[Cerpen] Pohon Mangga di Pekarangan Rumah
May 10, 2020credit by freepik.com |
Barangkali,
kalau bukan karena orang tua, aku lebih memilih pergi meninggalkan rumah. Aku
berani bilang, banyak keluarga bisa rukun itu karena terikat pada orang tuanya.
Temanku pernah cerita, kalau ia dan keluarganya sudah tak pernah pulang kampung
sejak ayah dan ibunya meninggal dunia. Bukankah itu artinya orang tualah yang
membuat kita mau jauh-jauh kembali dari perantauan hanya untuk berjumpa dengan
mereka? Kau pernah juga berpikir demikian, kan? Ah, terserah, sih, kalaupun
tidak, aku toh tak peduli. Setidakpedulinya kakak-kakakku ketika aku memilih
untuk menikahi Airin.
Ini
akan terdengar menyebalkan, namun aku sudah tak kuat menahan berlarut-larut
kisah ini. Aku mencintai Airin sama besarnya seperti aku mencintai orang tuaku.
Masa bodolah dengan kakak-kakakku. Toh mereka juga memilih pergi dari rumah
sejak berkeluarga. Maksudku, boleh saja pergi, tapi seharusnya mereka tahu
kapan waktunya kembali. Lebaran tahun lalu saja tak pernah ada yang datang. Alasannya,
mereka mesti pulang kampung ke rumah mertua. Mentang-mentang aku yang bungsu
dan masih bujang, akulah yang diminta menjaga orang tua di rumah. Dan aku
dicegah untuk pergi ke mana-mana. Giliran aku bilang mau menikahi perempuan
dari pulau seberang, mereka semua melarang-larang. Apa hak mereka?
Ayah
dan ibu sebetulnya sudah merestui dan mau menemaniku melamar Airin. Tapi Bagus—aku
malas menyebutnya kakak—menghasut ibu kalau watak orang dari pulau asal Airin
itu keras dan susah diajak kompromi. Termasuk soal adat-istiadat. “Pokoknya
bakal repot keluarga kita ke depannya, Bu. Abang bilang begini juga demi
kebaikan Aji!” Ah, omong-kosong! Sebenarnya aku tahu bukan itu alasan
sesungguhnya. Kau hanya tak mau repot, kan, mengurus ayah dan ibu sementara aku
pergi merantau dan tinggal bersama Airin di kampungnya?
“Kamu
masa tak kepincut sama orang kampung sini. Yang dekat sajalah. Teman sekolah
kamu masa nggak ada?” Wida, kakak keduaku, ikut bicara. Aku malas menanggapi
ucapan mereka. Kalau bukan karena aku mau menikah dengan Airin, mereka mana mau
jauh-jauh datang ke sini. Mereka melakukannya karena terpaksa, aku tahu itu.
Dan demi keuntungannya sendiri.
“Kalau
Ibu, bagaimana kamu saja, Ji. Selama kamu bahagia dengan pilihanmu, Ibu juga
ikut bahagia,” ucap ibuku bijak. Ia memang paling mengerti aku. Sementara ayah,
ia tak banyak bicara. Pandangannya jauh ke luar rumah, sembari mengisap rokok
di jari tangannya. Apa sebenarnya ia juga setuju? Tapi, sejak pernikahan kakak-kakakku
pun, ayah tak pernah urun saran atau melarang ini-itu. Ia diam saja tak mau
ambil pusing. Keputusan ibu sepertinya keputusan ayah juga.
“Terima
kasih Abang dan Mbak sudah memberi saran. Tapi aku sudah besar, bukan lagi adik
bungsu kalian yang bisa diatur-atur. Biarkan aku menentukan pilihanku sendiri.
Dan kalaupun aku salah dengan pilihan ini nantinya, biarlah aku menyesal karena
keputusanku sendiri, bukan karena orang lain,” kataku terdengar cukup keras dan
tak memberi celah untuk mereka bicara. Suasana sunyi beberapa jenak. Bahkan
bunyi jam dinding bisa terdengar. “Aku ke kamar dulu, ada yang mesti aku
kerjakan,” tambahku kemudian, menghindari kecanggungan.
Mereka
tak berani mencegah, karena mereka tahu aku seorang jurnalis dan penulis.
Kerjaanku kalau malam begini memang banyak dilakukan di dalam kamar. Tiap pagi
sampai sore aku memang jarang di rumah. Sebetulnya, kalaupun orang tua kami ditinggal
berdua di rumah, aku yakin mereka baik-baik saja. Ayahku seorang pensiunan
guru, dan ibu seorang penjahit. Namun sudah lama juga ia tak lagi menerima
orderan. Aku yang meminta ibu untuk berhenti bekerja. Biar aku saja, ini memang
sudah giliranku untuk mengurus mereka. Sehari-hari, ayah dan ibu menghabiskan
waktu di ladang. Aku tak bisa menahan mereka dari hobinya itu. Sejak aku kecil,
aku memang sudah sering diajak menanam banyak pohon. Ketika aku beranjak
dewasa, pohon-pohon itu juga sudah tumbuh besar dengan buah yang berlimpah.
Ayah
bilang, barisan pohon mangga di pekarangan rumah itu adalah jumlah dosa ayah
kepada ibu. Waktu ayah cerita itu, aku masih kecil. Aku tak paham maksudnya.
Tapi setelah remaja, aku dapat cerita lengkapnya dari ibu. Katanya, ayah adalah
lelaki paling jujur yang pernah ibu kenal. Dulu, hidup orang tuaku belum
stabil. Untuk membeli beras saja, ibu harus tebal muka karena mesti berani berutang
di warung Mbok Darmi. Ibu tak masalah diomeli Mbok Darmi dan jadi omongan
tetangga, ibu anggap itu angin lalu saja. Aku ingat betul, setiap kali ibu
berkisah soal masa lalu, kedua matanya akan berkaca-kaca. Setelahnya ia akan
tersenyum, berusaha tegar di hadapan anak-anaknya.
Pernah
suatu hari ibu marah besar, karena saat mengandungku, ibu mengidam mangga muda.
Ayah tentu tak masalah, itu hal wajar bagi ibu hamil. Tetapi, yang repot, ibu
memintanya saat malam hari. Ayah kewalahan mencari mangga muda di jam satu
malam saat itu. Ibu akan tertawa dan memperlihatkan gigi gingsulnya setiap kali
bercerita soal ini. Akhirnya, lanjut ibu, ayah pergi ke pasar. Ibu, sih, yakin
saja dengan ucapan ayah. Karena tidak lama berselang ia kembali membawa satu
kilo mangga muda. Menutupi kecurigaan ibu ayah menunjukkan struk dari sobekan
kardus. Ia bilang beli dari pasar kecamatan, warungnya hampir tutup.
Ternyata,
setelah aku lahir ayah barulah mengakui kalau kejadian itu adalah hasil
karangannya saja. Yang terjadi sebenarnya ialah ayah mengendap-endap ke rumah
Pak Lurah. Ia mencuri beberapa buah mangga yang belum masak dari pekarangan Pak
Lurah. “Tapi Ayah nggak betul-betul mencuri. Ayah tetap naruh beberapa lembar
uang di teras rumahnya,” serobot ayah membela diri. Kisah ini memang sering
sekali ibu ceritakan di dapur atau di ladang kepada anak-anaknya.
“Iya,
tapi pasti uangnya nggak cukup, kan, untuk mangga satu kilo?” potong ibu cepat,
sebal pada ayah. Lalu ayah akan tersenyum kecut sementara aku tertawa puas.
Melihat itu ia segera menggelitiki perutku sampai aku keluar air mata.
“Jadi
aku anak haram, dong, Bu?” kataku sedih. Kalimat itu aku dapatkan dari Bagus,
ia tahu kisah ini dan selalu menggodaku dengan ucapan itu. Tapi ayah pasti akan
menjawab, “Tentu tidak. Kan setelah Ibu melahirkan kamu, Ayah menemui Pak Lurah
dan meminta maaf. Bahkan saat Ayah mau membayarnya, Pak Lurah menolak.” Sebagai
bukti betapa menyesalnya ayah, ia berjanji pada ibu, setiap kali ayah berbohong
padanya, ayah bakal menanam satu bibit mangga di pekarangan rumah. Konon biar
bisa dijadikan pengingat, agar setiap kali ayah akan berbohong, ia urungkan. Ah,
malam-malam begini pikiraanku jadi melantur ke mana-mana.
Usiaku
sekarang 27 tahun. Tidak terasa sekali. Kalau boleh memilih, aku lebih baik
menjadi anak-anak saja. Aku benci menjadi dewasa. Dulu, setiap kali aku
penasaran pada sesuatu, pasti aku cari tahu sesegera mungkin bersama
kawan-kawan. Tapi sekarang, untuk memikirkannya saja aku tak berani. Banyak
pertimbangan ini dan itu. Juga banyak “tapi” dan “bagaimana kalau” serta
bejibun pertanyaan lainnya yang menghentikan langkahku. Segalanya seperti
terbatas, berbeda dengan masa kecil yang tak banyak aturan.
“Ji....”
terdengar suara ketukan pintu. Aku juga mengenal betul suara berat itu. Ada apa
malam-malam begini ayah memanggilku? Tanpa buang waktu, lekas saja aku menaruh
buku yang niatnya ingin aku baca itu. Lalu berjalan ke balik pintu dan
membukanya.
“Apa,
Yah?” kataku masih heran.
“Ayah
mau ngomong sebentar sama kamu. Tapi sebelumnya tolong buatin Ayah kopi, ya. Nanti
kamu bawa di pekarangan. Kita ngobrol di amben
aja, ya. Di dalam panas...,” pinta ayah tanpa menunggu jawaban dariku. Setelah
itu, ia berlalu lebih dulu dan keluar dari pintu dapur. Akhirnya aku menuruti
saja apa maunya. Toh, sudah lama sekali aku tidak membuatkan kopi untuk lelaki
enampuluh tahun itu. Tak terasa, ya, ayah sudah semakin menua.
Gegas
aku mengambil gelas dan kopi dari rak. Ayah paling suka kopi pahit, jadi aku
tak perlu menambahkan gula untuknya, cukup di gelasku saja. Air dari termos
segera aku tuang. Dua gelas kopi sudah jadi. Lekas aku membawanya ke
balai-balai di pekarangan rumah. Malam ini terang bulan. Langit tampak bersih
dari awan dan bintang-bintang. Cahaya rembulan menemani kami malam itu.
Barangkali ia siap untuk menguping obrolan kami.
“Kamu
ingat kapan terakhir kamu buatkan kopi untuk Ayah?” seloroh ayah setibanya aku
di balai-balai. Ia menerima kopi buatanku dengan kedua tangannya. Aku belum
memberikan jawaban, masih mencari posisi duduk yang nyaman. Kami saling berhadap-hadapan.
“Sudah
lama, Yah. Terakhir kayaknya pas aku mulai kuliah, deh,” jawabku sekenanya.
Lalu kami tertawa bersama.
“Rasanya,
baru kemarin kamu bantu Ayah menanam pohon mangga itu,” tunjuk ayah di barisan
pohon mangga paling belakang. Mangga yang sudah besar dan berbuah. Sudah berapa
tahun lamanya ya kira-kira? Aku rindu sekali menghabiskan waktu berdua begini dengan
ayah. Sesibuk itukah aku, ya? Setiap kali pulang liputan aku memilih langsung
ke kamar tanpa sekadar bertanya apakah ibu dan ayah sudah makan atau belum.
“Iya,
nggak kerasa, ya, Yah. Waktu cepet banget berlalu,” kataku malu-malu. Ayah
menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap. Lalu ia menyalakan rokok yang
sedari tadi sudah ia jepit di jarinya. Meski sudah tua, ayah masihlah perokok
aktif. Setiap kali aku paksa untuk berhenti, ayah menolak. Apa kamu mau
merenggut satu-satunya kebebasan yang ayah punya? Itu kalimat andalannya setiap
kali aku larang. Tapi bagi perokok aktif sejak remaja, aku tahu perasaan ayah
seperti apa. Aku pun begitu, setiap kali mengisap rokok dan mengembuskan
asapnya, ada semacam kelegaan yang sulit untuk digambarkan. Tetapi, aku tak
pernah berani merokok di depan ayah, sampai usia sekarang.
“Oh,
iya, Ayah tadi katanya mau ada yang diomongin sama aku?” Ayah tersenyum. Sekali
lagi ia mengisap rokoknya lalu melepaskan asap-asap putihnya ke udara.
“Nggak
ada, Ji. Ayah cuma pengen ngobrol begini aja sama kamu sebelum kamu nikah
nanti.” Aku diam untuk beberapa saat. Ada tatapan yang dalam di mata ayah. Ia
tak berani menatapku langsung. Ia melemparkan pandangannya ke ladang dan bulan.
“Kenyataan begini yang belum bisa sepenuhnya Ayah relakan. Dulu kakak-kakakmu
yang pergi dari rumah. Sekarang, nggak lama lagi bungsu Ayah ini. Rumah pasti
bakal sepi.” Ia menghela napas berat. “Tapi memang beginilah seharusnya hidup,
Ji. Ayah nggak soal sama pilihan kamu. Wong perkara cinta, masa iya mau
dicegah-cegah. Itu urusannya hati, nggak bisa diatur-atur.” Aku tertegun. Tak
menyangka kalimat itu bakal keluar dari mulutnya.
“Kalau
boleh milih, Aji juga mending jadi anak-anak aja, Yah. Mau ngapa-ngapain bebas.
Paling kalau diomelin tinggal nangis aja, kelar urusan,” aku terkekeh, berusaha
mencairkan suasana.
“Waktu
itu fana, Ji,” ucap ayah cepat. Melihat responsku yang terkesima, ia
melanjutkan, “Sudah tua begini, Ayah masih ingat, kok, penggalan puisi Pak
Sapardi itu, Ayah ubah dikit. Dulu, saat masih mengajar bahasa Indonesia, itu
puisi favorit Ayah, lho,” katanya membela diri. Aku mengangguk-angguk. Kalau
diingat-ingat, hobi menulisku ini juga bisa dibilang karena campur tangan ayah,
ia mengoleksi banyak buku di rumah.
“Kalian
belum tidur?” tiba-tiba suara lembut ibu terdengar. Seketika kami menoleh ke
pintu dapur.
“Belum,
Bu. Lagi ngajarin Aji biar jadi Bapak yang baik,” jawab ayah terkekeh. Aku
tersipu malu. Betapa beruntungnya aku masih bisa bergurau seperti ini bersama
mereka. Ibu tersenyum, tampaknya ia ingin bergabung tetapi masih ada kantuk di
matanya. Lalu ia meminta kami lekas ke dalam karena waktu semakin larut.
“Terima
kasih, ya, Yah,” ucapku singkat, tak bisa melanjutkan kata-kata. Ada air mata
yang berusaha aku tahan.
“Ayah
bangga sama kamu, Ji. Juga sama kakak-kakakmu. Tugas Ayah dan Ibu sudah
selesai, sekarang tinggal bagaimana kamu tanggung jawab dengan setiap
keputusanmu, Ji. Ayah sudah tak bisa ikut campur lagi. Pesan Ayah cuma satu, jaga
ibadahmu,” katanya tulus. Sekali lagi ia menatap ladangnya yang ditumbuhi
banyak tanaman. Lalu ia mengisap habis rokoknya. “Kamu lihat pohon mangga itu,
Ayah harap kamu bisa jadi suami yang jujur, lebih baik daripada Ayah.” Aku
mengangguk kecil sembari tersenyum. Seketika, meski malam ini di luar udara
terasa dingin, tapi di dalam dadaku ada hangat yang menjalar, dan menenangkan
hati.
Cilegon, 5 Maret
2020
2 komentar
ntaps
ReplyDeleteTengkyuu~
Delete