Udin merengek. Air mata dan ingusnya meleleh-menyatu. Suaranya sember tak
ketulungan. Kalau sudah begini, teman-temannya akan segera membubarkan diri.
Atau paling tidak, mereka akan masuk ke dalam rumah Santi. Tentu saja tanpa
mengajak Udin. Ya, setiap sore, mereka menghabiskan waktu di rumah Santi untuk
bermain Congklak. Alatnya sederhana. Hanya berupa papan seukuran kurang lebih setengah
meter. Biasanya papan itu terbuat dari kayu jati ataupun plastik. Namun yang
dimiliki Santi adalah yang disebutkan pertama. Pemberian dari almarhum bapak. Ada
beberapa lubang di bagian badan itu pada dua sisinya. Masing-masing terdiri
atas 7 lubang berukuran kecil dan termasuk di dalamnya 7 biji cangkang kerang.
Sementara di dua bagian paling ujungnya ada 1 lubang berukuran lebih besar.
Lubang itu dianggap lumbung atau tempat penyimpanan biji-bijian (bisa pula
berupa cangkang kerang, kelereng, atau batu-batu kecil) yang diperolah si
pemain.
Seperti tadi, Udin sedang beradu tangkas dengan Wawan. Namun siapa sangka,
gerakan tangan Wawan sangat cepat dan lihai. Dengan mudahnya ia melintasi
setiap lubang; mengisinya satu biji hingga habis lalu menyambung ke lubang
berikutnya. Dan biji yang ada dalam genggaman tangan besarnya tak kunjung kosong.
Sedangkan Udin, ia kalah strategi. Ia memulainya dari lubang ketiga sebelah
kanan. Kontan saja langkahnya terputus di dua putaran awal sebab ia kehabisan
biji-bijian. Semua lubang dibuat kosong seketika karena sudah dilalui Wawan,
dan lumbung miliknya terisi hingga menggunung.
Udin kesal. Kedua tangannya menopang papan congklak lalu membalikkannya.
Serupa perahu yang diombang-ambingkan ombak dahsyat. Jelas saja semua biji
dalam lumbung termuntahkan dan terserak berantakan. Santi juga sempat menangis,
tetapi ditahan. Ia memilih untuk meninggalkan Udin. Di dalam rumah, mereka
berbisik tetapi sepertinya sengaja volume suaranya agak dikeraskan. Katanya,
“Biarin aja Udin main sendirian di luar. Besok-besok jangan ajak dia lagi.”