[Cerpen] Preambul: Tokohmu yang Membacakan Cerita (Nyonthong.com, 21 Mei 2018)
May 21, 2018
/1/
Saya akan
menggila malam ini. Dunia sudah tidak menarik minat saya. Orang-orang sudah
semakin pandai berbohong. Kata-kata hilang makna dan segala yang ada sudah tak
layak untuk direnungkan. Buku-buku yang dihasilkan dari para—yang
mengaku—penulis, pemikir, ilmuwan, profesor, peneliti, atau apa pun sebutan
elitnya tidak lagi menghasilkan apa-apa selain omong kosong. Segala fakta yang
difiksikan juga fiksi yang diolah sebaik fakta, semakin sulit dikenali.
Orang-orang bersembunyi di balik kebohongan dan kebodohannya masing-masing. Makhluk
yang semestinya menjadi manusia itu, seperti sesuatu yang tak lagi penting.
Asalkan hidupmu aman, jauh dari teror, banyak teman, sekalipun hasil menjilat
dan bermuslihat..., jalanilah. Jadi, persetan dengan koruptor, teroris,
peneror, pembunuh, pemerkosa, fasisme, pendemo, anarkisme, dan segala perilaku
mengancam kehidupan bernegara dan bermasyarakat itu. Jauh-jauhlah kalian dari
lingkaran mereka; jalanilah hidupmu yang monoton dan nyaris tidak ada polemik
itu, sekalipun dalam hal ini berkonflik dengan para pembuat onar nyaris sangat
dibutuhkan.
Aku berhenti membaca setelah pintu kamar ada yang
mengetuk. Jam malam begini, siapa sekiranya yang hendak bertamu? Aku tak maulah
bermain-main a la sinetron. Atau
tebak-tebak buah manggis. Tunggu, satu paragraf lagi....
Seharusnya
negara ditiadakan saja. Batas-batas wilayah, teritori atau kekuasaan baiknya
dihapuskan. Sebab semua sudah merasa bisa mengatur hidupnya sendiri. Bahkan,
barangkali manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuh....
Tok...
tok...tok....
Baiklah!
“Siapa?” aku bertanya. Seseorang di luar masih mengetuk
pintu berulang-ulang. Terpaksa aku lemparkan buku yang ada digenggaman ke
lantai. Sampai mana tadi aku membaca, sial, aku lupa memberi tanda.
“Barangkali
manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuhan...,” katanya tiba-tiba setelah
pintu kubuka.
“Maaf, Anda siapa?”
“Herannya, saya malah tidak lagi mengenali siapa diri
saya. Orang-orang yang telah meniadakan saya. Mereka selalu ingin dianggap
penting kehadirannya sedang tidak sebaliknya.” Aku tidak memahami
racauannya.
“Duh, sudah, deh,
ya. Maaf, saya harus istirahat. Besok pagi saya harus berangkat kerja,” kataku
berusaha menutup pintu. Namun dengan sigap ia lekas memasuki kamar indekosku.
“Kemampuan nalar
semakin pudar. Empati, simpati, rasa peduli dan mengasihi sudah bukan lagi
sifat dasar manusia. Nurani menjadi kata purba yang telah punah ribuan tahun
lamanya. Spesies manusia pun selayaknya diganti dengan robot, yang segala sesuatunya
bertindak tidak lagi sesuai pikiran kritisnya.”
“Kalau mau ngobrol,
besok lagi saja, ya. Atau Anda salah orang kayaknya. Saya tak ingat wajah Anda
bahkan tidak kenal sama sekali.” Aku tarik lengan berbulunya itu. Pria dengan
kaus oblong putih, dengan bercak merah di lingkar lehernya, yang kutaksir
seusia denganku, diam saja. Ia terus cuap-cuap namun tanpa suara. Saat berhasil
membawanya keluar, aku lekas mengunci pintu kamar.
Kurebahkan lagi tubuhku di kasur. Buku yang tadi
kulempar, lekas kuambil, kubuka-buka sebentar. Halaman berapa tadi aku berhenti
membacanya? Hmm..., nah, ketemu!
Barangkali
manusia sudah tidak lagi membutuhkan Tuhan. Herannya, saya malah tidak lagi
mengenali siapa diri saya. Orang-orang yang telah meniadakan saya. Mereka
selalu ingin dianggap penting kehadirannya sedang tidak sebaliknya....
Aku berhenti membaca. Ada perasaan yang timbul dan
tiba-tiba mengganggu pikiran. Kalimat di paragraf buku ini sama persis seperti apa
yang orang tadi katakan?!
Sejujurnya aku agak ngeri dan merinding. Apakah ini
nyata? Atau barangkali aku sedang bermimpi? Namun, karena rasa penasaran aku
lekas keluar berusaha mencari pria misterius tadi.
Pintu kubuka.
Orang yang kucari tidak ada. Di luar indekos, di
lantai dua ini, sunyi-senyap. Bahkan suara dengkur atau cuap-cuap tetangga pun
tiada kudengar. Ah, malam Jumat durjana. Tuhan sedang bermain-main denganku
sepertinya. Pintu kukunci kembali. Buku yang isinya nyaris racauan semua itu
aku biarkan ia tergeletak di lantai. Ia pantas mendapatkannya!
Aku berusaha mengingat-ingat dari mana buku itu
berasal. Namun belum juga berhasil. Ah, sial! Malam-malam begini, kenapa sulit
sekali untuk tidur? Andai Ardhelia masih ada di sini, sudah kupeluk ia sebagai
penghangat malamku.
/2/
Aku kembali ke rak buku—kalau bisa disebut demikian.
Bukan hidup seperti ini yang aku inginkan sebenarnya. Aku ingin bisa mengatur
waktu kerjaku sendiri. Bukan monoton seperti yang kukerjakan selama dua bulan
terakhir ini. Aku rindu kampung halaman. Aku rindu kawan-kawan. Aku rindu Ardhelia.
Masihkah ia setia menantiku pulang?
Tahukah kamu
apa itu cinta? Ia bukan tempat bertukar syahwat semata. Ia bukan kendaraan yang
mengantarkan ke mana tujuan akhirmu lalu kau meninggalkannya. Ia..., like a game. Sometimes you
win, and sometimes you lose. So simple like that.
“Assalamu’alaikum....”
Lagi-lagi suara pintu diketuk. Aku heran ada apa
dengan malam ini. Ingin aku abaikan tapi justru bakal menimbulkan kegaduhan
yang tak ada ujungnya. Buku yang baru kubaca pengantarnya itu terpaksa harus
kutahan lagi. Ujungnya aku lipat agar tidak lagi lupa di bagian mana aku
berhenti. Gegas aku menuju pintu, membuka kunci dan....
“Selamat malam, Pak.”
Anak kecil?
“Gadis manis, kamu siapa?”
“Namaku Cinta.
Lahir dari sepasang manusia yang gagal.”
Sial, lelucon apa lagi ini. “Berapa usiamu?”
“Cinta tak
mengenal usia. Ia hanya bisa dinilai dari kebijaksanaannya.”
“Oh, shit!
Biar saya tebak, kamu agen yang bekerja untuk sebuah acara televisi, kan? Di
mana kameranya?” aku celingukan bahkan hingga melongok ke lantai dasar. Dari
balkon kamar ini, tak ada siapa-siapa yang dapat terjangkau mataku.
“Cinta tidak
kenal kompromi, Pak. Aku adalah cinta sejati yang tak pernah datang sembunyi-sembunyi.”
Ia melangkah masuk dan mengambil sebuah cermin.
“Hei! Siapa orang yang bertanggung jawab untukmu?”
“Cinta adalah
semesta. Pandanglah cermin ini, ia adalah apa yang kamu lihat. Tanggung jawab
hanya bagi mereka yang pengecut!”
“Adik kecil, lanjutkan drama ini besok di sekolahmu,
ya. Pulanglah..., saya sangat menyesal harus mengatakan ini, orangtuamu pasti
khawatir...,” belum selesai aku mengembuskan napas, ia membanting cermin
pemberian Ardhelia itu ke lantai. Hancur berkeping-keping! Keparat kecil!
“Hei, apa masalahmu! Siapa yang kau cari sebenarnya?!”
kutarik lengan kanannya. Mulanya ia berontak, namun kesabaranku sudah hilang.
Kuseret ia dan sekarang sudah berdiri di depan pintu!
“Cinta sejati tidak
pernah mencari. Cinta sejati itu saling menemukan!” suaranya meninggi, wajahnya
lebih murka dariku. Ia mengentakkan kakinya ke lantai lalu pergi. Aku sudah tak
peduli lagi. Terserah ia hendak ke mana setelah ini. Jam sudah pukul 02.00
pagi. Aku bisa datang terlambat ke kantor nanti. Niat hati ingin tenang dengan
membaca buku, ini malam kenapa malah makin rumit begini. Pecahan beling terserak
ke segala arah. Kuambil sapu dan mengumpulkannya di balik pintu. Besok lagi
saja aku buang.
Mataku entah mengapa terpaku pada buku yang tadi
sedang kubaca. Ada dorongan kuat untuk meneruskan membaca tubuhnya. Dan pada
bagian yang kutandai tertulis: cinta
seharusnya menyembuhkan luka, bukan mendatangkan derita....
/3/
Untuk kesekian kalinya, pintu kembali gaduh. Bukan
suara diketuk, tetapi dari luar, seseorang memiliki kunci duplikat kamarku. Ia
membukanya.
“Siapa kau?”
“Pakai ini,” ia melayangkan kaos oblong putih. “Lepaskan
baju kerjamu yang berlumur darah itu. Bajumulah yang bakal jadi bukti kunci dan
kau tak akan bisa mengelak lagi.”
“Apa yang kau katakan, Bung?” aku betul-betul bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kemarikan kedua tanganmu. Seorang wanita hamil sedang
menunggumu di luar. Ayo ikut!” Herannya, aku seperti kena hipnotis. Kali ini
aku betul-betul tidak melawan. Aku manut saja berganti baju dan menyodorkan
kedua tanganku untuk ia borgol. Lalu aku diajaknya keluar, meninggalkan kamar.
Rupanya tidak selesai di situ. Suasana di luar berubah seketika. Sisi kanan,
sisi kiri, bagian depan dan bawah lantai kamar berisiknya bukan main. Entah
bagaimana aku baru menyadarinya. Orang-orang ramai mendorong-menendangi pintu
jeruji. Aneh, pintu kamarku pun berubah seperti dibui. Kapan mereka
menggantinya? Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?
“Hei! Jangan pura-pura tuli! Apakah itu kau yang
melakukan semua ini? Jelaskan apa yang sebetulnya terjadi? Apa yang kau mau
dari kami?”
Belum sempat saya menjawab kekurangajarannya, istri
saya memanggil dari balik pintu kamar.
“Makan dulu, Pa. Mama sudah buatkan sup iga sapi
kesukaan Papa.” Lihat, betapa beruntungnya saya mendapatkan pasangan hidup
seindah dia.
“Tiga menit lagi papa turun, Ma.”
“Sudah, deh,
Pa. Tunda sebentar. Kerja dengan perut kosong bakal susah berpikir,” ia
menyarankan sembari cemberut. Barusan adalah sebaris kalimat yang selalu saya
dengar hampir setiap jam makan tiba. Itu yang akan saya rindukan setiap kali
pergi jauh dari rumah.
Saya mengembuskan napas panjang. Masih butuh
berpuluh-puluh halaman lagi untuk menyelesaikan apa yang saya tulis. Sedangkan deadline sudah tinggal menghitung hari.
Tapi, jangan sampai membuat istrimu marah. Baiklah, saya berhenti sejenak.
Makan malam tidak akan membuat hari cepat berakhir. Tak masalah, saya akan
tinggalkan sipir, anak kecil, penggerutu, wanita hamil dan..., hei, ke mana si
pekerja kantor pergi? Bukankah ia tadi masih di depan penjara?
“Saya di sini bodoh!” seberkas suara aneh terdengar
dari belakang tengkuk saya. “Jangan menuliskan nasib orang lain sesuka
dengkulmu. Kau buat saya sengsara hampir di setiap lembar halaman. Kau pikir
kau tuhan?” sipir penjara tak berdaya. Ia ternyata sudah dikalahkan. Ada
potongan beling dalam genggaman si pekerja kantor. Gawat, saya tidak bisa
berkutik. Ia kini sudah menaruhnya di depan leher saya. Sedikit saja saya
bergerak, ia pasti tidak akan sungkan menyayatkannya.
“Apa maumu?” kata saya kemudian, dengan suara
bergetar. Sungguh tidak menyangka tubuhnya sebesar ini ketika berhadapan
langsung.
“Kemarikan laptopmu,” saya menurutinya. Kacau! Tugas
kantor dan semua pekerjaan saya tengah terancam. Bagaimana kalau setelah ini
saya dipecat? “biar saya beritahu padamu cara memulai sebuah cerita....”
/4/
Telepon berdering. Badrun meletakkan buku tak jelas
itu di lantainya yang kotor. Matanya mencari di sebelah mana ia menaruh telepon
genggamnya. Buku-buku berserakan di depan pintu masuk, atas televisi, bawah
kasur, kolong ranjang, dalam lemari bahkan sampai ada yang dijadikan bantal dan
ganjal pintu kakusnya. Telepon genggam itu belum juga ketemu.
“Sial, di mana saya menaruhnya? Siapa pula yang
menelepon malam-malam begini?” rutuknya. Ia geram mendengar bunyi sember dari
teleponnya itu. “Nah, ketemu!” Badrun gegas mengambil telepon yang ternyata
tertindih buku di atas televisinya.
“Halo, siapa ini?” ia asing dengan nomor di layar
teleponnya.
“Saya akan
menggila malam ini. Dunia sudah tidak ada yang menarik minat saya. Orang-orang
sudah semakin pandai berbohong. Kata-kata hilang makna dan segala yang ada
sudah tak layak untuk direnungkan. Buku-buku yang dihasilkan dari para—yang
mengaku—penulis, pemikir, ilmuwan, profesor, peneliti, atau apa pun sebutan
elitnya tidak lagi menghasilkan apa-apa selain omong kosong. Segala fakta yang
difiksikan juga fiksi yang diolah sebaik fakta, semakin sulit dikenali...,”
suara dari ujung telepon belum selesai berkata, Badrun sudah memutusnya lebih
dulu. Ia lemparkan telepon itu ke luar jendela. Sungguh amat disayangkan.
Betapa malang nasibnya, ia akan melewatkan sebuah cerita yang baru saja ingin aku
mulai.[]
Cilegon, 25 Februari 2018
__________________________
*) Pernah dimuat di www.Nyonthong.com, (21/05) >>> Preambul: Tokohmu yang Membacakan Cerita
3 komentar
Berkelas
ReplyDeletewaduh dikomen sastrawan, makasih bangs~
DeleteDespite the fact that people can lie as you say, it’s worth paying attention to many positive moments that surround us, as this will help balance your life.
ReplyDelete