Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    Poster official by Starvision. 
    Score: 7,8/10.

    Salah satu hal yang mungkin paling "gila" untuk dilakukan sebagai kreator atau sineas adalah membuat sekuel dari karya terbaiknya—untuk tidak menyebutnya masterpiece. Itu pula yang dilakukan Ernest pada film Cek Toko Sebelah.

    Saat pertama kali penayangannya di tahun 2016, film CTS berhasil melambungkan nama Ernest Prakasa sebagai sutradara dan penulis skenario pendatang baru yang paling bersinar.

    Terbukti dari perolehan nominasi dan penghargaan pada ajang perfilman bergengsi tanah air yang diterimanya, satu di antaranya CTS memenangkan kategori penulis naskah skenario asli terbaik di Festival Film Indonesia tahun 2017.

    Tahun ini, dengan gagahnya Ernest membuat film CTS2 setelah sebelumnya berhasil dengan musikal dan series dari IP yang sama. Sebagian besar penggemar karyanya gembira, sebagian lagi ragu-ragu, dan sebagian kecilnya tidak peduli. Saya ada di gerombolan kedua. 

    Saya pernah dikecewakan, dan ini sering saya ulang-ulang di catatan dan postingan saya, soal karya fenomenal Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Karya itu, sukses hanya pada jalur puisi, tidak untuk novel trilogi apalagi filmnya. Kekaguman saya pada puisi itu jadi berkurang akibat ternodai oleh "ambisi" mengulang keberhasilan masa lalu. 

    Ernest sendiri mengakui, dalam beberapa wawancara, alasan muncul CTS2 tak lain untuk menarik penonton ke bioskop pasca-pandemi karena ia dan Starvision, PH yang menaunginya ada kekhawatiran soal itu. Walau ternyata, pemulihan masyarakat dan kerinduannya menonton di bioskop malah meningkat lebih cepat dari perkiraan.

    Kenapa CTS1 yang dipilih untuk dikembangkan, alasannya jelas, karena film ini secara jumlah penonton mencapai jutaan dan terus diminati hingga saat ini—saya termasuk yang menontonnya berulang kali. 

    Beruntungnya, film CTS2 ini tidak gagal. Sayangnya, tidak bisa pula disebut sukses menjadi lebih baik dan melampaui film terdahulunya. Seperti yang saya katakan di awal, karya yang sudah sebagus itu, kalau dipaksa untuk ditarik-tarik lebih panjang ceritanya, pasti sulit. Walaupun, di beberapa kasus boleh dikatakan berhasil. Avatar contohnya, eskalasinya terus meningkat dari yang pertama ke yang kedua. 

    Dari segi cerita, isu yang dibawa oleh Ernest dan Meira jauh lebih serius dibanding sekadar mewariskan toko kelontong seperti yang pertama. Kali ini para karakter ditunjukkan backstory-nya yang kelam dan traumatik.

    Namun lagi-lagi, terlalu banyak sub-plot yang dijejalkan sehingga fokus penonton jadi terbagi-bagi. Kita akan melihat masalah yang terjadi dengan Erwin (Ernest) dan Natalie (Laura Basuki) perihal pernikahan, dan belum selesai dengan itu, muncul masalah baru di keluarga kecil Yohan (Dion Wiyoko) dan Ayu (Adinia Wirasti) tentang keinginan punya anak, yang isunya digali sedalam itu. 

    Belum lagi perkara "pergantian pemain" Natalie yang sebelumnya diperankan oleh Giselle, kini diganti posisinya oleh Laura Basuki. Memang, pemilihan Laura adalah keputusan yang sangat tepat, tetapi masalahnya kemudian adalah, terjadi ketimpangan yang tidak bisa ditutupi oleh Ernest. 

    Terlalu banyak beban pikiran yang mesti ditanggung Ernest secara personal. Ia merangkap banyak tugas: aktor, sutradara, dan penulis skenario. Sehingga yang terjadi adalah tampak di beberapa adegan, Ernest terlihat bekerja lebih keras dan kesulitan mengimbangi akting Laura yang brilian. 

    Kamu akan tahu maksud saya ketika nanti menonton langsung di bioskop. Ketika ada satu scene long take, feeling yang mesti diterima penonton jadi serba tanggung, karena beban ceritanya ada di Ernest selaku Erwin si tokoh utama. Ia tampak betul kewalahan meladeni kepungan aktor ternama dalam satu scene itu. Padahal, itu salah satu bagian terpenting dari plot yang dibangun sejak awal. Semua rahasia yang tersembunyi, terbongkar di sana. 

    Secara komedi, walau tak sebanyak film pertama, porsi di sekuelnya ini tetap pas dan enak dinikmati. Kuartet geng Capsa masih selucu itu meski pakai format komedi yang sama, tapi justru menjadi ciri khas tersendiri tektokan dan celetukan masing-masing tokohnya—mereka bisa nih dijadiin spin-off. 

    Terlepas dari itu semua, penulisan skenario Ernest dan Meira masih layak diacungi jempol. Penulisan rapi, eksekusi ciamik, hanya masih kurang tegaan untuk menerapkan teori "killing the darling" pada naskahnya. Mereka sesayang itu sampai semua sub-plot dipaksa masuk—padahal bisa, kan, disimpan untuk series atau prekuel berikutnya. 

    Kehebatan mereka dalam penulisan bisa dilihat pada babak tiga alias pada menit menjelang akhir film. Ernest boleh dibilang cukup jago "mengakhiri" problematika yang ruwet itu dengan menawarkan alternatif solusi yang masuk akal dan tidak ada kesan memaksa. 

    Kunci dari cerita CTS2 ini ada pada Koh Afuk (Chew Kin Wah). Aktingnya yang effortless berhasil membuat saya menangis sejadi-jadinya saat ia datang untuk menghibur Erwin anak bungsunya, dan menekan egonya sebagai ayah untuk menghadapi Agnes (Maya Hasan), mamanya Natalie. Gila, sebesar itu pengorbanan orang tua demi anak-anaknya 😭

    Film yang hangat dan layak ditonton sebagai penutup akhir tahunmu. Kemarin saya mengajak Emak saat menonton di hari pertama penayangannya yang bertepatan dengan Hari Ibu. Kami menangis bersama di bioskop dan itu menjadi salah satu momen paling berharga.

    Film ini mengajarkan banyak hal tentang bagaimana seharusnya menghargai pendapat orang tua terhadap anak, dan begitu pun sebaliknya. 

    Cilegon, 23 Desember 2022

    Continue Reading

     

    Poster film by Netflix.com

    Score: 8,5/10.

    Satu lagi film action-comedy buatan Indonesia yang berada di top level. Menurut saya, film Mencuri Raden Saleh secara teknis kamera dan gambar sudah cukup oke, namun, saat menonton ini terasa betul The Big 4 garapan Timo Tjahjanto ini jauh lebih matang. 

    Cerita The Big 4 berpusat pada Dina (Putri Marino), detektif yang dikenal lurus dan memegang teguh prinsip sebagai anggota polisi. Suatu hari, Dina mendapati sang ayah, Petrus (Budi Ros) meninggal secara misterius.

    Ia berupaya mengungkap misteri kematian ayahnya dengan mengikuti petunjuk yang ditemukan. Berbagai petunjuk membawa Dina ke sebuah pulau tropis bernama Pulau Bersi. 

    Di sana ia berjumpa dengan keempat mantan pembunuh bayaran bernama Topan (Abimana Aryasatya) alias si pemimpin, Jenggo Si Sniper (Arie Kriting), Alpha Si Garang (Lutesha), dan Pelor si Umpan (Kristo Immanuel).

    Singkat cerita, mereka jadi berkawan dan bekerja sama demi mengungkap siapa pembunuh ayah Dina. 

    Tokoh-tokoh dan karakternya begitu kuat dan sangat berbeda-beda cara berpikirnya. Satu sama lain memiliki perannya masing-masing dan justru hal itulah yang membuat film ini menarik. 

    Teknik kamera, alur cerita, dan adegan bertarungnya terasa sangat fresh untuk film Indonesia. Film Timo kali ini membawa angin segar bagi perfilman tanah air, dan beruntungnya tayang di Netflix sehingga bisa ditonton lebih banyak orang di seluruh dunia. 
    Kemarin, film ini sempat menduduki peringkat 1 worldwide sebagai film yang banyak ditonton. Memang layak menyandang predikat itu. Dan, film ini tidak akan membosankan untuk ditonton berkali-kali! 

    Bagi yang tidak suka kekerasan dan darah, kayaknya pikir ulang buat nonton. Walaupun adegan penembakan dan pembunuhan di film ini terasa seru dan menyenangkan alih-alih menyeramkan. 

    Kristo kentang, lu pendatang baru di dunia sinema, tapi akting lu gilaaaa!! Bener-bener mencuri perhatian, bisa mengimbangi Abimana dan Putri Marino!! 

    Cilegon, 21 Desember 2022


    Continue Reading

    Poster film Avatar 2

    Score: 9,5/10.

    "𝙎𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝘼𝙮𝙖𝙝 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙣𝙙𝙪𝙣𝙜𝙞, 𝙞𝙩𝙪𝙡𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙖𝙩 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙢𝙖𝙠𝙣𝙖."

    Berbeda dengan filmnya yang pertama, film kedua Avatar ini terasa lebih hangat dan lebih banyak mengeksplorasi kisah tentang keluarga. Jake Sully (Sam Worthington) dan Neytiri (Zoe Saldana) fokus membesarkan anak-anaknya selagi serangan dari Bangsa Langit belum kembali. 

    Sebelum menonton bagian kedua ini, saran saya coba tonton film yang pertamanya lebih dulu yang tayang tahun 2009, agar memudahkan kita untuk memahami jalan ceritanya.

    Meski durasinya 3 jam lebih—lebih lama dari yang pertama—bagi saya malah kurang. Bagian kedua ini, sesuai judulnya, sudah tidak lagi mengekslorasi Avatar hutan, tetapi masuk ke koloni Avatar laut yang begitu indah. 

    Saya tak henti-hentinya mengagumi karya James Cameron selaku sutradara. Ia dan timnya membangun dunia baru yang meyakinkan. Bahkan saya malah curiga, jangan-jangan, penantian panjang selama 13 tahun ini dia mencari letak dunia Pandora dan berhasil menemukannya. 

    Saya mengatakan itu karena saking begitu meyakinkannya dan terlihat nyata. Saya penasaran bagaimana kalau nonton yang versi 3D, pasti lebih terasa lebih hidup lagi.

    Konflik yang dihadirkan memang tidak seklimaks yang pertama, tetapi saya paham, bisa jadi yang kedua ini baru konflik permukaan yang akan dibawa lebih jauh di Avatar 3 yang konon sudah selesai syuting dan memiliki durasi 9 jam sebelum diedit. Gila!! 

    Yang kedua ini hanya memenuhi balas dendam Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang) kepada Jake Sully, tidak ada alasan yang kuat seperti di Avatar 1 yang fokus tentang perebutan tanah Pandora. 

    Terlepas dari itu, pemandangan pantai, bawah laut, ikan-ikan, terumbu karang, pedesaan, penduduk Pandora dan Metkayina, serta semua keajaibannya itu, mustahil untuk tidak berdecak kagum saat melihatnya.

    Makanya saya sempat mengutuki mereka yang memberi nilai rendah untuk film ini. Saya saja sampai menonton dua kali dan tetap dengan kekaguman yang sama pada setiap scenenya! 

    Sungguh tak sabar menantikan petualangan Avatar berikutnya. Mungkin akan datang ke koloni lainnya dengan pemandangan yang semakin indah! 

    Cilegon, 20 Desember 2022

    Continue Reading

    dokumentasi oleh tim Indosat.
    Score: 8,5/10.

    Sebetulnya, saya jarang sekali mengulas webseries atau film pendek apalagi yang tayang di youtube, tetapi kali ini pengecualian. KJTK yang tayang di youtube Indosat ini berhasil mencuri perhatian saya sejak episode pertama.

    Ernest Prakasa selaku kreator dan Showrunner bersama timnya boleh dibilang berhasil mengeksekusi webseries “advertorial” ini cukup menghibur dan menyenangkan untuk ditonton. Padahal, assemble castnya kebanyakan artis pendatang baru semua, namun karena cerita drama komedi yang ditulis oleh Sigit ini ajeg, sehingga siapa pun pemainnya tetap bisa dinikmati.

    Total ada 8 episode dengan durasi yang cukup pendek, namun tayang seminggu sekali. Sekarang sudah tayang semua. Saat episode finale kemarin, saya berkesempatan memenangkan undangan untuk menonton bersama cast dan krunya.

    Saat sesi tanya jawab, saya penasaran dengan “brief” yang diberikan oleh Indosat selaku sponsor dan yang meng-hire mereka. Bagaimana bisa, kata saya, webseries yang didanai oleh sebuah provider besar tidak memunculkan product placement di setiap scene-nya?

    Pertanyaan tersebut tentu saja maksudkan sebagai pujian, sebab kita tahu, setiap melihat webseries macam ini, pasti diselipi iklan lewat dialog atau malah dijadikan inti cerita tersebut, karena tujuannya biasanya kan untuk promosi dan mengenalkan produknya.

    Di KJTK ini nyaris tidak ada, soft selling sekali dan hanya memasukkan lewat tone colour product ke latarnya saja. Memang, tokoh Satha (Nadine Alexandra) dan Bams (Ge Pamungkas) diceritakan bekerja di perusahaan Indosat, tetapi tidak sama sekali jadi poin cerita. Justeru fokus ceritanya pada Satha dan Trio (Chicco Kurniawan) sebagai barista di Hiro Coffe.

    Salman Fariz, sang sutradara yang kebetulan hadir saat itu mengaku merasa beruntung karena diberi kebebasan ketika menggodok ceritanya. Pihak Indosat memang inginnya tidak terlalu hard-selling karena toh, menurut perkiraan saya, penoton tetap akan rajin mengunjungi youtube Indosat karena sudah terikat dengan ceritanya yang menarik. Otomatis, screen time penonton meningkat secara tidak langsung sehingga pada akhirnya, pengenalan produk bisa dibilang berhasil. Sebagai penulis, saya perlu mempelajari hal teknis seperti ini.

    Secara keseluruhan, saya suka dengan webseriesnya dan assamble antar castnya, hanya sayang Nadine di beberapa scene kurang bisa mengimbangi akting Chicco. Selain itu, saya berikan salut juga untuk duet Yono (Mail) dan Leyla (Laras) yang pandai memainkan dialog komedi dengan porsi yang pas pada timing yang tepat. Sehingga terasa menyenangkan, komikal, dan jauh dari cringe. Salut juga untuk Ge Pamungkas yang sukses memainkan tokoh Bams yang konyol dan absurd tanpa terlihat berlebihan.

    Bocorannya, webseries ini bakal ada season keduanya. “Selama harganya nggak naik!” seru pihak Indosat disusul tawa dari para pemain.

    Cilegon, 18 Desember 2022


    Tonton di sini:



    Continue Reading

    Poster film by Netflix.com
    Score: 8,5/10.

    Sejak kecil, barangkali minimal sekali saja kita pernah menonton animasi boneka kayu ini di televisi, atau paling tidak pernah mendengar dan membaca dongengnya. Ada banyak sekali versi filmnya yang sudah tayang, dan barusan saya menonton animasi Pinocchio dalam versi stop-motion di Netflix—lain lagi dengan versi Disney+, kebetulan keduanya tayang bersamaan di tahun ini. 

    Versi Pinocchio di Netflix ini disutradarai oleh Guillermo del Toro's. Cukup banyak film yang sudah ditanganinya seperti Hell Boy (2004) dan The Shape of Water (2007) yang berhasil memenangkan nominasi Best Picture di Academy Oscar 2018. Selain itu ia juga dibantu oleh Mark Gustafson yang paham dengan film animasi stop-motion. 

    Ia cukup melakukan banyak improvisasi pada karakter yang diadaptasi dari buku "Petualangan Pinocchio" karangan Carlo Collodi, penulis asal Italia itu. 

    Dalam versi Guillermo ini kisah hidup Kakek Geppetto (David Bradley) si tukang kayu, digambarkan sedemikian tragis dan nelangsa hidupnya ketika ditinggal mati Carlo, anak semata wayangnya—saya mulai bertanya-tanya kakek-kakek kenapa punya anak masih usia belia, apakah Carlo anak angkat? Sayangnya tidak dijelaskan dalam film. 

    Film Pinocchio versi ini ceritanya terasa lebih gelap dan sendu. Banyak tokoh-tokoh yang di versi lainnya tidak ada, semisal Sebastian J. Cricket (Ewan McGregor) jangkrik cerdas yang tinggal di dada Pinocchio (Gregory Mann) merangkap sebagai narator cerita, Count Volpe (Christoph Waltz) pemilik sirkus keliling, Spazzatura (Cate Blanchett) si monyet sirkus, pemimpin Perang Dunia II dan tokoh lainnya. 

    Official Poster by Netflix.com
    Selain itu banyak dialog filosofis yang mengajak penonton untuk merenunginya. Semisal ketika Kakek Geppetto sedang memperbaiki patung kayu Yesus di Gereja yang terkena bom, dengan polosnya Pinocchio bertanya:

    "Ayah, ada hal yang tidak kumengerti. Kenapa semua orang menyukai dia?" tanya Pinocchio sambil menunjuk ke arah patung kayu Yesus yang dibuat ayahnya. "Mereka semua bernyanyi untuknya. Padahal dia terbuat dari kayu juga. Kenapa dia disukai, tetapi aku tidak?"

    Kutukan hidung panjangnya jika berbohong pun tetap ada, karena itu yang membuat ceritanya hidup sampai sekarang. Bahkan akan ada satu momen Kakek Geppetto memperbolehkan Pinocchio berbohong demi kebaikan. 

    Film ini konon dikerjakan sejak tahun 2013 dan berhenti di tahun 2014 karena biaya dan tidak ada perkembangan. Barulah di tahun 2018 setelah bekerja sama dengan Netflix, proyek personal Guillermo ini  kembali dikerjakan.

    Saya dibuat terkagum-kagum dengan dedikasi semua cast dan crew-nya setelah menonton behind the scene-nya yang juga tayang di Netflix berjudul: Pinocchio - Handcarved Cinema (2022). 

    Barangkali, dugaan saya film ini bakal menyabet banyak sekali penghargaan di banyak festival dan terutama di Academy Award atau piala Oscar di tahun depan.

    Cilegon, 11 Desember 2022

    Continue Reading

    poster by Netflix.com
    Score: 7,5/10.

    Bagi penggemar film fiksi fantasi atau sejenisnya, serial Wednesday ini sepertinya bakal digemari kehadirannya. Hanya ada 8 episode dan masing-masing durasinya hampir 1 jam, kita akan dipaksa untuk menebak siapa monster yang telah membunuh banyak orang di lingkungan kota Jorich, tempat sekolah Nevermore berdiri—sekolah khusus bagi manusia "buangan".

    Karakter Wednesday Addams (Jenna Ortega) digambarkan begitu kuat. Pakaian gotik, Cuek, psikopat, tidak ekspresif, dan nir-empati membuat ia dijauhi lingkungan sekitarnya, bahkan teman-teman di asrama Nevermore. Ia bisa melihat masa depan dan masa lalu seseorang atau sejarah suatu bangunan hanya dengan menyentuhnya. Sayangnya ia tidak bisa mengontrol kekuatannya tersebut.

    Alur cerita mulai berjalan ketika ayahnya dituduh sebagai seorang pembunuh yang keji, sampai kemudian Wednesday mencari tahu fakta sesungguhnya. Ia kemudian menemukan banyak kejanggalan di sekolah tersebut hingga membawanya ke kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh monster misterius.

    Baik karakter utama maupun karakter pendukungnya dibangun dengan begitu kuat dan memiliki keunikannya masing-masing. Dan hampir semuanya memunculkan kecurigaan penonton bahwa mereka semua memiliki motif sebagai si monster dan dalangnya.

    Sayangnya, pertarungan Wednesday dengan sosok yang sejak awal disebutkan kurang mencapai klimaksnya. Padahal, alur ceritanya sejak awal dibangun menuju pertarungan tersebut.

    Serial ini konon spin-off dari animasi Addams Family dan dikabarkan bakal ada season keduanya sebab di episode akhir ditutup dengan open-ending.

    Terlepas dari itu semua, serial ini tetap worth-it untuk ditonton dan dijadikan hiburan. Durasi 1 jam setiap episodenya terasa kurang dan malah bikin nagih~


    Cilegon, 07 Desember 2022
    Continue Reading

    poster by Starvision Plus
    Score: 7/10.

    Setelah sukses di film Ghost Writer 1 yang ditulis dan disutradarai oleh Bene Dion, Starvision Plus kembali memproduksi GW 2 dengan menggaet penulis dan sutradara baru, Muhadkly Acho. Bene Dion dan Ernest Prakasa kali ini bertindak sebagai produser kreatifnya.

    Sejujurnya, saya lebih suka GW 1 karena ditulis dengan porsi yang pas antara komedi dan dramanya. Di GW 2 terlalu banyak unsur komedi dan saat masuk ke scene drama, terasa ada sentuhan yang kurang, baik soal pengadeganan dan chemistry antar pemain. Berasa nanggung aja gitu.

    Dan, yang kedua ini kehilangan esensi dari "penulis hantu" itu sendiri. Vino (Deva) di sini hanya bertindak sebagai editor berbeda dengan Galih (Ge Pamungkas) di GW 1.

    Isu yang diangkat cukup berat dan sensitif, yakni tentang human trafficing/penjualan organ tubuh manusia. Sayangnya, kurang digarap terlalu dalam karena memang pendekatan filmnya sejak awal begitu ringan cerita sehari-hari, saat di bawa ke isu itu berasa timpang.

    Satu hal yang saya senangi adalah kemunculan cameo Djenar Maesa Ayu sebagai Kirana Widuri, seorang penulis senior yang bukunya best seller. Terlebih scene ketika Naya (Tatjana Saphira) merasa rendah diri saat Kirana mengajaknya menulis karya kolaborasi.

    "Saya cuma penulis novel pop horor, beda sama Mbak Kirana yang menulis sastra serius dan berbobot," kata Naya menunduk.

    "Karya yang berbobot itu adalah karya yang bisa menggugah perasaan dan pikiran pembacanya. Jadi yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengkomunikasikan karya itu. Sebagus apapun estetikanya, tetapi kalau kita tidak bisa mengkomunikasikan dengan baik, percuma, kan? Sastra adalah karya seni, dan seni sejatinya tidak bisa diadu. Semua sama mulianya, semua sama terhormatnya."

    Jawaban Kirana sangat bijak bestari sebagai sastrawan senior—berbeda jauh dengan keadaan dunia kesusastraan kita. *cmiiw*

    Secara keseluruhan, film ini masih cukup menghibur, dengan porsi komedi yang pas dan tidak membosankan.

    Cilegon, 08 Desember 2022
    Continue Reading

     

    Official poster by BCU

    Score: 7/10.

    Bumilangit Cinematic Universe kembali merilis film superhero-nya. Kali ini karakter perempuan, Sri Asih, yang pernah dimunculkan di akhir film Gundala. 

    Assemble cast di Sri Asih cukup gila, sih. Hampir para aktor kelas A dilibatkan, bahkan untuk sekadar cameo seperti Najwa Shihab dan Dian Sastrowardoyo. 

    Untuk Pevita Pearce, Reza Rahadian dan Christine Hakim, saya acungkan dua jempol untuk akting mereka, dan memang sudah pasti baguslah. Tetapi sayangnya, saat mereka disandingkan dengan aktor lain terasa timpang, seperti Jefri Nichol, Dimas Anggara, Randy Pangalila dan Surya Saputra. 

    Belum lagi soal dialog di beberapa scene terasa kaku dan "drama" banget. Padahal saya berharap lebih pada film ini, karena Gundala saya jadikan benchmark film superhero di Indonesia—Gatotkaca dan Ashiap Man tidak masuk itungan, dua film itu superhero saja belum~

    Yang patut diapresiasi tentu saja sentuhan visual dan CGI-nya. Sudah nyaman di mata dan berhasil meyakinkan penonton bahwa hal itu betulan terjadi.

    Official poster by BCU
    Yang sulit, bagi film superhero mana pun, sepertinya saat memasukkan scene kostum. Menurut saya itu scene yang tricky; bisa oke banget seperti Spider-Man, atau kacangan sehingga mirip satu sama lain.

    Termasuk Sri Asih ini, mirip sekali dengan scene "kemunculan" kostum kebanyakan, saya melihat mirip film-film DC dan MCU, bahkan Power Ranger.

    Yang membedakan adalah ketika kostum dan selendangnya dibacakan mantra atau "diupacarakan" lebih dulu oleh para sinden dan penjaga peninggalan leluhur—walaupun terasa sekali jawa sentrisnya. 

    Overall, saya akan meminta kawan-kawan tetap support dan dukung film ini agar film superhero berikutnya terus dibuat dan diproduksi. Dan kita bisa berharap bersama film berikutnya bakal jauh lebih baik lagi. 

    Cilegon, 28 November 2022

    Continue Reading
    official poster by vidio.com
    Score: 8,5/10.

    Serial 8 episode yang tayang di Vidio.com ini berhasil mencuri perhatian sejak teaser pertamanya di-publish. Premisnya tentang Ijul (Enzy Storia) seorang aktris muda, anak tunggal dari keluarga pemain sinetron, yang ingin sekali mendapatkan peran protagonis, tetapi karena wajahnya, ia lebih sering mendapatkan peran antagonis di setiap casting yang diikutinya.

    Menariknya, serial ini menunjukkan proses di balik layar dan di depan layar para pemain sinetron dan para pekerjanya. Akan kita temui dua bagian cerita: cerita sinetron dan cerita kehidupan “nyata” para pemain sinetron. Bagaimana misalnya, Amelie (Rachel Amanda), seorang aktris yang selalu mendapatkan peran protagonis, tetapi di kehidupan nyatanya ia sangat toxic.

    Aco Tenri selaku sutradara, lewat serial garapannya ini seperti hendak "menyindir" dunia pesinetronan tanah air. Ia sendiri anak seorang sutradara yang terlibat langsung di sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Namun karena hal itulah, apa yang coba disuguhkan dalam serial ini semacam validasi bahwa semua yang ditampilkan adalah kenyataan dan sebenar-benarnya yang terjadi. 

    Banyak hal yang berusaha Aco suguhkan dan kritisi tentang dunia sinetron maupun perfilman di Indonesia ini; semisal tentang sistem kerja yang tidak sehat karena nyaris 24 jam syuting demi produksi yang kejar tayang, tentang pencarian jati diri, hubungan keluarga yang terlihat baik-baik saja tapi ternyata toxic positivity, dan banyak isu lainnya yang coba diangkat.

    Dibintangi oleh banyak aktor kenamaan dan pendatang baru seperti Yayu Unru (Papa Enzy), Tetty Liz (Ibu Nini), Teuku Rifnu (Romli), Randy Nidji (Yuda), Ibrahim Risyad (Lex), Chandra Pitok (Louis), Bukie B. Mansyur (Julian), bahkan yang menjadi Ikal di Laskar Pelangi pun ada, bakal kita lihat Zulfani Pasha yang versi dewasa berperan sebagai Sabar, dan sejumlah aktor pendukung lainnya.

    Banyak yang tertipu, termasuk saya soal genre serial ini. Semula saat melihat trailer saya pikir drama komedi saja, ternyata malah lebih banyak “drama” itu sendiri dan kisah sedih perjalanan Ijul sebagai pemeran utama. Aco seolah ingin berkata lewat karakter Ijul bahwa salah besar selalu ingin membahagiakan orang lain dengan mengorbankan kebahagiaan diri sendiri. 

    Sebagai orang awam, lewat serial ini kita akan melihat “dapur” sinetron sebelum di suguhkan ke meja penonton. Bagaimana proses syuting berlangsung dan ada departemen apa saja di dalam sebuah produksi film/sinetron. Dunia kreatif ini adalah kerja kolektif dan semua saling bergantung satu sama lain demi menghasilkan karya yang terbaik.

    Tetapi saya malah mendapat kesan bahwa sekejam itu industri film/sinetron kita, malah membuat saya berpikir ulang untuk menekuninya, walaupun apa yang ditunjukkan di serial ini tidak mewakili para pekerja film secara keseluruhan, semisal ada kok produksi film yang fun, yang sehat, yang sutradaranya nggak suka maki-maki di HT atau not bullying dan abussive.

    Beruntung ending dari serialnya betul-betul menunjukkan perlawanan kaum “akar rumput”. Berani melawan orang yang di atas yang memiliki segalanya dan suka semena-mena itu. Ada upaya Aco dan kawan-kawan melawan sistem yang kadung tidak sehat ini. Semoga saja tidak hanya terjadi di serial ini tetapi di dunia nyata (baca: persyutingan) itu sendiri.

    Saya suka sekali bagaimana Aco mengeksekusi bagian akhir dari serial ini--kecuali scene perubahan karakter Amelie yang tiba-tiba. Aco tidak memilih jalan kekalahan bagi karakter rekaannya. Berbeda misalnya, kalau mesti membandingkan, dengan akhir film Penyalin Cahaya yang kalah dengan sistem atau Yuni atau Bumi Manusia. 

    Memang menunjukkan realitas yang sebenarnya, tetapi Aco memilih alternatif lain yang memang mungkin saja terjadi walaupun pada kenyataannya jauh lebih berat dan kemungkinannya kecil sekali terjadi perubahan tatanan atau “pemberontakan” itu.

    Scene yang menghangatkan ketika Ijul bertemu Mamanya, setiap film Indonesia atau luar, rumah tempat kembali selalu keluarga, sekacau apa pun itu, dan saya sepakat. Munculnya sosok ibu di sana benar-benar berhasil menenangkan Ijul yang sedang kacau-balau.

    Salut banget sama akting Enzy yang mengagumkan--tanpa mengurangi kekaguman saya dengan yang lain, ya. Dia ada satu scene monolog di atas panggung bicara sendiri sampai 10 menit dengan emosi yang intens, bahkan eskalasi emosinya cenderung naik. Nggak kebayang, sih, bagaimana dia bisa menjaga tensinya, pasti capek banget!

    Shout out juga buat Randy (Yoda) yang bagus banget nyamar jadi sahabat Ijul tapi ujung-ujungnya patah hati saat tahu Ijul jadian. Ekspresi dia menerima kekalahan itu sialan banget. Sebagus itu, keliatan effortless tapi powerful!

    Serial Drama Ratu Drama ini sekali lagi memberikan kabar baik bahwa sineas di perfilman kita semakin naik level dan semakin prima dalam segala hal!

    Cilegon, 01 November 2022

    Continue Reading
    Image by: imdb.com

    Score: 8/10.

    Setelah sukses dengan filmnya yang pertama, Keluarga Cemara kembali dengan kisah terusan dari kehidupan Abah, Emak, Euis, Ara, dan kali ini ada tambahan karakter Agil yang sebelumnya bayi kini sudah balita. 

    Di bagian kedua ini, fokus ceritanya ada di Ara (Widuri) dan segala pikirannya; ia yang melihat kakaknya mulai asing, lalu abah yang mulai tidak bisa menepati janjinya, Emak yang sibuk mengurusi Agil (Niloufer) karena di usianya yang sekarang sedang rewel-rewelnya, dan Ara yang bisa mengerti bahasa anak ayam (pitik)—yang kemudian ia beri nama: Neon. 

    Bagian yang disebutkan di akhir ternyata jadi premis film ini dan membawa kita ke dalam petualangan yang menyenangkan: Pencarian Keluarga Neon. 

    Saat Ara merasa sudah tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarganya, beruntung ia menemukan seekor anak pitik di tengah jalan dan mereka kemudian bersahabat. Hanya Aril (Muzakki) dan Mang Ramli (Abdurrahman Arif) yang percaya pada Ara kalau dirinya memang bisa berbicara dengan anak ayam itu. Abah, Emak, dan Teh Euis tidak memercayainya. Begitulah awal mula hubungan dan kehangatan di keluarga itu mulai memudar. 

    Ditemani Aril, Ara mulai berpetualang menuju Kampung Badak, tempat anak ayam itu berasal, itu yang Ara dengar dari ucapan si Neon. Dan di sinilah masalah sesungguhnya, Ara pulang telat ke rumah dan membuat sekampung geger mencari dirinya yang dianggap hilang. 

    Sepanjang film saya dibuat senyum-senyum sendiri dengan persahabatan Ara dan Aril. Apalagi diperankan oleh dua aktor muda berbakat dan potensial. Widuri dan Muzakki begitu lihai dan sangat meyakinkan saat memainkan perannya. Polos, naif, dan segala ekspresinya sebagai bocah begitu natural. Semoga Visinema membuat animasi film ini, saya sungguh kagum dengan penulisan skenarionya yang digarap oleh M. Irfan Ramli. 

    Berbeda dengan Keluarga Cemara 1 yang disutradarai oleh Yandy Laurens, kali ini Ismail Basbeth yang memegang kendali sebagai sutradara. Film yang benar-benar cocok ditonton oleh anak-anak Indonesia, begitu relatable dan dekat. Dari premis sepele itulah ada makna yang dalam yang hendak disampaikan oleh sutradara lewat filmnya. 

    IP dari sinetron garapan Arswendo Atmowiloto ini sepertinya akan terus berkembang ke berbagai platform media, bahkan sudah ada serialnya juga yang fokusnya ke kehidupan Teh Euis (Adhisty Zara) yang duduk di bangku SMA. 

    Bagian yang rada maksa ya soal jualan opak dan panggilan Emak dan Abah yang kurang meyakinkan sejak film pertama. Karena Nirina Zubir dan Ringgo Agus Rahman terlalu muda, berasa nggak cocok aja gitu. Apalagi diterapkan di masa kini. 

    Selebihnya, saya sukak banget sama film Keluarga Cemara 2 ini. Saya tak henti-hentinya kagum dengan Widuri khususnya, yang begitu cemerlang aktingnya!! Saya tak sabar menonton film dia yang lainnya~

    Cilegon, 28 Oktober 2022


    Continue Reading

     


    Novel yang dimaksud dalam catatan ini adalah novel Yuni yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama awal tahun 2022 lalu. Cerita di bawah ini pernah saya tulis di Facebook tahun lalu.

    * * *

    Sejak satu tahun terakhir, saya ada satu project menulis novel yang sulit diselesaikan. Justru, sewaktu mengerjakannya, saya selingkuh menulis naskah lain yang selesai lebih dulu, yakni kumcer saya yang nanti terbit akhir tahun ini di Indonesia Tera. (Sudah terbit: Sahut Kabut)

    Suatu hari, sebagai penulis yang ahli dalam beralasan demi menutupi kemalasannya, saya mengatakan ke beberapa teman terdekat: "Saya butuh seminggu saja menyendiri agar fokus menulis dan menyelesaikan project ini". 

    Satu orang teman membolehkan saya meminjam sebuah ruangan di kantornya, tapi kemudian saya punya alasan lain untuk menolak. Kalau saya harus buka kamar di hotel tentu akan jebol keuangan yang tidak seberapa ini, maka, setelahnya saya melupakan keinginan saya itu. Novel saya mangkrak dan saya mulai disibukkan dengan kegiatan lain di kampung saya.

    Awal Oktober lalu, salah seorang guru menulis saya di Yogyakarta menghubungi saya lewat inbox fb. Dengan kerendahan hatinya ia mengundang saya untuk bersilaturahmi dan meneruskan obrolan yang pernah saya sampaikan di jauh-jauh hari. Beliau tidak tahu soal urusan personal saya mengenai project novel ini.

    Saya sampaikan, siap akan datang tapi setelah kegiatan Maulid di kampung saya usai. Beliau setuju dan tibalah hari di mana saya berangkat memenuhi undangannya. Saya tak benar-benar tahu apa yang nanti bakal diperbincangkan. 

    Yang jelas, ketika kami bertemu, ia bertanya, "Seminggu ke depan kamu sementara di sini dulu, ya, De. Bisa, kan?" Saya mengangguk dan hanya menjawab "Enggeh". Malam itu sulit rasanya saya jelaskan kalau pekerjaan saya sengaja saya bawa ke sana.

    Saban malam, beliau mengadakan perayaan Maulid Nabi dari kafe ke kafe miliknya, sesekali bergantian di rumahnya. Saya disarankan untuk ikut semua kegiatan tersebut. 

    Dengan senang hati saya setuju, dan saya baru kali ini mendapatkan pengalaman bertemu dengan seseorang yang merayakan dan mengagungkan hari lahir Nabi Muhammad SAW sampai satu bulan penuh. Allah sedang menunjukkan hal lain pada saya lewat perantara beliau.


    Padahal, saya sudah merasa perayaan Maulid Nabi di kampung saya sudah sangat mewah dan besar-besaran, ternyata di suatu tempat ada yang lebih dari itu dan perayaannya benar-benar diinisiasi oleh satu orang dan diikuti oleh banyak jamaah yang didominasi generasi milenial alias para pemuda. Saya tak henti-hentinya dibuat kagum.

    Setiap pagi sampai sore, keinginan saya yang pernah saya lupakan itu justru terwujud begitu saja. Saya diberi tempat menginap di kafe, setiap pagi hingga sore saya bisa mengerjakan novel tanpa ada hambatan. 

    Malam harinya kami melaksanakan Maulid Nabi dan disambung dengan diskusi ringan sampai dini hari. Begitu terus sampai hampir dua minggu saya tinggal di Yogyakarta.

    Di malam terakhir saya di sana, akhirnya saya utarakan kalau saya dulu pernah membayangkan hal ini, hidup hanya benar-benar untuk menulis. Saya jelaskan soal project novel apa pada beliau dan hal yang seolah serba kebetulan ini--sebab saya meyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua atas kehendak-Nya.

    Beliau hanya tersenyum, lalu berkata singkat saja, "Kok, bisa pas gitu, ya, De. Saya, kan, minta kamu ke sini tujuan utamanya buat silaturahmi. Syukurlah kalau ada manfaat lain," katanya tenang. (Padahal, beliau juga pemilik penerbitan di Jogja, tetapi memang kebetulan novel saya itu sudah mendapatkan penerbitnya sendiri).

    Melihat cara beliau menjalani hidup, membuat saya belajar dan tidak tergesa-gesa dalam meraih sesuatu. Semua sudah ada waktunya sendiri, tugas kita hanya berusaha, katanya di suatu diskusi. 

    Dan dari semua peristiwa ini, saya betul-betul ditunjukkan bahwa jangan ragu ketika berdoa kepada Allah. Cepat atau lambat, doamu akan terwujud bisa lewat jalur-jalur yang tidak terduga.

    "Niatkan semua untuk mendapatkan ridha dan rahmat-Nya. Dengan begitu hidupmu akan selo," katanya lagi disisipi guyon khasnya.

    Saya pertama kali bertemu dengannya tahun 2014 awal saya mengikuti Kampus Fiksi yang diampunya. Tidak ada balasan yang bisa saya berikan selain doa terbaik untuk kesehatan dan kebahagiaan untukmu Pak Edi Mulyono beserta keluarga dan semua pegawai-pegawaimu yang baik hati. Semoga Allah balas kebaikanmu. Matur nuwun sanget. 
    🙏🙏🙏


    اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَهْلِ بَيْتِهِ

    Yogyakarta, 30 Oktober 2021

    Continue Reading

    Official Poster by Toei Animation.

    Score: 10/10.

    Bajak laut Topi Jerami datang ke sebuah konser penyanyi  t̶i̶k̶t̶o̶k terkenal bernama Uta, yang Luffy kenal baik sebagai anak dari Shanks, kapten dari bajak laut rambut merah. 

    Satu kata: MERINDING! 

    Penilaian saya akan sangat emosional dan subjektif. Saya nggak ngerti lagi sama otak Oda-sensei. Kok, bisa bikin cerita yang twist-nya nggak abis-abis. Sampai bingung mau bahas dari mana dulu.

    Daripada judulnya Film RED, film ini lebih cocok berjudul Film U.T.A. karena sepanjang film peran utamanya memang Uta. Sayangnya karakter ini baru muncul sekarang, jadi sulit berempati sama perasaan Uta, "anak" Shanks ini.

    Tapi dunia One Piece ini betul-betul sudah tak kenal batas. Oda-sensei bisa men-development cerita ini dengan imajinasinya yang "tak terbatas". Dan, gara-gara Uta, semua tokoh penting di OP fokus ke Pulau Musik Elegia. Sampai Gorosei turut berkomentar. Pertanyaan saya: Kok, Gorosei nggak tidur waktu nonton Uta?

    Satu jam pertama, Shanks belum sepenuhnya muncul, padahal ini film "keluarga" dia lho. Cuma nongol di flashback. Tapi, pas Shanks pertama kali muncul, satu studio bioskop dipenuhi suara teriakan dan tepuk tangan, salah satunya saya 😆 👏👏👏

    Dan ketika Shanks dan anggota bajak laut rambut merah bertarung, sumpah itu seru banget. Jadi dua dimensi: dunia nyata ada Shanks dan dunia imajiner ada Luffy dkk. Banyak banget kejutan dengan kemunculan karakter-karakter lawas. Animasinya sendiri sangat memanjakan mata! 😍

    Temen saya nggak bisa kedip pas liat Nico Robin. Asli, sih, cantik maksimal banget dengan rambut digerai 🥲🥲🥲 Zoro dan Sanji masih in character, ribut mulu pokoknya. Dan, dua karakter favorit di #ONEPIECEFILMRED ini adalah kemunculan Beppo dan Sunny Go!! 😆😆😆

    Nggak cukup sekali nontonnya, deh. Karena banyak detail yang terlewat dan perlu ditonton berkali-kali. Scene favorit adalah duet masing-masing anggota bajak laut dari Luffy dan Shanks. Ussop dan Yassop bapaknya, Edaannn!!! EPIC!! 🔥🔥🔥

    Btw, hampir kelewat, lagu-lagu pengiring dan yang dinyanyiin Uta bener-bener enak semua. Walaupun jadi rada canggung perubahan suara Uta saat bicara dan saat nyanyi, agak jomplang. 

    Salah satu pesan yang saya tangkap: JANGAN SUKA BERBOHONG. Walaupun demi kebaikan, selalu ada kerugian yang bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk orang lain juga!

    Yang jelas, terima kasih Oda-sensei untuk filmnya. 🙏🙏🙏


    Rabu, 21 September 2022

    Continue Reading

    Image by Netflix

    Score: 7/10.

    Di masa kecil, Kosuke dan Natsume sering bermain bersama, karena mereka tinggal bersebelahan di sebuah apartemen. Bahkan sudah seperti kakak dan adik. Beberapa tahun kemudian mereka terpaksa pindah rumah lantaran apartemen tua itu harus dihancurkan. Diam-diam Natsume masih sering menyelinap ke gedung tua itu hanya untuk mengingat-ingat kenangan di masa kecilnya. 

    Suatu hari, ketika libur musim panas, Natsume dan teman-temannya pergi ke sana untuk memburu hantu. Kabarnya, banyak pekerja konstruksi yang sering diganggu oleh hantu tersebut. Singkat cerita, akhirnya mereka bertemu Kosuke dan dua teman lainnya. 

    Ada satu momen ketika Kosuke tergelincir dari atap apartemen, langit tiba-tiba mendung dan banjir bandang melingkupi kota. Hanya tersisa gedung tua itu. Semuanya tenggelam. Menonton animasi ini mengingatkan saya pada novel Ziggy, "Semua Ikan di Langit". Kisah fantasi petualangan yang menyenangkan walaupun terasa janggal dan serba tiba-tiba. Semisal gedung tua yang bisa mengapung layaknya kapal laut. 

    Banyak sosok yang tidak terjelaskan kemunculannya, tetapi animasi ini memberikan banyak pelajaran hidup. Bahwa misalnya, suatu tempat yang kita tinggali, selalu ada sosok yang juga hidup di sana dan selalu memantau gerak-gerik kita.

    Yang jelas, film ini jangan dipusingkan dengan logika cerita, cukup dinikmati saja sebagai hiburan. Paling tidak, film ini berhasil membawa saya ke dalam kenangan masa kecil saya yang dulu pernah punya sahabat perempuan dan sering bermain bersama, persis seperti filmnya, namun ketika beranjak dewasa kami menjadi asing satu sama lain, bahkan hanya untuk sekadar bertegur sapa. 

    Cilegon, 19 September 2022.

    Continue Reading

    official poster by Visinema Pictures
    Score: 7/10.

    Saya ragu-ragu saat film ini tayang di bioskop. Filosofi Kopi 1 & 2 sudah cukup bagus dan seharusnya tidak perlu ada spin-off. Tetapi, IP Filkop memang sudah terdaftar dan berubah ke berbagai bentuk; mulai dari coffe shop, merchendise, serial, sampai membentuk dunianya sendiri termasuk spin-off karakter utamanya ini, dan banting stir ke genre action.

    Saya akhirnya baru menonton kemarin di Netflix karena sudah tanggung didownload. Tidak akan panjang lebar, yang jelas untuk action-nya sendiri sudah terbilang oke. Shout out untuk Yayan Ruhian sebagai Aa Tubir, bos dari kroco-kroco suruhan si pembalak liar. Yayan berhasil menjadi bos yang sangat menyebalkan. Duet Chicco Jericho dan Rio Dewanto sebagai Ben & Jody memang sudah sangat jadi tektokannya. Walaupun kali ini, Chicco di beberapa bagian terlihat sedang aktingnya.
    Premisnya sendiri sudah cukup jelas, bagaimana Ben yang ingin membela para petani kopi dari pembalak liar, tetapi yang sangat disayangkan, musuh semua orang itu tidak dimunculkan sosoknya. Hanya kaki tangannya, Pak Hasan (Arswendi Nasution) yang berkhianat dari warga. Menurut saya itu cukup krusial, karena bila ditunjukkan orangnya, motivasi warga yang memilih melawan akan lebih kuat dan terasa kepada siapanya.
    Lalu ada yang cukup mengganggu saya ketika ternyata di antara warga yang di sandera adalah kepala suku yang tinggal di kawasan hutan itu. Saat bertemu Ben & Jody yang berhasil kabur dari tahanan, anak kepala suku mengatakan merasa terbantu info dari Ben karena sudah 6 bulan mereka tidak menemukan markas si Aa Tubir, ini janggal karena sebagai warga yang tinggal di hutan, harusnya tidak sulit menemukan markas yang dibuat oleh orang asing yang tinggal di luar hutan.
    Angga Dwimas Sasongko betul-betul naik level di Mencuri Raden Saleh. Terlihat betul perbedaan dari film action Ben & Jody ini ke MRS yang disutradarainya. Saya penasaran dengan film dia berikutnya!
    Cilegon, 18 September 2022
    Continue Reading

     

    ilustrasi oleh Visinema

    Score: 8,8/10

    Piko (Iqbaal Ramadhan) seorang mahasiswa tingkat akhir, memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemalsu lukisan. Ucup (Angga Yunanda) adalah sahabat sekaligus rekan bisnisnya yang bertugas mencari pelanggan “lukisan” karya Piko. Selain itu, rupanya Ucup memiliki keahlian di bidang IT, ia adalah seorang hacker. Di lukisan Piko yang terakhir, yang memalsukan karya Widayat, berhasil laku 900 juta saat dilelang, sementara Piko dan Ucup hanya menerima uang tak lebih dari 50 juta. Padahal, Piko sedang butuh banyak uang untuk membantu Budiman (Dwi Sasono), Papanya, keluar dari penjara. Sejak itu keduanya mulai berani bermain harga dengan Dini (Atiqah Hasiholan), langganannya. Dini menyetujuinya asalkan Piko mau memalsukan lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Awalnya Piko sempat ragu, tetapi saat Dini memberitahu angka yang bakal dibayar, akhirnya ia sepakat.

    Kurang lebih begitu pembuka cerita film ini. Lalu scene by scene berjalan sembari mengenalkan keenam karakter dan perekrutannya yang tidak bertele-tele dan menarik sekali untuk diikuti. Penonton langsung dibawa masuk ke backstory masing-masing tokoh dengan segala masalah hidupnya secara proporsional dan tidak mendikte sama sekali. Sejak awal, motif para tokoh dibuat jelas dan masuk akal ketika memutuskan untuk mencuri lukisan Raden Saleh yang akan dipamerkan di Istana Negara.

    Setiap pergerakan dan ucapan tokoh memiliki motivasi dan tidak menyeberang dari penokohan yang sudah dikenalkan sejak awal. Bagaimana Gofar (Umay Shahab) dan Tuktuk (Ari Irham) yang mudah meledak sekaligus komikal misalnya. Lalu Fella (Rachel Amanda) dan Sarah (Aghniny Haque) yang penuh perhitungan dan kehati-hatian, semua grand design characternya betul-betul dipikirkan sehingga saat dihadapkan pada satu situasi, respons masing-masing jadi beragam. Itu pula yang kemudian membuat cerita ini hidup di tangan mereka para aktor muda berbakat, tentu berkat arahan Angga Dwimas Sasongko selaku penulis skenario dan sutradara. Ia  benar-benar telaten sekaligus detail merangkai frame by frame-nya.

    Licik, manipulatif, pengkhianatan, perjuangan, dan kerja sama, semua muncul dalam satu kesatuan yang utuh di film ini. Angga berhasil mengenalkan awal mula sejarah serta alasan dibuatnya lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” tahun 1857 oleh Raden Saleh Sjarif Boestaman (Mei 1811 – 23 April 1880) itu. 

    Official poster oleh Visinema
    Kita sedikitnya, bagi yang belum tahu, mengenal siapa itu Raden Saleh lewat narasi yang dituturkan Piko sebagai seorang pelukis. Itu pula kata “perlawanan” muncul dari Piko yang menunjukkan bagaimana Raden Saleh di masa penjajahan kolonial Belanda dahulu. Analogi penjajah di sini adalah Pak Permadi (Tyo Pakusadewo) si mantan presiden yang berkhianat kepada Piko dan Ucup. Ia memperalat komplotan bocah-bocah itu untuk membalaskan dendamnya pada negara.

    Saya teringat dengan film-film David Fincher yang mampu memanipulasi penontonnya, lalu tak bisa lepas pula dengan serial Lupin, trik-trik Kaitou Kids di serial Detektif Conan, dan tentu saja Money Heist yang sempat ramai di Netflix beberapa waktu lalu. Kejelian Angga merajut kisah Mencuri Raden Saleh ini patut diapresiasi, mengingat belum banyak film-film karya sineas Indonesia yang mengeksplorasi tema aksi pencurian (heist) seserius ini penggarapannya.

    Tak boleh pula ketinggalan nama Bagoes Tresna Aji diberi tepuk tangan sebagai Director of Photography (DOP) yang ciamik memainkan lensa kameranya begitu fleksibel mengikuti pergerakan setiap karakter. Durasi 2,5 jam terasa kurang lantaran, selain cerita, dukungan dari aspek gambar dan sinematografinya berhasil membius mata.

    Kalau mesti menunjukkan satu plot hole, ada satu scene yang membuat saya bertanya-tanya tentang motivasi Budiman sampai memilih datang ke pesta ulang tahun Pak Permadi? Apa urgensinya? Sebab, kemunculannya ini jadi poin penting dan akan berkaitan erat dengan akhir cerita yang memorable dan bikin saya tanpa sadar memaki (dalam konotasi positif) di bioskop studio 4 XXI Cilegon sore itu.

    Sejak pertama kali diumumkan, saya sudah sangat menantikan penayangan film Mencuri Raden Saleh ini. Walaupun sejujurnya, sempat pesimis saat melihat deretan nama pemain utamanya. Pencurian macam apa yang bakal disuguhkan dari bocah-bocah ingusan itu? Pikir saya. Saat trailer pertama tayang keraguan itu masih ada. Namun ketika final trailer tayang, saya sedikit melihat harapan. Ketika sore tadi di hari pertama penayangannya saya menonton langsung, semua keraguan saya luruh. Apalagi akting Umay dan Iqbaal yang matang dan mencuri perhatian. Saya pikir, sejauh ini, Mencuri Raden Saleh adalah film terbaik yang karakternya berhasil mereka mainkan. 

    Film ini layak box office dan menjadi benchmark film action tema pencurian dan sejarah bagi sineas Indonesia ke depannya.

    Cilegon, 25 Agustus 2022

    Continue Reading
    Official Poster by Netflix

    Score: 9,5/10

    Akhirnya saya menemukan serial terbaik (sejauh ini) setelah Reply 1988 (2015). Alat ukurnya sederhana, saat saya menonton setiap episodenya, durasi satu jam sangat terasa begitu cepat karena saking terhanyutnya ke dalam cerita. Selain itu, saya juga merasakan perasaan menggebu-gebu saat menanti jadwal tayang setiap episodenya di Netflix. Dan sayangnya, semalam episode terakhir untuk season satu ini. 😭😭😭

    Serial Korea Extraordinary Attorney Woo berhasil menempati posisi pertama di delapan negara dan masuk dalam posisi 10 teratas di 22 negara dalam kategori TV Non-English.

    Lewat serial ini juga saya jadi belajar ilmu hukum Korea, pengacara, persidangan, dan lingkarannya. Hal yang paling saya hindari dan bikin puyeng kepala itu setiap kali melihat berita persidangan di televisi, ternyata bila disajikan dalam kemasan sinema jadi sedemikian nagih dan seru.

    Assemble antara satu aktor dengan aktor/aktris lainnya betul-betul memesona. Mereka chemistry-nya sudah terbangun sedemikian mengagumkan. Walaupun di episode awal saya masih ragu dengan Park Eun Bin yang berperan sebagai Woo Young Woo. Tetapi setelah cerita berjalan semua jadi masuk akal. Termasuk alasan Woo menyukai segala apa pun tentang paus.

    Diceritakan Woo adalah pengacara genius dengan sindrom spektrum autisme yang memulai karier di Firma Hukum Hanbada. Serial ini mengingatkan saya pada serial The Good Doctor yang sama-sama mengangkat kisah tokoh pengidap autisme.

    Soal paus, saya tidak benar-benar menemukan alasan kenapa Woo begitu menyukainya, tapi yang jelas di setiap episode selalu ada paus yang muncul dan bisa jadi itu alasan kenapa serial ini jadi serial dengan badget termahal, karena harus ada CGI. Banyak kemudian yang membuat teori tentang Woo dan paus, saya pun menangkap banyak simbol lewat jenis-jenis paus yang dihapal Woo di luar kepalanya.

    Dikabarkan season 2 akan tayang tahun 2024, saya betul-betul tidak sabar menantikannya!! Semoga Yoo In Shik bakal menyutradarainya lagi!

    (Intermezzo: apa cuma gue yg mikir kalau Woo mirip Isyana Sarasvati 😆)

    Cilegon, 19 Agustus 2022
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ▼  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
        • [Ulasan Film] Extraordinary Attorney Woo: Berhasil...
        • [Ulasan Film] Mencuri Raden Saleh: Kenalkan Sejara...
      • ►  September (3)
        • [Ulasan Film] Ben & Jody: Disayangkan, Ada Sosok K...
        • [Ulasan Film] Drifting Home: Dunia Imajiner dan Pe...
        • [Ulasan Film] One Piece Film Red: Merinding!
      • ►  October (2)
        • [Catatan] Cara Allah Mengabulkan Doa Hamba-Nya
        • Keluarga Cemara 2: Ara dan Petualangan Mencari Kel...
      • ►  November (2)
        • [Ulasan Film] Drama Ratu Drama: Menguak Dapur Sine...
        • [Ulasan Film] Sri Asih, Kemunculan Superhero Perem...
      • ▼  December (7)
        • [Ulasan Film] Ghost Writer 2: Komedi yang Pas Namu...
        • [Ulasan Film] Wednesday: Fiksi Fantasi yang Menggu...
        • [Ulasan Film] Pinocchio: Kisah Tulus Cinta Anak-Ay...
        • [Ulasan Film] Kalau Jodoh Takkan Kemana: Seru dan ...
        • [Ulasan Film] Avatar The Way of Water: Problematik...
        • [Ulasan Film] The Big 4: Aksi Gokil Para (Mantan) ...
        • [Ulasan Film] Cek Toko Sebelah 2: Porsi Komedi yan...
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top