[Esai] Tiga Hari di UI, Saya Ingin Jadi Kerang Saja~

July 10, 2019






foto di depan Fakultas Teknik, tempat pelatihan berlangsung.
*muka tolong dikondisikan, pak!

UI yang saya maksud memang Universitas Indonesia di Depok, bukan Universitas Insyaallah atau Universitas yang Itutu. Tapi tenang dulu, saya tak secerdas perkiraan saudara untuk bisa S2 di UI. Sekarang saya hanya sedang melakoni pelatihan peningkatan kompetensi dalam program Digital Talent Scholarship 2019 yang diselenggarakan oleh Kominfo, kurang lebih selama satu bulan, 8 Juli 2019 – 8 Agustus 2019 (144 jam). Ini tahun kedua dengan peserta mencapai 25.000 penerima beasiswa. Saya satu di antara ribuan orang itu. Tentu saja saya merasa beruntung... tadinya.

Saya memilih UI sebagai lokasi pelatihan karena memang yang paling dekat dengan domisili saya. Ada 30 lebih universitas yang bekerjasama dengan Kominfo di seluruh Indonesia. Program ini dikhususkan untuk sarjana lulusan Teknik, TIK, MIPA atau sekawanannya. Pilihan tema beragam, ada Cybersecurity, Big Data Analytics, Artificial Intelligence, Internet of Things, Cloud Computing dan Machine Learning. Pokoknya semua yang online-online itu~

Saya memilih tema pelatihan Internet of Things. Terdengar keren, kan? *apa perasaan saya doang?

Program ini upaya pemerintah agar pemuda memiliki kompetensi profesional yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era revolusi industri 4.0. Gokil, di kalimat ini, saya merasa menjadi salah satu pahlawan teknologi yang siap menyelamatkan Indonesia di masa depan pemirsah!1!1!!

Tapiii..., saya kembali jadi pecundang ketika tahu harga kosan dekat UI mahalnya bukan maen, astaganaga! Ada yang satu bulan seharga 1,2 juta listrik bayar sendiri, ada yang 1,8 juta, bahkan hingga 2,1 juta per-bulan. Saya mesti keliling tiga kelurahan dekat FT UI baru akhirnya mendapatkan kosan seharga 500k dan boleh untuk dua orang. Yalord, Tuhan kami memang mahabaik. Kalau soal fasilitas, jangan ditanya. Saat pintu kosan dibuka sama ibu kos yang cantik jelita itu, Ruangan kosan terlihat sangat bersih-bersinar-sunlight. Tak ada satu pun perabot yang ngejogrok di dalam. Jadi saya mesti balik ke Cilegon-Banten untuk mengangkut barang-barang dulu, guys. Padahal nih, saking putus asanya, saya dan seorang kawan, sempat tebersit rencana, kalau tidak dapat kosan dengan harga masuk akal, kami mau coba jadi marbot masjid terdekat saja. Karena, meskipun karpetnya bau kaki tapi yang penting ada ac-nya. Sial, mission failed!

Kosan dengan harga tak masuk akal itu memang ada fasilitas kasur, ac, dan wife wifi-nya. Tapi di kampung saya, 500k juga mestinya dapat semua fasilitas itu. kini saya sadar, ternyata memang benar, ibukota (atau tetangganya) lebih kejam dan njengkeli dari ibu-ibu ngesen kanan belok kiri. Dan kosan elite itu namanya juga bagus-bagus, mudah diingat. Semisal kosan mawar merah, putih-putih melati ali baba, merah-merah delima pinokia, iis dahlia dan nama regu pramuka lainnya. Sedangkan saya, kalau ditanya, “ngekos di mana? Apa nama kosannya?” saya cuma bisa jawab, “daerah Kutek (Kukusan Teknik) atau yang setelah jembatan kali kecil itu. Iya, yang kalinya bau airnya keruh itu.” Karena emang nggak ada namanya tempat nginap kami ini. Sedi akutu~

Sebetulnya di akhir pelatihan nanti ada semacam uang saku yang nilainya tidak seberapa. Karena tidak cukup untuk menombwoki makan, kosan, dan jajan saya selama sebulan. (lalu netijen bilang: wuuuh kagak ada bersyukurnya, ngga tau berterima kasih, uang negara tuh, dasar kamp—! ...bing!) memang itu kenyataannya. Makanya saya mau belajar betul-betul! (kenyataannya di kosan cuma gegoleran sambil gegaleran!)

image by: flickr.com
UI ini kampus yang gede banget. Maklum, kampus saya dulu cuma ada satu gedung berisi 7 fakultas sekaligus. Di UI ini, antar fakultas saja mesti naik bis kuning alias bikun (gemasss banget denger singkatannya). Jaraknya lumayan jauh. Kalau jalan kaki paling tidak kita mesti kesemutan dulu baru sampai antar fakultas. Bikun ini gratis dan tidak dipungut biaya sedolar pun, siapa saja boleh naik, asalkan jangan sambil bawa becak. Kagak muat, coy!

Hari pertama kuliah seperti biasa, perkenalan. Saya diajar oleh dosen asal Bali. Ia seorang magister teknik komputer. Setiap ruang kelas ternyata selalu ada asisten dosennya tersendiri, anjir saya norak sekali. Kampus terbaik se-Indonesia tuh begini, toh? Maklum saya dari kampung, Wak!

Pak dosen mulai menjelaskan soal silabus yang dibuat Kominfo. Sumpah, sih, pas tahu isi silabusnya saya berasa bukan seorang sarjana komputer. Apa yang saya pelajari di kampus dulu, kagak ada nyerempet-nyerempetnya sama materi di silabus. Ada sih kayaknya satu dua mata kuliah yang sama, tapi itu cuma remah-remah gorengan yang biasa terabaikan bersama lembar-koran-penuh-minyak itutu~

Saat jam istirahat, ketika yang lain keluar kelas, saya termenung di dalam kelas. Seolah saya hanya punya dua pilihan; lanjut kuliah atau jadi kerang saja. Oke, saya putuskan jadi kerang saja, seperti yang diucapkan Luffy saat berada di bawah pengaruh kekuatan Horo Horo No Mi milik Perona di serial One Piece. Tapi, ternyata saya tidak sendirian. Ada seorang peserta mendatangi saya, menepuk pundak saya, mengajak kenalan lalu berseloroh, “Gimana, bro, paham? Saya kayaknya salah masuk kelas, dah. Salah jurusan,” katanya. Mendengar sebaris kalimat itu, semangat hidup saya seperti kembali lagi.

Saya tepuk balik pundak kawan saya yang dari Bogor itu, lalu saya berkata, “tenang aja, bro, lo nggak sendirian. Xixixix...” Saya akhiri dengan cekikikan. Lalu di hari kedua dan ketiga, saya sudah mulai enjoy. Ternyata orang bodoh itu hanya butuh teman untuk bersandar. Nggak apa-apa, deh, jadi kerang. Asalkan kerang ajaib!

Puja kerang ajaiiiiib! Ululululu~~

***

Depok, 9 Juli 2019

You Might Also Like

2 komentar