Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by shutterstock.com

    “Terima kasih kepada pemerintah, Kepala Desa, Pak RT, dan Pak RW atas bantuannya...,” ucap Juki di depan kamera. Belum selesai ia merekam video, Mahmud menyahut.
    “Juk, emang lu udah dapat bantuan?” Mahmud garuk-garuk kepala kebingungan.
    “Belum, Mud. Ini gue lagi latihan aja dulu. Siapa tahu dapat, kan gue udah punya stok video ucapan terima kasihnya.” Juki cekikikan. Mahmud menepok jidatnya kesal. Jam-jam segini, bisa-bisanya si Juki bikin Mahmud sebal.
    “Mau ke mana, Mud?” tanya Juki yang gantian bingung melihat Mahmud berjalan keluar gudang bekas itu.
    “Nyari makanlah. Pusing gue sama lu,” Mahmud pergi meninggalkan Juki yang masih melongo.

    Dua preman itu belum berkeluarga. Mereka tinggal di kosan yang sama. Jangan ditanya sudah berapa bulan menunggak. Cari kerja, bagi mereka sama sulitnya dengan menemukan jarum di tumpukan jerami. Lamaran kerja sudah tak terhitung jumlahnya yang mereka ajukan ke perusahaan-perusahaan. Bahkan, seringkali duit makan mereka digunakan untuk keperluan fotokopi ijazah dan segala tetek-bengeknya itu.
    Menjadi preman bukanlah keinginan mereka. Semua terpaksa dilakukan demi bertahan hidup.
    “Mau cari makan di mana, Mud?”
    “Ke tempat biasa aja, di pasar Kranggot.”
    Juki tampak berpikir. Lalu dia bertanya, “Emangnya, masih buka? Kan lagi ada corona, Mud.”
    “Udah liat aja dulu. Mau ikut kagak?” tanya Mahmud sembari menaiki motornya.
    “Ikutlah!” Juki segera membonceng ke bagian belakang. Kebanyakan preman motornya sangar-sangar dengan suara knalpot yang cempreng. Ternyata itu tidak berlaku buat dua orang ini. Mereka malah menaiki motor matic warna ungu. Sangarnya jadi berkurang jauh.
    “Berangkat!”
    ***
    Mereka telah sampai di Pasar Keranggot. Mereka memang sering nongkrong di sana sebagai preman pasar. Tapi nahas, gara-gara corona, wabah virus yang sedang menyerang seluruh dunia, membuat aktivitas manusia berubah. Termasuk di pasar. Pagi menjelang siang itu, pasar sepi. Hanya beberapa yang membuka lapak dagangan tapi nyaris tidak ada pengunjung.
    “Kagak ada yang ke pasar, Mud! Apes banget!”
    “Corona sialan! Udah mah cari kerja susah. Eh, dia nambah-nambahin bikin kita makin susah cari makan!” gerutu Mahmud.
    Selagi mereka sedang misuh-misuh, ada Andi, anak remaja yang baru keluar dari ATM.
    “Diem, Juk. Kita palak aja tuh bocah.” Mahmud menunjuk ke Andi. Terlihat dia segera memasukkan uang dan ATM ke dalam tas selempangnya. Juki yang badannya lebih besar dari Mahmud maju lebih dulu. Mereka berdiri di depan dan belakang Andi.
    “Wah, abis narik duit, nih. Bagi dong,” goda Juki. Andi tampak ketakutan melihat badan kekar mereka.
    “Iya, mending kasih kita aja, kamu ‘kan bisa narik lagi. Sini!” paksa Mahmud. Dia menarik tas selempang Andi. Terjadilah tarik-menarik tas. Namun nahas, seseorang yang memiliki postur tubuh lebih besar dari mereka, berdiri di belakangnya.
    “Ayah, tolong!” seru Andi kepada pria tinggi besar itu. Juki dan Mahmud masih bingung, sampai akhirnya bahu mereka ditepok oleh ayah Andi.
    “Diem, lu!” ucap Juki sembari menengokkan kepalanya ke belakang. Dia ketakutan dan wajahnya seketika pucat.
    “Mud, liat belakang!” suruh Juki dengan nada suara gemetar.
    “Ah, cemen banget lu. Biar gue yang lawan!” saat Mahmud menoleh, dia gentar melihat tato yang memenuhi tubuh Baron, ayah Andi.
    “Aaampuun, Baang!” Mereka tidak tahu kalau Andi adalah anak Baron, mantan preman yang ditakuti pada masanya. “Gue kira dia bukan anak Bang Baron,” tambah Juki yang pangling melihat wajah Andi.
    “I-iya, Bang. Maafin kita. Ini tadi cuma bantuin anak Bang Baron ambilin tasnya yang jatuh,” mohon Mahmud memberi alasan.
    “Bener begitu, Di?” tanya ayahnya dengan suara berat yang terdengar sangar. Andi, karena melihat kasihan kepada dua preman itu, akhirnya dia mengiyakan ucapan Mahmud.
    “Iya, Yah. Andi juga ngiranya mereka mau ambil uang Andi. Ternyata dia baik mau balikin tas yang jatuh,” kata Andi tak ingin ada keributan. “Terima kasih, ya, oom,” tambahnya kemudian berjalan ke mobil yang diparkir tidak jauh dari ATM itu. Wajar mereka tidak tahu Andi anak Baron, karena selama ini Andi tinggal bersama ibunya.
    “Awas, ya, kalau macam-macam sama anak gue!” ancam ayah Andi sembari memberi isyarat gorok leher.
    “I.. iya, Bang. Maaf,” ucap Juki yang nyalinya mulai ciut.

    Andi yang sudah ada di mobil segera memanggil ayahnya. “Ayah, hayuk. Sebentar lagi azan. Kita harus segera ke masjid,” ucap Andi. Ayahnya pergi meninggalkan Juki dan Mahmud dengan tatapan yang penuh ancaman. Meski memiliki badan besar, Juki dan Mahmud termasuk preman baru alias karbitan.
    ***
    Hari semakin siang. Juki dan Mahmud belum juga dapat target. Mereka belum makan sejak pagi. Pangkalan yang biasa dia palak, seperti pasar dan rumah makan, hari itu tutup gara-gara wabah pandemi virus corona. Imbauan pemerintah juga meminta masyarakat untuk jaga jarak dan tidak pergi jauh-jauh. Kalau tak ada keperluan yang mendesak lebih baik di rumah saja.
    “Betul-betul membunuh pekerjaan kita, ya, Juk!”
    “Iya, pemerintah nggak merhatiin kita sebagai preman, nih,” keluh Mahmud yang duduk di sebuah warung kopi yang sedang tutup.

    Azan zuhur berkumandang. Meski sudah diberi imbauan untuk menjaga jarak, beberapa warga masih melakukan ibadah berjamaah di masjid. Namun mereka semua mengenakan masker. Juki dan Mahmud memerhatikan mereka yang berjalan menuju masjid.
    “Punten, Kang,” ucap Ruslan, tetangga kosan Juki dan Mahmud. Mereka kikuk. Keduanya membalas hanya dengan anggukan kecil.
    Mahmud mengeluarkan rokok dari dalam sakunya. Juki yang melihat itu mulai mendekati Mahmud.
    “Bagi, Mud, sebat—”
    “Kagak ada lagi, ini tinggal satu-satunya,” dengus Mahmud kesal.
    “Ya, elah, pelit banget, sih, lu. Entar kalau gue punya, gue ganti, deh,” bujuk Juki sembari menarik-narik lengan baju Mahmud.
    “Gue sundut, lu, ya. dibilang cuma tinggal satu, kagak percaya lagi.”
    “Ya, udah, kalau gitu join aja.”
    “Nih, nih, ambil sama lu. Ogah gue barengan, corona congor lu!” Mahmud menyodorkan rokoknya yang baru diisap seperempat dengan terpaksa. Juki menerimanya gembira.

    Lima belas menit berlalu. Mereka masih duduk di warung kopi itu. Tak lama, ada pedagang siomay mau lewat sana. Juki dan Mahmud saling memberi kode. Namun rupanya, si tukang siomay tahu, kalau mereka pasti bakal malak dia seperti hari-hari sebelumnya. Akhirnya si tukang siomay putar balik.
    “Heh, mau ke mana, lu!”
    “Awas lu ya kalau besok ketemu lagi!!” Juki melemparkan sandalnya, tapi lemparannya gagal mengenai si tukang siomay.

    Orang-orang yang dari masjid mulai betebaran. Jarak warung itu dengan masjid tak lebih dari tigapuluh meter. Juki lekas mengambil sandalnya dan balik lagi ke bangku warung. Mahmud sibuk memerhatikan apa yang dibawa oleh orang-orang dari masjid. Hampir semua yang lewat membawa bungkusan nasi kotak. Dia menelan ludah, bersamaan dengan bunyi perutnya yang keroncongan.
    “Mas, Mas, dapat dari mana nasinya?” tanya Mahmud pada salah seorang warga yang lewat.
    “Itu, di masjid lagi ada yang bagi-bagi makanan,” jawab warga itu sambil berjalan pergi, takut dipalak.

    Sekira jarak lima meter dari warung, seseorang mengejek Juki dan Mahmud.
    “Kalau mau nasi, makanya solat. Biar dapat rezeki yang halal. Hahaha...,” ucap lelaki paruh baya itu sambil berlari. Juki siap mengejar tapi dicegah oleh Mahmud.
    “Udah, udah, biarin aja. Udah tua, kualat lu nanti,” meski mereka mengaku sebagai preman, tetapi dalam beberapa hal mereka masih mempunyai prinsip.

    Mahmud meratapi orang-orang yang lewat di hadapannya. Lalu Juki nyeletuk.
    “Mud, kita ke masjid, yuk. Siapa tahu masih ada nasinya. Laper, nih,” pinta Juki memelas.
    “Bego, lu! Kagak malu, lu! Solat kagak, minta makan ke orang-orang masjid.” Raut wajah Mahmud berubah marah. Juki masih mengelus-elus perutnya.
    “Coba tadi kita solat ke masjid, ya. sekarang pasti lagi makan, nih.” Mahmud tak meladeni keluhan Juki.

    Sementara mereka sedang berdebat, Andi dan ayahnya sedang berjalan menuju warung itu. Mereka diberitahu oleh Ruslan kalau di warung ada Juki dan Mahmud. Ia memberi tahu agar segera diusir oleh ayah Andi yang memang mantan preman. Orang-orang sekitar sana mengetahui hal itu.
    “Lagi pada ngapain lu di sini?” tanya ayah Andi yang di telinga kedua preman itu terdengar menyeramkan.
    “Oh, ng-nggak, Bang. Lagi santai aja.” Juki beringsut, berdiri di belakang Mahmud.
    “Udah pada makan belum?”
    Mahmud menggeleng. Juki hanya diam saja. Dia tahu betul bagaimana gaharnya Baron sewaktu muda dulu.
    “Kasih mereka makanannya, Andi....” Baron meminta Andi untuk membagikan nasi kotak itu kepada Juki dan Mahmud. Lekas-lekas mereka menerimanya khawatir Baron berubah pikiran.
    Lalu, dari belakang tubuh Baron, seorang perempuan cantik, berkerudung merah mendekati Mahmud dan Juki.
    “Nanti dipakai, ya,” ucapnya seraya menyodorkan masker kepada mereka berdua. Juki dan Mahmud menerimanya sambil matanya tak lepas memandangi paras Rosa, Istri Baron.
    “Ini syukuran kami. Udah, kalian cepet makan selagi hangat,” ucap Baron yang terdengar seperti nada perintah. Ia memeluk bahu Rosa mesra. “Kalau ada apa-apa, atau perlu sesuatu, kalian ke rumah aja, ya.” Juki dan Mahmud masih melongo, khawatir salah dengar. Tapi kemudian mereka mengangguk.
    “Terima kasih, Bang!” Juki dan Mahmud berebut menyalami tangan Baron yang kekar.
    “Ya, sama-sama. Assalamu’alaikum....” Baron dan keluarganya pamit. Mereka kembali ke masjid, sementara dari jauh, Ruslan terheran-heran kenapa Baron begitu baik kepada dua preman pasar itu.

    Tanpa buang waktu, Juki dan Mahmud segera membuka nasi kotak itu dan siap melahapnya. Mereka setengah tak percaya, ternyata masih ada orang yang baik hati, yang mau berbagi tanpa memandang bulu dan perilaku.[]

    Cilegon, 15 Mei 2020

    Continue Reading
    credit by freepik.com

    Barangkali, kalau bukan karena orang tua, aku lebih memilih pergi meninggalkan rumah. Aku berani bilang, banyak keluarga bisa rukun itu karena terikat pada orang tuanya. Temanku pernah cerita, kalau ia dan keluarganya sudah tak pernah pulang kampung sejak ayah dan ibunya meninggal dunia. Bukankah itu artinya orang tualah yang membuat kita mau jauh-jauh kembali dari perantauan hanya untuk berjumpa dengan mereka? Kau pernah juga berpikir demikian, kan? Ah, terserah, sih, kalaupun tidak, aku toh tak peduli. Setidakpedulinya kakak-kakakku ketika aku memilih untuk menikahi Airin.

    Ini akan terdengar menyebalkan, namun aku sudah tak kuat menahan berlarut-larut kisah ini. Aku mencintai Airin sama besarnya seperti aku mencintai orang tuaku. Masa bodolah dengan kakak-kakakku. Toh mereka juga memilih pergi dari rumah sejak berkeluarga. Maksudku, boleh saja pergi, tapi seharusnya mereka tahu kapan waktunya kembali. Lebaran tahun lalu saja tak pernah ada yang datang. Alasannya, mereka mesti pulang kampung ke rumah mertua. Mentang-mentang aku yang bungsu dan masih bujang, akulah yang diminta menjaga orang tua di rumah. Dan aku dicegah untuk pergi ke mana-mana. Giliran aku bilang mau menikahi perempuan dari pulau seberang, mereka semua melarang-larang. Apa hak mereka?

    Ayah dan ibu sebetulnya sudah merestui dan mau menemaniku melamar Airin. Tapi Bagus—aku malas menyebutnya kakak—menghasut ibu kalau watak orang dari pulau asal Airin itu keras dan susah diajak kompromi. Termasuk soal adat-istiadat. “Pokoknya bakal repot keluarga kita ke depannya, Bu. Abang bilang begini juga demi kebaikan Aji!” Ah, omong-kosong! Sebenarnya aku tahu bukan itu alasan sesungguhnya. Kau hanya tak mau repot, kan, mengurus ayah dan ibu sementara aku pergi merantau dan tinggal bersama Airin di kampungnya?

    “Kamu masa tak kepincut sama orang kampung sini. Yang dekat sajalah. Teman sekolah kamu masa nggak ada?” Wida, kakak keduaku, ikut bicara. Aku malas menanggapi ucapan mereka. Kalau bukan karena aku mau menikah dengan Airin, mereka mana mau jauh-jauh datang ke sini. Mereka melakukannya karena terpaksa, aku tahu itu. Dan demi keuntungannya sendiri.

    “Kalau Ibu, bagaimana kamu saja, Ji. Selama kamu bahagia dengan pilihanmu, Ibu juga ikut bahagia,” ucap ibuku bijak. Ia memang paling mengerti aku. Sementara ayah, ia tak banyak bicara. Pandangannya jauh ke luar rumah, sembari mengisap rokok di jari tangannya. Apa sebenarnya ia juga setuju? Tapi, sejak pernikahan kakak-kakakku pun, ayah tak pernah urun saran atau melarang ini-itu. Ia diam saja tak mau ambil pusing. Keputusan ibu sepertinya keputusan ayah juga.

    “Terima kasih Abang dan Mbak sudah memberi saran. Tapi aku sudah besar, bukan lagi adik bungsu kalian yang bisa diatur-atur. Biarkan aku menentukan pilihanku sendiri. Dan kalaupun aku salah dengan pilihan ini nantinya, biarlah aku menyesal karena keputusanku sendiri, bukan karena orang lain,” kataku terdengar cukup keras dan tak memberi celah untuk mereka bicara. Suasana sunyi beberapa jenak. Bahkan bunyi jam dinding bisa terdengar. “Aku ke kamar dulu, ada yang mesti aku kerjakan,” tambahku kemudian, menghindari kecanggungan.

    Mereka tak berani mencegah, karena mereka tahu aku seorang jurnalis dan penulis. Kerjaanku kalau malam begini memang banyak dilakukan di dalam kamar. Tiap pagi sampai sore aku memang jarang di rumah. Sebetulnya, kalaupun orang tua kami ditinggal berdua di rumah, aku yakin mereka baik-baik saja. Ayahku seorang pensiunan guru, dan ibu seorang penjahit. Namun sudah lama juga ia tak lagi menerima orderan. Aku yang meminta ibu untuk berhenti bekerja. Biar aku saja, ini memang sudah giliranku untuk mengurus mereka. Sehari-hari, ayah dan ibu menghabiskan waktu di ladang. Aku tak bisa menahan mereka dari hobinya itu. Sejak aku kecil, aku memang sudah sering diajak menanam banyak pohon. Ketika aku beranjak dewasa, pohon-pohon itu juga sudah tumbuh besar dengan buah yang berlimpah.

    Ayah bilang, barisan pohon mangga di pekarangan rumah itu adalah jumlah dosa ayah kepada ibu. Waktu ayah cerita itu, aku masih kecil. Aku tak paham maksudnya. Tapi setelah remaja, aku dapat cerita lengkapnya dari ibu. Katanya, ayah adalah lelaki paling jujur yang pernah ibu kenal. Dulu, hidup orang tuaku belum stabil. Untuk membeli beras saja, ibu harus tebal muka karena mesti berani berutang di warung Mbok Darmi. Ibu tak masalah diomeli Mbok Darmi dan jadi omongan tetangga, ibu anggap itu angin lalu saja. Aku ingat betul, setiap kali ibu berkisah soal masa lalu, kedua matanya akan berkaca-kaca. Setelahnya ia akan tersenyum, berusaha tegar di hadapan anak-anaknya.

    Pernah suatu hari ibu marah besar, karena saat mengandungku, ibu mengidam mangga muda. Ayah tentu tak masalah, itu hal wajar bagi ibu hamil. Tetapi, yang repot, ibu memintanya saat malam hari. Ayah kewalahan mencari mangga muda di jam satu malam saat itu. Ibu akan tertawa dan memperlihatkan gigi gingsulnya setiap kali bercerita soal ini. Akhirnya, lanjut ibu, ayah pergi ke pasar. Ibu, sih, yakin saja dengan ucapan ayah. Karena tidak lama berselang ia kembali membawa satu kilo mangga muda. Menutupi kecurigaan ibu ayah menunjukkan struk dari sobekan kardus. Ia bilang beli dari pasar kecamatan, warungnya hampir tutup.

    Ternyata, setelah aku lahir ayah barulah mengakui kalau kejadian itu adalah hasil karangannya saja. Yang terjadi sebenarnya ialah ayah mengendap-endap ke rumah Pak Lurah. Ia mencuri beberapa buah mangga yang belum masak dari pekarangan Pak Lurah. “Tapi Ayah nggak betul-betul mencuri. Ayah tetap naruh beberapa lembar uang di teras rumahnya,” serobot ayah membela diri. Kisah ini memang sering sekali ibu ceritakan di dapur atau di ladang kepada anak-anaknya.
    “Iya, tapi pasti uangnya nggak cukup, kan, untuk mangga satu kilo?” potong ibu cepat, sebal pada ayah. Lalu ayah akan tersenyum kecut sementara aku tertawa puas. Melihat itu ia segera menggelitiki perutku sampai aku keluar air mata.

    “Jadi aku anak haram, dong, Bu?” kataku sedih. Kalimat itu aku dapatkan dari Bagus, ia tahu kisah ini dan selalu menggodaku dengan ucapan itu. Tapi ayah pasti akan menjawab, “Tentu tidak. Kan setelah Ibu melahirkan kamu, Ayah menemui Pak Lurah dan meminta maaf. Bahkan saat Ayah mau membayarnya, Pak Lurah menolak.” Sebagai bukti betapa menyesalnya ayah, ia berjanji pada ibu, setiap kali ayah berbohong padanya, ayah bakal menanam satu bibit mangga di pekarangan rumah. Konon biar bisa dijadikan pengingat, agar setiap kali ayah akan berbohong, ia urungkan. Ah, malam-malam begini pikiraanku jadi melantur ke mana-mana.

    Usiaku sekarang 27 tahun. Tidak terasa sekali. Kalau boleh memilih, aku lebih baik menjadi anak-anak saja. Aku benci menjadi dewasa. Dulu, setiap kali aku penasaran pada sesuatu, pasti aku cari tahu sesegera mungkin bersama kawan-kawan. Tapi sekarang, untuk memikirkannya saja aku tak berani. Banyak pertimbangan ini dan itu. Juga banyak “tapi” dan “bagaimana kalau” serta bejibun pertanyaan lainnya yang menghentikan langkahku. Segalanya seperti terbatas, berbeda dengan masa kecil yang tak banyak aturan.
    “Ji....” terdengar suara ketukan pintu. Aku juga mengenal betul suara berat itu. Ada apa malam-malam begini ayah memanggilku? Tanpa buang waktu, lekas saja aku menaruh buku yang niatnya ingin aku baca itu. Lalu berjalan ke balik pintu dan membukanya.
    “Apa, Yah?” kataku masih heran.
    “Ayah mau ngomong sebentar sama kamu. Tapi sebelumnya tolong buatin Ayah kopi, ya. Nanti kamu bawa di pekarangan. Kita ngobrol di amben aja, ya. Di dalam panas...,” pinta ayah tanpa menunggu jawaban dariku. Setelah itu, ia berlalu lebih dulu dan keluar dari pintu dapur. Akhirnya aku menuruti saja apa maunya. Toh, sudah lama sekali aku tidak membuatkan kopi untuk lelaki enampuluh tahun itu. Tak terasa, ya, ayah sudah semakin menua.

    Gegas aku mengambil gelas dan kopi dari rak. Ayah paling suka kopi pahit, jadi aku tak perlu menambahkan gula untuknya, cukup di gelasku saja. Air dari termos segera aku tuang. Dua gelas kopi sudah jadi. Lekas aku membawanya ke balai-balai di pekarangan rumah. Malam ini terang bulan. Langit tampak bersih dari awan dan bintang-bintang. Cahaya rembulan menemani kami malam itu. Barangkali ia siap untuk menguping obrolan kami.

    “Kamu ingat kapan terakhir kamu buatkan kopi untuk Ayah?” seloroh ayah setibanya aku di balai-balai. Ia menerima kopi buatanku dengan kedua tangannya. Aku belum memberikan jawaban, masih mencari posisi duduk yang nyaman. Kami saling berhadap-hadapan.
    “Sudah lama, Yah. Terakhir kayaknya pas aku mulai kuliah, deh,” jawabku sekenanya. Lalu kami tertawa bersama.
    “Rasanya, baru kemarin kamu bantu Ayah menanam pohon mangga itu,” tunjuk ayah di barisan pohon mangga paling belakang. Mangga yang sudah besar dan berbuah. Sudah berapa tahun lamanya ya kira-kira? Aku rindu sekali menghabiskan waktu berdua begini dengan ayah. Sesibuk itukah aku, ya? Setiap kali pulang liputan aku memilih langsung ke kamar tanpa sekadar bertanya apakah ibu dan ayah sudah makan atau belum.

    “Iya, nggak kerasa, ya, Yah. Waktu cepet banget berlalu,” kataku malu-malu. Ayah menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap. Lalu ia menyalakan rokok yang sedari tadi sudah ia jepit di jarinya. Meski sudah tua, ayah masihlah perokok aktif. Setiap kali aku paksa untuk berhenti, ayah menolak. Apa kamu mau merenggut satu-satunya kebebasan yang ayah punya? Itu kalimat andalannya setiap kali aku larang. Tapi bagi perokok aktif sejak remaja, aku tahu perasaan ayah seperti apa. Aku pun begitu, setiap kali mengisap rokok dan mengembuskan asapnya, ada semacam kelegaan yang sulit untuk digambarkan. Tetapi, aku tak pernah berani merokok di depan ayah, sampai usia sekarang.

    “Oh, iya, Ayah tadi katanya mau ada yang diomongin sama aku?” Ayah tersenyum. Sekali lagi ia mengisap rokoknya lalu melepaskan asap-asap putihnya ke udara.
    “Nggak ada, Ji. Ayah cuma pengen ngobrol begini aja sama kamu sebelum kamu nikah nanti.” Aku diam untuk beberapa saat. Ada tatapan yang dalam di mata ayah. Ia tak berani menatapku langsung. Ia melemparkan pandangannya ke ladang dan bulan. “Kenyataan begini yang belum bisa sepenuhnya Ayah relakan. Dulu kakak-kakakmu yang pergi dari rumah. Sekarang, nggak lama lagi bungsu Ayah ini. Rumah pasti bakal sepi.” Ia menghela napas berat. “Tapi memang beginilah seharusnya hidup, Ji. Ayah nggak soal sama pilihan kamu. Wong perkara cinta, masa iya mau dicegah-cegah. Itu urusannya hati, nggak bisa diatur-atur.” Aku tertegun. Tak menyangka kalimat itu bakal keluar dari mulutnya.

    “Kalau boleh milih, Aji juga mending jadi anak-anak aja, Yah. Mau ngapa-ngapain bebas. Paling kalau diomelin tinggal nangis aja, kelar urusan,” aku terkekeh, berusaha mencairkan suasana.
    “Waktu itu fana, Ji,” ucap ayah cepat. Melihat responsku yang terkesima, ia melanjutkan, “Sudah tua begini, Ayah masih ingat, kok, penggalan puisi Pak Sapardi itu, Ayah ubah dikit. Dulu, saat masih mengajar bahasa Indonesia, itu puisi favorit Ayah, lho,” katanya membela diri. Aku mengangguk-angguk. Kalau diingat-ingat, hobi menulisku ini juga bisa dibilang karena campur tangan ayah, ia mengoleksi banyak buku di rumah.
    “Kalian belum tidur?” tiba-tiba suara lembut ibu terdengar. Seketika kami menoleh ke pintu dapur.
    “Belum, Bu. Lagi ngajarin Aji biar jadi Bapak yang baik,” jawab ayah terkekeh. Aku tersipu malu. Betapa beruntungnya aku masih bisa bergurau seperti ini bersama mereka. Ibu tersenyum, tampaknya ia ingin bergabung tetapi masih ada kantuk di matanya. Lalu ia meminta kami lekas ke dalam karena waktu semakin larut.
    “Terima kasih, ya, Yah,” ucapku singkat, tak bisa melanjutkan kata-kata. Ada air mata yang berusaha aku tahan.
    “Ayah bangga sama kamu, Ji. Juga sama kakak-kakakmu. Tugas Ayah dan Ibu sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana kamu tanggung jawab dengan setiap keputusanmu, Ji. Ayah sudah tak bisa ikut campur lagi. Pesan Ayah cuma satu, jaga ibadahmu,” katanya tulus. Sekali lagi ia menatap ladangnya yang ditumbuhi banyak tanaman. Lalu ia mengisap habis rokoknya. “Kamu lihat pohon mangga itu, Ayah harap kamu bisa jadi suami yang jujur, lebih baik daripada Ayah.” Aku mengangguk kecil sembari tersenyum. Seketika, meski malam ini di luar udara terasa dingin, tapi di dalam dadaku ada hangat yang menjalar, dan menenangkan hati.

    Cilegon, 5 Maret 2020

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ▼  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ▼  May (2)
        • [Cerpen] Pohon Mangga di Pekarangan Rumah
        • [Cerpen] Preman Pasar Kranggot
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top