Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by www.asus.com

    Lonceng istirahat berdentang dan teman-teman lekas mengajak saya keluar kelas. Saya hanya menjawab, “duluan aja, nanti nyusul” begitu setiap hari sampai ada seorang teman perempuan yang penasaran dengan apa yang sedang saya kerjakan. Mulanya saya ragu ia bisa menjaga rahasia, sebab, apa yang nanti akan saya katakan jauh lebih penting ketimbang tahu kebenaran mengenai bumi bulat atau datar?

    Saya ingat betul saat itu kelas 2 MTs (setingkat SMP). Entah apa mulanya, di hari ke-153 lebih setelah kenaikan kelas, saya memilih untuk menjadi penulis. Tentu, dengan pengetahuan yang masih sangat terbatas, dan sampai kapan pun tetap terbatas, saat itu saya tidak dibuat pusing soal istilah: penulis. Yang ada di kepala saya hanya satu: saya ingin menulis cerita. Anehnya, tidak untuk dibaca sembarang orang. Saya lahir sebagai generasi angkatan 90-an, yang tentu saja segalanya belum secanggih apa yang dirasakan bocah millenials atau generasi “kids zaman now” seperti hari ini. Di masa saya, semuanya, meski ada, masih sulit diakses dan lebih mengandalkan kemampuan manual.


    Kawan perempuan yang saya maksud bernama Wina (nama sebenarnya). Wina Uswatun Nurani (nama sebenar-benarnya), namun lebih sering saya ganti jadi: Wina Uswatun Hasanah. Nama paling belakang saya comot dari nama Ibunya, dan berhenti memanggil begitu ketika Ibunya wafat. Meski Wina tahu saya hanya bercanda (sebab ia juga sering membalas dengan mengejek nama Bapak saya), namun sungguh saya benar-benar merasa berdosa. Semoga kalian tidak melakukan jejak buruk peninggalan bocah kelahiran 90-an ini. Oke, kembali ke cerita....

    Wina mau berjanji untuk tidak menceritakan apa yang saya tulis dalam kertas binder itu (bagi generasi terbarukan, binder adalah wadah kertas. Ya, fungsinya untuk menaruh kertas-kertas yang sudah dibolongi oleh punch—semacam alat pembolong kertas yang biasa dipakai penjaga loket atau pemeriksa karcis di gerbong kereta). Pada masanya, binder memang memiliki kejayaannya sendiri. Ia ibarat blog manual; memiliki label, tag, kategori dan kolom. Ketebalan kertas dan warnanya pun beragam, tergantung kita ingin memakai dan menerapkan tema atau template yang mana pada buku catatan kita. Nah, sekarang kita sudah dimudahkan. Medium untuk menulis begitu melimpah-ruah. Tinggal meluangkan waktu untuk mencari atau menciptakan ide dan gagasan di kepala masing-masing untuk kemudian menuliskannya.

    Barangkali di blog ini untuk pertama kalinya, saya bakal ceritakan juga apa yang saya tulis di buku binder itu. Sama halnya dengan diary, atau catatan harian, saya mulai menulis apa yang saya alami di sekolah. Bedanya, saya fiksikan dan semua nama saya pelesetkan. Ada yang ulang tahun dikerjai teman-temannya dan dilempari telur busuk, ada guru/ustad yang kemudian memarahi satu kelas dan jam pelajaran di ganti dengan jam-mengepel-dinding-dan-lantai-bersama-karena-mengerjai-teman-yang-ulang-tahun, ada yang senang berkirim surat ke kakak kelas, ada cerita awal mula nama sebuah grup atau geng nongkrong—nama blog saya Quadraterz bahkan bermula dari sana—, dan banyak sekali cerita masa-masa sekolah dulu yang tertuang di dalam binder itu, Wina bahkan sampai tidak henti-hentinya tertawa saat membacanya. 

    Sebab hal itu, saat kepercayaan saya mulai tumbuh, saya kemudian merekrut Wina untuk menjadi notulen, alias tukang tulis cerita. Dan ia menyetujuinya. Dulu, saya bisa mahir di dua hal itu; pertama, menuangkan isi kepala langsung menuliskannya tanpa outline dan konsep, kedua mendikte cerita untuk kemudian orang lain yang menuliskannya. Saya tidak menyalahkan Wina, paling tidak saat ini. Ketika saya sudah menaruh kepercayaan padanya, di suatu pagi, saat lonceng masuk belum berbunyi, seseorang berkata, “Ade mau baca novelnya, dong!”. Saya sempat tercenung sesaat. Tetapi seseorang yang lain mengatakan hal yang sama. Saya geram, dari mana mereka tahu? Di kepala saya hanya satu, “pasti Wina!”. Lekas saya menunggu ia datang ke kelas untuk meminta penjelasannya. Namun sebelum ia datang, ada satu teman kelas yang memaksa saya membuka binder itu, tentu tidak saya izinkan. Lalu saya bertanya, “tahu dari mana?” dengan lekas ia menjawab, “dari Radio!”. Whaaaat?! Radio? Wah ini, sih, mulai ngawur, pikir saya. Tak lama Wina datang. Saya memburunya.

    “Sorry, De, kemaren keceplosan,” kata dia menyesal, sebelum saya memberondonginya pertanyaan.
    “Bukan cuma itu, tapi..., kok bisa radio? Lu penyiar?” saya mulai mencari kursi untuk menenangkan diri. Menurut hadist, ketika seseorang sedang marah atau emosi, bila dalam posisi berdiri cobalah untuk duduk—poin ini sekadar membuktikan kalau saya benar lulusan madrasah.
    “Iya, benar. Gini, lho, ceritanya saya ikutan daftar jadi penyiar kontemporer di salah satu radio lokal. Eh, beneran kepilih jadi penyiar sehari. Nah, pas waktu giliran kirim-kirim salam, saya keceplosan ngomong, ‘buat Ade, sahabat gue yang lagi ngerjain novelnya, semangat, ya. Ayo selesain!’ begitu. Maaf banget, ya, gue beneran lupa kalau itu rahasia,” suaranya melemah. Ia betul-betul merasa bersalah. Sedangkan respons saya, di luar dugaan dia. Saya malah bangga meski rada malu.
    “Astaga, Wina. Gila, lu, yah! Kenapa nggak cerita, gue juga mau denger langsung. Selamat, ya. Dan..., makasih banget!” saya tidak ingat-ingat betul, sih, ngomong begitu, tapi intinya demikian. Dan dari sanalah ternyata jejak awal kepenulisan saya. Kalau saya korek-korek lagi kenangan itu, betapa lucu dan menggemaskannya. Binder dalam cerita ini masih saya simpan sampai sekarang dan masih saya gembok hanya di bagian novelnya. Ya, bagian novel yang bahkan tidak pernah saya sentuh lagi hampir tigapuluh purnama bahkan lebih dan belum rampung sebagaimana saya inginkan. Suatu saat, saya pernah berandai-andai, cerita dari naskah novel itu akan saya selesaikan. 

    gemboknya dibuka demi keperluan komersil~
    Kini Wina telah menjadi seorang Ibu muda. Gayanya yang petakilan tidak lagi saya temukan setelah ia berjumpa dengan pangeran berkudanya. Ia menjadi Ibu yang santun pada anak-anaknya, muslimah yang ramah dan semakin hari semakin tampak bahagia. “Doa, lu, terwujud, woy!” itu yang sering kali saya sampaikan padanya, meski lewat media sosial. Menjadi penulis adalah cita-cita kami bersama, dulu..., meski kini terwujud di jalur berbeda. Ia masih sangat mendukung saya sebagai seorang penulis. Paling tidak, Wina bisa menjadi pencerita yang baik bagi anak-anaknya. Dan saya, bisa saja menuliskan kisah tentang mereka. Karena berkat dia pulalah, rasa percaya diri saya muncul untuk menunjukkan hasil tulisan saya pada orang lain, sampai detik ini.

    ***

    Tahun-tahun berganti dan alat untuk mencurahkan cerita pun berubah. Tidak lagi saya butuh pensil, rautan, pulpen, penghapus, tipe-x (yang kalau kena baju susah diilangin), binder dan segala perkakas semacamnya. Saya hanya memerlukan laptop!

    Ketika kelas 3 MA (setingkat SMA), saya seringkali melucu, hanya untuk membuat teman-teman tertawa. Di jam istirahat, saya akan mengambil kitab kuning yang paling tebal. Lebih sering kitab Mizan Qubro, berisi tentang perbandingan madzhab, yang dijadikan alat peraga. Sampulnya yang keras biasa saya jadikan seolah monitor atau layar laptop. Kemudian saya berlaga sedang mengetikan sesuatu pada tumpukan halamannya, tentu dengan memasang tampang serius, agar lebih menjiwai. Teman di bangku seberang akan melihat dan tertawa lepas. Saking niatnya, bahkan saya sampai menggambar keyboard-nya di kertas. Lalu meletakkannya di halaman kitab. Tipe-x dijadikan mouse eksternal-nya. Betapa membahagiakannya saat itu.

    Ketika kawan-kawan tahu saya sekarang jadi penulis, mereka lega dan sepertinya tidak begitu heran. Sebab mereka sudah mengikuti kegilaan saya sejak di sekolah. Laptop pertama saya, yang masih saya pakai sampai mengetikkan tulisan ini, saya peroleh saat awal masuk kuliah. Sebagai mahasiswa jurusan Sistem Komputer, memiliki PC atau laptop barangkali sebuah keniscayaan. Sama halnya ketika kamu mau masak nasi goreng, kamu harus menyediakan nasinya, atau kalau kamu mau beli motor, kamu harus cek berikut bannya atau dijual terpisah, atau lagi,  semisal kamu mau bayar utang, kamu harus punya utang lebih dulu (majas macam apa ini). Skip!

    Lalu saya bersama teteh yang tidak mengerti elektronik sama sekali mengantar saya membeli laptop. Dengan uang yang pas-pasan dari orang tua, saya membeli laptop Toshiba Satellite C800D. Saya belum paham soal spesifikasi laptop untuk keperluan desain bagusnya yang seperti apa, keperluan nge-game cocoknya yang bagaimana dan lain sebagainya. Saya bahkan belum tahu untuk memenuhi kebutuhan apa selain untuk mengerjakan tugas.

    Lompatan yang jauh dari lulusan Madrasah Aliyah yang sehari-hari belajar kitab kuning tanpa mengenal pelajaran umum lebih intens, tiba-tiba menjatuhkan pilihan kuliah di Fakultas Teknologi Informasi. Alasan saya barangkali cukup visioner. Pertama karena ingin melebarkan jaringan pertemanan, agar tidak bergaul dengan orang yang itu-itu melulu; kedua karena ingin menantang kemampuan diri sendiri, apalagi saya berpikir kalau kemahiran ilmu komputer akan sangat dibutuhkan di lini perusahaan manapun di masa depan; ketiga, karena saya ingin menjadi programmer, ingin bisa membuat game dan aplikasi sendiri, belajar design graphic, meng-hack Facebook orang yang rese dan sisanya untuk gaya-gayaan. Dari kesemuanya, baru di semester pertama, saya malah tertarik dengan sastra. Sungguh futuristik!


    Di masa awal kuliah tentu saja semua masih berjalan normal. Semua pencapaian dalam daftar yang saya sebutkan sempat dilakukan; mengotak-atik coding, membuat aplikasi, belajar meng-hack, edit-edit foto, bongkar pasang PC atau CPU dan segala macam. Laptop yang saya punya, sejauh ini cukup baik, paling tidak saat itu. Sampai tiba di semester berikutnya masalah mulai berdatangan. Banyak aplikasi yang tidak bisa diinstal karena tidak support, loading yang leletnya minta ampun (bahkan di satu titik sampai pengen ngebanting, tapi karena belum sanggup beli gantinya, nggak jadi, deh), operating system yang eror dan minta diinstal ulang, juga segala masalah lainnya.

    Dan nahasnya, di satu kesempatan laptop satu-satunya ini pernah membanting dirinya sendiri tanpa saya harapkan. Ceritanya saat itu saya sedang membawa motor. Rumah masih jauh, tapi perut nggak mau kompromi. Entah habis makan apa, perut saya mules banget. Ditahan-tahan pun seolah pekerjaan sia-sia. Mau balik lagi ke kampus jauh, pulang ke rumah apalagi, jadi saya mencari pom bensin terdekat, sialnya nggak ada yang dekat. Karena the power of kepepet, pikiran saya cepat cari cara. Beloklah saya ke sebuah perkampungan. Bersyukur saya menemukan sebuah masjid. Saat itu azan asar sudah lewat dari tadi, kalau tak salah ingat. Masjid pun sepi, sesuai harapan. Saya lekas menuju toilet.

    Tas yang berisi laptop saya gantungkan di kapstok plastik ((ya, plastiik!!!), buka celana (masa iya buka puasa), lalu nongkronglah secepatnya. Beuh, saya benar-benar merasakan nikmatnya surga dunia saat feses meluncur dengan damainya, plong seplong-plongnya. Tapi, itu tidak bertahan lama ketika tepat di hadapan saya sebuah tas dari ketinggian dua meter meluncur ke lantai melebihi kecepatan cahaya. “Bedebam!!!” begitu kira-kira suaranya. “Bedebam!!!” bener begitu suaranya. Kapstok plastik yang tak kuat menahan beban terpelanting nyaris ke arah saya. Sesaat hening. Tidak ada yang bisa saya lakukan. Di kepala hanya dipenuhi bayangan indah sewaktu awal bertemu laptop itu dan bermain bersamanya. Namun kejadian yang tak lebih dari tiga detik itu seketika berhasil menghancurkannya berkeping-keping, hati saya bagai pecahan kaca yang terserak ke segala arah. Surga dunia tadi hanya ilusi, ternyata ia adalah neraka yang nyata. Perut mules saya seketika lenyap, lekas-lekas saya membersikan diri, memakai celana lalu menjemput pujaan hati yang tengah terbaring tiada berdaya.

    Saya tidak ingin buru-buru mengeceknya. Saya khawatir hanya akan menambah luka di dada saya. Waktu dua tahun bersamanya seolah terasa cepat berlalu. Hanya kejadian itu yang terbayang-bayang. Hingga tiga tahun berikutnya, di hadapan saya kini, ia masih setia menemani saya, dengan luka nganga di sisi kiri monitor bagian bawahnya. Ia tidak lagi bisa terbuka-tertutup sempurna. Bautnya lenyap sejak kejadian itu dan lubangnya pecah sulit diperbaiki. Kalau tahu bakal begini, saya lebih baik dijahili teman yang sering membuka tutup laptop bahkan sampai nyaris berputar 180 derajat ketimbang cacat seumur hidupnya. Saya betul-betul sudah tidak kuat lagi. Ia sudah harus pensiun di usianya yang hampir 6 tahun ini. Saya butuh laptop baru!

    Ketika mendapat kabar bahwa sedang berlangsung giveaway laptop dari ASUS melalui akun youtube Kak Diana Rikasari, saya bahagia. Ini waktunya saya menumpahkan segala kepedihan yang saya pendam ratusan tahun silam (Plakk!! Lebay!). Apalagi setelah tahu yang bakal dihadiahkan adalah Asus Vivobook Flip 14 TP410UR seri terbaru. Laptop saya yang sering hank lantaran kapasitas memorinya yang terbilang kecil, HDD-nya cuma 300GB, membuat performanya menurun dan saat dinyalakan, harus menunggu minimal 5-10 menit untuk bisa dipakai normal. Bandingkan dengan Asus Vivobook Flip 14 TP410UR. Pada seri ini Asus menawarkan dua buah storage yang terdiri dari SSD dan HDD. Kapasitas storage bertipe Solid State Drive sebesar 256GB, sementara untuk HDD berkapasitas 1TB yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk menyimpan berbagai file dan dokumen besar. Gila! Saya tidak perlu lagi menghapusi koleksi film anime Detective Conan dan One Piece yang selama ini saya kumpulkan.
    image by www.asus.com
    Keunggulan utamanya, Laptop Asus Vivobook Flip 14 TP410UR ini dibekali dengan Intel Core i7-7500U. Processor tersebut memiliki kecepatan hingga 3,5GHz dengan teknik fabrikasi 14nm. Laptop lama saya bahkan sekarang sudah tidak ada lagi di pasaran. Sebab ia hanya memakai processor Intel AMD dual Core, generasi pertama dari processor Intel dengan arsitektur Core, masih sangat tertinggal jauh bahkan tidak bisa mengalahkan generasi sebelumnya, Core 2 Duo, lebih-lebih Core i3, apalagi Intel Core i7-7500U.

    Selain itu, yang membuat laptop saya operating system-nya selalu eror dan minta diinstal ulang tak lain karena ilegal. Tentu saja itu dosa terbesar, tetapi semoga karena saya mahasiswa dan belum berpenghasilan tetap, hal tersebut dapat terampuni. Dengan memiliki Asus Vivobook Flip 14 TP410UR tentu saja kita tidak perlu was-was kalau suatu hari diperiksa oleh pihak keamanan bandara. Sebab, operating system-nya telah terinstal Windows 10 Home asli dan resmi lantaran kerjasama langsung dengan Microsoft yang menghadirkan 100 persen Windows. Dengan begitu, pekerjaan saya tidak akan lagi terhambat. Terlebih sebagai mafia deadline—begitu saya menyebutnya—saya harus bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya, agar fee lekas di transfer.

    Perangkat seberat 1,6kg dan ketebalan 14,8mm ini juga memiliki bodi yang cukup unik degan ukuran sasis sebesar 13 inci, namun memiliki bentang layar alias display 14 inci. Ultra low power juga tidak boleh terlewatkan. Kode U pada akhiran processor (Core i7-7500U) tersebut juga menandakan bahwa chip-nya hemat daya atau ultra low power. Laptop ini bisa menghemat daya dengan TDP 15 watt. Betapa asyiknya ketika dibawa ke sebuah kafe kita tidak perlu khawatir mencari colokan, karena hampir seharian baterai awet dan tahan lama.
    image by www.asus.com
    Hal menarik lainnya, seperti yang sudah Kak Diana sampaikan di videonya, Laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR ini dapat bertransformasi menjadi empat bentuk gadget sekaligus. Selain menjadi tablet, ia juga dapat digunakan menjadi sebuah laptop biasa dan dua bentuk lain dengan memutarnya hingga 360 derajat, yakni mode tent untuk presentasi dan standing display. Laptop ini juga hadir dengan dukungan port yang lengkap antara lain, card reader, micro HDMI, dan tiga buah USB 3.0. Selain itu, Asus VivoBook Flip 14 TP410UR mempunyai dedicated graphic card dari Nvidia yakni GT 930MX dengan video memori 2GB. Perangkat ini juga dibekali sekumpulan port serta teknologi tambahan seperti fingerprint sensor dan layar touchscreen.
    image by www.asus.com
    Bicara presentasi, saya sedang dag-dig-dug untuk daftar sidang skripsi nanti. Laptop saya ini harus selalu dicolok saat akan digunakan, karena baterainya sudah soak dan kalau diganti tetap tidak akan mengubah apa pun, saya sudah mencobanya. Bahkan sampai membeli baru charger-nya. Saya khawatir ketika presentasi nanti laptop akan mati mendadak, presentasi skripsi bisa buyar semuanya. Laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR tak salah lagi memang sesuai dengan kebutuhan saya. Keisengan teman yang sering buka-tutup layar monitor nyaris sampai 180 derajat itu malah akan saya tambahi 180 derajat lagi kalau Asus VivoBook Flip 14 TP410UR sampai ke tangan saya. Dengan laptop terbaru dari Asus ini, saya bisa memuaskan hasrat teman-teman untuk mengganggu dan mengerjai saya.

    image by www.asus.com
    Kecanggihan teknologi akan terus berkembang. Menulis di kertas dulu bisa dikatakan sebuah kemajuan teknologi, karena peralihan dari menulis di daun lontar, di atas batu bahkan hingga di tulang-belulang. Sekarang, menulis di kertas akan menjadi sesuatu yang tertinggal, meski itu akan terjadi puluhan tahun ke depan. Paling tidak, kita bisa menikmati kemudahan dari kecanggihan teknologi saat ini. Saya pernah kesulitan menulis di buku catatan, selain karena jari kaku lantaran sudah jarang melakukannya, ide-ide di kepala pun tersendat sulit mengalir. Proses kreatif setiap penulis atau orang dengan profesi lain pun berbeda-beda tentu saja. Tetapi, pengalaman saya ketika menulis beralih ke medium komputer atau laptop, itu jauh terasa lebih mudah dan lancar. Sekalipun sedang di jalan dan tebersit ide, saya tidak memilih menulis di kertas atau buku catatan, melainkan langsung membuka smartphone lalu mengetikannya. Barangkali, sekarang memang sudah masanya para penulis menggantungkan pena. Ia sudah semestinya beralih sebagai pengetik. Hari ini, sampai seterusnya. Paling tidak dimulai ketika kita sudah memiliki Asus VivoBook Flip 14 TP410UR, saya akan membuktikannya.

    Dan kalau sekarang Wina sampai mendaftar jadi penyiar lagi lalu terpilih, ia pasti akan kirim salam untuk saya dan berkata, “buat Ade, sahabat gue yang lagi ngerjain skripsinya, semangat, ya. Ayo selesain! Semoga sidang nanti bisa presentasi pakai laptop Asus VivoBook Flip 14 TP410UR! Dan lulus dengan nilai memuaskan!”

    Cilegon, 09 Januari 2018

    ___________________________________________



    *) postingan ini sedang diikutsertakan pada giveaway laptop dari ASUS melalui akun youtube Kak Diana Rikasari. Semua foto product diambil dari website resmi www.asus.com.
    #ASUSaja #myfashionbuddy #DianaRIkasarixASUSgiveaway
    Continue Reading
    koleksi pribadi Lidiabu Eda



    Paulo Coelho selalu mengangkat sisi feminin dalam setiap karyanya. Lebih sering berlandaskan Alkitab. Nyaris semua buku yang ia tulis memiliki napas yang sama; pencarian jati diri, perenungan, Tuhan Maria, konflik batin, dll. The Alchemist masih menjadi masterpiece di antara semua karyanya, menurut saya. Bagi yang kurang menyukai gaya bercerita dengan tone lambat, saya tidak menyarankan buku ini untuk dibaca. Bahkan, sewaktu saya pernah berjumpa orang Brazil di dalam pesawat, saya sempat bertanya, "suka baca buku Paulo Coelho? Ia penulis Brazil juga, kan? Rio de Janeiro."



    Ia menggeleng, "sayangnya tidak." Lalu ia menyebut penulis Brazil lainnya, yang saya lupa siapa. Memang, Coelho masih menjadi perdebatan, apakah tulisannya masuk dalam kategori sastra atau tidak. Tapi ketika di wawancara Juan Arias, yang dimuat dalam buku, Obrolan dengan Sang Penziarah ia pernah berkata, "buku saya itu sastra. Layak disimpan di rak buku sastra dan filsafat."


    Saya sendiri tak terlalu mempermasalahkan itu. Yang jelas, ketenangan Coelho dalam berkisah patut saya tiru. Bagaimana ia menggambarkan suasana sekitar, suasana hati dan pikiran para tokohnya. Interpretasi ia dalam memaknai hidup yang dijalaninya menjadi nilai lebih. Ia selalu menuliskan apa yang dekat dengannya, apa yang ia ketahui dan kuasai, bahkan saya sering terkecoh; apakah itu kisah karangan atau kisah nyata?

    Karya tetaplah karya. Setiap penulis memiliki pembacanya sendiri. Kita tidak bisa memuaskan semua pembaca. Dari Coelho, saya belajar menjadi diri sendiri di tengah lingkungan paling buruk sekalipun.

    Ada satu bukunya yang paling saya sukai, selain yang saya sebut beberapa di atas. Judulnya, Seperti Sungai yang Mengalir. Sekumpulan esai keseharian Coelho yang ringan secara permukaan, tetapi  memiliki kedalaman makna dan butuh permenungan. Hampir setiap halaman saya beri tanda dan baca berulang-ulang. Saya menemukan sesuatu, ketika kita sudah tahu apa yang ingin kita tulis, teknik dan gaya tutur tak lagi jadi sesuatu hal yang perlu dipikirkan. Mengalir saja, apalagi pengalaman yang berbicara. Setiap kali membacanya saya seperti diajak berbincang dengan Coelho, ia seperti ada di sebelah saya, atau di belakang telinga saya. Ia seolah membisikkan sesuatu secara tenang dan meyakinkan.

    Perkenalan saya dengan Papa Coelho atas ketidak-sengajaan. Kira-kira pertengahan tahun 2016, sewaktu saya sedang berkunjung di Rumah Dunia, Taman Bacaan Masyarakat asuhan Gola Gong, saya menemukan buku, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho tergeletak di lantai. Saya iseng buka-buka halaman awalnya. Tak lama Abdul Salam HS, penyair dan relawan yang tinggal di Rumah Dunia, menyahut. "Buku itu baru beres saya baca. Buku bagus, baca aja." Entah apa yang menghinggapi benak saya saat itu, lekas saja saya putuskan untuk meminjamnya untuk dibawa pulang. Sekira 4 hari baru selesai saya baca, dan hari berikutnya saya yakinkan diri kalau Paulo Coelho harus masuk dalam daftar: penulis idola. Buku-buku lainnya segera saya buru, khususnya yang sudah diterjemahkan.

    Dan begitulah awal mula perjumpaan saya dengan Paulo Coelho dan anak batinnya. Bahkan saya sempat dibuat terkejut setelah tahu ternyata beliau masih hidup hahaha. Saat saya telusuri media sosial, saya menemukan akun resminya di instagram: @paulocoelho. Beliau masih sangat aktif mem-posting informasi kesehariannya. Bersama sang Istri, Christina Oiticica, ia rutin berbagi kisahnya soal bangun tengah malam dan melakukan perjalanan sunyinya. Menyusuri pantai di Rio de Janeiro, Brazil, depan kediamannya. Persis seperti apa yang ia jelaskan dalam wawancara bersama Juan Arias. Menarik sekali. Saya harap beliau dan keluarga tetap dikaruniai kesehatan agar terus bisa beraktivitas dan berkarya, dan tentu saja berbagi kebahagiaan yang sederhana untuk bisa kita ikuti.

    Suatu saat, saya ingin berjumpa langsung secara fisik dengannya. Salut padamu, Papa~


    Cilegon, 5 Januari 2018


    Continue Reading
    image by google.com

    Saya teringat masa sekolah Aliyah dahulu. Di sekolah kami ada pelajaran nalek kitab kuning, atau biasa disebut kitab gundul. Kami mendengarkan dikte dari seorang ustaz untuk meng-gondrong-i tiap kata dan kalimat arab dalam barisnya. Tentu dengan pengetahuan nahwu dan sharaf yang mumpuni. Di satu momen, setiap kali selesai menjabar-jeri beberapa kalimat, biasanya para murid diminta untuk membacakan kembali secara lantang, untuk dikoreksi bersama.

    Menariknya, ada satu ustaz yang memiliki kebiasaan khusus. Sebelum beliau meminta muridnya untuk membaca kitab, seringnya beliau akan lebih dahulu menelepon seseorang. Setalah tersambung, beliau berjalan ke meja si murid. Lalu meletakkan ponselnya di tengah kitab yang beliau bawa, dekat dengan si murid. Tibalah giliran saya untuk membaca ulang. Namun, saat hendak membaca basmallah, beliau berbicara sebaris kalimat pada telepon genggamnya, “Niki pirengi, pecile Ustaz Syukur”—ini dengarkan, anaknya Ustad Syukur. Saya hanya fokus pada kitab, meski penasaran siapa orang yang ada di ujung telepon itu.

    Saya masih ragu dengan bacaan saya barusan. Yang terjadi setelahnya, meski samar-samar, beliau memberikan komentar soal bacaan saya dan berbincang dengan orang yang di ujung telepon, kemudian beliau memutus sambungan teleponnya. Saya belum tahu bagaimana bacaan saya bagi beliau saat itu, baik atau banyak kesalahan. Yang jelas, saya tidak diminta untuk menyodorkan salah satu telapak tangan ke arahnya—biasanya, sebelum memberikan hadiah “sabetan” penghapus kayu atau beberapa batang lidi ke tangan murid, beliau akan berkata, “Ini untuk mengusir setan di hati kalian,” kurang lebih begitu—, itu berarti pertanda bacaan saya cukup baik.

    Kemudian, keesokannya ketika saya sudah berjumpa Bapak di rumah, beliau cerita sesuatu. Ustaz yang mengajar saya kemarin, adalah muridnya, bapak baru bertemu dengannya. Ternyata beliau pernah diajar Bapak! saya tertegun untuk beberapa saat. Lalu pikiran saya memburu, jangan-jangan orang yang dihubungi beliau kemarin adalah Bapak? Namun seketika dugaan itu ditampik oleh Bapak. Bapak bercerita kalau yang dihubungi Ustaz kamu kemarin itu KH. Abi Darda, pengasuh salah satu pondok pesantren di Pemalang, Jawa Tengah. Konon, masih menurut Bapak, beliau juga pernah nyantri di Kampung Cibeber, Cilegon-Banten. Dan bapak juga pernah mengajar beliau. “Setelah lulus, kamu diminta untuk lanjutin ke pesantrennya,” tutup Bapak. Saya diam, tak lekas menyetujui atau menolaknya.

    Hari ini, pagi tadi, tepatnya masih awal pergantian tahun, 03 Januari 2018/16 Robiul Tsani 1439 H., sebuah berita duka datang, mengetuk telinga saya. Saya berusaha untuk tidak memercayainya, tapi toh kenyataan tetaplah kenyataan, sepahit dan sepedih apa pun, ia mesti diterima. Ustaz yang memiliki pendengaran sangat baik ketika muridnya tengah membaca kitab itu, telah berpulang ke haribaan Allah SWT. Almukarrom, KH. Nurul Huda bin Achmad Juji namanya, kami biasa menyapanya Ustaz Nur. Innalillahi wainna ilaihi roji'un.

    Beliau adalah Ustaz dengan kerendahan hati yang sangat luar biasa. Beliau selalu berusaha menarik tangannya saat para murid hendak mencium punggung tangannya, beliau selalu merasa belum pantas. Bahkan di satu kesempatan, ketika saya meminta kesediaan beliau untuk memimpin doa dalam sebuah acara di kampung, beliau berusaha untuk menolak dengan halus dan meminta agar Ustaz atau kiai yang lain saya, yang dirasa lebih baik dari beliau. Namun, saya terus berusaha, meski terkesan ambisius, agar beliau saja yang memimpin doa. Syukur alhamdulillah akhirnya beliau pun bersedia naik ke atas panggung.

    Banyak ilmu yang kami terima, banyak pelajaran dan didikan yang membekas dan pasti sulit dilupakan. Terima kasih atas segala ilmu yang engkau bagikan pada kami Pak Kiai. Maafkan atas segala kelancangan dan kekurangajaran kami selama ini. Kami sedih bukan karena ditinggalkan engkau pergi, kami sedih lantaran keterbatasan ilmu yang kami miliki; ketakberdayaan kami untuk menjalani keseharian di kampung Cibeber ini, tanpa bimbingan kiai dan alim ulama. Satu per satu telah kembali pada Allah. Kami khawatir, dihinggapi perasaan was-was yang tak berkesudahan. Lebih-lebih ketika teringat hadist yang berbunyi:

    “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin....”—[Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]

    Tenanglah engkau di sana. Segala kegaduhan dan keriuhan di dunia fana ini, mudah-mudahan bisa kami hadapi dan jalani dengan sebaik-baiknya. Allah bersama kami, bersama siapa pun yang mau terus belajar dan membenahi diri. Doa kami menyertaimu, juga semua alim ulama, para kiai dan ustaz yang masih diberikan tanggung jawab di kehidupan ini. Semoga kami bisa terus saling jaga, saling menegur dan mengingatkan. Kampung Cibeber sudah seharusnya dikenal sebagai Mekah Kecil, seperti dahulu kala. Kami harus yakin kalau kami pasti bisa. Wallahu a'lam bissawwab.[]


    Cibeber, 03 Januari 2018
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ▼  January (3)
        • [Memoar] Selembar Kenangan Bersama Pak Kiai
        • [Catatan] Awal Perjumpaan dengan Paulo Coelho dan ...
        • [MOMENT] Ketika Penulis Bertransformasi Menjadi Pe...
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top