[Catatan] Awal Perjumpaan dengan Paulo Coelho dan Karyanya

January 05, 2018

koleksi pribadi Lidiabu Eda



Paulo Coelho selalu mengangkat sisi feminin dalam setiap karyanya. Lebih sering berlandaskan Alkitab. Nyaris semua buku yang ia tulis memiliki napas yang sama; pencarian jati diri, perenungan, Tuhan Maria, konflik batin, dll. The Alchemist masih menjadi masterpiece di antara semua karyanya, menurut saya. Bagi yang kurang menyukai gaya bercerita dengan tone lambat, saya tidak menyarankan buku ini untuk dibaca. Bahkan, sewaktu saya pernah berjumpa orang Brazil di dalam pesawat, saya sempat bertanya, "suka baca buku Paulo Coelho? Ia penulis Brazil juga, kan? Rio de Janeiro."



Ia menggeleng, "sayangnya tidak." Lalu ia menyebut penulis Brazil lainnya, yang saya lupa siapa. Memang, Coelho masih menjadi perdebatan, apakah tulisannya masuk dalam kategori sastra atau tidak. Tapi ketika di wawancara Juan Arias, yang dimuat dalam buku, Obrolan dengan Sang Penziarah ia pernah berkata, "buku saya itu sastra. Layak disimpan di rak buku sastra dan filsafat."


Saya sendiri tak terlalu mempermasalahkan itu. Yang jelas, ketenangan Coelho dalam berkisah patut saya tiru. Bagaimana ia menggambarkan suasana sekitar, suasana hati dan pikiran para tokohnya. Interpretasi ia dalam memaknai hidup yang dijalaninya menjadi nilai lebih. Ia selalu menuliskan apa yang dekat dengannya, apa yang ia ketahui dan kuasai, bahkan saya sering terkecoh; apakah itu kisah karangan atau kisah nyata?

Karya tetaplah karya. Setiap penulis memiliki pembacanya sendiri. Kita tidak bisa memuaskan semua pembaca. Dari Coelho, saya belajar menjadi diri sendiri di tengah lingkungan paling buruk sekalipun.

Ada satu bukunya yang paling saya sukai, selain yang saya sebut beberapa di atas. Judulnya, Seperti Sungai yang Mengalir. Sekumpulan esai keseharian Coelho yang ringan secara permukaan, tetapi  memiliki kedalaman makna dan butuh permenungan. Hampir setiap halaman saya beri tanda dan baca berulang-ulang. Saya menemukan sesuatu, ketika kita sudah tahu apa yang ingin kita tulis, teknik dan gaya tutur tak lagi jadi sesuatu hal yang perlu dipikirkan. Mengalir saja, apalagi pengalaman yang berbicara. Setiap kali membacanya saya seperti diajak berbincang dengan Coelho, ia seperti ada di sebelah saya, atau di belakang telinga saya. Ia seolah membisikkan sesuatu secara tenang dan meyakinkan.

Perkenalan saya dengan Papa Coelho atas ketidak-sengajaan. Kira-kira pertengahan tahun 2016, sewaktu saya sedang berkunjung di Rumah Dunia, Taman Bacaan Masyarakat asuhan Gola Gong, saya menemukan buku, Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis karya Paulo Coelho tergeletak di lantai. Saya iseng buka-buka halaman awalnya. Tak lama Abdul Salam HS, penyair dan relawan yang tinggal di Rumah Dunia, menyahut. "Buku itu baru beres saya baca. Buku bagus, baca aja." Entah apa yang menghinggapi benak saya saat itu, lekas saja saya putuskan untuk meminjamnya untuk dibawa pulang. Sekira 4 hari baru selesai saya baca, dan hari berikutnya saya yakinkan diri kalau Paulo Coelho harus masuk dalam daftar: penulis idola. Buku-buku lainnya segera saya buru, khususnya yang sudah diterjemahkan.

Dan begitulah awal mula perjumpaan saya dengan Paulo Coelho dan anak batinnya. Bahkan saya sempat dibuat terkejut setelah tahu ternyata beliau masih hidup hahaha. Saat saya telusuri media sosial, saya menemukan akun resminya di instagram: @paulocoelho. Beliau masih sangat aktif mem-posting informasi kesehariannya. Bersama sang Istri, Christina Oiticica, ia rutin berbagi kisahnya soal bangun tengah malam dan melakukan perjalanan sunyinya. Menyusuri pantai di Rio de Janeiro, Brazil, depan kediamannya. Persis seperti apa yang ia jelaskan dalam wawancara bersama Juan Arias. Menarik sekali. Saya harap beliau dan keluarga tetap dikaruniai kesehatan agar terus bisa beraktivitas dan berkarya, dan tentu saja berbagi kebahagiaan yang sederhana untuk bisa kita ikuti.

Suatu saat, saya ingin berjumpa langsung secara fisik dengannya. Salut padamu, Papa~


Cilegon, 5 Januari 2018


You Might Also Like

0 komentar