[Ulasan Film] Mengurai Trauma Somatik dan Fatherless Issue dalam "Sore: Istri dari Masa Depan"
| image by imdb.com |
“Jika aku harus hidup sepuluh ribu kali, kuharap aku akan selalu memilihmu.”
Ada satu jenis perasaan yang tak mudah diberi nama. Persis seperti perasaan rindu, tetapi kata itu belum bisa merangkumnya secara keseluruhan. Saya pernah menemukan kata saudade dalam bahasa Portugis, kata ini yang paling mendekati maksud dari perasaan yang dimaksud di awal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini adalah sebuah kata yang menggambarkan perasaan kerinduan yang mendalam, seringkali bercampur dengan kesedihan, kehilangan, dan nostalgia, terutama terhadap sesuatu atau seseorang yang jauh atau tidak lagi ada. Saya merasakan perasaan yang kompleks dan sulit diterjemahkan secara langsung ke bahasa lain. Itulah rasa yang muncul usai saya menonton film Sore: Istri dari Masa Depan karya Yandy Laurens.
Sebelum bertransformasi dalam medium film,
Sore: Istri dari Masa
Depan pernah hadir dalam bentuk yang lebih
ringan: sebuah web-series pendek di kanal YouTube Tropicana Slim
pada tahun 2017.
Dengan judul yang sama, Sore: Istri dari Masa Depan muncul sebagai
bagian dari kampanye hidup sehat. Formatnya singkat, premisnya nyaris
serupa—tentang seorang istri dari masa depan yang datang memperingatkan
suaminya agar menjaga kesehatan karena akan meninggal delapan tahun kemudian
akibat serangan jantung.
Di pertengahan tahun 2025 ini,
Yandy Laurens menghidupkan kembali cerita itu dalam medium yang sama sekali
berbeda. Kali ini bukan lagi sebagai ajakan mengurangi gula, tetapi sebagai
ziarah emosional menuju hal-hal yang tak bisa kita ubah. Film versi panjangnya
tidak sekadar memperluas cerita, tetapi mengunjungi luka, menelusuri trauma, dan merayakan
cinta yang tidak selalu berujung kebersamaan. Sore Idaman—demikian
tajuk promosinya—bertransformasi dari narasi fungsional menjadi narasi
eksistensial.
Saya merasa film ini ingin mengajak
kita bukan hanya untuk merenungi hubungan manusia dengan waktu, tetapi juga
untuk menyelami kegetiran dalam mencintai seseorang yang tak bisa diselamatkan,
bahkan oleh waktu itu sendiri. Alih-alih menjanjikan imajinasi sains atau
petualangan lintas masa seperti lazimnya genre “perjalanan waktu” (time-travel),
Sore Idaman justru
menanggalkan segala hal-hal
rumit tentang sains. Simpan pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”, film
ini justru ingin memulainya dengan pertanyaan “kenapa”. Hal itu yang sejak awal
dimunculkan oleh Yandy: Kenapa Sore kembali ke masa lalu? Kenapa Sore sebegitu
besar cintanya kepada Jo? Kenapa Sore belum bisa mengikhlaskan kepergian Jo?
dan berbagai pertanyaan turunannya. Ibarat film-film garapan Studio Ghibli yang
tidak perlu pertanyaan: Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana karakter
melakukan itu? Dan segala macam pertanyaan serupa lainnya.
Saya menangkap bahwa film ini seperti mengajak penonton untuk terus berharap pada waktu, dan bagaimana kemungkinan itu kerap runtuh oleh realitas yang tak mau tunduk. Penonton tak diberi ruang untuk bernapas, justru diarahkan menatap keterbatasan: bahwa bahkan cinta, yang konon melampaui ruang dan waktu, bisa tidak cukup. Itulah kenapa film ini lebih terasa seperti mengunjungi perasaan yang lama tidak kita rasakan dibanding sekadar tontonan. Kita tidak hanya diajak menonton sebuah hubungan, tapi menjalani dan menggali lubang-lubang hampa di sudut hati yang biasa kita abaikan dalam relasi.
Di Ambang
Tidur, Di Ambang Kesadaran
Ceritanya dimulai dari Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer Indonesia yang mengasingkan diri di Kroasia, menjauh dari hiruk-pikuk, dari keluarga, bahkan dari dirinya sendiri akibat luka batinnya yang belum selesai. Ia hidup dalam pola menyendiri yang destruktif—merokok, minum alkohol, tidur larut, hidup tanpa arah. Di pagi hari ulang tahunnya, ia terbangun dan mendapati seorang perempuan asing di ranjangnya, mengaku sebagai istrinya dari masa depan: Sore, diperankan dengan tenang dan pendalaman karakter yang memukau oleh Sheila Dara.
Apa yang
terjadi selanjutnya bukan soal membuktikan kebenaran ucapan Sore, atau bagaimana ia bisa kembali ke masa lalu.
Pertanyaan-pertanyaan sains di film ini sengaja dikesampingkan. Fokusnya adalah
hubungan antarmanusia dalam ketidakberdayaan menghadapi kehilangan dan
kematian. Lewat struktur tiga babak: Jonathan,
Sore, dan Waktu, Yandy
Laurens menyusun narasi yang bukan saja tidak linear, tapi juga membentuk
spiral berulang. Sore terus mengulang waktu demi satu tujuan: menyelamatkan Jo
dari kematian akibat serangan jantung delapan tahun mendatang.
Di
balik konstruksi cerita yang tampak sederhana, sesungguhnya film ini menyusun
satu demi satu keretakan relasi yang tak selalu terdengar dalam dialog. Kamera
diam pada saat-saat paling hening, memperlambat waktu seperti ingin memaksa
kita mendengar detak kesepian tokohnya. Inilah bukti bahwa sinema tidak selalu
berbicara lewat kata, tapi lewat ruang, tubuh, dan tatapan. Dalam tradisi
sinema kontemplatif seperti karya-karya Hirokazu Kore-eda, keheningan justru
menjadi pintu masuk bagi makna yang lebih dalam.
Sayangnya setiap percobaan yang Sore lakukan selalu gagal. Pengulangan
itu tak hanya melelahkan secara jasmani, tapi juga mengguncang jiwa. Sore
perlahan kehilangan dirinya dalam misi menyelamatkan orang yang ia cintai. Ia
tidak lagi hidup dalam masa sekarang, tapi terjebak dalam masa lalu yang ia
paksakan untuk diubah. Di sinilah loop menjadi metafora dari trauma:
bahwa siapa pun yang tidak selesai dengan kehilangan akan terus-menerus
membangunkan kembali luka yang sama dan berharap hasilnya berbeda.
Dalam
psikologi, ini disebut traumatic repetition—pengulangan upaya sebagai
mekanisme bawah sadar untuk “menguasai” trauma yang tak pernah bisa benar-benar dikendalikan.
Tapi dalam konteks narasi Sore, pengulangan itu adalah paradoks: ia ingin
menyelamatkan Jo dari kematian, tapi justru membuat dirinya tergerus
hidup-hidup dalam waktu yang bukan miliknya. Penyangkalan menjadi bentuk cinta,
tapi cinta yang mengingkari kenyataan adalah luka yang diperpanjang.
Bahkan ketika Jo mulai percaya dan berusaha mengubah gaya hidupnya, ketidaktetapan manusia dan kematian tetap mengintai. Setiap kali Sore gagal, ia kembali ke titik awal—dengan tubuh yang semakin lelah, ditandai dengan darah segar yang mengalir lewat hidungnya, dan harapan yang menipis. Pada titik ini, “perjalanan waktu” bukanlah mesin sains, tapi metafora dari duka dan penyangkalan.
Waktu
yang Mengulang, Luka yang Melelahkan
Secara tematis, film ini menautkan diri pada struktur “looping” yang umum dijumpai dalam fiksi ilmiah, namun secara emosional ia berdiri sejajar dengan karya-karya seperti The Time Traveler’s Wife (2009) atau anime Kimi no Na wa (2016), di mana perjalanan waktu bukan sarana heroik, melainkan medium emosional untuk menyentuh trauma dan keterlambatan cinta. Setiap pengulangan oleh Sore bukan hanya usaha penyelamatan, tapi juga repetisi trauma yang tak kunjung selesai.
Ia menyerupai fase-fase grief dalam teori Elisabeth Kübler-Ross seorang penulis sekaligus psikiater yang berasal dari Amerika-Swiss, pada tahun 1969 mengusulkan sebuah teori yang dikenal dengan The Five Stages of Grief yang dikenal sebagai Lima Tahapan Kesedihan. Teori ini menjelaskan lima tahap emosional yang dialami seseorang ketika menghadapi kehilangan atau berita buruk: penyangkalan (denial), kemarahan (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Teori ini awalnya dikembangkan untuk memahami reaksi individu terhadap kematian, tetapi kemudian diterapkan pada berbagai jenis kehilangan dan pengalaman traumatis. Bedanya, Sore terjebak terlalu lama di tahap tawar-menawar dan penyangkalan. Perlu diperjelas, pengulangan waktu oleh Sore ini bukan hanya soal menolak takdir, tetapi juga manifestasi dari perasaan bersalah atau penyesalan yang mendalam karena merasa belum melakukan cukup ketika Jo masih hidup. Ia menggunakan waktu untuk mencoba membayar utang emosionalnya. Konsep ini selaras dengan pandangan aktor Andrew Garfield yang mendefinisikan duka sebagai “Grief is unexpressed love” (Garfield, 2021). Duka Sore adalah akumulasi cinta yang tak sempat tersampaikan secara utuh.
Pada
momen ketika ia berkata, “Hi, aku Sore, istri kamu dari masa depan,” berulang
kali dalam loop, kita sebagai penonton pun mulai merasa jenuh, lelah,
bahkan frustrasi. Namun justru itulah kekuatan dramatik film ini: ia berhasil
mentransfer kelelahan Sore ke tubuh penonton. Empati dibangun bukan lewat air
mata, tapi lewat repetisi dan keteguhan. Film ini seolah ingin menunjukkan
bahwa cinta sejati bukanlah perasaan yang membahagiakan, melainkan komitmen
yang terus diperjuangkan, bahkan ketika tahu hasilnya nihil.
Di salah satu scene, Sore
mengucap kalimat yang menyayat: “Jo jangan biarin aku hilang ditelan waktu, ya. Jangan lupain aku.” Kalimat ini menohok, tidak
hanya untuk karakter Jo, tetapi untuk kita semua yang tidak rela untuk dilupakan. Ada kerinduan manusiawi
yang paling purba
di sana: keinginan untuk diingat, untuk tetap tinggal dalam ingatan orang lain,
bahkan ketika tubuh telah hilang. Ini bukan tentang keabadian dalam arti
literal, tapi tentang harapan agar jejak keberadaan kita—sekecil apa
pun—menjadi sesuatu yang berarti bagi orang lain.
Film ini menempatkan kita sebagai karakter Sore juga: mereka yang pernah mencoba keras untuk dicintai sekaligus diingat, dan sadar bahwa tidak ada jaminan keduanya akan berhasil. Di looping yang kesekian, akhirnya Sore tampak sudah mulai kelelahan sekaligus berdamai dengan keadaan. Ia mengubah kalimat awalnya yang terbangun setiap pukul 08.25 ketika mengalami pengulangan menjadi: “Hai, aku Sore, istri kamu selamanya.”
Cinta Bukan Alat Kontrol
Salah satu tesis besar film ini adalah: cinta bukan kontrol. Melalui karakter Marko, atasan Sore di Kroasia, film ini menyisipkan filosofi yang menggugah. “Ada tiga hal yang tak bisa kamu ubah dalam hidup,” kata Marko, “masa lalu, rasa sakit, dan kematian.” Dalam wacana psikologi eksistensial seperti dikemukakan Viktor Frankl (1963), penderitaan adalah bagian dari keberadaan manusia yang tak bisa dielakkan, dan makna justru lahir dari bagaimana kita merespons penderitaan itu. Namun, setelah menelaah secara mendalam narasi penyembuhan Jo dan penerimaan Sore, saya mengambil sikap kritis terhadap klaim Marko bahwa rasa sakit tidak bisa diubah.
Memang, rasa sakit tidak bisa dihapus, tetapi film ini dengan kuat menunjukkan bahwa rasa sakit bisa ditransformasi dari energi destruktif menjadi sumber kekuatan atau makna. Jo tidak diselamatkan dari rasa sakit; ia diselamatkan oleh kemampuannya untuk mengubah cara ia merespons rasa sakit itu. Inilah inti dari trauma-informed care: mengubah hubungan kita dengan trauma, bukan menghapusnya. Sore gagal menyelamatkan Jo bukan karena ia tak cukup berjuang, melainkan karena Jo sebagai subjek otonom harus menemukan keinginannya sendiri untuk berubah. Cinta, sejatinya, bukan alat untuk memaksa perubahan.
Lewat
lapisan-lapisan ini, film Sore bukan hanya menyentuh, tapi juga
reflektif. Film ini berbicara kepada mereka yang
pernah mencintai seseorang yang tak bisa diubah. Ada rasa frustrasi yang sangat
nyata ketika segala bentuk perhatian, nasihat, bahkan pengorbanan tidak
membuahkan perubahan yang kita harapkan. Tapi justru di situlah kedewasaan
cinta diuji. Kita diajak bertanya: apakah mencintai artinya menuntut, atau
justru merelakan? Yandy seolah ingin mengingatkan kita pada
keterbatasan dalam mencintai. Seingin apa pun kita mengubah seseorang, waktu
dan kehendaknya sendiri yang akan menentukan. Dan ketika akhirnya Jo memutuskan
untuk menemui ayahnya, bukan karena Sore memaksanya, melainkan karena ia
merasakan longing yang tak terjelaskan—saat itulah perubahan sejati
lahir.
Sore yang terlalu ingin
menyelamatkan Jo dengan
mengatasnamakan cinta, justru kerap menjelma
menjadi bentuk kontrol yang terselubung. Dalam budaya populer yang sering
menggembar-gemborkan cinta sebagai penyembuh segala luka, film ini justru
meruntuhkan mitos itu. Sering kali, cinta tak menyembuhkan, melainkan hanya
menemani luka berjalan. Dan itu cukup. Karena dalam hidup, yang bisa kita
harapkan bukan kebahagiaan yang utuh, melainkan kehadiran yang utuh dalam
ketidaksempurnaan. Hal ini sejalan dengan filosofi Najwa Zebian: “The one who broke
you cannot heal you. You have to heal you.”
Jo memang pada akhirnya dia tidak berjumpa secara langsung dengan
ayahnya, tetapi dia sempat melihat interaksi ayahnya dengan anak dan istri
barunya. Yandy tak ingin menunjukkan bahwa relasi anak dan orang tua ini terasa
jernih. Dibiarkannya semua mengapung di dalam benak penonton, yang diselubungi
tanya dan rasa penasaran sampai akhirnya menguap dan berubah menjadi pemaknaan
yang baru dan membiarkan penonton menafsirkannya sendiri. Jo hanya menulis
surat pendek saja di sebuah foto lawas dia dengan papanya saat berusia 4 tahun:
Apa yang papa lakukan tidak
pernah
dapat dibenarkan.
Tapi terima kasih untuk 4
tahun
terbaik yang papa pernah berikan.
Saya memaafkan.
Jo.
Dalam konteks budaya Indonesia, isu ayah yang absen sering kali tidak dibicarakan secara terbuka. Perlu dipahami bahwa isu fatherless yang dialami Jo adalah kehilangan figur ayah yang gagal menghadirkan keamanan emosional dan kasih sayang yang utuh. Ayah yang hadir secara fisik tetapi absen secara emosional (safe haven) meninggalkan luka batin yang destruktif dan memicu Jo untuk lari ke adiksi. Film ini tidak menyodorkan rekonsiliasi yang dramatis atau pelukan air mata, tapi membiarkan luka itu sembuh dengan cara yang tenang dan perlahan. Surat Jo bukan surat pemaafan yang agung, melainkan sebuah pengakuan manusiawi: bahwa meski luka tak bisa dihapus, penerimaan tetap bisa tumbuh.
Fatherless issue atau ketiadaan peran ayah dalam proses bertumbuhnya seorang anak berhasil dipotret oleh Yandy dengan sedemikian kompleksnya. Hilangnya figur ayah dalam keluarga akan menghadirkan kepincangan bagi seorang anak dalam memproses emosinya dengan baik. Seringnya, untuk lari dari rasa sakit itu mereka akan mengonsumsi konten porno, pemakaian narkoba, gila kerja, senang belanja sesuatu yang tidak perlu dan hal-hal yang menimbulkan adiksi lain untuk dijadikannya sebagai coping mechanism atau pelarian. Setelah Jo menulis surat itu kepada ayahnya, semua candu itu seketika luruh dan membuat ia berhasil melepaskan beban pikirannya selama ini yang membatasi geraknya.
Dalam
pendekatan trauma-informed care, proses penyembuhan tidak dimulai dari
penghapusan luka, tapi dari pengakuan bahwa luka itu ada dan telah menjadi
bagian dari tubuh. Jo tidak menyembuhkan dirinya karena diperintah, tetapi
karena ia melihat betapa luka itu telah mengubah dirinya menjadi seseorang yang
ia sendiri tak mengenalinya.
Saat ia menulis surat untuk ayahnya, itu bukan hanya akta pemaafan, tapi
deklarasi kemerdekaan atas masa lalu.
Dalam pendekatan neuropsikologi, trauma masa kecil yang tidak terselesaikan cenderung menetap dalam tubuh dan mengkristal dalam kebiasaan kompulsif. Para ahli seperti Dr. Gabor Maté (yang berfokus pada hubungan antara trauma, emosi, dan penyakit somatik) serta Louise Hay (yang mempopulerkan ide penyembuhan diri lewat pikiran) menegaskan bahwa adiksi dan penyakit adalah manifestasi fisik dari rasa sakit emosional yang tertekan. Jo bukan hanya berhenti minum alkohol dan merokok, ia juga menanggalkan kebiasaan menunda hidupnya dan mulai makan buah-buahan serta rajin berolahraga. Saya menilai hal ini bukanlah tentang gaya hidup sehat semata, tetapi proses menjadi manusia utuh yang mampu merasakan rasa sakit tanpa melarikan diri—sebuah proses penyembuhan somatik yang sesungguhnya.
Nilai Estetika dan Pengalaman Batin yang Penuh
Di luar
narasi dan tema, kekuatan film ini juga terletak pada tata visual dan
auditifnya. Satu per satu adegan disusun seperti lukisan: komposisi simetris,
warna lembut, dan permainan cahaya senja yang menjadi simbol waktu liminal.
Penggunaan aurora borealis—sebuah fenomena alam yang langka—bukan hanya gimmick
visual, tetapi alegori dari momen epifani, keindahan yang lahir dalam
keheningan.
Aurora
juga berfungsi sebagai kontras terhadap waktu yang mekanistik. Jika waktu Jo
dan Sore adalah pengulangan yang linear dan melelahkan, aurora justru acak, tak
bisa ditebak, dan tak bisa diulang. Ia muncul hanya saat kondisi tertentu
bertemu, sebagaimana cinta yang tulus hanya muncul saat dua jiwa saling
membuka. Ini menjadikan aurora bukan sekadar latar estetis, melainkan pusat
filosofis dari film ini: bahwa dalam hidup, keindahan muncul bukan karena
kendali, tapi karena perjumpaan.
Aurora
dalam film ini memuat simbolisme yang berlapis. Dalam sains, aurora adalah
hasil dari partikel matahari yang menabrak atmosfer bumi—benturan keras yang
justru menghasilkan keindahan. Ini metafora dari relasi Jo dan Sore:
benturan-benturan antara luka dan cinta, antara pengulangan dan kehilangan,
yang pada akhirnya melahirkan kesadaran baru. Ketika Jo berkata bahwa perubahan
iklim bukan sekadar mencairnya es, tapi hilangnya keindahan. Kita seperti digamit ke
dalam pesan yang lebih luas: dunia berubah bukan karena kehancuran, tetapi
karena kita gagal merawat apa yang indah.
Selain itu, music scoring dan
penggunaan lagu Terbuang dalam Waktu dari
Barasuara menjelang akhir film menciptakan
resonansi emosional yang subtil namun mendalam. Musik tak berlebihan, tapi tahu
kapan harus hadir dan kapan harus diam. Ketepatan hadirnya
suara dalam film ini layaknya napas kedua dari visual yang disuguhkan. Dalam
pendekatan teori sinema Gilles Deleuze, suara dalam film bukan hanya penjelas,
tetapi pelipat dimensi. Ketika musik hadir, ia menggenapi keheningan bukan
sebagai pengisi, tapi sebagai pengingat bahwa di balik sunyi, ada sesuatu yang
sedang pecah dalam jiwa. Keheningan
dalam beberapa adegan justru memperkuat rasa, mengingatkan kita pada kekuatan diam sebagai ruang
kontemplasi.
Penggunaan
simbol juga cukup banyak mulai dari air
mata jatuh di dataran es di awal film, centong nasi yang mencuri perhatian sebagai penanda dalam mengungkapkan makna di
sebuah pameran foto agar kita mudah ingat adegannya, lalu foto-foto di Ladakh,
jam 8.25 yang konon diambil dari
tanggal pernikahan Yandy dan istrinya, hingga loop berulang-ulang sampai plot twist di akhir film yang
membuat saya speechless. Semua elemen itu menyatu dalam
ritme sinematik yang tidak terburu-buru, tidak menggurui, tapi perlahan-lahan
menanamkan perasaan ke dalam tubuh penonton. Kita merasakan seolah-olah berada di dunia Sore dan Jo, bukan sekadar
menonton film.
Yandy Laurens tampak tidak ingin mengatur tempo film berdasarkan kepuasan penonton, melainkan berdasarkan perjalanan batin karakternya. Ini pilihan yang berani di tengah era film yang semakin cepat dan cerewet. Kita diajak untuk tidak hanya menonton, tetapi diam bersama, tenggelam dalam ritme batin yang acap kali tidak nyaman sebagaimana proses melepaskan orang yang dicintai.
Melampaui
Duka, Menerima Takdir
Di akhir
film, ketika Jo akhirnya menatap aurora seorang diri dan berkata dalam hati
bahwa ia merasakan kerinduan, kita tahu: perubahan telah terjadi. Bukan karena
ia dipaksa, tapi karena ia diberi ruang untuk memutuskan. Dan Sore? Ia telah
melepas. Ia tak lagi berkata “istri kamu dari masa
depan”, melainkan “istri kamu selamanya”. Kalimat ini bukan deklarasi posesif,
tapi penutup dari proses panjang menuju keikhlasan.
Pada akhirnya, film ini adalah refleksi spiritual. Bahwa manusia bukan
pengatur waktu. Bahwa cinta tidak menjamin hidup bersama. Bahwa pengulangan
tidak selalu memberikan hasil
yang berbeda. Dan bahwa, sebagaimana dikatakan Sore, “langit selalu menerima senja apa adanya.” Ini bukan soal mengubah masa lalu, melainkan mencapai keikhlasan (surrender) sebagai
bentuk tertinggi penerimaan takdir. Keikhlasan sejati, seperti yang ditunjukkan
Sore, bukanlah kepasrahan tanpa daya, melainkan penyerahan hasil setelah
perjuangan maksimal. Inilah yang menjadi resolusi bagi konflik antara kehendak bebas dan
determinisme dalam film.
Dalam
filsafat determinisme, setiap peristiwa telah ditentukan oleh rantai kausalitas
yang tak bisa diganggu. Tetapi Sore tidak menampik kehendak bebas
manusia (free will);
ia justru menyarankan bahwa kehendak yang sejati lahir bukan dari penolakan
terhadap takdir, tetapi dari penerimaan yang sadar. Ketika Sore berhenti
mencoba menyelamatkan Jo, dan Jo akhirnya mengubah dirinya sendiri, film ini
seolah berbisik bahwa perubahan sejati tak datang dari luar, tapi dari dalam
diri—saat kita berhenti berperang dengan waktu.
Usai menonton film ini saya perlu teman untuk diskusi karena banyak hal
yang menimbulkan pertanyaan, tetapi justru dalam perbedaan pandangan itu yang menjadikannya bernilai dan bukti keberhasilan sebuah karya. Tidak semua pertanyaan
terjawab, tapi semua rasa disuguhkan dengan jujur. Sore: Istri dari Masa
Depan bukan hanya film tentang cinta, tapi juga tentang bagaimana kita
menanggapi kehilangan, bagaimana kita berdamai dengan masa lalu, dan bagaimana
kita memberi ruang pada mereka yang ingin pergi.
Film
ini menyadarkan kita bahwa meninggalkan, tidak selalu berarti berhenti mencintai. Ada cinta
yang justru tumbuh ketika kita membiarkan orang lain berjalan tanpa kita.
Itulah mengapa film ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi tentang kedewasaan
emosi yang kerap terlambat kita pelajari.
Yandy semacam menulis surat cinta yang menolak untuk posesif. Sore tidak memaksa dikenang, tidak memaksa dikenali. Dalam akhir film yang tak dielaborasi secara gamblang, ketika Sore dan Jo berjabat tangan di galeri pameran, Yandy menutup film ini dengan kesadaran puitik: bahwa meski wajah bisa terlupa, tapi rasa “saudade” yang pernah tinggal tidak akan pergi. Cinta tidak harus abadi untuk tetap bermakna.
Dan mungkin itu pelajaran terbesar yang bisa kita petik dari Sore: bahwa yang membuat cinta berarti bukan lamanya ia tinggal, tapi bagaimana ia dihayati, dikenang, dan dilepas dengan utuh. Dalam dunia yang terobsesi dengan kepastian dan kontrol, film ini justru mengajarkan keikhlasan sebagai bentuk tertinggi dari mencintai. Kita semua, seperti Sore, mungkin hanya bisa berharap: jika aku harus hidup sepuluh ribu kali, kuharap aku akan selalu memilihmu—meski akhirnya bukan untuk bersama selamanya.
“Dan pada akhirnya kita berubah bukan karena takut kehilangan, tapi karena merasa dicintai.”
Cilegon, 19 Juli 2025
_________________________________________________
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Bradshaw, P. (2015). Hirokazu Kore-eda and the
art of the gentle masterpiece. The Guardian.
https://www.theguardian.com
Buber, M. (1970). I and Thou (W. Kaufmann, Trans.). Scribner. (Original
work published 1923)
Deleuze, G. (1986). Cinema 1: The Movement-Image (H. Tomlinson & B.
Habberjam, Trans.). University of Minnesota Press.
Frankl, V. E. (1963). Man’s Search for Meaning. Beacon Press.
Hay, L. (1984). You Can Heal Your Life. Hay House. (Implisit dalam
pembahasan mind-body connection).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2024). Saudade. https://kbbi.kemdikbud.go.id
Kübler-Ross, E. (1969). On Death and Dying. Macmillan.
Film dan Lagu

Comments
Post a Comment