[Memoar] Selembar Kenangan Bersama Pak Kiai
January 03, 2018image by google.com |
Saya
teringat masa sekolah Aliyah dahulu. Di sekolah kami ada pelajaran nalek kitab kuning, atau biasa disebut
kitab gundul. Kami mendengarkan dikte dari seorang ustaz untuk meng-gondrong-i
tiap kata dan kalimat arab dalam barisnya. Tentu dengan pengetahuan nahwu dan
sharaf yang mumpuni. Di satu momen, setiap kali selesai menjabar-jeri beberapa kalimat, biasanya para murid diminta untuk
membacakan kembali secara lantang, untuk dikoreksi bersama.
Menariknya,
ada satu ustaz yang memiliki kebiasaan khusus. Sebelum beliau meminta muridnya untuk
membaca kitab, seringnya beliau akan lebih dahulu menelepon seseorang. Setalah
tersambung, beliau berjalan ke meja si murid. Lalu meletakkan ponselnya di
tengah kitab yang beliau bawa, dekat dengan si murid. Tibalah giliran saya
untuk membaca ulang. Namun, saat hendak membaca basmallah, beliau berbicara sebaris kalimat pada telepon
genggamnya, “Niki pirengi, pecile Ustaz
Syukur”—ini dengarkan, anaknya Ustad Syukur. Saya hanya fokus pada kitab,
meski penasaran siapa orang yang ada di ujung telepon itu.
Saya
masih ragu dengan bacaan saya barusan. Yang terjadi setelahnya, meski
samar-samar, beliau memberikan komentar soal bacaan saya dan berbincang dengan
orang yang di ujung telepon, kemudian beliau memutus sambungan teleponnya. Saya
belum tahu bagaimana bacaan saya bagi beliau saat itu, baik atau banyak
kesalahan. Yang jelas, saya tidak diminta untuk menyodorkan salah satu telapak
tangan ke arahnya—biasanya, sebelum memberikan hadiah “sabetan” penghapus kayu atau
beberapa batang lidi ke tangan murid, beliau akan berkata, “Ini untuk mengusir
setan di hati kalian,” kurang lebih begitu—, itu berarti pertanda bacaan saya
cukup baik.
Kemudian,
keesokannya ketika saya sudah berjumpa Bapak di rumah, beliau cerita sesuatu. Ustaz
yang mengajar saya kemarin, adalah muridnya, bapak baru bertemu dengannya. Ternyata beliau pernah diajar
Bapak! saya tertegun untuk beberapa saat. Lalu pikiran saya memburu,
jangan-jangan orang yang dihubungi beliau kemarin adalah Bapak? Namun seketika
dugaan itu ditampik oleh Bapak. Bapak bercerita kalau yang dihubungi Ustaz kamu
kemarin itu KH. Abi Darda, pengasuh salah satu pondok pesantren di Pemalang,
Jawa Tengah. Konon, masih menurut Bapak, beliau juga pernah nyantri di Kampung Cibeber,
Cilegon-Banten. Dan bapak juga pernah mengajar beliau. “Setelah lulus, kamu
diminta untuk lanjutin ke pesantrennya,” tutup Bapak. Saya diam, tak lekas
menyetujui atau menolaknya.
Hari
ini, pagi tadi, tepatnya masih awal pergantian tahun, 03 Januari 2018/16 Robiul Tsani 1439 H., sebuah
berita duka datang, mengetuk telinga saya. Saya berusaha untuk tidak
memercayainya, tapi toh kenyataan tetaplah kenyataan, sepahit dan sepedih apa
pun, ia mesti diterima. Ustaz yang memiliki pendengaran sangat baik ketika
muridnya tengah membaca kitab itu, telah berpulang ke haribaan Allah SWT.
Almukarrom, KH. Nurul Huda bin Achmad Juji namanya, kami biasa menyapanya Ustaz Nur. Innalillahi wainna ilaihi roji'un.
Beliau adalah Ustaz dengan kerendahan hati yang sangat luar biasa. Beliau selalu berusaha menarik tangannya saat para murid hendak mencium punggung tangannya, beliau selalu merasa belum pantas. Bahkan di satu kesempatan, ketika saya meminta kesediaan beliau untuk memimpin doa dalam sebuah acara di kampung, beliau berusaha untuk menolak dengan halus dan meminta agar Ustaz atau kiai yang lain saya, yang dirasa lebih baik dari beliau. Namun, saya terus berusaha, meski terkesan ambisius, agar beliau saja yang memimpin doa. Syukur alhamdulillah akhirnya beliau pun bersedia naik ke atas panggung.
Beliau adalah Ustaz dengan kerendahan hati yang sangat luar biasa. Beliau selalu berusaha menarik tangannya saat para murid hendak mencium punggung tangannya, beliau selalu merasa belum pantas. Bahkan di satu kesempatan, ketika saya meminta kesediaan beliau untuk memimpin doa dalam sebuah acara di kampung, beliau berusaha untuk menolak dengan halus dan meminta agar Ustaz atau kiai yang lain saya, yang dirasa lebih baik dari beliau. Namun, saya terus berusaha, meski terkesan ambisius, agar beliau saja yang memimpin doa. Syukur alhamdulillah akhirnya beliau pun bersedia naik ke atas panggung.
Banyak
ilmu yang kami terima, banyak pelajaran dan didikan yang membekas dan pasti
sulit dilupakan. Terima kasih atas segala ilmu yang engkau bagikan pada kami
Pak Kiai. Maafkan atas segala kelancangan dan kekurangajaran kami selama ini.
Kami sedih bukan karena ditinggalkan engkau pergi, kami sedih lantaran
keterbatasan ilmu yang kami miliki; ketakberdayaan kami untuk menjalani
keseharian di kampung Cibeber ini, tanpa bimbingan kiai dan alim ulama. Satu
per satu telah kembali pada Allah. Kami khawatir, dihinggapi perasaan was-was
yang tak berkesudahan. Lebih-lebih ketika teringat hadist yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah tidak
mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan
mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka
manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin....”—[Al-Bukhari (100, 7307); Muslim (2673)]
Tenanglah engkau di sana. Segala kegaduhan dan
keriuhan di dunia fana ini, mudah-mudahan bisa kami hadapi dan jalani dengan
sebaik-baiknya. Allah bersama kami, bersama siapa pun yang mau terus belajar
dan membenahi diri. Doa kami menyertaimu, juga semua alim ulama, para kiai dan
ustaz yang masih diberikan tanggung jawab di kehidupan ini. Semoga kami bisa
terus saling jaga, saling menegur dan mengingatkan. Kampung Cibeber sudah
seharusnya dikenal sebagai Mekah Kecil, seperti dahulu kala. Kami harus yakin
kalau kami pasti bisa. Wallahu a'lam bissawwab.[]
Cibeber, 03 Januari 2018
0 komentar