Lukisan karya Gito Waluyo berjudul “Yang Seiya Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada acara IEU KULA 2015.
***
Malam ini aku berkunjung ke neraka.
Aku
mencari kakakku yang lusa lalu baru dimakamkan. Sesungguhnyalah aku hendak
menengoknya di sana sehari setelah ia meninggal. Ia pasti kesepian. Akan
tetapi, karena di rumah hanya ada aku seorang kini, maka aku terpaksa baru
menyempatkan diri datang malam ini. Sebab rumah ramai di datangi para
kerabatnya yang sekadar menyampaikan belasungkawa. Para kerabat keparatnya itu
termasuk orang yang beruntung lantaran mereka tak turut mati oleh miras
oplosan.
Ketika
hendak masuk tadi, penjaga pintu, malaikat Malik, sempat menginterogasiku.
“Siapa,
kau?”
“Tidakkah
seharusnya kita bertukar salam terlebih dahulu? ataukah ini alasan Tuhan
menempatkanmu menjagai pintu neraka?” mendengar aku menanyainya begitu, ia
menundukkan kepala.
Aku
masih diam menunggu.
Tak
lama, ia mengalah. Ucapan salam terucap dari bibirnya yang hitam pekat.
“Barangkali
Kiai atau Ulama atau Nabi harus menjumpaimu sesegera mungkin. Agar kau belajar
agama dengan benar.” Aku memberi saran begitu tentu usai menanggapi salamnya.
Akhirnya ia mengalah saja. Mempersilakanku masuk dengan satu syarat.
“Jika
bukan karena perintah-Nya, aku siap membakarmu hidup-hidup.” Benar menurut
kebanyakan riwayat, malaikat Malik tidak bisa tersenyum. Kulit wajahnya kaku
dan sepertinya akas. Tak jauh berbeda
dengan permukaan sawah yang terpapar mentari di kala musim kemarau tiba selama
satu tahun penuh. Mungkin pula ada retak-retak, hanya saja aku tak bisa
sepenuhnya dapat melihat. Selain karena ia memakai tudung hitam, kulitnya pun
tak jauh berbeda dengan bayangan orang Negro yang terlahir di wilayah Afrika
sana. “Sepuluh menit saja, dan tinggalkan sepasang sandalmu di sini.” Ia
menunjuk tepi pintu sebelah kiri. Tepat di antara pembatas antara luar dan
dalam neraka.
“Lain
kali baik-baiklah. Agar banyak yang nyaman tinggal di neraka.”
Aku
tak tahu apalagi yang ia utarakan, hanya ada dengusan yang terdengar. Beruntung
aku tak lagi menengok ke arahnya. Kalau sampai aku lihat, barangkali bola-bola
api sudah keluar dari lubang pori-pori tubuhnya.
Seberapa
sucikah neraka sampai-sampai aku harus melepaskan sandal? Apakah surau,
langgar, musola tak lebih suci darinya? Belum juga masjid-masjid yang kian
tumbuh banyak itu? sepertinya Malik kurang piknik. Sesekali ia harus berkunjung
ke dunia. Bahkan untuk tempat sesakral itu saja masih banyak orang yang berani mengotorinya. Apa guna neraka yang
dijadikan tempat menampung orang-orang berdosa dan hina-dina diharuskan
memasukinya tanpa sandal? Malik..., Malik..., dia mengaku malaikat, tetapi
sibuk menunjuk-nunjuk orang agar lekas menghuni neraka, tetapi ia sendiri belum
tahu banyak hal. Sungguh kasihan.
Ah,
tetapi aku pun tak hendak menuai kerusuhan. Ada dua cara untuk menanggapi
sesuatu yang tidak kita yakini; pertama mendebatnya dengan membabi-buta, atau
mengalah sebab kewarasan tak perlu diutarakan. Jadi, toh, aku menurutinya saja.
Untuk syarat sepele macam itu tak perlu didebat serius. Hanya akan buang-buang
tenaga, hingga tujuan mula dan utama kita jadi terabaikan.
Baiklah,
aku sudah berada di neraka. Terlepas dari aroma anyir darah, daging hangus, tai
tumpah-ruah di tembok juga atap, ada hal lain yang jauh lebih menarik.
Ternyata, neraka seperti sebuah ruangan pembuatan film. Banyak seliweran
aktor-aktor sepanjang pintu masuk tadi, dengan aneka topeng hewan dan makhluk
aneh. Banyak pula alat dan perlengkapan syuting
yang sebelumnya pernah aku temui di dunia. Mula-mula di sebelah selatan ada
ruang kecil yang berisi dua penjaga—sepertinya malaikat—tengah memegang cambuk
sebesar tiang listrik. Setiap kali disabetkan ke korban, akan mengeluarkan bunyi seperti petir, cahaya
berkilat-kilat dan sesaat ruangan bergetar. Tanah atau entah apa yang jadi
pijakan kakiku bergoyang sesaat. Tak jauh dari sana ada salah seorang malaikat
yang menyiramkan air yang mendidih ke ubun-ubunnya—aku bisa mendengarkan suara ‘cesss’ meski dari jarak yang lumayan.
Barangkali itu suara otak yang meleleh.
Aku
berlanjut menoleh ke ruangan kecil di sisi barat. Tinimbang dikatakan
menyeramkan dan sadis, ini lebih terlihat konyol. Bayangkan saja, badan si
pendosa di lempar terlebih dahulu oleh dua orang malaikat bertudung ke
langit-langit, kemudian satu orang lainnya menyabet-nyabetkan pedang seperti
milik para Samurai Jepang—hanya saja ini 100 kali lebih panjang dan besar—ke
hampir seluruh bagian tubuhnya, tentu kau tahu setelahnya. Seluruh bagian tubuh
termutilasi dan menumpuk bak sampah. Tetapi tunggu dulu, dari sekian banyaknya
potongan-potongan tubuh itu, semuanya kembali ke bentuk semula. Tanpa ada
hidung yang tertukar, bagian telinga terbalik antara kiri dan kanan,
lebih-lebih penis di arah belakang, atau payudara di punggung. Semuanya kembali
utuh. Bergerak sendiri dan mandiri. Tanpa lem perekat juga lakban. Dan bagian
lucu juga bagian buang-buang waktunya dari hal tadi adalah semua tubuh itu
kembali dilempar dan segalanya terulang lagi. Ratusan juta kali. Kira-kira,
berapa upah untuk ketiga malaikat itu, ya? Apa tidak membosankan bekerja
demikian? Atau mereka malah asyik, sampai lupa caranya berimprovisasi. Tak
adakah niatan untuk mencoba gaya
baru? semisal mereka saling bunuh begitu? Toh, nanti akan utuh kembali,
barangkali.
Sisi
utara, timur, tenggara, juga arah lainnya, tak begitu aku perhatikan bentuk
hukumannya. Yang aku perhatikan lamat-lamat justru wajah para korbannya. Adakah
salah satu di antara mereka adalah kakakku? Ini sungguhpun menyulitkan. Sebab
sebagian wajah mereka telah berubah. Tampak serupa topeng beraneka rupa
binatang, tetapi sebenarnya itu nyata dan menjadi bagian dari wajah mereka.
Belum lagi tampilan perutnya, bokongnya, dadanya, bibirnya, kakinya, dan bagian
tubuh lainnya yang tak lazim aku temui di dunia.
Tiba-tiba
sesosok malaikat datang ke arahku. “Apa yang hendak kau cari?”
“Bukan
apa, tapi siapa tepatnya,” kataku cepat mengoreksi.
“Kurang
ajar betul. Siapa dirimu belaga seperti itu?”
“Sabar
dulu, Mas Malaikat. Adakah warung kopi di sini? Kita bisa bicara baik-baik.
Sebab, otak yang beku perlu dihangatkan, agar mencair. Tak mudah emosi.”
Ia
bersiap mengayunkan palu maharaksasa di genggamannya. Mulanya aku dibuat
gentar, beruntung Malik datang. Sepertinya ia sudah mendengarkan ceramah Kiai
di dunia, ia tahu caranya menolong.
“Tahan
dulu, Zabaniah. Tahan!” ia melerai. Gayanya seperti seorang satpam yang mencoba
menghentikan kerusuhan antar-kampung. “Tuan, begini sajalah.” Kali ini ia
mengarah ke wajahku.
“Ya, bagaimana?”
“Aku
tahu siapa yang hendak, tuan, cari. Biarkan aku yang antar saja. Asal bersedia
berjanji, setelah berjumpa tuan segera pergi. Sebab waktu kesepakatan kita
hanya sisa sedikit lagi.” Malik kehilangan wibawanya. Ia seperti bawahan yang
baru mendapati omelan dari atasannya.
“Kenapa
tidak bilang begitu sejak tadi, Malik. Kan aku tak perlu repot-repot menyeleksi
wajah orang-orang seperti memilih calon istri.”
Lantas
Malik mengajakku ke sebuah tebing. Kami sudah tiba dan berdiri tepat di
ujungnya yang tinggi dan curam.
Malik
menunjukkan sebuah jembatan yang hampir samar dan tak kasat mata. Ia membalikkan
badan berusaha menjelaskan padaku, tetapi sebelum suaranya keluar aku menahan,
“aku tahu, Malik. Itu jembatan Shiratal mustaqim.”
Di
bawah jurang ini, ada lautan api. Ombaknya tidak menggulung ke tepian, tetapi
bertubrukan. Barangkali bak kepala banteng yang saling adu, saling hantam.
Celakanya bukan itu bagian paling mengerikannya. Pada bagian tengah laut,
banyak orang-orang timbul-tenggelam. Tak ada pelampung, perahu, atau tim
evakuasi. Mereka semua hanya bisa berteriak-teriak meminta tolong sembari
memohon pengampunan Tuhan. Ada yang menyebut-nyebut segala kesalahannya, ada
yang berjanji tak lagi melakukan dosa, ada yang diam saja sembari menangis dan
menjerit sekencangnya yang ia bisa. Namun ombak api yang berkobar-kobar,
beraneka warna hitam, putih, biru, kuning, dan merah itu bercampur-aduk.
Beradu. Bertubrukan. Bergulung-gulung. Menerpa-nerpa berulang-ulang.
Tahukah
apa yang membuat aku tak percaya? Orang-orang yang aku lihat itu, yang berhasil
menampar-nampar letak hatiku, membolak-balikkannya, berhasil memancing
pertanyaan-pertanyaan yang tiada seorang pun mau menjawabnya. Mereka yang
timbul-tenggelam itu berpakaian gamis dan bersorban. Aku mendengar salah
seorang dari mereka memanggil-manggil namaku dan ketika aku menoleh ia berkata,
“aku guru mengajimu dulu. Bantulah aku, Nak.” Bulu halus di tubuhku meremang.
Ada apa sebenarnya?
Belum
lagi penghuni neraka lainnya. Yang terapung-apung di bagian tengah itu adalah
para penegak hukum, para pemimpin, pejabat pemerintahan, orang-orang yang rajin
mengaji dan datang ke surau. Barangkali—hanya dugaan tak mendasarku—jumlah
mereka mendominasi ketimbang orang-orang bertato, berpakaian ketat tidak syar’i,
para pemabuk, penjudi, pemerkosa, penzina. Yang jelas-jelas secara hukum mereka
bersalah. Ada apa, ini?
“Seharusnya
aku melihat dia di antara mereka, Malik.”
“Apa
dasar, tuan, berkeyakinan semacam itu?”
“Ia
pemabuk. Ia tiada rajin salat. Lebih-lebih mengaji. Sudah pasti ia ada di sini,
Malik.”
“Tuan,
Tuhan bukan?[1]”
“Apa-apaan,
kau ini, Malik. Jelaskanlah, lekas.”
“Apa
tuan selalu berada di sisi Kakak, tuan, selama ia hidup? Apa tuan tahu hal
lainnya yang ia lakukan?” aku tak bisa menjawabinya. Aku geleng-geleng kepala.
Wajahku panas. Sesuatu menggenang di mataku. Sebab mau bagaimanapun, kakakku
jarang sekali pulang ke rumah.
“Begitulah
manusia. Dari pengetahuannya yang terbatas, mereka selalu merasa tahu
segalanya. Bahkan soal kehidupan seseorang yang dinilai secara sepihak.” Malik
berjalan mengitari tubuhku yang mematung. “Segalanya terjadi karena kehendak
Tuhan. Tetapi manusia selalu lancang berlaga mendahului-Nya. Padahal Tuhan
Mahatahu akan apa yang manusia lakukan.”
“Tapi,
Malik, segalanya tertulis di kitab suci. Hal-hal apa saja yang berdosa dan apa
saja yang bernilai pahala. Dari situ kita dapat melihat seseorang layak ditempatkan
di surga atau neraka.”
“Layak?!”
Malik membentak. Kali ini aku tak dapat mengelak dan menyalak. “Manusia
memiliki keterbatasan dalam berpikir. Tetapi kenapa seberani itu? kami, para
malaikat saja tidak menyanggupi ketika harus menjadi khalifah di bumi. Tetapi,
manusia, dengan gagahnya menyepakati. Padahal kerusakan ada pada kalian, wahai
manusia. Akan banyak pertumpahan darah, berebut kekuasaan, tak kenal kasih
sayang yang kekal.”
“Bukan
itu yang ingin aku ketahui, Malik. Aku hanya ingin tahu ke mana Kakakku? Kenapa
ia tak ada di sini?” suaraku bergetar. Aku merunduk dalam, tak berani menatap
mata Malik yang menusuk dan membakar.
“Itulah
sekali lagi kesalahan manusia. Bahwa sesungguhnyalah, penempatan surga dan
neraka hanyalah hak prerogatif Allah. Tiada satu pun dari makhlukNya yang bisa
memastikan itu, sekalipun Rasulullah, kekasih-Nya.”
Kakiku
gemetar lemas. Seketika aku ambruk berlutut.
“Waktumu
sudah habis, tuan. Kesepakatan kita hanya sampai di sini.” Dua malaikat
mendatangiku. Mereka lekas menggandeng masing-masing lenganku.
“Berikan
aku waktu sedikit lagi, Malik. Berkawanlah denganku.”
Aku
diseret menjauh. Bukan, bukan ke pintu masuk yang semula aku lalui. Tetapi aku
di bawa ke tepi jurang tadi, hanya saja kali ini jauh lebih tinggi.
“Sungguh
menyedihkan, manusia. Bahkan ludah yang sudah dimuntahkan ke tanah sanggup ia
telan lagi.”
“Baiklah,
Malik, aku menyerah. Izinkanlah aku menjumpai, Tuhan. Ada satu hal yang ingin
aku tanyakan.”
“Katakanlah,
sepelan apa pun suaramu, Tuhan pasti mendengar.”
Dua
malaikat di kedua belah sisiku menghentikan langkahnya. Aku terengah-engah
mengatur napas.
“Kenapa
sandal itu tak boleh kubawa masuk? Apakah neraka terlampau suci ketimbang
masjid?” aku seperti setengah melantur. Namun aku tak kuasa menimbun rasa
penasaran ini.
“Oh,
soal itu. Begini, sebelum aku jawab, coba tuan ingat baik-baik dan dengarkan
pertanyaanku dulu. Sandal siapakah yang tuan pakai sebelum masuk ke neraka?”
Di
antara kesadaran dan ketaksadaranku, aku mengingat. Seketika saja tak kuasa aku
menjawabinya. Tubuhku bergetar hebat. Kepalaku mengeras dan airmata tak
henti-hentinya meleleh di wajah. “Mohon ampun, ya Allah, atas
sangkaan-sangkaanku.”
“Begitulah
bangsa kalian yang dianugerahi hawa nafsu. Kesombongan tak secuil pun pantas
kalian genggam. Memohon ampunan ketika sudah berada di neraka adalah hal
sia-sia.” Sayup-sayup aku mendengar suara Malik. Dan jawabannya sesuai dengan
rekaanku. Ia berkata, “Sandal itu milik mendiang Kakakmu. Haram baginya
memasuki neraka sedang pemiliknya berada di sorga. Sungguh Mahasuci dan Mahabesar
Allah. Bila Dia berkehendak, langit pun bisa runtuh, gunung pun seketika
hancur-lebur.”
Aku
tak bisa keluar dari neraka. Sebab hal berikutnya yang terjadi adalah tubuhku
melayang. Kedua malaikat itu melemparkan aku jauh-jauh ke tengah lautan, hingga
mendarat tepat di hadapan guru mengajiku.[]
Cilegon,
05 Juli 2016/
30
Ramadhan 1437 H.
*) Cerpen ini terinspirasi dari cerpen
fenomenal berjudul, "Robohnya Surau Kami" dan "Man Rabbuka"
karya A.A Navis. Juga tafsir secara bebas atas lukisan karya Gito Waluyo berjudul “Yang Seiya
Sekata”, 2012. Mixed on canvas.100x100 cm. Pernah dipamerkan di Galeri Nasional
Indonesia pada acara IEU KULA 2015.
**) pernah dimuat di: seword.com
[1]
Meminjam bait pertama puisi Sapardi Djoko Damono berjudul, “Tuan”.