[CERPEN] Jejak di Bahu Jalan
October 29, 2015image by:poskotanews.com |
“Aku datang hanya untuk bertemu denganmu lagi dan menceritakannya....”
Beberapa
waktu lalu resmi harga BBM dinyatakan naik. Presiden sendiri yang
menyampaikannya langsung melalui para media. Di indekos, sebelum berangkat
bekerja, aku menyaksikan berita tersebut di layar televisi 14 inch—hasil tukar-tambah
dengan sepeda ontel mendiang bapak. Entah harus berkomentar dan berekspresi
seperti apa; bila bahagia, apa yang patut aku banggakan? Toh, tak ada
pengaruhnya mungkin, aku tetaplah seorang buruh. Namun bila aku bersedih, untuk
apa pula aku lakukan? Tetap saja tak akan ada yang peduli. Kalaupun aku
berteriak-teriak di depan televisi, apa Pak Presiden akan mendengarnya?
Ha-ha-ha... bisa-bisa aku dianggap gila andai tetangga lewat di gang sempit
depan indekos ini.
Ah,
segera saja kubunuh televisi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 08.53, entah aku
sudah terlambat berapa menit dari jadwal masuk kerja. Malas sekali untuk
mengingat-ingatnya. Beruntung aku punya banyak teman yang saling mengerti.
Mereka akan memberikan alasan sebaik mungkin kepada atasan sampai aku datang—begitupun
bila sebaliknya terjadi.
Andai
mencari pekerjaan semudah mendapatkan kerikil untuk menahan buang air besar,
tentu aku sudah tidak ada di perusahaan sepatu ini. Kau percaya tidak, bila
kerikil ditaruh di saku celana belakangmu ketika perutmu sedang mulas, maka
lambat-laun, tanpa kau sadari rasa ingin buang air besar itu hilang begitu
saja. Aku percaya itu, bapaklah yang sewaktu kecil mengajarkannya padaku.
Seperti itu pula sebenarnya alasanku hari ini datang terlambat. Sejak pagi
perutku mulas-mulas. Entah sudah berapa kali aku bolak-balik ke kamar mandi.
Jadi, ketika aku ingat pesan bapak itu, lekas saja aku melakukannya. Sampai di
tempat kerja, benar saja, mulasku lenyap. Betapa ajaibnya pikiran orang zaman
dulu, mereka sudah menemukan teori sugesti mengalahkan seorang hipnoterapi di masa
sekarang.
Baiklah, aku berlebihan.
***
Rupanya
kenaikan BBM berbanding lurus dengan naiknya harga barang-barang pokok di
pasaran. Dan ketika harga kebutuhan kian meningkat, tak sedikit beberapa
perusahaan yang gulung tikar. Jelas sekali itu berdampak cukup besar pada
kehidupan khalayak ramai. Satu di antaranya adalah terlahirnya para pengangguran.
Orang-orang kehilangan pekerjaannya. Maka oleh sebab itu, aku berjanji ini kali
terakhir aku datang terlambat ke tempat kerja.
Aku
bekerja tak lebih dari sepuluh jam di jadwal biasa. Tetapi, sesekali kami juga
ada jadwal lembur. Karenanya jam pulang bisa sampai larut malam—tergantung pada
pembagian shift juga. Sebelum pulang
ke indekos, aku menuju ke salah satu minimarket untuk membeli rokok dan
minuman—juga alasan lainnya..., kau tahu, setiap pulang bekerja, di tengah perkotaan yang
panas ini, memasuki sebuah mal, ruang mesin ATM, atau apa pun yang memasang AC
di dalamnya adalah hal wajib yang harus aku kunjungi. Setidaknya keringat di
kening dan ketiakku bisa hilang. Selagi itu gratis, kenapa tidak kita
manfaatkan?
Sore ini
sedang banyak pembeli rupanya. Tak sekali dua kali bahkan aku sampai beradu
bahu. Tentu tanpa kesengajaan.
“Maaf.”
Entah berapa kali aku mengucapkan kata itu. Heran, kenapa orang-orang begitu
buru-buru sekali menjalani kehidupannya. Seolah pagi akan segera datang lagi
dan menyediakan berbagai kesibukan dan kesumpekan. Terus begitu sampai presiden
berganti hingga seratus kali—mungkin. Padahal, nikmati sajalah.
“Sorry.” Dengan arti yang sama seseorang mengatakan itu
setelah menyenggol punggungku. Ia tampak tergesa sekali. Aku mengangguk tak
mempermasalahkannya. Ia melanjutkan lajunya tanpa menoleh ke arah
belakang—bahkan mungkin sewaktu ia meminta maaf tadi tak menunjukkan wajahnya.
Entahlah aku tak begitu memerhatikannya. Kemudian aku lanjut mengambil air
mineral dan menuju kasir. Apa yang terjadi? Dompetku lenyap. Satu yang kuingat
adalah seseorang dengan jaket hitam tadi. Beruntung di saku baju ada beberapa
lembar uang. Cukup untuk membayar rokok dan minuman. Lekas saja aku keluar
minimarket. Kepalaku seperti kipas angin, memutar dari kanan ke kiri
berulang-ulang. Aku mencari orang yang memakai topi jeans dan ada sedikit robek di bagian punggung jaketnya.
Minimarket
ini berada di bahu jalan. Kebetulan jalan raya sedang macet, maklum jam pulang
para karyawan. Ini kesempatan untukku.
Aku
harus segera mengejarnya. Bukan apa, di dompet itu masih kusimpan uang gajian
lusa lalu. Mati aku kalau sebulan ke depan tak ada uang. Makan apa coba, di
kota sebesar ini?—sedang di indekos aku tinggal sendiri. Ibu dan kedua adikku berada
di desa. Apalagi aku belum mengirimi mereka uang untuk tambah-tambah biaya hidup
dan sekolah. Aku harus segera menangkap pencopet itu. Pasti belum jauh dari
sini.
“Mas,
permisi. Ngeliat orang pakai topi sama jaket item nggak?” tanyaku tergesa-gesa.
Bahkan aku lupa mematikan mesin motor Astrea Legenda warisan dari almarhum
bapak ini.
“Barusan
ngeliat, Mas. Tapi dia pake helm. Jaketnya agak robek di punggung—”
“Ya
itu!” aku menyela.
“Orang
itu kayak lagi kebingungan. Dia bawa motor mondar-mandir di depan saya. Bahkan
mau lawan arah. Mungkin karena di depan ada polisi, dia puter balik lagi. Ngelewatin
minimarket itu.” Dia menunjuk tempat kejadian bermula.
“Dia
nyopet dompet saya, Mas.” Aku mengangguk tak jelas. Orang yang kuajak bicara
terlihat bingung, mungkin dia berpikir, apa
yang kudu gue lakuin?
Gegas
saja aku memutar sepeda motorku. Pasti dia belum jauh, aku terus-menerus
menghibur diri. Apalagi, di depan jalan setelah persimpangan ada lampu lalu
lintas. Semoga dia terjebak di sana, di tengah kemacetan. Kalau sampai ini
benar dan aku berhasil menangkapnya, aku akan bersyukur bahwa kemacetan di kota
besar ada manfaatnya juga. Aku masih memacu motor Astrea ini. Meski konon
mesinnya telah berumur, setidaknya motor bapak ini masih lincah, buktinya beberapa
kali aku berhasil menyalip mobil dan motor lainnya.
Saking
tergesanya bahkan aku tak peduli dengan kepalaku yang tak mengenakan helm.
“Nggak ada waktu,” batinku. Toh, polisi juga bakalan memaklumi kalau-kalau
melihatku kebut-kebutan di jalan raya tanpa helm. Justru pencopet tadi akan
lebih mudah dibekuk bila ada bantuan polisi.
“Nah,
ada polisi.” Ucapanku seolah terkabul begitu saja. Dengan pede-nya aku bangga mendengar sirene mobil patroli polantas. Dari
spion aku memastikan, dan benar saja, mereka ke arah kami. Bisa jadi mereka
turut mengejar pencopet itu karena diberitahu orang yang tadi aku tanyai. Dari
jarak tiga mobil ke depan, aku melihat orang berjaket hitam itu. Tak salah lagi
pasti dia. Celaka, saat jarak kian dekat, lampu lalu lintas berganti hijau.
Kendaraan berebut jalan. Pandanganku semakin kabur. Tetapi aku masih terus
menancap gas motornya.
“Dia
belok!” tak sadar aku berteriak lantang. “Woy, copet!” orang-orang mengalihkan
perhatiannya. Sebagian bertanya yang mana, aku sekenanya memberi petunjuk pada
mereka yang peduli. Lantas membantuku mengejar pria itu.
Sesekali
aku menatap spidometer, aku tercengang. Ini kali pertama aku memacu sepeda
motor dengan kecepatan hampir 100km/jam. Aku ingin mengurangi tarikan gas,
tetapi apa daya, pencopet itu pasti akan mudah lepas dari pandanganku.
Alih-alih fokusku terbagi pada sisi kiri-kanan jalan, mataku lekat tak lepas
mengunci gerakan pencopet itu. Bahkan, sampai aku tak sadar, di jalan yang tak cukup
lebar itu, sebuah truk melaju cukup kencang keluar dari salah satu pertigaan.
Aku kalap. Stang motorku hilang kendali. Truk itu melaju dari arah kiri. Aku
berusaha membelokkan motorku ke arah berlawanan, tetapi tak berhasil.
Kecepatannya terlalu tinggi. Seketika saja oleng. Kontan saja ban depan motorku
beradu dengan sisi kanan truk. Tubuhku melayang. Aku merasakannya setelah
terdengar bunyi, “braaakk!!!”—benturan antara tubuhku dengan truk. Lalu terpelanting
lagi ke bahu jalan. Tulang-tulangku seperti remuk. Kepalaku terantuk trotoar
dengan suara debam yang keras sekali. Setelah itu pandanganku samar. Jalanan
depan tertutupi truk. Entah ke mana pencopet itu berlari. Orang-orang
berkerumun mengitari tubuhku. Sesuatu mengalir dari kepalaku yang tak
mengenakan helm. Tanganku sempat mengelusnya. Ia berwarna merah dan hangat. Ini
darah. Aku menyisakan jejak di bahu jalan.
Tiba-tiba
aku bertemu bapak. Lekas saja aku memeluknya.
“Beruntung
aku bisa menjumpaimu di sini, di sebuah ruang kosong dengan pintu dari jeruji
besi. Sengaja memang aku datang hanya untuk menceritakan segalanya. Lalu akan
kuajak kau bertemu dengan bapakku juga. Simpan saja dompetku dan segala macam
isinya itu. Di sana uang tak lagi berguna.”[]
Cilegon, 29 Oktober
2015
-----------------------------------------------------------------------------------------------
*Blog post ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat
Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan
Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
2 komentar
:'( sakitnya....
ReplyDeleteHehhe ayo patuhi peraturan :-D
DeleteMakasih sudah mampir :-)