[Cerpen] Melihat Ikan Berenang (Majalah Kandaga, Edisi X - April 2019)

November 09, 2023

image by istockphoto.com

Budi tidak sekolah. Saban pagi, ketika teman seusianya berangkat ke sekolah, ia malah memilih pergi ke Sungai Cimakmur dekat Kantor Kelurahan. Orang tuanya tidak bisa melarang. Mereka ingin anak semata wayangnya itu mengenyam pendidikan formal, namun apa daya, mereka tak memiliki biaya yang cukup. Bapak dan Ibu Budi buruh tani, mereka bekerja untuk sawah milik Pak Lurah.

“Hati-hati Budi, awas tercebur,” ucap Ibu Budi di ujung jembatan. Ia dan suaminya meninggalkan Budi sendiri di tepi sungai yang arusnya cukup deras. Meski begitu, orang tua Budi masih bisa sesekali mengawasi anaknya dari tengah sawah.

Budi anak yang periang. Ia paling senang ketika melihat ikan-ikan berenang. Suatu kali Pak Rahmadi mengajak Budi ke pemancingan. Bocah tujuh tahun itu girang bukan main. Ia melonjak-lonjak sewaktu bapaknya sibuk memasang umpan. Gerakannya susah diatur dan orang-orang melihatnya seolah ia ingin melompat ke tengah kolam. Di pemancingan itu ada satu kolam berukuran 5x3 meter dengan kedalaman seperempat meter. Air di kolam itu jauh lebih jernih ketimbang yang berada di kolam pemancingan. Sengaja memang, karena ikan-ikan dalam kolam jernih itu biasa dijadikan lauk bagi pemancing yang tak membawa bekal dan tak kuat menahan lapar.

“Hati-hati Budi, tanahnya licin,” ucap bapaknya menarik lengan Budi. Ketika lengah sedikit, bocah berambut kriwil itu sudah ada di tepi kolam.

“Mau lihat Ikan, Pak,” serunya sambil berjongkok. Tangan mungilnya ia angkat seperti hendak menggapai-gapai ikan mas dan ikan mujahir di kolam itu. Sebagian pemancing merasa terganggu karena sesekali ia berteriak kegirangan, sebagian lainnya gemas melihat tingkah Budi.

Angin bertiup cukup kencang ketika Budi mencipratkan air ke tengah kolam. Lalu sampah plastik dan daun-daun kering yang gugur jatuh di atas kolam. Budi resah. Ia jadi kesulitan melihat ikan-ikan yang berenang. Ingin meminta tolong pada bapaknya tapi bapaknya sedang serius memancing. Kalaupun ia bilang, pasti bapaknya malah mencegah dan memintanya untuk duduk tenang di saung pemancingan.

Budi tak habis akal. Ia diam-diam mengambil roti dan beberapa umpan milik bapaknya. Lalu ia kembali dan melemparkan umpan-umpan itu ke sisi kolam yang tidak tertutupi sampah plastik dan daun-daun kering.

Budi merasa idenya berhasil. Ikan-ikan beralih posisi dan lekas berebut memakan umpan yang Budi berikan. Ia senang bisa kembali melihat ikan-ikan penuh warna itu berenang ke sana-kemari. Akan tetapi rupanya tidak bertahan lama. Angin kembali bertiup dan plastik kembali bergeser. Daun-daun semakin banyak yang gugur dari pohon mangga yang mengitari pemancingan. Arahnya semakin sulit ditebak. Sebagian badan kolam tertutupi daun-daun kering dan sampah-sampah. Budi kesal. Andai ia bertubuh besar seperti bapaknya, ia pasti bakal langsung menyingkirkan daun-daun dan sampah plastik pengganggu itu dari kolam.

“Biar Paman bersihkan dulu, ya, kolamnya,” seseorang mendekat dari arah belakang. Budi menoleh dan melihat lelaki itu. Budi menyingkir sesaat dan memerhatikan seseorang yang hendak menolongnya.

“Baik, Paman. Terima kasih,” ucap Budi senang. Ia perhatikan baik-baik bagaimana cara lelaki itu membersihkan kolam.

“Apa itu namanya Paman?”

“Ini jaring buat membersihkan sampah-sampah di kolam pemancingan ini.”

Budi mengangguk. Ini kali pertama ia melihat tongkat seukuran satu meter lebih dengan jaring di ujungnya. Ia teringat, bapaknya memiliki jaring yang mirip dengan milik paman itu. Jaring yang biasa dipakai untuk menaruh ikan setelah berhasil dipancing. Sampah-sampah yang sudah dijaring lekas dimasukkan ke dalam karung sampah. Budi memerhatikan baik-baik, ia tidak mau terlewat sedikit pun.

Di tepi sungai, Budi mengingat-ingat kejadian di kolam pemancingan itu. Ia membawa benda yang kurang lebih sama dengan milik lelaki yang ia lihat tempo lalu. Ia membuatnya sendiri. Ada rasa bangga dalam dirinya. Di rumah, ia menemukan gagang sapu yang sudah patah. Lalu ia mencari-cari jaring yang sudah rusak milik bapaknya dan tidak dipakai lagi. Ia mencari pengait. Ada satu gulung tali plastik yang ia temukan di samping pintu dapur. Ia lekas mengambilnya dan segera menyatukan dua benda itu.

Bapaknya yang baru pulang dari sawah bertanya apa yang sedang dilakukan Budi. Bocah itu tak begitu menghiraukannya. Ia fokus dengan apa yang ia kerjakan. Akan tetapi ia tampak kesulitan mengikat tali itu. Naluri seorang bapak pun muncul. Meski Pak Rahmadi sempat dicueki oleh anaknya, tapi ia tetap menolong.

“Sini biar Bapak bantu.” Budi diam saja saat bapaknya mengambil alih pekerjaannya. Tidak perlu menunggu waktu lama, jaring untuk membersihkan sampah itu pun telah jadi. Budi senang sekali. Ia peluk bapaknya dan meminta maaf karena tadi sempat tak memedulikannya.

Maka pagi hari yang cerah ini, Budi tampak semakin gembira. Ikan-ikan di sungai sebentar lagi akan bisa ia lihat. Meski jenis ikannya berbeda dengan yang ada di pemancingan, tapi itu tidak mengecilkan sedikit pun minatnya. Dengan telaten dan penuh kesabaran Budi menjaring sampah-sampah yang menyangkut di bibir sungai. Daun-daun juga tak luput dari penangkapannya.

Saking fokusnya, Budi sampai tak peduli dengan suara sahut-menyahut dari toa yang riuh ditambah teriakan tak putus-putus di pelataran Kantor Kelurahan. Di sana ada sekumpulan mahasiswa dengan almamater merah tengah menuntut keadilan pada Pak Lurah.

“Dua periode menjabat, tetapi jalanan penghubung antar kampung masih rusak. Sungai meluap banjir. Revitalisasi sungai cuma omong kosong! Kalau tak bisa melayani rakyat, kami menuntut Pak Lurah untuk turun dari kursi jabatannya!”

“Setuju!!!” Suara mahasiswa yang berjumlah lebih dari limabelas itu terdengar kompak. Pak Lurah sudah diberitahu oleh stafnya kalau hari ini bakal ada demo. Karenanya ia tidak ada di kantor. Para pegawainyalah yang dibuat kewalahan. Mereka menelepon polisi untuk meminta penjagaan, tetapi hampir satu jam polisi tak kunjung datang. Ini bukan kali pertama ada demo di Kantor Kelurahan, jadi polisi pun lama-lama bosan meladeni panggilan dari pegawai kelurahan. Apalagi tak ada uangnya, keluh mereka suatu hari.

Sementara itu, Budi berhenti menjaring sampah-sampah di sungai. Ada satu benda yang lupa ia bawa. Karung sampah. Segera ia bangkit dan lekas berlari menuju rumah. Namun Budi berhenti sesaat melihat sekumpulan mahasiswa itu. Ia tengah membayangkan dirinya berada di sana. Apa mungkin bila ia sekolah akan rajin mengunjungi Kantor Kelurahan sambil teriak-teriak begitu juga? Pasti akan menyenangkan bila seusai demo langsung ke sungai untuk melihat ikan-ikan, pikirnya. Belum ia menjawab tanyanya sendiri, ia lekas berlari. Jauh lebih penting memikirkan bagaimana caranya melihat ikan-ikan berenang ketimbang mengurusi hal demikian.

Jarak antara rumahnya dan Kantor Kelurahan lumayan jauh. Biasanya ia menghabiskan waktu sepuluh menit, itu pun sambil berlari kecil. Orang tuanya biasa ia tinggalkan jauh di belakang. Demi mengisi kekosongan, Budi mengingat-ingat kejadian lucu sepulang dari pemancingan dengan bapaknya.

Pak Rahmadi memiliki motor butut keluaran tahun ‘80-an. Suara sember knalpotnya pun berbeda dari motor kebanyakan. Asap knalpotnya hitam pekat. Tetangganya sering memuji Pak Rahmadi seperti, “Sudah tahun segini, motor begitu masih bisa jalan. Pak Rahmadi jago sekali merawatnya,” pujian itu di telinga Pak Rahmadi tak lebih dari sekadar kelakar dan ejekan. Ia memilih diam atau tersenyum sambil lalu.

Dalam perjalanan pulang dari pemancingan hujan rintik-rintik. Pak Rahmadi bilang pada anaknya bakal berteduh bila melihat gubuk, rumah atau semacamnya. Tapi sisi kiri dan kanan jalanan saat itu hanya sawah yang membentang. Akhirnya Pak Rahmadi menggeber motornya lebih cepat. Budi merangkul badannya erat sekali. Hujan yang semakin deras membuat pandangan Pak Rahmadi kabur. Matanya berembun. Roda depan sepeda motornya mulai hilang arah saat melalui jalanan licin yang legok-mendukul dan penuh lubang. Belum sempat Budi berteriak, ban motornya terjebak pada lubang yang tergenangi air hujan. Tangan Pak Rahmadi tak bisa mengendalikan stang motornya. Mereka berdua terjatuh dari motor. Hujan seolah merasa menang telah bersekongkol dengan lubang jalanan. Sawah-sawah diam menyaksikan, sementara sore terus menggelinding berganti malam. Lampu jalanan tak ada satu pun yang hidup. Sudah sejak lama tak kunjung datang perbaikan. Sepanjang jalan itu, tak ada satu pun orang yang melintas. Anehnya, bapak-anak itu, ketika tubuhnya basah kuyup dan bermandikan lumpur, mereka malah bertukar tawa dan saling ejek.

“Seru, Pak, kayak naik kora-kora....”

“Lho, emang kamu pernah ke Dufan, Le?”

“Belum, Pak. Cerita teman-teman, sih, begitu, Pak. Goyang-goyang, hahaha....” Budi kembali tertawa, disusul bapaknya yang mendaratkan jitakan sayang di kepalanya.

“Ah, ngawur, kamu, Le. Hayuk kita pulang,” Pak Rahmadi bangkit dan lekas mendorong motor bututnya. Mereka tidak lagi menaikinya karena mesin motor sudah kemasukan air. Tidak bisa lagi dinyalakan.

Sehari setelahnya, Pak Rahmadi membawa karung-karung bekas gabah. Ia mengajak Budi untuk mencangkul tanah dan batu-batu kerikil di belakang rumahnya. Mereka bekerjasama memasukkan tanah dan batu kerikil itu ke dalam karung. Ketika tiga-empat karung sudah terisi penuh, satu-satu mereka unjal ke tempat lubang jalanan kemarin yang membuat mereka terjatuh.

Di siang yang terik, dengan telaten Pak Rahmadi menumpahkan tanah dan kerikil itu ke dalam lubang-lubang. Budi bertugas menginjak-jejaki tanah dalam lubang supaya padat. Anak-anak, kawan seusianya yang baru pulang sekolah penasaran apa yang dilakukan Budi. Ketika Pak Rahmadi membawa karung kedua dan seterusnya, anak-anak itu bergantian melompat-lompat di atas tanah dalam lubang itu. Mereka seperti menemukan permainan baru.

“Ah, aku tahu di mana Bapak menaruh karung bekasnya,” ucap Budi memotong ceritanya sendiri. Berkat mengingat kejadian lubang jalanan di perkampungan itu, ia jadi tahu di mana ia harus mengambil karung untuk tempat sampahnya. Kini ia sudah sampai di pekarangan rumah. Karung-karung itu ditaruh dekat kayu-kayu yang sudah dipotongi untuk bahan bakar tungku ibunya.

Budi kembali berlari menuju sungai. Ia melewati lagi jalanan berlubang yang pernah ditambal bapaknya. Lubang itu menganga lagi karena hujan yang terus-menerus datang, juga kendaraan besar seperti truk yang berkali-kali melintas. Andai setiap orang membawa karung berisi tanah dan kerikil, Budi yakin lubang-lubang di jalanan kampung itu pasti bisa ditutupi. Pekarangan bapak kecil, pikir Budi, kalau terus-terusan digali bisa-bisa lubang itu pindah ke belakang rumahnya.

Suara azan dzuhur berkumandang. Budi telah sampai di depan Kantor Kelurahan. Mahasiswa itu masih berada di sana. Mereka berhenti berteriak-teriak. Sebagian duduk sebagian lagi keliling membagikan sebungkus nasi dan sebotol air mineral. Melihat itu membuat Budi refleks memegangi perutnya. Ia juga lapar. Ibu dan bapaknya masih di sawah. Ia harus sabar menunggu beberapa jam lagi sampai mereka beranjak pulang.

“Sini, Dek...,” seru salah seorang laki-laki dari mahasiswa itu. Budi melihat ke belakang, ternyata tidak ada orang. Mahasiswa itu mengangguk, memberi isyarat kalau Budilah yang ia panggil.

“Ini, dimakan, ya,” ujar seorang perempuan berambut kuncir dan menyampirkan almamater di bahunya itu menyodorkan satu bungkus nasi dan satu botol air mineral.

“Makasih, Kak,” ucap Budi kegirangan. Ia menerima pemberiannya itu lalu lekas pergi menuju ke belakang Kantor Kelurahan. Ketika melintas ia melihat wajah para pegawai yang mengintip dari jendela. Wajah penuh kesal dan rasa cemas. Sebab biasanya, setengah jam setelah itu, para mahasiswa kembali berdemo dan berteriak-teriak.

Budi gegas membuka nasi bungkus itu. Ia cuci tangan dengan air mineral terlebih dahulu. Makannya lahap sekali, persis seperti ikan mujair yang ia beri makan tempo hari di kolam ikan. Selesai dengan urusan perut, Budi kembali disibukkan dengan menjaring sampah-sampah. Air sungai itu tidak terlalu keruh. Sesekali di pinggir sungai ada ikan-ikan cenang dan ikan wader, yang besarnya tidak lebih dari jari kelingking Budi. Sesekali Budi iseng mengarahkan jaringnya ke gerombolan ikan-ikan itu, tetapi sia-sia. Ikan-ikan pandai menghindari jaring. Budi semakin penasaran. Apalagi sesekali terlihat ikan bayong (gabus), ikan sepat dan ikan betik di balik akar pohon yang menjuntai ke bibir sungai.

“Ikannya semakin banyak!” Budi bersemangat, persis suara teriakan menggebu-gebu mahasiswa di depan Kantor Kelurahan. Mereka sudah memulai aksinya lagi.

“Turunkan Pak Lurah!”

“Turun!!!”

“Perbaiki jalanan!”

“Setuju!”

“Revitalisasi sungai Cimakmur!”

“Setuju!!!”

Setiap kali sang orator berseru, mahasiswa lain pasti bersemangat menyahut sambil mengepalkan tangannya ke udara. Waktu terus berjalan, belum juga ada tanggapan dari orang kelurahan. Warga lain yang melintas memilih untuk berhenti sejenak, menonton pertunjukkan gratis itu. Mereka tak mau menyia-nyiakannya. Bahkan ada yang merekam dengan kamera ponselnya.

Dari sawah, para petani yang sedang bekerja tercuri perhatiannya. Termasuk bapak dan ibu Budi yang memilih berhenti sejenak. Ia khawatir terjadi sesuatu pada anaknya. Maka ibu Budi memilih untuk memeriksanya, sementara Pak Rahmadi melanjutkan pekerjaannya, mereka berbagi tugas.

Sementara itu, para mahasiswa semakin anarkis. Mereka mendorong-dorong gerbang putih setinggi dua meter di depan Kantor Kelurahan itu. Ancaman demi ancaman pun akhirnya mencuat.

“Kalau Pak Lurah tidak mau menemui kami, kami bakal melaporkan temuan perihal suap dan tindak korupsi pada pembangunan hotel di depan desa ini!”

“Betul! Usut sampai tuntas!”

Mendengar seruan-seruan itu, para pegawai tercekat. Rasanya mereka ingin segera pulang, tetapi sayangnya jalan keluar satu-satunya sudah dihadang. Mereka harus menghadapi mahasiswa-mahasiswa itu. Sekretaris lurah tampak panik. Ia lekas menghubungi Pak Lurah yang sedang bersembunyi entah di mana.

“Halo....”

“Pak, ini gawat, Pak, gawat! Situasinya sudah genting!”

“Gawat bagaimana?”

“Bapak harus segera kemari. Satu-satunya cara meredam amarah mereka dengan kehadiran Bapak untuk lekas memberikan tanggapan.” Keringat di dahinya tak terbendung lagi. Napas sekretaris itu tersengal-sengal seperti habis dikejar harimau. Seruan, “turunkan Pak Lurah!” menjadi suara latar percakapan mereka via telepon itu.

“Iya, iya! Sabar!” Pak Lurah kehabisan akal. “Saya bakal ke sana! Pastikan kalian masih di dalam kantor. Awas kalau kabur!” Pak Lurah betul-betul tertekan.

Kantor polisi jaraknya tidak terlalu jauh dari Kantor Kelurahan. Ternyata, Pak Lurah sejak pagi tadi sudah berada di sana. Mau tidak mau akhirnya ia mesti menampakkan diri. Sopirnya lekas membawanya ke kantor dengan mobil dinas. Di belakang beberapa motor dan mobil polisi mengawal laju mobilnya. Tak perlu waktu lama, ia kini sudah berbelok memasuki jalan kecil menuju depan gerbang kantor. Kedatangannya disambut sorak-sorai penuh dengki dari para mahasiswa. Warga yang sebagian besar tak tahu apa-apa itu turut meramaikan dengan menyumbang teriakan-teriakannya.

Mahasiswa membelah barisan. Mereka memberi jalan untuk mobil Pak Lurah memasuki pelataran Kantor Kelurahan. Gerbang yang sejak pagi digembok segera dibuka oleh satpam yang sejak tadi bersembunyi di dalam gardunya.

Dalam situasi yang genting dan gaduh itu, Budi masih asyik-masyuk dengan kegiatannya menjaring sampah-sampah. Satu dua ikan cenang dan wader berhasil ia tangkap. Segera ia mencari plastik lalu diisi air untuk menaruh ikan-ikan itu. Akan tetapi rupanya ia tak puas sampai di sana. Target berikutnya adalah ikan gabus yang terus-menerus menampakkan diri di akar-akar dan lumpur dekat bibir sungai. Budi menuruni tanah landai. Kaki-kaki lincahnya mencari pijakan pada batu-batu kali yang tersebar di pinggir sungai.

Budi merentangkan tangannya. Ia merendahkan badan sampai dekat sekali dengan air sungai. Kesepuluh jemarinya menangkup, siap untuk menangkap. Hati-hati sekali ia melangkah, matanya fokus pada ikan gabus seukuran tiga jari orang dewasa. Sejauh ini, masih aman. Ikan itu belum terusik dan kabur dari pandangan Budi. Satu..., Budi menghitung dalam hati, dua..., tiga!

“Jebyuuurrr!!!” Budi terpeleset. Kakinya tak kuasa menopang berat tubuhnya sendiri. Sekian detik ia belum menampakkan diri. Di sebelah timur, ada seorang mahasiswa yang tengah  buang air kecil di alang-alang samping Kantor Kelurahan. Sejak tadi ia melihat apa yang dilakukan bocah itu. Suara kecipak airnya berhasil mencuri perhatian. Dia lekas menunaikan hajatnya. Kemudian kembali ke kerumunan mahasiswa lainnya.

“Tolong! Tolong! Ada bocah tenggelam!”

Tepat ketika ia berteriak, Pak Lurah baru keluar dari mobilnya. Warga panik. Para mahasiswa berusaha tak mengindahkan tetapi gagal. Begitu pula dengan Pak Lurah dan para pegawai kelurahan. Dari sisi barat, Ibu Budi semakin yakin anaknya tercebur. Karena orang-orang berbondong-bondong berlari ke arah sungai. Ia pun semakin menambah lajunya, meski sesekali kakinya terperosok dalam lumpur sawah.

“Bapak! Bapak! Budi, Pak!” ia menoleh berharap suaminya lekas menyusul langkahnya. Pak Rahmadi tidak begitu panik, ia yakin anaknya pasti baik-baik saja.

Salah seorang mahasiswa lekas menuruni tanah landai itu. Ia menapaki satu demi satu bebatuan. Budi yang tadi ada di sisi sungai, kini terbawa arus hingga ke tengah. Mahasiswa itu melompat. Ia sempat kehilangan bocah itu, beruntung satu tangan Budi menggapai-gapai ke udara. Ibu Budi sudah tiba di jembatan.

“Cepat itu bantu! Cepat!” seru Pak Lurah yang kembali mencuri perhatian.

“Budiii!” teriak Ibu Budi tak kuasa menahan tangis. Bapaknya muncul kemudian di belakangnya. Mahasiswa tadi membawa Budi ke pinggir sungai. Keduanya sama-sama kuyup. Ia segera dibantu oleh kawan-kawannya. Pak Rahmadi mendekat. Ia menggendong anaknya itu ke sisi kiri dinding kantor kelurahan.

“Kamu nggak apa-apa, Le?”

Mulut Budi megap-megap. Ia tengah mengatur napasnya. Satu tangannya menggenggam sesuatu. Telinga Pak Rahmadi mendengar sesuatu yang membuatnya tenang.

“Pak, Budi berhasil menangkap ikan bayong, nih...,” ucapnya lemah membuka telapak tangan kanannya. Seekor ikan yang sama megap-megapnya meluncur. Ekornya menggelepar-gelepar di tanah. Warga yang mengerumuninya mengembuskan napas lega. Ibu Budi merangkul anaknya itu memberikan kehangatan. Pak Lurah memutar arah. Ia berjongkok menghadap Budi yang sudah terduduk.

“Karung-karung itu,” katanya menunjuk ke dekat alang-alang, “punyamu?”

Budi mengangguk. Lalu ia menambahkan, “itu sampah-sampah yang menghalangi Budi melihat ikan-ikan berenang, Pak. Jadi Budi jaring sampah dari sungai biar Budi bisa lihat ikannya,” Budi tersenyum lebar. Bapaknya mengelus-elus kepala Budi seraya membalas senyumannya.

Mahasiswa-mahasiswa yang tadi berdemo, terdiam mendengar jawaban bocah tujuh tahun itu. Mereka bertukar tatap satu sama lain. Lalu kedua mata mereka berkaca-kaca. Di dadanya, ada sesuatu yang terasa menampar-nampar, cukup keras sekali.[]

Cilegon, 10 September 2018

You Might Also Like

0 komentar