Jembatan Cita-Cita
June 01, 2015
Di ruangan
ini, aku seperti tengah menyaksikan video usang. Benakku kembali ke sebuah
peristiwa yang terjadi persis dua puluh tahun lalu. Aku masih ingat jelas apa
yang dikatakan sahabat kecilku itu. Serupa suara bocah usia tiga belas tahun
pada umumnya. Tak beda. Namun ada sebuah cita-cita besar yang ia punya. Yang
tak semua anak miliki, termasuk aku. Tentang masa depan sebuah tempat. Tempat
kami dilahirkan.
***
Kakiku berhati-hati
meniti jembatan gantung ini. Kayu-kayunya rapuh. Bahkan, di beberapa bagian
sudah rusak dan patah. Sehingga terlihat dari lubang itu aliran Sungai Ciberang
yang deras. Setiap pagi, kami harus melalui jembatan ini untuk sampai ke
sekolah. Letaknya ada di jalan raya yang bila ditempuh melalui jalur darat maka
akan menghabiskan waktu selama dua jam. Itu sebabnya sejak kecil, setiap kali
kami akan ke kota, ibu dan kakakku selalu melalui jembatan ini. Jalur
penghubung antara kampung Waru, desa Sangiangtanjung dan desa Pasirtanjung.
“Tunggulah,
Mat. jangan buru-buru!”
“Sebentar
lagi masuk. Ayo lekas!”
Ketika
itu aku sungguh geram. Ia berlari dengan lincahnya, sementara aku ketakutan
karena lantai jembatan terus bergoyang-goyang dan miring. Semakin kencang
hingga memaksa aku melipir ke tepi
dan berpegangan dengan kawat sling yang menggantung. Hanya satu, sedangkan
kawat lainnya sudah lama putus akibat diterjang banjir.
Ah,
untuk berangkat ke sekolah saja betapa sulitnya. Terserahlah kalaupun aku
telat. Lebih baik berjemur di sebelah tiang bendera, daripada harus menempuh
perjalanan berkilo-kilo meter ini.
“Hari
ini aku tidak mau sekolah,” kataku datar. Mungkin terdengar seperti bisikan.
“Apa?”
Suaraku
tenggelam karena deru sungai yang bergemerisik. Jadi, aku mengulanginya. Kami
sampai ke ujung jembatan. Butuh sepuluh menit lebih untuk meniti jembatan tak
layak pakai itu.
“Apa tak
rugi sudah berjalan sejauh ini, lalu kau memilih tak sekolah?” kami berhenti.
Aku sibuk mengatur napas dan mencari jawaban untuk pertanyaan Mamat. “Dua hari
lalu, kau tak sekolah. Masa mau kau ulangi lagi?”
Terkadang
aku heran. Cara bicara Mamat seperti seorang guru di sekolah kami. Aku curiga
ia kerasukan hantu penunggu Sungai Ciberang.
“Aku capek, Mat. setiap hari harus melewati
jembatan reyot ini.”
“Kalau
itu alasannya, kenapa tidak berjalan memutar saja?”
“Malah
semakin jauh, Mat. Apalagi kemarin hujan, pasti jalannya becek.”
“Kalau
terus mengeluh, kau tak akan dapat apa-apa.”
Aku
memilih berhenti mendebat. Bukan karena tak bisa menyangkal, tetapi, Mamat
mengatakan itu sambil berlari. Ya, dia memacu langkahnya lagi dan
meninggalkanku. Padahal, aku belum selesai berkata. Memang benar menurutnya
pekan lalu, kalau kami termasuk yang beruntung. Bisa sekolah sampai tingkat
SMP. Berbeda dengan masa kakakku yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar. Tetapi,
untuk apa semua ini? Toh, ujung-ujungnya, selepas dari sekolah, kami hanya akan
menjadi nelayan atau petani. Tak lebih. Itu yang selama ini aku lihat dari
orang-orang di kampung.
Aku
menyusul langkah Mamat.
“Kau tak
jadi membolos?”
“Anu...,”
tak biasanya aku kikuk bicara dengan Mamat. Padahal, sejak kecil, sebelum kami bersekolah,
aku dan dia sudah bermain bersama. “Besok aku juga tidak mau sekolah. Kau
jangan beritahu ibuku, ya.” Kenapa ibu? Ya, karena di rumah hanya ada aku,
kakakku dan ibu. Bapak sudah lama pergi meninggalkan kami. Konon ketika aku
masih dalam perut ibu. Bapak berkata pergi ke kota, namun sampai sekarang belum
kembali. Selalu saja ada air mata ketika ibu berkisah tentang kepergian lelaki
yang belum sekalipun aku temui itu.
“Terserahlah,”
jawab Mamat sedikit enggan. Dia kembali berlari.
“Untuk
apa sekolah! Percuma, itu tidak akan mengembalikan Bapak!” dengusku kesal.
Amarahku tak terbedung lagi seperti sungai Ciberang yang meluap hingga ke
kampung ketika hujan deras tiba.
“Kalau
tak mau sekolah, ya, sudah! Jangan ungkit-ungkit masalah itu!” Ia berhenti.
Matanya menusuk ke arahku. Tajam sekali. “Kalau kau mau bersedih-sedih, akulah
yang lebih menderita. Ibu dan Bapak tewas di sungai Ciberang. Jasadnya tidak
ditemukan hingga sekarang!”
Aku
melukai hatinya. Bola matanya yang bulat seketika melahirkan air mata. Pipinya
basah. Bodoh sekali! Bagaimana bisa aku lupa kejadian tiga tahun lalu. Ketika
sungai Ciberang banjir bandang. Namun aku dan Mamat asyik bermain di tepi sungai.
Menaiki kedebong pisang. Tertawa-tawa
bersama teman lainnya. Sementara di menit berikutnya kami terbawa arus. Tak
bisa menghalaunya. Beruntung di waktu menjelang senja itu ibu dan bapak Mamat
datang. Mereka menolong kami. Nahas, kubikan air sungai malah menelan mereka.
Sebelum sempat warga lain datang, nyawa mereka tak tertolong. Begitu kami
menarik kesimpulan. Sebab, di hari, minggu dan bulan berikutnya, tak ada
seorang pun yang menemukan mayat mereka.
“Maafkan,
aku, Mat.”
“Dengar,
ya. Aku sekolah untuk mereka. Aku ingin jadi anak yang bisa dibanggakan. Bukan
anak pengeluh!” Jari telunjuk Mamat tepat mengarah ke wajahku. “Kita lahir di
kampung yang kuat. Kuat ibadahnya, kuat adatnya dan kuat budaya
tolong-menolongnya. Aku sekolah karena ingin berguna bagi kampungku. Aku ingin
tempat kita semakin maju. Bukan terus-menerus jadi desa percontohan yang
tertinggal. Kita harus punya masa depan, Rob!”
Usai
kalimat itu mencuat, kurundukkan kepala. Wajahku seketika terasa panas. Bukan
karena mentari sudah hampir berdiri di ubun-ubun, tetapi ucapan Mamat berhasil
membuat air mataku pecah. Wajah kami basah. Kupeluk tubuh kurusnya. Akhirnya
aku mengalah. Mengurungkan niat untuk tidak sekolah.
***
Sejak
kami tiba di sekolah, hujan deras melanda. Aku khawatir sungai pasti kembali
meluap. Seketika aku menyesal berpikir lagi untuk tidak sekolah. Sebab, tak ada
hal-hal istimewa setiap kali aku ke sekolah. Paling hanya bergurau dengan teman
dari kampung lain. Itu saja. Jadi ketika lonceng berdentang, aku lekas mengajak
Mamat untuk pulang. Aku sempat menawarinya menyusuri jalan desa, bukan dari
jembatan rapuh itu, tetapi Mamat menolak.
“Terlalu
jauh, Rob. Aku harus cepat sampai rumah, karena dagangan Bi Uun sudah
menunggu.” Aku tak bisa mengelak. Benar juga, Mamat hanya tinggal berdua dengan
pamannya. Dan kebiasaannya sepulang sekolah tak lain adalah menjajakan pisang
goreng, bakwan, kroket, pastel dan gorengan lainnya milik Bi Uun, tetangga
rumahnya.
Aku
pernah iseng bertanya padanya, “apa kau tak capek,
Mat?”
“Tentu
saja capek. Tapi bagi orang seperti
kita, bermalas-malasan itu pantangan. Kau mau sehari saja tak makan?” Aku hanya
tertawa menanggapinya. Tentu saja perut besarku tak bisa diajak kompromi.
Apalagi dengan badan dua kali lebih besar dari Mamat ini, porsiku dua kali
lipat pula.
Hujan
mereda dan kami lekas saja membelah udara.
Di kala
pulang sekolah, jembatan ramai. Anak-anak seusia kami berebut ingin cepat
sampai. Apa mereka tak takut jatuh? Aku tahu kami bisa berenang, tetapi di
aliran sungai yang mengganas seperti saat ini, aku memilih melangkah hati-hati
saja. Mamat sudah berada di depan. Kakinya memulai langkah pertama. Jembatan
bergoyang.
Kami
telah sampai seperempat jalan, tetapi hujan kembali mengguyur. Kali ini lebih
deras daripada di sekolah tadi. Kami terjebak. Ingin berteduh di pepohonan,
tetapi apalah daya tak cukup waktu untuk mundur lagi. Sementara jarak ke
kampung kami masih jauh. Dibutuhkan perpuluh-puluh langkah untuk menyelesaikan
titian jembatan ini. Kalau tak salah ingat, kata guru kami panjang jembatan ini
hampir 25 meter. Sementara salah satu bagian kawat gantungnya terputus. Kami
lebih mirip merayap dari pada berjalan. Namun meski hujan, Mamat tetap saja
berlari. Kakinya tampak lincah sekali. Apalagi, anak-anak lainnya sudah sampai
di ujung jembatan. Mereka lebih dahulu pulang.
“Mat,
tunggu! Pelan-pelan.”
“Hujan
makin deras, Rob. Lekaslah!” aku sedikit lebih cepat memacu lajuku. Langit
semakin gelap. Di bawah, aliran sungai seperti tengah berteriak, “melompatlah
kemari!” Aku berusaha fokus melihat ke depan. Seperempat langkah lagi Mamat
sampai ke ujung. Namun nahas, di langkah selanjutnya ia tergelincir. Tangannya
lepas dari kawat. Mataku terbelalak tak percaya. Air sungai Ciberang
menangkapnya. Gelombangnya semakin deras. Tubuh Mamat terombang-ambing. Ia
melambai ke arahku. Ke segala arah. Kepalanya timbul-tenggelam. Aku tahu ia
pandai berenang, namun saat itu tampak panik. Tak ada orang. Aku ketakutan.
“Maaaat!
Mamaaat!!!” kuseru namanya. Berulang-ulang. Ia hanyut. Bersama tumpukan sampah.
Mengapung lalu menghilang. Aku menjerit histeris. Suaraku samar disekap koloni hujan.
Aku
sampai di tepi jembatan. Lekas aku berlari mengikuti arah aliran sungai.
Beberapa detik sebelumnya aku masih melihat tangan Mamat. Ia berusaha menggapai
udara. Napasku tersengal-sengal. Tas yang aku bawa entah kulempar ke mana.
Seragamku semua basah kuyup. Celakanya lagi, aku sempat terpeleset di tepian
sungai. Kontan saja seragamku berlumuran lumpur. Tapi, aku tak peduli! Segera
aku bangkit dan kembali berlari. Dari jarak lima meter, aku melihat seseorang
tengah menarik getek ke tepi. Lekas saja aku menuruni bukit yang landai.
Perlahan-lahan sekali.
“Tolong,
Mang! Mamat tenggelam!”
Air
mukanya tampak tak percaya.
“Nu bener, Jang? Ti mana?”[1]
“Muhun, Mang. Ragag tina jambatan.”[2]
Lantas
Mang Nana mengalihkan pandangannya. Ia melihat ke tengah sungai. Kami tak
menemukan tanda-tanda orang tenggelam. Ini semakin gawat!
“Masih
hujan deras, Jang. Percuma.”
Aku
pasrah. Kujatuhkan bokongku ke tanah. Air mataku menyatu dengan hujan. Mang
Nana menemaniku. Selang beberapa menit, setiap kali ada orang lewat, Mang Nana
memanggilnya. Ia memberitahu mereka dan meminta bantuan. Sementara bibirku
terkunci. Aku merutuki diri sendiri.
Hujan
pun mereda.
Tim
evakuasi datang. Entah dari tadi ke mana mereka, aku tak tahu. Entah termasuk
cepat atau tidak kedatangan mereka, aku tak peduli. Dalam benakku hanya satu;
Mamat. Ia harus selamat! Ada cita-cita yang harus kami tunaikan.
Malam
merangkak menelan kampung kami. Lampu senter dan petromaks dinyalakan. Belum
diketemukan jasad sahabatku. Aku mengikuti warga kampung mencarinya. Sudah tiga
kampung dilewati dan belum juga ada tanda-tanda Mamat di sungai Ciberang.
“Pak
Robi, hari ini jadwal kita evaluasi ke kampung Waru. Jembatannya sudah hampir
selesai diperbaiki.” Aku hanya mengangguk. Suara Staf-ku membuyarkan lamunan. Di
ruang rapat ini, di gedung pemerintahan, aku bekerja. Selama dua puluh tahun
ini setelah kejadian itu, aku masih merasa sendiri. Seperti ada yang hilang
dari diriku.
“Ini
yang bisa aku lakukan untuk kampung kita, Mat. Aku melakukan ini semata untuk
meneruskan cita-citamu dulu.” Ini perbaikan yang kelima. Setiap banjir datang,
jembatan Ciberang langsung rusak. Tetapi kami terus berusaha. Meski baru ini
yang bisa kami lakukan. Membangun jalur alternatif sejauh 800 meter dari desa
yang terisolasi dari Sungai Ciberang, Kabupaten Lebak, Banten.[3]
Aku tidak ingin ada anak-anak yang
meregang nyawa serupa nasib Mamat. Sebab, dibutuhkan banyak anak-anak yang
bercita-cita seperti Mamat, dan harus terjaga hingga terwujud. Sayangnya, sekarang
aku hanya bisa berdoa untuknya. Semoga sahabat kecilku itu bahagia di alam
sana. Berkumpul lagi bersama kedua orang tuanya.[]
Cilegon, 12 Mei 2015
***
*cerpen ini berhasil meraih juara 1 dalam ajang Fisipbility
#2 se-Banten di Universitas Serang Raya (UNSERA) bertema, "Aku Ingin Banten Maju".
2 komentar
Kereeen, Bro. Terus berkarya!!!
ReplyDeleteya, thx bro. anw, cerpenmu yg dimuat republika udah di pos blm?
ReplyDelete