[Self-Depression] Cermin dalam Kamar Mandi (Kurungbuka.com, 28 Agustus 2020)

September 21, 2020


Sejak dua bulan lalu, tetangga rumah kami, yang masih saudara dekat dari bapak saya, merehab total rumahnya. Sebagaimana bongkar-bongkar rumah, segala barang-barang yang ada di dalamnya mesti dikeluarkan. Kau bisa bayangkan betapa ramainya halaman rumah kami dari lemari pakaian, kursi tamu, rak piring, meja makan, serta segala tetek-bengeknya. Bahkan, karena hal itu saya seringkali menolak secara halus ketika ada kawan yang ingin berkunjung ke rumah. Saya katakan kalau keadaan di lingkungan rumah saya saat ini sedang berantakan, dan itu tak elok dipandang, belum lagi debu dari bongkahan tembok, kegiatan petukang mengaduk semen, suara ricuh ponakan yang datang dari jauh, yang datang bersama orang tuanya untuk sekadar menengok bongkaran rumah saudaranya, dan banyak hal lainnya serupa itu. Maka, saya akan menawarkan kepada kawan saya untuk bertemu di luar semisal kafe terdekat.

Seminggu kemarin, renovasi rumah saudara kami sudah 90% selesai. Satu per satu barang-barang di masukkan ke dalam. Betapa tampak lapang halaman rumah kami, yang sebetulnya ukurannya segitu-gitu saja. Saya jadi ingat kisah Abu Nawas ketika didatangi seorang tetangga yang mengeluhkan soal rumahnya yang sempit. Alih-alih menyuruh mengosongkan isi rumahnya, Abu Nawas malah meminta si pemilik rumah untuk membeli beberapa hewan piaraan secara bertahap; mulai dari domba, beberapa unggas, hingga anak unta dan memeliharanya di dalam rumah.

Namun, saat si tetangga melapor, ia justru semakin tersiksa karena rumahnya semakin penuh sesak. Usai itu, Abu Nawas meminta si pemilik rumah untuk menjual satu per satu hewannya hingga habis tiada tersisa. Ketika esoknya Abu Nawas bertanya, “Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang?” dengan wajah berseri-seri si tetangga menjawab, “Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu wahai Abu Nawas.” Mendapati jawaban itu, Abu Nawas berkata, “Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan, maka Tuhan akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.”

Kisah Abu Nawas di atas barangkali tak ada kaitannya dengan apa yang ingin saya ceritakan, ini hanya satu cara saya untuk memanjangkan tulisan di kolom redaksi ini saja hahaha....

Baiklah, kembali ke awal. Saat pembangunan rumah hampir selesai, tentu selalu ada barang-barang sisa yang tidak dimasukkan semua ke dalam rumah “baru” tersebut. Maka, teteh saya, ketika melihat ada satu cermin berukuran sedang yang tak lagi dipakai, dengan inisiatifnya yang tinggi, beliau segera merawati cermin itu, membersihkannya, dan tanpa pikir panjang menaruhnya di kamar mandi kami. Pagi tadi, saat saya hendak mandi, saya agak terkejut dengan kehadiran cermin itu. Memang, dulu kamar mandi kami menyediakan cermin. Tapi, karena pernah direnovasi, cermin yang dulu, tak memungkinkan di taruh lagi di sana. Kami cukup lama tak pernah melihat cermin di kamar mandi. Makanya, ketika pagi sewaktu saya hendak mandi dan melihat cermin itu, saya dibuat terkejut.

Di hadapan cermin, saya mendapatkan pemaknaan lain. Bagai diingatkan bahwa sebelum bertemu banyak orang, kita seolah dipaksa untuk bercermin tentang diri kita sendiri dalam ketelanjangan. Itulah saat di mana kita muncul sebagai diri kita sendiri; tanpa riasan, tanpa pakaian mahal, bahkan sampai menanggalkan jabatan dengan tanpa topeng-topeng kepalsuan di balik wajah kita sebenarnya. Selain membersihkan tubuh, ternyata kita mesti membersihkan pikiran dan hati kita sebelum berjumpa banyak orang. Betapa rahasia terdalam dari dirimu akan terlihat semuanya di hadapan benda mati yang memantulkan apa pun yang ada di hadapannya itu.

Lantas, masih pantaskah untuk kita berlaku pongah? Merasa paling baik di antara yang lain hanya karena kita memiliki kedudukan yang dipuja-puji banyak orang? Hanya karena kita merasa kaya-raya dan memiliki segalanya, yang apa pun seolah bisa dibeli, sekalipun kepercayaan dan harga diri orang lain? Yang tak terima dengan penilaian orang lain tentang diri kita lantaran kita merasa mulia di antara mereka?

Pantaskah hal-hal demikian untuk diagung-agungkan dan ditunjukkan kepada banyak orang? Sementara di hadapan cermin dalam kamar mandi, kita hanya sebongkah daging diberi nyawa dan diberi pikiran. Itu saja. Tak ada hal lain yang bisa kita tunjukkan selayaknya awal mula kita dilahirkan dan nanti bakal dikuburkan pasca-kematian.

Saya dibuat merenung-renung cukup lama di hadapan cermin dalam kamar mandi itu. Sampai kemudian terdengar suara emak membuyarkan segala pikiran saya: “De, cepetan mandinya. Gantian! Ini Teteh kamu mau berangkat kerja!”

Sebaris kalimat yang keluar dari mulut emak menyadarkan saya, kalau saya seorang pengangguran yang bangun terlalu pagi. Lantas segera saya jawab seruan emak, “Iya, Mak. Sebentar lagi!” jawab saya singkat usai mencabut bulu hidung di depan cermin. Ternyata itulah kegunaan lain dari cermin. Gegas saya mengambil handuk, keluar kamar mandi, memakai baju dan celana, lantas membuka laptop dan menuliskan semua cerita ini. Terima kasih sudah bertahan membacanya sampai titik setelah kata ini. :)


link tulisan: https://www.kurungbuka.com/cermin-dalam-kamar-mandi/

You Might Also Like

0 komentar