav Hasek. Kedua karakter itu selalu bisa melihat hal baik dari setiap tragedi. Mereka punya sudut pandang sederhana saat dihadapkan dengan pilihan sesulit apa pun.
    Salah satu scene iconic dan menjadi titik balik Forrest Gump
    Tom Hanks brilian sekali memerankan Forrest Gump, saya nyaris tidak bisa menemukan Hanks di film ini. Intensitas yang ditunjukkan begitu kuat memerankan tokoh istimewa seperti Forrest Gump. Termasuk Michael Humphreys yang memerankan Forrest kecil. Dia sangat meyakinkan bahwa benar keadaannya seperti tokoh yang diperankannya.

    Selain itu, baik secara alur cerita dan dialog film ini mendekati sempurna. Banyak sekali makna tersirat dari setiap adegan dan dialog para tokohnya. Bahkan karakternya terasa nyata karena disifati watak baik dan buruk, termasuk Forrest sendiri.

    Film ini mengajarkan kita bahwa fokuslah pada dirimu sendiri dan tak perlu mencampuri hidup orang lain. Toh, kesuksesan yang bakal kau raih itu untuk kebaikanmu bukan untuk membuktikan apa pun pada teman maupun musuh kita.

    Wajar kalau kemudian film ini difavoritkan banyak orang dan terus dibicarakan sampai hari ini—tentu disertai puja-puji yang tak berkesudahan.

    Cilegon, 01 Oktober 2023

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ▼  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ▼  October (9)
        • [Ulasan Film] Forrest Gump: Fokus pada Dirimu dan ...
        • [Ulasan Buku] Connect The Dots: Ketika Hidup Tak S...
        • [Ulasan Buku] Buah dari Ketabahan Nadira akan Hidu...
        • [Ulasan Show] Chris Rock: Selective Outrage (2023)
        • [Ulasan Film] Ice Cold: Cara Mudah Tunjukkan Lemah...
        • [Ulasan Film] Fight Club: Tekanan Pekerjaan, Sisi ...
        • [Ulasan Film] Oppenheimer: Luka, Penyesalan, dan D...
        • [Ulasan Film] Pesantren: Tunjukkan Dakwah Lewat Be...
        • [Ulasan Buku] Einstein: Cara Indah Walter Isaacson...
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top