[Cerpen] Imam Masjid (Republika, 20 Mei 2018)
May 21, 2018ilustrasi Da’an Yahya/Republika |
Dua hari kemarin seorang marbut
masjid, Mang Badrun, selesai membagikan surat undangan ke beberapa warga Kampung
Cibelenger. Tidak sembarang orang yang mendapatkan undangan khusus itu. Memang
benar yang menulis undangannya Mang Badrun, tetapi nama-nama yang tertera dalam
undangan diperoleh dari seorang tetua yang sangat disegani. Ia hanya diminta
mengetikkan nama darinya, lalu mencetak dan menyebarkan undangannya sebelum
malam ini tiba.
Bakda isya satu per satu warga
berdatangan ke masjid. Tidak menerima undangan khusus bukan berarti mereka tak
boleh hadir. Kau akan tahu apa pentingnya undangan itu setelah kalimat ini.
Haji Masykur sang saudagar datang
paling awal di antara penerima undangan lainnya. Baju gamis dan kain sarung
yang dikenakannya tampak mewah di mata warga. Ia dikenal pandai mengaji dan khatam
urusan tajwid serta makhorijul huruf.
Karpet berwarna hijau merah telah lebih dahulu digelar di teras oleh Mang
Badrun. Haji Masykur duduk di sisi pintu paling kanan. Terlihat olehnya dari arah
pintu gerbang, Ustaz Rasyid melangkah masuk diikuti dua orang santrinya.
Berpostur tinggi tegap dengan kopiah putih dan serban di kepala menegaskan ia
sebagai pendiri salah satu pesantren di kampung tersebut.
“Assalamu’alaikum...,” sahutnya ramah sembari melepaskan sandalnya. Salah
satu santrinya gegas merapikan sandal sang guru. Belum ia duduk, sebagian warga
menyalami tangannya. Anak dan kemenakan mereka banyak yang mengaji kitab kuning
di pesantren Ustaz Rasyid.
Penerima undangan berikutnya datang
membawa mobil. Seorang sopir memarkirnya di pelataran masjid. Lalu ia
membukakan pintu belakang. Seorang pria berparas tampan, dengan setelan jas hitam
dan sepatu mengilap, keluar dari dalam mobil. Ia Haji Salim, putra dari almarhum
Kiai Shidiq, kiai besar di kampung Cibelenger yang wafat sebulan lalu.
Ia menebarkan senyumnya.
Tangannya merapikan sedikit letak kopiah hitam di kepala, lalu berjalan ke
teras masjid. Dibanding dua penerima undangan yang sudah hadir, ia berpakaian
paling berbeda. Haji Salim pewaris tunggal atas kekayaan abahnya, empatpuluh
persen dana pembangunan masjid disumbang oleh Kiai Shidiq. Tak heran banyak
warga yang biasa memohon pinjaman uang padanya. Selain itu, ia dikenal memiliki
suara merdu saat melantunkan ayat suci Alquran.
Dalam surat undangan, tertulis
musyawarah dimulai jam delapan malam. Tiga kandidat imam masjid Kampung Cibelenger
sudah duduk bersebelahan. Mereka bercengkerama alakadarnya sembari menunggu
tetua kampung datang. Sorot mata warga tidak lepas dari tiga orang di hadapannya.
Setelahnya, mereka saling berbisik dan menerka. Gelar imam masjid di kampung
Cibelenger adalah sebuah gengsi. Bukan soal dibayar atau tidak, tetapi ini soal
harga diri. Belum sempurna ilmu agamanya bila belum mengimami salat di masjid
Cibelenger. Itu yang ada di benak para warganya. Kampung lain cukup menaruh
hormat pada kampung seribu santri ini—begitu julukannya.
Lima menit berselang dan Pak Kiai
Djasim datang. Bukan dari luar gerbang, tetapi dari dalam masjid yang remang.
Rupanya sejak isya tadi ia tidak pulang, tetapi melakukan iktikaf dan berzikir
sambil menunggu semuanya berkumpul.
Tiga calon imam yang duduk dekat
pintu masjid lekas berdiri. Mereka menjabat tangan Kiai Djasim dan menciumi
punggung tangannya. Begitu juga para warga, mereka saling berebut ke depan. Pak
Kiai tersenyum, lalu mengangguk dan meminta semua kembali duduk. Ia membuka
musyawarah malam itu dengan mengajak warga membaca surah alftihah bersama-sama.
“Hatur nuhun atas kesediaan saudara sekalian untuk hadir pada malam
ini,” ia mulai ke pokok pembahasan, “kule
yakin, ningali kekompakan warga mengketen, insya Allah kampung Cibelenger bakal baik-baik saos.[1]”
Dialek bahasa jawa bebasan-nya
terdengar kental di telinga warga.
Mang Badrun membawa teko dan
beberapa cangkir berisi teh hangat. Ia mohon izin untuk menaruhnya di hadapan
tetua dan para undangan. Pak Kiai mempersilakan lalu mulai kembali berbicara,
“mungkin warga sekalian sudah tahu apa tujuan musyawarah malam ini. Selebaran
sudah dipasang di tembok masjid dan tiga orang yang diundang telah hadir....” Mang
Badrun kali ini membawa teko untuk warga. Ia meletakkannya di tengah
orang-orang yang duduk melingkar. Setelah itu ia mundur kembali dan duduk di
paling belakang.
Tetua memaparkan kalau pemilihan
imam masjid sudah umum dilakukan di Kampung Cibelenger sejak dulu. Ini adalah
adat serta tradisi turun-temurun demi menjaga kualitas seorang pemimpin dalam
mendirikan ibadah salat. “Kebetulan, saya yang dituakan dan mendapat amanah
berat ini dari kiai-kiai yang sudah lebih dulu pergi. Semoga saudara sekalian
dapat menerimanya dengan berbesar hati,” katanya tawaduk. Warga mengangguk
termasuk tiga orang di kanan-kirinya.
Hari semakin malam. Kiai Djasim
tak mau mengulur waktu terlalu lama. “Punten,
saya akan segera meminta kepada saudara-saudara di depan ini untuk menunjukkan
kemampuan membaca Alqurannya terlebih dahulu. Baru setelahnya akan sedikit
membahas mengenai pengetahuan soal ilmu fikih dan lainnya.” Kiai Djasim
seketika terkenang masa-masa ketika ia dulu di posisi mereka. Ia murid dari
Kiai Shidiq dan saat diminta mengaji di depan warga tubuhnya bergetar dan
keringat tak henti-hentinya mengalir. Waktu terus berjalan. Tak terasa kini ia
ada pada posisi sebagai tetua kampung.
Ustaz Rasyid dengan amat yakin mengajukan
diri lebih dulu. Dalam hatinya barangkali menganggap ini adalah hal mudah.
Karena hampir setiap hari ia menguruk[2]
santri-santrinya mengaji. Sudah banyak tempat ia datangi untuk menimba ilmu agama
sewaktu muda dulu. Selesai dari satu mubalig lanjut ke ulama yang lain. Dari
ahli qiraah ke ahli fikih yang lain.
“Katuran Pak Ustaz....”
Ustaz Rasyid duduk bersila
menghadap Kiai Djasim. Ketika dipersilakan dan mata mereka bertemu, mendadak
tubuhnya bergetar. Dadanya bergemuruh dan matanya tak kuasa menatap lama ke wajah
Pak Kiai.
“A’ udzzz..., bbill.. ahh..,” Ustaz Rasyid tergeragap. Lidahnya
tiba-tiba kelu. Ia tak paham apa yang terjadi. Suara bisik-bisik warga yang
keheranan terdengar semakin riuh. Namun bukan itu yang membuatnya panik. Justru
bayangan di kepalanya yang sangat mengganggu. Wajah-wajah santri yang pernah ia
usir, singgah di tempurung kepalanya. Bahkan yang pernah ia sabet karena tak
lekas mengerti pelajaran pun meraung-raung malam itu. Tak lama badannya
limbung. Dua santrinya lekas mendekat dan menyanggah tubuhnya. Warga membantu
dan membawa ia pulang kembali ke rumahnya.
“Astagfirullah....” Kiai Djasim diperlihatkan oleh Allah apa yang
membuat Ustaz Rasyid mengalami hal itu. Tapi masih ada dua orang lagi. Ia lekas
meminta satu dari mereka untuk menghadap ke arahnya.
“Baca basmallah lebih dahulu. Mohon izin dan ridho pada Allah. Mulailah
kapan pun saudara siap,” ucapnya teduh penuh saran.
“Baik, Pak Kiai,” jawab Haji
Masykur lekas. Belum ia mulai membaca ayat basmallah,
mulutnya hanya megap-megap seperti ikan mujair dalam air. Ia mencoba berteriak
sampai tenggorokannya sakit, tetapi nihil. Suaranya tetap hilang detik itu
juga. Sama halnya Ustaz Rasyid, ia pun tak paham apa yang tengah terjadi. Tak
kuasa menahan malu ia gegas bangkit dan berlari pulang ke rumahnya. Kepalanya
dibayang-bayangi wajah orang-orang yang sering ia hina ketika tak sanggup
membeli barang dagangannya. Ia membuka lebar mulutnya berusaha menjerit, tetapi
tak ada getar suara yang keluar.
Lagi-lagi Kiai Djasim dikehendaki
tahu apa yang menimpanya. Ia beristigfar tiada henti. Masih ada satu orang di
sebelahnya. Barangkali ia yang bakal jadi imam masjid penggantinya kelak. Belum
diminta duduk menghadap Pak Kiai, Haji Salim inisiatif. Ia bergeser mengambil
posisi duduk di depan Kiai. Ketika Kiai Djasim memberi aba-aba untuk memulai,
Haji Salim dikagetkan oleh kehadiran almarhum abahnya yang duduk bersebelahan
dengan Kiai Djasim.
Wajah Haji Salim
sekonyong-konyong pucat. Matanya melotot tak percaya. Bibirnya pelan sekali
menyebut nama Tuhan, dan berhasil. Ia tidak bisu dan gagap mendadak. Namun,
badannya seolah membatu. Ia tidak bisa bergeser sedikit pun. Mendiang abahnya
menegur Haji Salim. Warga bingung dengan kejadian malam itu. Mereka tidak
melihat kehadiran Kiai Shidiq, tetapi Kiai Djasim merasakan kehadiran gurunya
itu. Dengan kepala merunduk ia tetap diam dan menyimak apa yang ingin
disampaikan Kiai Shidiq pada anak semata wayangnya itu.
“Bertobatlah, Salim. Allah tak menyukai
hambaNya yang memakan uang riba. Bantulah saudara dan tetanggamu dengan hati
yang tulus. Demi Allah aku tak pernah mengajarkanmu berlaku culas dan angkuh.
Sesungguhnya Allah maha pengampun.” Haji Salim menangkap air muka abahnya yang
murka. Ia pun menangis tersedu-sedu. “Maafkan, saya, Bah. Mohon ampun....” Setelahnya
Haji Salim menjerit-jerit tak jelas. Sopirnya sergap membawa majikannya ke
mobil. Ia tancap gas meninggalkan warga tanpa permisi. Bahkan teko dan
gelas-gelas ia biarkan tergeletak setelah tertendang olehnya.
Kedua mata Kiai Djasim
berkaca-kaca. Hatinya menahan tangis menghadapi kenyataan ini. Sedangkan warga
tak mampu berbuat apa-apa. Mereka terlampau syok di hadapkan dengan kejadian
aneh yang datang nyaris bersamaan. Mang Badrun melihatnya biasa saja. Lelaki
separuh baya itu hanya tahu satu hal yang harus dilakukannya; mengurus masjid. Segera
ia merapikan kembali teko dan gelas-gelas yang berantakan. Ia mengelap airnya
yang tumpah membasahi lantai masjid.
Sosok almarhum Kiai Shidiq masih
berada di sebelah Kiai Djasim. Sebelum pergi ia menitipkan sebuah pesan, “jaga
Badrun agar tak jauh-jauh dari pengimaman.
Dulu, ia juga pernah mengaji padaku”. Kiai Djasim mengangguk takzim. Seketika
ia teringat, dulu saat mengaji di rumah Kiai Shidiq, Badrun kecil selalu bersembunyi
di atas pohon mangga dan mendengarkan orang-orang yang sedang mengaji.[]
Cilegon, 03 Mei 2018
[1] “Saya yakin,
melihat kekompakan warga begini, insya
Allah Kampung Cibelenger akan baik-baik saja.”
[2]
mengajarkan
0 komentar