[Cerpen] Beruk Gantarawang; Si Baplang dan Kutukan yang Menyertainya (Majalah Bahana Brunei, Julai - Ogos 2020)

November 09, 2023

Image by istockphoto.com

Badrun tak henti-hentinya melompat ke sana kemari. Jari-jarinya yang kasar dan kokoh sesekali mengeruk-ngeruk tanah di bawah kakinya. Tak ayal kuku-kukunya kotor terisi butir-butir pasir dan tanah. Ia kemudian menendangi cangkul, mesin bor, kayu, besi-besi, dan apa saja yang ada di dekatnya. Ia tampak tak peduli dengan rasa sakit setelah menendanginya. Suasana gaduh itu mengusik seorang mandor yang sedang berteduh di sebuah pohon rindang. Akhirnya ia datang menghampiri kerumunan para buruh di bawah sana.

“Bagaimana awalnya dia bisa begini?” ia tampak begitu geram. Matanya terbuka lebar dan alisnya ia kerutkan meminta penjelasan pada Arief, teman kerja Badrun. Namun, ia jelas tak mengetahui kenapa hal itu bisa terjadi. Ia hanya melihat Badrun turun dari mobil beko, kencing di semak-semak, menyalakan sebatang rokok, menghisapnya kuat-kuat, lalu semua terjadi begitu saja; Badrun seperti menjelma seekor beruk jantan. Bola matanya pun mendadak merah. Dan kini, ia tengah guling-guling di tanah kerukan. Hal gilanya, ia memakan tanah itu lalu menyemburkannya ke wajah si mandor!

“Berengsek! Singkirkan dia dari wajahku!”

Lengan Badrun yang kekar lekas dipegangi teman-temannya yang tadi sedang ngopi. Ini hari baru menjelang siang, matahari pun sedang terik-teriknya. “Keparat betul Si Badrun, benar-benar ganggu waktu kita ngaso saja!” dengus Iwan, teman Badrun yang berkepala plontos. Waktu istirahat adalah barang langka bagi mereka. Apalagi kalau sudah ada mandor berkumis baplang itu. Ia akan sangat detil menilai setiap pekerjaan yang dilakukan. Di matanya, semua hal yang dikerjakan buruhnya adalah kesalahan.

“Kau yang tak lulus SD, apa kau yakin begitu cara memegang cangkul yang benar? Bapakmu, kan, buruh juga, kau mesti banyak belajar dari dia,” ucapnya suatu kali pada Badrun. Saat itu, kejadiannya kalau tak salah ingat lima hari lalu, di bawah bukit. Badrun diam saja, memang. Tetapi, ia lekas melemparkan cangkulnya itu ke sembarang arah, lalu dengan lagak sok berani mendatangi si mandor. Ia tidak melakukan apa-apa kecuali menatap mandornya lekat-lekat.

“Percuma, kau tidak akan berani melakukan apa-apa padaku. Lihat Bapakmu, sudah berapa tahun ia bekerja menjadi buruh. Sebaiknya kau belajar tatakrama darinya.” Mendengar kalimatnya itu, ingin rasanya aku menarik kumisnya yang lebat itu hingga tercerabut dari atas bibirnya.

Badrun di bawa ke sebuah gubuk. Di mata Si Baplang, Badrun kembali baik-baik saja seperti semula. Ia berpikir kalau Badrun hanya sedang mempermainkan dirinya. Dengan sisa-sisa pasir yang masih melekat di wajahnya, ia lekas ke gubuk untuk melabrak Badrun. Namun kali ini dengan cara mengendap-endap. Ia tampak betul seperti hansip yang ingin menangkap basah maling jemuran.

Aku tak tahu benar apa yang menimpa Badrun. Pagi tadi, semua tampak normal-normal saja. Kami mengobrol, ia membuatkan kopi, menyodorkan rokok pada teman-temannya dan menghisap bersama sebelum jam kerja dimulai. Aku masih memikirkan hal apa yang membuatnya kesurupan? Apa karena ia merusak sesuatu? Atau karena kencing sembarangan di semak-semak tadi?

Entahlah, yang jelas, kami memang berada di tempat yang boleh dibilang terkenal mistis. Banyak sekali perusahaan yang kemudian mundur tak jadi ambil proyek ini. Berbeda dari mereka, pemilik perusahaan kami memang kelewat keras kepala. Sekalipun mesti menghadapi demo masyarakat setempat.

“Ini akan jadi lahan basah untuk meraup banyak keuntungan. Daerah ini seksi bila dijadikan tempat wisata dan perumahan. Kalian mesti pandai melihat peluang,” ucap manajer perusahaan suatu hari.

Ada satu-dua pegawainya memasang wajah resah. Mereka tampak ragu ingin membuka mulut dan menyela atasannya bicara. Tapi melihat gerak-geriknya, si manajer seolah tahu apa yang hendak mereka sampaikan. “Kalian tak perlu khawatir soal demo-demo itu, bagi-bagikan uang atau makanan pada mereka, mulut mereka pasti bungkam. Biar saya yang urus. Tugas kalian kerja! Dan kamu...,” ia menunjuk para mandor, “kamu juga, pastikan para buruh ini bekerja dengan benar dan tepat waktu. Kalau saya dengar ada yang tidak serius bekerjanya, kalian lihat saja konsekuensinya nanti.”

Begitulah kenapa kemudian aku bisa berada di sini. Aku tidak berani mendekat atau memberi kode kepada Badrun kalau Si Baplang sedang berjalan ke arahnya—meskipun aku tak paham Badrun betul kesurupan atau hanya sandiwara.

Yang terjadi kemudian justru di luar dugaan. Siang itu, tak ada pertanda apa-apa. Kami semua yang berada di tempat kerukan panik. Sebab, Iwan, Jali, dan Arief yang tadi memboyong Badrun ke gubuk kini juga kesurupan. Bersamaan!

Tingkahnya tidak jauh beda dengan yang terjadi pada Badrun sebelumnya. Badrun yang masih terlihat lemas berusaha bangkit menghidari mereka. Ketiganya sangat liar dan menggila. Gubuk bambu mereka goyang-goyang, bahkan Jali menaiki atapnya. Iwan jingkrak-jingkrak lalu memanjat pohon kelapa sembari sesekali garuk-garuk kepala. Sementara Arief, dia berteriak hingga melengking lalu melempari batu-batu ke segala arah.

Suasana siang itu, di tempat pengerukan benar-benar kacau-balau. Ditambah, pagar seng yang dibuat mengitari tempat kerja kami roboh didorong oleh warga yang demo di luar. Sebagian dari kami tunggang-langgang mencari tempat persembunyian. Kami takut menjadi sasaran kemarahan warga, meski sebenarnya kami bekerja di sini pun terpaksa. Bekerja untuk perusahaan ini karena memang tak ada pilihan lain. Kami mesti bertahan hidup, dan melalui kerja ini kami bisa mendapatkan gaji untuk membiayai keluarga kami.

Aku berlari ke sebuah semak-semak di bawah pohon rindang yang tadi jadi tempat istirahat mandor kami. Bicara soal mandor, ke mana si Baplang itu sembunyi? Aku sampai lupa mengintai langkahnya. Aku juga sudah tidak bisa menemukan Badrun. Yang masih jelas bisa kulihat dari gubuk ini hanya tiga orang buruh yang kerasukan itu.

Taneuh urang teu bisa dibeuli, indit dararia! Geura mabur kaditu! Ulah coba-coba daratang deui kadie![1] Teriakan warga menyebar rata ke tempat galian. Mesin dan alat berat milik perusahaan mereka lempari dengan apa pun yang mereka genggam di tangan.


Gubuk tempat tiga orang malang itu pun jadi sasaran empuk. Ada warga yang membawa korek api dan bensin. Ingin aku berlari keluar dari kampung ini tapi entah apa aku akan selamat dari amuk mereka kalau sampai tertangkap. Warga akhirnya menemukan Iwan, Jali, dan Arief yang bertingkah aneh. Tawa warga kampung puas sekali, aku bisa mendengarnya jelas meski dari jarak yang lumayan.


Deuleu, kan, kokolot geh moal cicingeun. Kabeh nu diruksak pasti aya balesanna![2] Tiga orang buruh malang itu jadi bulan-bulanan warga. Mereka ditertawai dan dikitari sambil dipermainkan. Aku kesal! Mestinya para keparat dari perusahaan ada di sini. Mereka kudu merasakan bagaimana berada dalam situasi genting macam ini!


Selagi aku menyusun strategi untuk kabur dari kepungan warga, aku melihat si kumis Baplang muncul dari dalam tanah galian. Apa sejak tadi ia bersembunyi di sana?


Kaki-kakinya membawa ia berlari lintang-pukang ke tempat persembunyianku. Gawat, warga bisa melihat ia berlari ke sini. Aku mesti bagaimana?


Si Baplang sudah makin dekat. Tubuhnya yang tambun membuat langkahnya tak lebih lebar dari lompatan babi hutan.


“Di situ kau rupanya. Awas, minggir!” ia mendorong aku dari semak-semak. Sementara warga sudah mengendus persembunyiannya. Tak ayal mereka melempari kami dengan batu dan bambu. Aku berusaha menghindar namun akhirnya habis juga keberuntunganku.


Brukk!


Sebongkah batu mendarat ke keningku. Sesaat suasana hening. Lalu sewaktu kubuka mata semua tampak berputar. Tangan kananku memegang dahi, lalu saat aku lihat, darah segar mengalir darinya. Mataku kemudian kunang-kunang saat warga sudah semakin dekat.


Tapi, aku tak melihat ke mana Si Baplang pergi. Ke mana ia lenyap? Terakhir aku hanya melihat ia melompat di semak-semak. Sisanya hanya gelap yang kulihat. Kepalaku terasa berat melebihi dua sak semen yang biasa kupanggul di punggung.

***


Aku terbangun dengan kepala yang masih pening. Suasana rusuh dan riuh tadi seketika lenyap. Aku berada di sebuah tempat yang sangat asing. Apakah ini akhirat?


Sewaktu aku mau berdiri, seseorang dari belakang menepuk bahuku.


“Dari mana kau berasal? Apakah kau tersesat di sini?” Aku tak mengenal ia siapa. Aku betul-betul terkejut mendapati wajahnya berwarna merah padam, dengan tanduk di kedua sisi kepalanya. Ke mana Badrun anakku? Anak satu-satunya dan hanya ia yang aku miliki. Aku menyesal mengajaknya bekerja ketika semestinya ia melanjutkan sekolah.


“Pergilah segera sebelum kau dan bangsamu binasa,” Lelaki berjubah di hadapanku memperingati, setengah mengancam.


“Bagaimana caranya keluar dari sini? Aku sedang berada di mana?”


“Dunia para roh. Negeri gantarawang. Tempat makhluk-makhluk terkutuk berkumpul. Hanya manusia dengan perilaku dan pikiran tersesat yang bisa masuk ke sini dan tidak akan bisa kembali.” Aku sungguh takut. Bagaimana kalau aku terjebak di sini?


“Lihat kerumunan di bawah sana, lelaki itu datang bersamaan denganmu. Bawa ia pergi dari sini. Gerbang gantarawang ada di sana. Cukup menyebut nama Tuhanmu maka kau akan bisa kembali ke tempatmu semula.” Kutatap lekat-lekat, apakah lelaki yang ia maksud adalah Badrun?


“Kau ingat dengan empat manusia yang bertingkah aneh siang hari itu?” Aku mengangguk. Menyimak kalimat apa yang akan ia sampaikan berikutnya. “Para leluhur dan roh di Negeri Gantarawang ini merasa terusik dengan keberadaan kalian. Kalian para perusak, datang hanya untuk menghancurkan tempat kami. Empat orang tadi hanya sebuah peringatan. Kalau kalian tak lekas pergi maka para roh penghuni kampung ini akan murka. Lekas sampaikan pada bangsamu itu!”


Aku menyesali kenapa sampai aku terlibat sejauh ini. Dalam hati aku terus menyebut asma Allah. Lalu aku berlari ke arah gerbang yang ia tunjukkan tadi. Lelaki yang berada di kerumunan sana aku yakin bukanlah Badrun. Ia tak pernah memakai pakaian serba hitam semacam itu di tubuhnya. Ia malah mirip seekor beruk(?)


“Bapak! Bangun, Pak. Bapak!” Sayup-sayup aku mendengar suara. Kubuka perlahan mataku yang berkunang-kunang. Kulihat sekitar tampak diselimuti kabut. Apakah tadi aku hanya bermimpi?


“Pak, Bapak. Ini Badrun. Sadarlah!” aku mendengar isak-tangis. Saat aku benar-benar sadar, ternyata ia Badrun anakku. Lekas ia memelukku.


Taneuh adat mah teu meunang diopenan, teh meunang dikukumaha, teu meunang digali sembarangan, kunaen urang kota sarakah jasa?[3]


Amukan warga mulai terdengar lagi. Tubuhku dibantu Badrun untuk duduk dan bersandar pada sebuah pohon rindang. Suara-suara protes tadi masih menggaung, terus meninggi hingga ke langit. Kami selamat, pikirku.


Lalu, di depan gubuk yang terbakar, aku melihat warga menyumpah-serapahi seseorang yang meringkuk tanpa pakaian. Kuperhatikan baik-baik siapa ia yang berjongkok di sana? Mulanya kukira tiga orang teman Badrun. Tapi dugaanku salah. Dalam pandanganku, sosok yang berada di tengah kerumunan itu adalah seekor beruk. Persis. Ia beruk yang aku lihat di Negeri Gantarawang....


Depok-Cilegon, 31 Juli 2019

 


________________________
*) Cerpen ini dimuat Majalah Bahana Brunei Darussalam dan termaktub dalam buku antologi "Pengakuan Jalak Rarawe" (FSM, 2019) dan buku saya "Sahut Kabut" (Indonesia Tera, 2022) dengan judul "Si Baplang dan Kutukan yang Menyertainya".

 

 

 



[1] “Bumi kami tak dapat dibeli. Pergilah kalian! Pergilah ke muasal kalian! Jangan coba-coba kembali lagi ke sini!”

[2] “Lihat saja, leluhur tidak akan tinggal diam. Semua yang dirusak pasti ada balasannya.”

[3]  “Tanah adat tak boleh diganggu. Tak boleh diapa-apakan. Tak boleh digali sembarangan. Kenapa orang kota begitu tamak?”

 

You Might Also Like

0 komentar