[Cerpen] Perangkap Pikiran Beni Kahar (Koran Tempo, 05 November 2023)

November 08, 2023

Ilustrasi oleh Imam Yunni

Kuminta Gala berdiri di depan gubuk sementara aku melewati rerimbunan semak-semak. Tak kurang dari sepuluh langkah di depan ada sebuah pohon ingas besar yang sudah puluhan tahun tumbuh di sana. Aku seperti keluar dari mesin waktu yang membawaku kembali ke dua puluh tahun lalu saat kami pertama kali mengunjungi tempat ini. Tidak ada yang berubah selain pohon-pohon yang terlihat lebih besar dan bisa membunuhku dalam satu ronde.

Gala, sahabatku sejak kecil. Kami bersekolah di tempat yang tidak membolehkan siswanya bercita-cita selain menjadi petani atau nelayan. Ayahku petani, ayah Gala nelayan dan memang rata-rata pekerjaan orang tua kami di sekolah tak jauh-jauh dari dua profesi itu. Kami hanya lulusan sekolah dasar. Suatu kali, ketika laba-laba sedang menenun sarangnya di dinding kelas, seorang guru bertanya padaku, “Kahar, apa cita-citamu?” Sebelum menjawab aku berhasil menangkap lalat yang hinggap di meja belajarku.

“Aku ingin menjadi burung elang, Bu!” ucapku setangkas cakar elang menggamit induk ayam. Teman-teman di kelas kompak tertawa, termasuk guru yang tak ingin kuingat namanya itu. Hanya ada satu anak di kursi depan yang tidak menertawakanku, matanya jalang menusuk wajahku. Ia Beni, tetapi aku lebih senang memanggilnya Gala, orang yang kelak akan menjadi karibku.

“Kenapa saat itu kau tidak tertawa?” tanyaku ketika kami sama-sama beranjak remaja dan mencoba menyalakan rokok kami sendiri.

“Kau mencuri cita-citaku. Aku membencimu saat itu,” katanya polos penuh kejujuran.

“Serius? Lalu kenapa kau tak menolak saat kuajak bermain?”

“Karena aku ingin tahu bagaimana caranya menjadi elang. Aku ingin diam-diam mencurinya darimu.” Kali ini giliran ia yang mengembuskan asap rokoknya ke udara. Aku baru memahami cara berpikir Serigala Hutan itu. Ia benar-benar sahabat yang bisa kuandalkan. Nyaris semua ladang di kampung pernah kami curi buahnya dan tak sekalipun kami tertangkap.

Siang ini, aku mengajaknya mengunjungi lagi pohon ingas besar di salah satu alas tempat bermain kami dulu. Kami menggali tanah di dekat pohon itu dan menaruh sebagian besar apa pun yang pernah kami curi bersama. Ada peti buah berisi senjata api dan senjata tajam yang diam-diam kami kumpulkan, sekarung uang untuk jaga-jaga, kotak berisi perhiasan, buku-buku dan barang-barang langka, lukisan serta banyak benda berharga lainnya. Meski gemar mencuri, aku selalu menyempatkan waktu untuk membaca buku. Lebih tepatnya mencari taktik pencurian dari buku-buku detektif. Buku lebih aku percaya ketimbang teori di internet. Aku konseptor, Gala eksekutor. Ia selalu menuruti apa pun arahan yang kuberikan, atau arahan orang yang meminta kami menjadi pencuri bayaran.

Sudah cukup lama kami tak datang kemari. Aku kembali ingat tempat ini setelah basecamp kami sering dilewati orang-orang yang mencurigakan. Puncaknya, ketika surat kaleng itu kami temukan di halaman rumah. Aku tak memiliki petunjuk siapa orang yang melakukan itu, yang jelas ia tikus licik yang tahu di mana aku menaruh CCTV dan merusaknya tanpa meninggalkan jejak. Suratnya berisi sebuah ancaman agar kami berhenti mencuri di beberapa wilayah yang ia sebutkan. Persaingan bisnis rupanya.

“Kita harus segera cari tempat persembunyian yang aman,” kataku kepada Gala. Kami tak takut pada si tikus licik, kami hanya khawatir ia bermain curang dan melaporkan kami ke polisi.

Selagi aku mengatur rencana dan memindahkan barang curian yang kubawa dari basecamp, tiba-tiba terdengar suara gesekan semak-semak yang mencurigakan.

“Lang!” Rupanya Gala yang berlarian dengan napas terengah-engah, tak seperti biasanya.

“Ada apa?” tanyaku mengambil beberapa senjata api.

“Gawat! Aku mendengar suara tembakan di seberang sungai. Tak tahu pasti siapa yang melepaskan peluru itu, tapi kita mesti waspada,” sarannya. Aku melemparkan kepadanya revolver berpeluru penuh untuk jaga-jaga. Segera aku merapikan galian tanah itu, menutupnya dengan pintu kayu dan menguburnya dengan sisa-sisa tanah galian. Aku tak ingin harta berharga kami dicuri. Gala membantuku membuat seolah di bawah pohon itu tak ada apa-apa yang disembunyikan. Kami menebar dedaunan di sekelilingnya agar tampak natural.

“Sebaiknya kita menjauh dari sini,” pintaku. Kami bergegas masuk ke dalam hutan dan memastikan sekeliling tak ada siapa pun yang menyadari keberadaan kami.

***

Seminggu kemarin, kami mendapatkan kabar bahwa polisi cyber sedang mencari buronan bernama samaran Elang dan Serigala. Mereka menebarkannya di internet dengan memberikan petunjuk wajah buronan yang disempurnakan oleh teknologi AI (Artificial Intelligent). Menurutku memang mirip dengan penyamaran wajah kami yang tertangkap CCTV di sebuah bank. Beruntungnya Gala pandai membuat topeng samaran sebelum kami melancarkan pencurian. Jangan dulu panik, pesan Gala. Wajah yang disebar itu berbeda jauh dengan wajah asli kita, bahkan struktur kerangkanya pun tak ada kemiripan sama sekali, katanya. Walaupun begitu, aku tetap waspada. 

Aku sempat mengajak Gala untuk kabur ke luar negeri, tetapi menurutnya tahan dulu. Kita masih dalam pengawasan. Semua internet dikontrol oleh penguasa, itu karenanya kami tak punya ponsel. Kami berkirim kabar lewat jaringan satelit.

Uang hasil dari pencurian sudah kami amankan di bank-bank negara lain. Meski saat beroperasi kami hanya berdua, tetapi sebenarnya kami memiliki jaringan komplotan yang cukup banyak di luar sana, mereka menjamin keamanan kami selama bagian yang dimintanya terpenuhi. Awalnya Gala tak setuju melibatkan orang lain, tetapi demi keselamatan, aku meyakinkan dia bahwa kita tetap akan mendapatkan bagian yang lebih besar.

Gala tampaknya tak khawatir soal nyawanya, ia telah lama hidup sebatang kara, dan boleh dibilang aku satu-satunya orang yang paling dekat dalam hidupnya. Kami selalu bersama sedari kecil. Kami paham watak satu sama lain kecuali satu hal: percintaan. Setiap kali aku membahas soal perempuan yang aku sukai, Gala tak mau mendengarkan, entah aku salah menangkap atau tidak tetapi ia tampak seperti orang yang cemburu. Sejauh yang aku ingat, ia memang tak pernah menceritakan siapa orang yang dicintainya, tetapi setiap aku bangun tidur, ia selalu sudah ada di sebelahku padahal kamar kami terpisah.

Jelas aku tak ingin mati konyol di tengah hutan seperti ini. Sebelum menginjak usia kepala empat, aku pun ingin merasakan menikah dan membangun rumah tangga. Entah sampai kapan aku bekerja bertaruh nyawa seperti ini? Sialnya, Gala pernah bersumpah seumur hidupnya hanya untuk mencuri!

“Lang, bagaimana selanjutnya?” Pertanyaan Gala membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya sesaat lalu mencari cara keluar dari sana tanpa dicurigai. Selagi kami berlari, dari atas kami terdengar suara embusan angin yang tak wajar. Ketika kami mendongak, ada drone bersenjata berukuran besar melayang mendekat ke arah kami. 

“Lebih baik kalian menyerah dan jangan melakukan hal konyol. Kalian tak akan bisa kabur!” Entah suara siapa, yang jelas asalnya dari drone itu. Buru-buru aku dan Gala bersembunyi sambil menembak ke arah drone itu. “Sudah kubilang, jangan konyol kalau kalian ingin selamat!” kali ini suara seseorang itu meninggi.

Drone yang dikontrol dari jarak jauh itu membalas tembakan kami. Dua pelurunya bersarang tepat di lengan kanan dan paha kiriku. Pistol dalam genggamanku seketika saja jatuh bersama tubuhku yang hilang keseimbangan. Gala lekas menarikku masuk di antara pepohonan yang tinggi menjulang. Kami berusaha menghindari drone menyeramkan itu.

“Biar aku gendong, ya. Tenang semua akan baik-baik saja, Lang!” ucapnya gemetar. kepalaku pening. Aku berusaha mencegah Gala membopong tubuhku.

“Gala, tinggalkan aku di sini. Sebaiknya kau pergi lebih dulu. Aku akan aman di sini,” aku berusaha meyakinkannya.

“Tak mungkin aku meninggalkanmu, sekalipun nyawaku taruhannya!” balas Gala menjatuhkan air matanya. Ia memelukku erat sekali, aku menahan sakit di lengan dan pahaku.

Aku percaya dengan perkataannya barusan. Sejak kami saling mengenal, ia lebih banyak mengalah dan menuruti permintaanku, termasuk kemudian ia setuju nama Elang kupakai sebagai nama samaranku. Ia memang Serigala Hutan, petarung yang tangguh tak takut apa pun. 

Selagi kami mengatur tempo, terlihat ada dua helikopter mendarat  di lapangan yang jaraknya tak jauh dari tempat kami bersembunyi. Dari penampakan helikopternya, sepertinya ia mencari berkas negara yang berhasil kami curi beberapa waktu lalu. Tak salah lagi, ini pasti ulahnya!

“Angkat tanganmu!” Kami tak sadar di sekeliling sudah ada beberapa orang yang mengarahkan laser senjatanya ke wajah kami. Aku sudah meminta berulang kali agar Gala melarikan diri, tetapi kepalanya sekeras batu. Ia mengangkat kedua tangannya dan menyerah. 

“Tolong segera obati dia!” katanya sedikit memaksa. Dasar bodoh! Kita hanya akan jadi sasaran tembaknya!

“Bawa mereka!” Salah seorang dari mereka memberi komando. Lengan dan pahaku mereka bebat dengan kain. Pendarahan seketika saja berhenti, meskipun aku harus menahan sakit yang teramat. Mulut kami sama-sama disumpal dan tangan kami diborgol. Kami dibawa menuju ke salah satu helikopter. Terlihat dari sorot mata jalangnya, Gala mengkhawatirkanku.

“Beni, kenalkan ini Dokter David, mulai sekarang beliau yang akan merawatmu, ya,” ucap Fredy berusaha mengecohku. Ia seolah berkata kepada Beni tetapi matanya selalu mengarah kepadaku.

“Hai, Beni. Pak Fredy banyak bercerita tentangmu,” katanya berusaha meraih bahuku. Aku mengelak meski gagal. “Matahari siang hari cukup terik, lebih baik kita kembali ke ruanganmu, ya, minum obat dulu. Sore nanti kita kembali ke taman ini,” lanjutnya sembari mengajakku berjalan.

Tak lama kami sampai di ruangan, Fredy membuka paksa mulutku, ia seperti memaksaku menelan pil beracun itu. Lalu ia bersama dua orang lainnya membaringkanku, sementara orang asing berseragam putih itu menyuntikkan sesuatu ke lenganku.

“Beni Kahar selalu merasa ada seseorang di sampingnya, Dok. Semua ini terjadi setelah kedua orang tuanya wafat dan ia gagal memperjuangkan tanah sengketa miliknya. Kini ia hidup sebatang kara....” 

Sayup-sayup aku mendengar cerita karangan Fredy, ingin rasanya aku membela diri, tetapi tubuh dan mataku terasa berat. Samar-samar Gala pun lenyap dari hadapanku. Hal terakhir yang kuingat, aku tertidur lelap sekali, dan saat terbangun kau pasti tak akan percaya, kalau kemudian aku benar-benar berubah wujud menjadi seekor elang.

Cilegon, 15 Oktober 2023


*) Cerpen ini pernah tayang di website: Koran Tempo

You Might Also Like

2 komentar

  1. Sedap bacanya, terimakasih pak Ade. ❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah mampir dan membacanya kakak~

      Delete