Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    image by: www.pulsk.com

    “Hidup sudah makmur, untuk apa menulis dan membaca terus, Bung!”
    Dunia sastra menjadi bahan ejekan, barangkali, bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh menggelutinya. Meski kita, orang-orang yang terjun di dunia kesusastraan, sudah disuguhkan dengan berbagai “akibat” atas totalitas yang dilakukan para penggiat sastra terdahulu, tapi toh tetap saja, kita masih mau menekuninya. Biar kata hidup mereka melarat, nelangsa, susah cari uang buat beli rokok, tapi kita tetap enjoy-enjoy saja dengan menulis. Kecintaan sejati tak pernah neko-neko.
    Sebelum jauh berbicara soal..., ya, minat baca rakyat Indonesia yang rendah, coba tengok dulu apa yang sudah dilakukan pemerintah terhadap para pemikir (penulis). Konon dari 1000 orang, hanya 1 yang benar-benar gemar membaca. Kalau boleh saya bilang, 1000 orang dalam perumpamaan itu bukanlah orang-orang yang malas. Tetapi mereka orang-orang yang miskin di antara 1 orang kaya yang berkecukupan.

    Andai harga buku—sial, di malam-malam begini mendadak saya mau ngoceh, sampe nggak peduli betis dan paha dirubungi nyamuk sampe bentol dan gatal!—dari masing-masing penerbit dibandrol dengan harga murah, pastilah banyak orang yang gemar membaca. Ya, minimal, mereka bisa menjatah uang pengeluarannya untuk membeli buku. Persetan dengan slogan, “tidak ada buku mahal, yang ada kita yang kere!” busyeeeet!!! Begini susahnya mendapatkan ilmu pengetahuan.

    Jangan sekali-kali bicara soal perpustakaan daerah di depan muka saya. Saya sungguh muak dengan isi perpustakaan di Banten. Baca baik-baik, kalau bisa dengan mengeluarkan suara saat membacanya: “Perpustakaan di seluruh kota di provinsi Banten sangat tidak layak disebut perpustakaan!”

    Buku-buku yang lapuk, ngejengking, terjungkal, terbalik, yang sobek, belum lagi buku-buku keluaran terbaru tidak ada (bahkan saya cek sampai berulang-ulang tiap bulan), buku seks ada di rak buku anak, buku filsafat ada di rak ekonomi, buku komputer ada di rak sastra, buku sastra ada di keranjang sampah!

    Ya, itulah kenyataannya. Karenanya ketika hidup susah begini, boro-boro mau baca buku. Jangan salahkan pula kalau kecerdasan kita jauh tertinggal dengan anak-anak di negara lain. Mereka terfasilitasi. Terserah mau bilang kami cengeng atau apa pun. internet lagi-lagi hanya bagi mereka yang memiliki gadget serta kuota, dan kuota tentu saja mesti ada uang. Lagi-lagi pangkalnya uang. Andai saja dunia tanpa uang. Saya sering kali membayangkan hal demikian. Kira-kira, masih adakah kesenjangan sosial macam ini. Tapi, ah, saya kan masih anak ingusan. Tidak terlahir pada zaman penjajahan, atau zaman dahulu kala yang konon alat tukar masih dengan sistem barter.

    Kembali ke awal. Lagi-lagi saya mempertanyakan, apa gunanya sastra sekarang ini? para sastrawan, budayawan, aktivis kok kayaknya teriak-teriak baik secara langsung maupun melalui karya tulis sama sekali tidak memberikan efek apa pun? tidak ada yang berubah—paling tidak secara signifikan. Apa yang kita kritisi tidak berubah bentuk. Ia tetap saja berjalan seperti sediakala. Siapa yang berkuasa otentusaja ia yang kendalikan. Sastra? katanya barangkali, tak lebih dari pemanis buatan. 

    Chairil, Pram, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, AA Navis, Kuntowijoyo, dan semua sastrawan senior itu sampai detik ini belum ada yang bisa melampaui karya mereka dan pemikiran-pemikiran mereka. Penulis sedemikian ditakutinya sampai mereka dipenjara, diasingkan, dibumihanguskan buah pikirannya dan segala macam. Pemerintah macam gemeridig bila sastrawan sudah bersuara. Mahasiswa? Astaganaga, boro-boro. Saya tidak sedang membicarakan orang lain. Saya sedang memandang diri sendiri. Skripsi saja tidak kelar-kelar. Boro-boro mau mikirin negara yang terlanjur awut-awutan begini.

    Mahasiswa yang tiap kali didengungkan sebagai agent of (social) change itu, halah sudah basi! Tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada pergerakan. Saya memang tak begitu lama berkecimpung di keorganisasian kampus, tapi melihat sekarang kok miris betul. Membaca sejarah para pendahulu, mahasiswa itu ditakuti pemerintah. Tiap gerak geriknya, tiap ucapan-diskusi-perkumpulannya diperhitungkan. Sekarang paling banter mahasiswa duduk di kantin sambil ngopi-ngopi dan berbagi video bokep. Ada memang yang memikirkan bangsa ini, tapi berhubung minoritas, jadilah ia milih mendekam saja dengan segala konsep-konsepnya. Bersembunyi di antara tumpukan buku tak guna di dalam kamarnya.

    Kita butuh gebrakan. Sesekali saya pun jengah dengan pemerintahan yang loyo macam begini. Indonesia, kok, sepertinya cuma milik orang Jawa saja. Ke mana Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, apalagi Papua. Wong Jowo ki diam-diam menghanyutkan. Sampe negaranya ikutan kanyut. Lebih-lebih, akibat dari malas membaca itu tadi, orang-orang mudah termakan isu/berita palsu, alias hoax!

    Sayang betul saya ini sama Indonesia. Tapi lagi-lagi kalau bicara begini macam sudah menyesap asam-garam saja hidup saya ini. Tidur saja masih numpang sama orang tua. Halah!

    Soal sastra, barangkali sekarang sudah tidak penting lagi. Orang-orang tidak ada yang gemar membaca sastra. Sekalipun saya tak melulu percaya data statistik, tapi nyatanya peminat sastra memang minim. Andai pegiat sastra melimpah, kalau penikmatnya jarang-jarang, yo, tidak akan berkembang. Orang-orang itu saja yang akan berkubang. Setiap kali saya mendatangi kegiatan sastra, para pendatangnya tak pernah melebihi acara konser musik. Sastra mestinya membumi, bukan memberi jarak. Juga harga-harga buku yang melangit, entah bagaimana caranya saya tak paham, cobalah pemerintah mensubsidi agar kaum menengah ke bawah pun bisa turut membeli buku-buku baru. Bukan hanya menunggu buku yang setelah 3 tahun berada di tumpukan diskonan. Itu pun harus berebut. Buku macam kacang tanah saja ditumpuk jadi timbunan gunung. Buju-buneng, dah, betapa susahnya merampungkan buku-buku itu. Saya tahu bagaimana setiap perjuangan penulisnya. Tetapi, di hadapan para pemburu diskonan, buku-buku macam kertas bekas gorengan. Tak ada yang peduli ia terinjak-injak, melowek sampulnya, robek halamannya dan segala macam kenelangsaan buku.

    Bila sudah begini, masih maukah kita menjadi penulis?
    Bila dari kacamata pembaca, masih maukah membeli buku-buku yang mahal itu?
    Kalaupun masih, mau sampai kapan kita menulis dan membaca buku?

    Saya tak benar-benar yakin. Menjadi miskin saja malas membaca, apalagi kalau sudah kaya. Tak ada waktu untuk membaca. Membaca dan menulis hanya berlaku bagi mereka yang mau bersusah-susah hidupnya. Tengoklah para sastrawan yang lahir pada masa-masa revolusi. Buah pikirnya yang dituangkan dalam tulisan benar-benar menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu, pemerintah gemetar dan karyanya menjadi gempar. Kalau sekarang, segalanya telah berubah, konon, sehingga menulis dan membaca itu aktivitas yang menjenuhkan. Duduk berlama-lama, dan hidup dalam kebosanan. Tetapi lagi-lagi saya katakan, bila sudah sampai pada kecintaan yang hakiki, tak perlulah banyak bicara. Pada akhirnya membaca dan menulis adalah soal kecintaan. Itu saja, sih, intinya. Tulisan di atas hanya kengawuran saya yang sedang tidak jelas begini. Dari ketidakjelasan itulah maka lahirlah tulisan semrawut seperti yang sudah kalian baca. Senang rasanya sudah membuang-buang waktu kalian.[]

    Cilegon, 25 Maret 2017


    Continue Reading
    [CERPEN] RANTING (Haluan Padang, 19 Maret 2017)


    cerpen ini dimuat di Haluan Padang, kolom Budaya, (19/03).


    Itu aku
    Ketika terjulur menciumi bulan

    Kalau aku diizinkan bicara, saban hari dari atas sini aku memerhatikanmu. Dahulu kau tak begitu kusut dan bermuram durja. Wajah tulusmu yang kuingat berseri-seri. Aku malu untuk berbincang denganmu. Selalu saja aku memandang diriku sendiri setiap kali akan mencoba memanggilmu dari atas sini. Kuakui, suaraku tak selantang angin puting beliung yang biasa berpusar di ujung timur.

    Lihatlah, kerut di wajahmu semakin menampakkan kemurungan. Bulan kian berganti. Tahun bergulir tiada henti. Aku tak tahu kapan usiaku akan dimamah masa. Bahkan tak mungkin selamanya aku bertengger di bagian batang tubuh yang paling ujung ini. Namun meski begini, aku bersyukur. Dari atas sini seolah bisa kujangkau rembulan. Awan yang berarak dan burung-burung yang tak jarang menghampiriku. Ia mengajakku berbincang dengan suara merdunya. Langit itu seperti sejengkal lagi dapat kuraih.

    Tubuhku kian hari kian memanjang. Terjulur ke segala arah. Tetapi tenang saja, aku masih memandangmu dari sini. Aku masih berharap bisa jatuh dipelukanmu. Meski tentunya itu akan sangat menyakitkan bila sampai terjadi.

    Oh, ya. Sesekali aku penasaran dengan makhluk-makhluk yang melintasi tubuhmu. Apa yang mereka maksudkan melakukan banyak hal sesuka hatinya. Kawananku pun sering dijadikan korban oleh mereka. Beruntung aku yang berada di puncak ini selalu lolos dari terkaman mereka. Aku tahu, kau sangat kesakitan setiap kali mendapatkan perlakuan yang melebihi batas kewajaran dari mereka. Anehnya, yang kutahu mereka sering membuat peraturan yang ketat, tetapi mereka malah melanggarnya sendiri. Permainan macam apa itu? Apa kau tahu?

    Sewaktu rembulan pamit meninggalkanku, mentari melambaikan cahaya indahnya yang meliuk-liuk di tubuhku. Sesaat aku terbangun. Yang kuingat.... hanya kau saat itu. Sebenarnya..., sepanjang waktu aku selalu memikirkanmu. Kulihat makhluk-makhluk yang kepalanya ditumbuhi daun berwarna hitam, sebagian lainnya putih itu sering mengusikmu. Herannya mereka bukan malah berterima kasih padamu, tetapi kian hari semakin membuatku kesal. Andai saja aku bisa melompat dari sini, sudah kujatuhkan tubuhku di atas kepalanya. Sayangnya aku tak boleh melawan takdir. Begitu leluhurku berpesan.

    Itu aku
    Ketika gigil ditampar malam
    Itu aku
    Ketika terbakar dipapar siang

    Kau kini sudah renta, apa masih sanggup hidup dengan menopang dosa-dosa mereka? 
    Satu hal yang membuatku semakin peduli dan hormat denganmu adalah jiwa besarmu. Kelapangan jiwa di tubuhmu itu tiada bandingannya. Kaulah yang nomor satu bila bicara tentang kesabaran. Harusnya mereka belajar darimu. Aku saja selalu berusaha menjadi sepertimu meski begitu sulit. Setiap malam setiap siang, apa pun yang terjadi padamu, kau tetap tegap. Mantap menatap langit. sedangkan tubuhku? Aku ringkih. Semakin aku menjulang mencapai langit, aku kian mudah ditampar malam, dikuliti siang.

    Tuhan Mahaadil. Meski kutahu kau lebih dahulu tercipta dibanding aku, akan tetapi kau besar dan tumbuh tetap dengan tubuh yang tegap. Meski usia tak bisa membohongi waktu. Sesekali kudengar batukmu yang menggelegar. Mungkin penyebabnya karena ulah mereka-mereka juga. Gerombolan kubik air yang menggerusmu memang terkesan sepele bagimu. Namun bila semakin lama itu terjadi dan dibiarkan, aku takut kehilanganmu lebih cepat, sebelum aku benar-benar berhasil menggapaimu. Memelukmu dengan penuh ketulusan.

    Aku kesal! Sering melihat perbuatan buruk mereka padamu. Hanya sebatas melihat yang mampu kulakukan. Mereka melemparimu dengan sesuatu yang bagi mereka tak layak pakai lagi. Dengan seenaknya kedua tangkai di tubuhnya mengayun mengisi setiap sudut ditubuhmu. Hingga, maaf, kau menghasilkan aroma busuk yang mampu membunuh lalat-lalat yang padahal lalat-lalat tersebut hidup dari lingkungan semacam itu. Mungkin saking mencekiknya aroma itu hingga mematikan saluran pernapasan siapa pun yang menghirupnya.

    Aku ada
    Kecil saja

    Kalau aku boleh berkata jujur padamu. Aku adalah bagian darimu. Tetapi seperti yang pernah ingin kubisikkan padamu, aku selalu merendah diri. Setiap kali aku ingin membelamu, atau sekadar menyapamu, aku tahu diri. Aku tahu siapa diriku. Aku melihat apa yang kupunya hingga berani-beraninya ingin memelukmu.

    Andai waktu dapat berjalan mundur. Mungkin sekalipun Tuhan menawariku untuk menjadi serupa denganmu, aku akan menolak. Bukan aku lancang membelokkan tawaran Tuhan. Aku hanya berkata kalaupun Tuhan memberikan pilihan untuk itu, lebih baik aku tetap menjadi seperti ini. Aku hanya cukup melihat ketegaran dirimu. Kau hebat mau menjadi sesuatu yang terkesan biasa, namun Tuhan sebenarnya menumbuhkan ketenangan serta kesabaran dalam jiwamu.

    Satu hal yang jelas, adanya diriku itu kuasa Tuhan. Meski aku kecil di matamu, apalagi dalam pandangan Penciptaku, aku tetap menikmati hidup ini. Sekalipun saban hari dibayangi rasa rindu yang begitu menggebu. Saat aku terlahir, aku sudah melihatmu. Aku sudah mengidolakanmu. Kumohon, bila makhluk-makhluk yang katanya lebih istimewa dari ciptaan-Nya yang lain itu mengganggumu, jangan segan-segan untuk menggertak mereka. Agar mereka sadar, adanya dirimu itu untuk dikasihi. Untuk saling memberi dan menyayangi. Bukan hanya ingin kenikmatannya saja mereka keruk darimu lalu setelah itu sepahnya kau yang merasakan pula. Berontaklah! Aku tahu, ada kekuatan yang Tuhan titipkan padamu. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu sebelum aku mampu memapahmu. Mengelus wajahmu yang dahulu begitu berseri.

    Aku ada
    Dalam bayang pongah tempatku bertumbuh

    Aku 
    Digenggam kehidupan
    Bak lengan pemandu sorak

    Kau yang berdiam di bawah sana. Bila kuperhatikan lebih jauh, tubuhmu ditumbuhi belukar-belukar yang kokoh dan menjulang. Tinggi mereka bahkan ada yang mencapai sepuluh kali lipat dari tinggi tubuhku. Aku takut ulah makhluk-makhluk yang menyeramkan itu bisa menghancurkanmu. Tangkai-tangkai besi mereka mampu menciptakan sesuatu yang besar dan perkasa itu. Mereka bisa mengakar beratus-ratus di tubuhmu, bahkan beribu-ribu.

    Kehadiran mereka semakin menghawatirkanku. Beberapa hari yang lalu kawan-kawan serta leluhurku habis ditebas oleh makhluk yang pongah itu. Apa mereka tak sadar, kelangsungan hidup mereka juga Tuhan titipkan pada kami. Bila kroni-kroniku mati, maka lambat laun mereka pun akan mati. Aku rela bila memang takdirku harus dicekik lalu dipisahkan dari tubuhku dengan alat-alat yang berbunyi bising itu. Tetapi yang aku takutkan aku tak sempat pamit memelukmu. Mereka akan langsung membawaku di dalam alat besar melebihi besarnya gajah namun beroda itu. Mereka akan mengirimku dari satu pulau ke pulau lainnya.

    Katakanlah sesuatu untukku. Aku ingin mendengarkan suara jiwamu. Aku sudah kenyang mendengar suara batukmu yang kadang menyemburkan cairan panas ke segala penjuru. Aku percaya, Tuhan bukan tak mampu menyingkirkan makhluk-makhluk ciptaanNya yang bandel macam mereka dari tubuhmu. Tuhan inginkan keseimbangan dalam kehidupan yang Ia ciptakan.

    “Tapi mereka tuli, Tuhan. Mereka tak bisa menggunakan pendengarannya. Bahkan hati yang kau ciptakan, di tubuh mereka tak berfungsi,” gumamku di sepanjang malam. Aku hanya berteriak dalam diam. Kurasa kau merasakan getaran yang aku timbulkan. Namun kau tak akan pernah tahu apa yang aku katakan itu sampai aku bercerita sendiri padamu.
    Lagi. Aku dipertemukan dengan sorotan cahaya dari ufuk timur pagi ini. Angin yang berembus hari ini terasa begitu kencang menggoyang tubuh. Terpaannya tak seakrab dulu. Kulihat kawan-kawan tumbang satu persatu. Tak ada niat dari makhluk-makhluk maruk itu untuk merawat barang sebagian.
    Apa kau mendengar suara ‘Kreek?’ 
    Itu berasal dari punggungku yang tiada berdaging. Kali ini angin benar-benar menunjukkan kemampuannya. Atau mungkin inilah takdir yang telah digoreskan olehNya.

    Itu aku
    Kering patah terkulai layu
    Terurai waktu di dalam tanah

    Aku melayang-layang di udara. Kulihat sekitar seperti berputar-putar. Aku merebah dalam wajahmu. Impianku untuk memelukmu terwujudlah hari ini. Biarkurasakan sakit yang membawa kenikmatan ini barang sejenak. Rasakan. Rasakanlah tubuhku yang melebur dan hancur menyatu bersamamu. Berkatalah sesuatu. Sebelum Sang Waktu menghabisi kehidupan kita.
    Ada satu hal yang ingin aku bisikkan padamu. Sesuatu hal yang sebenarnya sangat rahasia. Kali ini aku benar-benar bisa merasakan panas di tubuhmu, begitu menyengat hingga menjalar ke seluruh tubuhku. 
    Oh, ya. Sebelum aku berbisik padamu, berjanjilah kau akan hidup lebih lama lagi. Tenang saja, nanti akan aku ajukan keberatanku pada Tuhan, perkara makhluk yang konon diberi sesuatu yang bernama hati dalam tubuhnya—meski aku tak tahu apa gunanya bagi mereka. Kalau kau tetap diusik dan disiksa, kau masih memiliki Tuhan yang menciptakanmu. Berdoalah. Sampaikan segala kegelisahanmu padaNya. Sebab, aku tak akan ada lagi untuk memerhatikanmu.
    Sebelum detik terakhirku, aku ingin berbisik sesuatu padamu. Sejak awal aku bertemu, hingga perlahan berbincang tentangmu pada kesunyian. Ada hal yang belum sepenuhnya kau ketahui. Izinkanlah aku berbicara untuk yang terakhir kalinya.

    Perkenalkan, namaku:
    “Ranting”,
    sekata saja.[]

    Cilegon, 31 Agustus 2014




    _______________________________
    Catatan:
    Cerpen ini diilhami dari puisi berjudul “Ranting” yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi “Rembang Dendang” (AG Litera, 2013), karya penyair asal Sumatera Barat, Denni Meilizon. 

    Continue Reading

    cover depan buku Merah Naga

    >>> SEMUA BUKU MERAH NAGA.zip


    Beberapa waktu lalu, kita pernah sedikitnya dihebohkan oleh postingan pemilik blog catatanmerahnaga. Ia membuat ulasan di blog-nya tentang, "Buku-Buku Sastra yang Tak Penting Dibaca dan Disimpan di Rak". Sebagian penulis, yang merasa penulis, fans fanatik, pembaca ulung, kritikus yang merasa lahannya dicuri pun, geram. Mereka bahkan mengutuk-menyumpah-serapahi cara Merah Naga mengulas, mengkritik dan membedah buku-buku sastra yang padahal sebagian besar pernah menyabet penghargaan bergengsi bertaraf Nasional hingga Internasional.

    Saya sendiri memosisikan diri sebagai pengamat yang tidak suka diamati –saya pernah memakai istilah ini sewaktu dulu aktif mengkritik kebijakan kampus. Saya ingin lebih jauh tahu siapa itu Merah Naga?
    Sebagai orang yang masih baru berkecimpung di dunia literasi, saya patut tahu latar belakang ia menuliskan hal-hal yang meledak-ledak dalam blog-nya. Tentu dengan cara mengenal siapa sosok sebenarnya dibalik nama, "Merah Naga". Seharusnya, kalau ia tidak takut akan segala ancaman dan hal-hal yang mengganggu, ia pakai nama lahirnya saja. Tapi, toh, setelah tahu siapa orangnya, saya mendapati alasan ia tak memakai nama sebenarnya yang tertera di KTP ketika ia memosisikan diri sebagai penulis.

    Merah Naga, atau setelah tahu kemudian punya nama lain, Kanta Kastiri ini berhasil saya dapatkan informasinya. Bagi sebagian orang barangkali ini adalah tindakan yang membuang-membuang waktu, tenaga dan kuota. Namun tak jadi soal, karena setelahnya saya mendapatkan apa yang saya cari.

    Segala tulisan yang meledak-ledak, dan ulasannya yang dinilai lebih condong ke cemoohan itu–bahkan sebagian besar menyerang pribadi penulisnya ketimbang karya yang ditulisnya–semua berawal dari kekhawatiran ia tentang sastra Indonesia yang beberapa tahun terakhir dianggap mandek dan tidak benar-benar melampaui karya penulis-penulis di masa lampau.

    Jadi barangkali, beginilah cara saya menghargainya. Bukan karena bersepakat dengan semua apa yang dituliskannya, hanya saja, bukankah segala bentuk karya, entah buruk maupun baik, patut diapresiasi?

    Lebih-lebih setelah saya mengenal pribadinya yang ternyata tidak sekeras dan sevokal tulisan-tulisannya itu. Beberapa karyanya pun, salah satunya puisi karangan dia, pernah saya baca. Tidak buruk-buruk amat. Ia adalah pembaca yang baik. Hampir semua jenis buku dilahapnya. Dan jauh dari pada itu, rupanya ia pun sangat produktif menulis. Ketika ditanya apa resepnya, ia menjawabnya enteng, "hilangi perasaan takut ketika menulis."

    Berikut ini saya bagikan beberapa buku (kalau boleh disebut demikian) karangan Merah Naga dalam format digital (.pdf) yang bisa diunduh secara gratis. Soal layout-nya yang buruk, harap dimaklum. Karena semuanya dia yang tangani sendiri. Sungguh nelangsa.

    *) P.S: Oh, iya, soal judul postingan ini jangan diambil serius. Si Merah Naga rupanya senang bergurau. Jadi saya candain aja sekalian :v XD


    Sebagian buku karya Merah Naga:

    >>> Seperti Kecil Kau Memungil Merah.pdf

    >>> Meninggalkan Sastra Indonesia.pdf

    >>> Dunia yang Membosankan.pdf

    >>> Berakhirnya Kiri: dan era yang menandai kematian sejarah.pdf

    >>> Bunuh Diri (Novel).pdf

    >>> Berjalan Di Antara Para Tiran.pdf

    >>> Matinya Tuhan Islam.pdf

    >>> Hutan Air (Kumpulan Puisi).pdf


    >>> Tuhan yang Berhenti Mendongeng.pdf

    >>> Tionghoa, Islam dan Masa Depan yang Buruk.pdf


    >>> Gangguan Intelektual.pdf

    >>> Kata-Kata (Kumpulan Quote).pdf

    >>> Esai-esai Keseharian (bagian pertama).pdf

    >>> Catatan Kecil untuk Para Pemberontak.pdf

    >>> Pembaca Buku yang Gagal.pdf

    >>> Dunia yang Benar-benar Aneh.pdf

     >>> Laponia (Novel).pdf


    DOWNLOAD SEMUA BUKU:

    >>> SEMUA BUKU MERAH NAGA.zip

    Continue Reading
    image by: biem.co

    Badrun melangkah keluar dari sebuah toko buku. Sekali lagi ia buka dompetnya. Satu lembar uang kertas dua ribuan ia ambil. Pikirannya sibuk bertanya, “kepada siapa lagi buku-buku ini harus saya tawarkan?” belum ia mendapatkan jawaban, lekas ia menaiki sepeda motornya.
    “Ya, terus-terus...,” seru seorang juru parkir di belakangnya.
    “Terima kasih, Pak.” Ia sodorkan lembaran uang tadi. Sekarang, ia menghitung, uangnya tinggal tiga ribu. Sebelumnya sepuluh ribu rupiah sudah ia pakai untuk membeli bensin. Bahan bakar naik, barang-barang lain ikut naik. Menjadi seorang guru yang merangkap penyair, pikirnya kemudian, bukanlah pilihan yang bijak.

    Ia membawa motornya pada kecepatan sedang. Perkataan pemilik toko tadi, toko buku yang tidak besar-besar amat itu, masih ia ingat:
    “Kami bukan menolak. Buku-buku dari penulis besar saja belum semua habis, kami hanya tak mau membuat Pak Badrun menunggu lama bila bukunya dititip-jual pada kami. Barangkali, kalau musim pembeli sedang ramai, kami akan hubungi Pak Badrun.”
    Hal berikutnya yang terjadi, ia mengucapkan, “tidak apa-apa, terima kasih,” sembari memberikan satu buah buku puisi tunggalnya yang ia cetak sendiri sekitar seratus eksemplar, dengan uangnya sendiri, yang ia sisihkan dari gajinya tiga bulan terakhir.
    Setelah itu, ia menutup pintu dari luar.

    Bila ditelaah, ucap Badrun menahan senyum getirnya, lucu juga, ya. Untuk mendapati buku laku saja harus menunggu ‘musim-pembeli-ramai’(?). Apa separah itu minat baca warga negeri ini? tapi, ah, saya tak begitu percaya, katanya menengok ke gedung-gedung pencakar langit, karya bagus adalah karya bagus. Ia akan tetap mendapatkan pembacanya sendiri, baik saat musim maupun tidak. Apa pembaca buku seperti hujan, begitu? Ia tak selalu datang setiap hari. Sekalinya datang, ia keroyokan?

    Azan dzuhur baru saja berhenti menggema. Jarak rumahnya masih sekitar satu kilometer lagi. Ia memilih untuk menepi sejenak di sebuah musala pinggir jalan raya. Di luar pagarnya, seorang nenek tengah meringkuk merangkul kaki. Badrun parkirkan motornya tak jauh di belakang nenek itu. Sekilas, ia mengira kalau perempuan yang ditaksir usianya tujuh puluhan itu seorang pengemis. Namun saat akan memasuki pelataran musala, ia menoleh. Rupanya ia keliru. Di depan si nenek ada sebakul kacang rebus.
    “Punten, Nek, berapaan kacang rebusnya?”
    Kebaya yang ia kenakan tampak lusuh. Belum lagi rambut keperak-perakannya yang terurai berantakan ditutupi oleh kerudung abu-abu secara asal.
    “Berapa saja boleh, Nak. Silakan,” suaranya gemetar. Badrun tak kuasa mendengarnya. Ada sesak yang tiba-tiba mampir di dadanya. Teguran apa lagi ini? hatinya berbisik. Ketika banyak orang-orang yang badannya masih tampak bugar memilih menjadi pengemis, nenek itu tidak demikian. Badrun masih mematung. Ia memandang ke dalam musala. Iqamah terdengar dan jamaah yang hanya beberapa orang itu membuat saf.
    “Saya salat dulu, ya, Nek.”
    Ia permisi. Lekas mengambil air wudhu, membasuh wajahnya perlahan-lahan, sembari mengingat-ingat keluhannya sepanjang jalan tadi; bahkan sejak kemarin dan kemarin lagi. Banyak hal yang terlewat untuk ia syukuri. Usai berwudhu, ia gegas turut salat berjamaah.

    Cuaca hari itu benar-benar panas. Badrun sudah selesai berdoa. Ia sudah ada di luar. Ia duduk sebentar, meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya di tembok. Hampir saja ada yang terlupa, gumamnya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya, tiga lembar seribuan ia tarik. Lalu memakai sepatunya. Saat akan beranjak menuju si nenek, ternyata ia tak lagi sendiri. Ada gadis kecil bersamanya. Barangkali, itu cucunya.
    Para jamaah lain, yang juga bukan warga sekitar, sudah pulang dan kembali melanjutkan perjalanan. Namun tidak dengan Badrun. Ia memilih untuk membeli kacang rebus si nenek lebih dahulu.
    “Kecapnya habis, sudah makan seadanya saja dulu. Pulang-pulang, nanti Nenek belikan.” Badrun mencuri dengar. Meski usianya sudah empatpuluh delapan, pendengarannya masih lumayan baik.
    “Nggak mau, nggak mau. Masa sama nasi doang?”
    Tak banyak yang bisa Badrun lakukan. Bukan karena enggan, tapi sebab ia tak punya uang lagi hari itu. Ia tak mau pula memaksakan kemampuannya.
    “Kenapa cantik? Kok, cemberut, gitu?”
    Bocah itu tidak peduli. Ia menatap kesal ke neneknya.
    “Oh, nggak apa-apa, kok. Biasa..., anak-anak,” jawab Neneknya, “dia biasa makan sama kecap. Suka sekali, Nak. Kebetulan nenek lupa bawa. Nggak lama lagi juga dia diam, kok.”
    Angin berkesiur. Daun-daun kering, yang ada di pelataran musala itu, berguguran. Pohon mangganya belum berbuah. Belum musim. Badrun mendongak ke pohon-pohon itu, ia teringat kalau Fira, anak tunggalnya yang masih berusia tujuh tahun, juga senang sekali makan dengan kecap. Lalu mendadak ia ingat pula pada ibunya Fira. Badrun termasuk menikah di usia kelewat matang. Istrinya saat itu masih berusia duapuluh enam. Nahasnya, ketika Fira lahir, ia harus berpulang. “Tuhan sayang padanya,” begitu ia berucap saat Fira bertanya ke mana ibunya. Hingga kini ia belum sempat terpikir untuk mencari penggantinya.
    “Saya beli kacangnya, Nek.” Ia menyodorkan uang tiga ribu rupiah itu. Itu adalah uang terakhir yang ia punya. Sekarang tanggal tua, hari gajian masih satu minggu lagi. Hutangnya di warung sudah terlalu banyak. Apalagi pada teman-temannya.

    Badrun pulang dengan membawa sebungkus kacang rebus. Ia tak begitu suka kacang rebus. Fira juga. Sepanjang jalan pun ia berpikir, untuk apa ia membeli kacang rebus?

    Fira tinggal di rumah bibinya selama Badrun pergi mengajar. Bapaknya itu pernah berjanji akan menyekolahkan ia di usia delapan tahun. Banyak hal yang Badrun pikirkan sebelum ia menyekolahkan Fira. Biaya tentu saja hal utama, namun hal lainnya, Fira masih terlalu kecil. Orang-orang yang melihatnya sekilas pasti mengira ia masih berusia lima atau enam. Akan tetapi, bila sudah melihat caranya berbicara, mereka akan berpikir ulang.
    “Bapak pulaaang!!!” serunya lantang dari rumah bibinya. Ia gegas menyusul bapaknya. Rumah mereka bersebelahan. Fira akan kembali lagi ke bapaknya saat siang hari. Badrun berhutang banyak pada kebaikan adiknya itu.
    “Fira mau kacang?”
    Dia menggeleng. Bibinya keluar menyusul. “Dia tak mau makan sebelum Bapaknya pulang. Sudah saya bujuk berulang kali.”
    “Baiklah, Neni. Kau terlampau baik menjadi bibinya. Biar saya hadiahi kacang ini untukmu.” Fira tersenyum, ia berjalan masuk bersama bapaknya sembari terus memeluknya. Sementara Neni dan suaminya sudah bersiap pergi ke pernikahan temannya.

    Jam makan siang sudah tiba. Neni sudah memasakkan nasi dan telur dadar. Semuanya telah terhidang di meja makan.
    “Pak lapar,” ucap Fira manja. Badrun masih di kamar, ia tengah berganti pakaian.
    Fira berlari ke dapur. ia bulak-balik membuka lemari makan. Entah apa yang dicarinya hingga mengusik rasa ingin tahu bapaknya.
    “Cari apa, Fira?”
    “Beli kecap, Pak.  Fira nggak mau makan kalau nggak sama kecap!” ada sedikit rasa jengkel mengerumuni hati Badrun, tapi toh ia cenderung lebih merasa gemas. Tanpa berpikir ada yang kurang, ia bergegas pergi ke kamarnya. Merogoh kantong celana, mengambil dompet dan ia membukanya. Badrun benar-benar lupa kalau ia sudah kehabisan uang hari itu. Saat kembali ke dapur, wajahnya tampak sedih.
    “Bapak nggak ada uang, Fira.”
    Anak gadisnya, entah apa yang ada di benaknya, langsung berlari ke kamarnya. Tanpa berucap apa pun. Badrun merasa kecewa pada diri sendiri. Ia tak langsung menyusul Fira. Tubuhnya yang masih lelah, ia dudukkan pada kursi. Napas beratnya ia embuskan.

    Sekitar tiga menit berikutnya, Fira kembali.
    “Pakai uang Fira aja dulu, Pak.” Ia menyodorkan uang kertas lima ribu rupiah, uang dari celengannya. Bapaknya menatap haru. Ia tahu, uang segitu tak cukup untuk membeli kecap botolan, namun kecap ketengan pun tak jadi soal.
    Badrun tak banyak cakap. Soal perut memang tak boleh ditunda lama-lama.

    Ia kembali setelah membeli kecap ketengan duaribu tiga. Masih ada sisa uang tiga ribu. “Kembalinya buat Bapak, ya?”
    “Enak aja. Itu buat besok beli kecap lagi, Pak,” ejek putri kecilnya itu. Akhirnya, mereka sama-sama menyantap masakan Neni. Ada tawa dan kebahagiaan yang timbul dari keluarga sederhana itu. Satu hal yang Badrun tahu, bahwa penyair, tak mungkin lapar soal perasaan. Ia sudah kenyang dan akan selalu kenyang. Yang jelas, besok royalti akan dikirim dari salah satu media cetak yang memuat puisi-puisinya. Ia berharap tak akan dibohongi lagi. Tapi toh, kalau dipikir-pikir, ia juga sudah kenyang dengan hal semacam itu. Kehidupan, lagi-lagi, ia biarkan berjalan sebagaimana adanya. Tak mau banyak menuntut, tak mau banyak mengeluh.

    Satu Minggu sejak hari itu, seorang pemilik toko buku mengetuk pintu rumahnya.

    Cilegon, 21 November 2016
    Continue Reading
    Ketika Pemain Pilem Jadi Gubernur


    Judul Buku      : SI DOEL
    Jenis Buku       : Nonfiksi/Biografi
    Penulis             : Rano Karno
    Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
    Tahun Terbit    : Cetakan I, Okober 2016
    ISBN               : 978-602-03-3456-1
    Tebal               : viii + 204 halaman
    Harga              : Rp. 60.000,-

    Barangkali, judul itu yang tepat merangkum segala isi buku, “Si Doel” karya Rano Karno ini—sekalipun Rano Karno pernah menjajal dunia tarik suara. Bila yang pembaca cari soal hal-hal menarik dari Rano selama menjadi entertainer, tentu salah jurusan, hanya sedikit hal itu disinggung olehnya. Dalam buku ini, Rano menuliskan segala hal-hal selama hidupnya yang belum pernah diungkap kepada publik. Ia blak-blakan soal kisah cintanya, masa kanak-kanaknya, hubungan dengan saudara-saudaranya, orang tuanya, hingga kisah pelik dengan keluarganya yang sentimentil.
    Pembaca seperti tak sedang membaca biografi seseorang yang pernah menjadi Role Model para pemuda di awal masa kejayaannya sekitar tahun ’60 dan ’70-an. Akan tetapi, kita seperti membaca sebuah kisah inspiratif tentang sosok anak kampung, yang hidup sederhana dan memiliki cita-cita menjadi pemain film.
    Ayahnya, Soekarno M. Noer, memang seorang aktor kawakan sekaligus sutradara—meski belum banyak film yang diproduksi olehnya kala itu. Rano kecil sangat ingin sekali bermain film, seperti kakaknya Rubby Karno yang lebih dulu terjun di dunia akting. Sayangnya, Papa tak pernah mengizinkannya. Sehingga Rano kecil sering mengeluh, “Kakak boleh, Rano nggak boleh (main pilem). Papa kepinginnya Rano jadi pemain bola. Atau Badminton.” (hal.58). Namun, sepertinya memang sudah garis keturunan, pada tahun 1973 ia menjadi pemeran utama bersama Benyamin S. dalam film, “Si Doel Anak Betawi” yang disutradari oleh Sjuman Djaja. Cerita yang diangkat berdasarkan novel karangan Aman Datuk Madjoindo itu. Dan ternyata, Rano kecil sudah membaca novel tersebut sejak usia 7 tahun (hal.19). Rano adalah putra ke-3 dari 6 bersaudara. Dua di antaranya, Rubby Karno dan Suti Karno, bergelut di dunia seni peran juga. Tino, Santi dan Nurli Karno barangkali lebih nyaman berada di balik layar. Mereka bersama tergabung dalam PT. Karno’s Film.
    Menginjak usia remaja, namanya semakin melejit setelah membintangi film, “Gita Cinta di SMA” dari novel karya Eddy D. Iskandar dan disutradarai oleh Arizal tahun 1979 (hal.18). Ia berperan sebagai Galih yang memiliki kekasih bernama Ratna, yang diperankan oleh Yessi Gusman. Kemudian tahun 1994 ia kembali berperan sebagai Si Doel dewasa dalam sinetron, “Si Doel Anak Sekolahan”, yang tayang di RCTI. Di sanalah masa puncak kejayaan Rano sebagai aktor kebanggaan Indonesia (hal.19).

    Setelah di rasa sudah pernah menjajaki suka-dukanya kehidupan di dunia akting, rupa-rupanya ia belum “puas” memberi manfaat untuk orang banyak. Rano kembali mengejutkan publik di penghujung 2007 dengan menyatakan bahwa dirinya telah ditetapkan sebagai Calon Wakil Bupati (Cawabup) Tangerang sesuai dengan keputusan partai pendukung untuk mendampingi Calon Bupati Ismet Iskandar pada Pilkada Tangerang 2008. Pasangan ini kemudian terpilih sebagai pemenang dan Rano menjadi Wakil Bupati Tangerang untuk periode 2008-2013. Pada 19 Desember 2011, ia mengundurkan diri dari jabatannya karena terpilih sebagai Wakil Gubernur Banten mendampingi Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten periode 2007-2011). Dan berdasarkan hasil perhitungan yang diumumkan oleh KPUD Banten pada tanggal 30 Oktober 2011, dipastikan pasangan Ratu Atut Chosiyah dan Rano Karno memenangkan hasil Pilkada Banten untuk periode 2012-2017. Itu berarti, ia hanya menjabat sebagai wakil Bupati Kab. Tangerang selama sekitar tiga tahun, sembilan bulan kurang tiga hari, tepatnya tiga tahun, delapan bulan, 27 hari (hal.151).
    Ajaibnya, ternyata ada satu scene di sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” yang “meramalkan” kalau Tukang Insinyur itu bakal jadi Gubernur. Bermula dari kelakar Babeh Sabeni yang diperankan oleh Benyamin Sueb: “eh Doel, mangkenye gue sekolain lu biar pinter, jangan bodo kayak gue! Jangan cuman jadi supir oplet aja lu. Jadi dong Gubernur, gitu!”. Ternyata itu jadi do’a, dan Si Doel betulan jadi Gubernur di Banten (hal.20). Begini, sejak 13 Mei 2014 hingga 12 Agustus 2015, Rano Karno ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Banten menggantikan Ratu Atut Chosiyah yang dinonaktifkan terkait kasus suap Pilkada di MK. Setelah tanggal 12 Agustus 2015 sampai sekarang, ia naik jabatan sebagai Gubernur Banten. Kini ia mencalonkan lagi sebagai Gubernur Banten untuk periode 2017-2022 berpasangan dengan H. Embay Mulya Syarief. Rival satu-satunya yakni pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy (Putra kandung dari H. Ratu Atut Chosiyah).

    Kelemahan buku ini terlalu banyak informasi yang sama yang terus diulang-ulang di banyak halaman. Terkesan boros kata, buang-buang waktu dan melebih-lebihkan halaman. Sedangkan keunikan buku ini, barangkali karena Rano Karno pernah juga menjadi seorang sutradara dan penulis skenario, cara ia membuat daftar isi pun persis dengan draft sebuah naskah skenario. Dimulai dengan opening teaser; yang berarti halaman awal diisi oleh kata pengantar dari sahabat dan orang terdekatnya seperti: Eddy D. Iskandar, Yessy Gusman, Mandra dan Kinanti. Berlanjut dengan istilah-istilah penulisan dalam skenario semacam: fade out, fade in, cut to, dissolve to flashback. Tiap memasuki bab pun diganti istilahnya dengan act 1; sub babnya jadi scene #1 dan seterusnya sampai berakhir dengan istilah end of act. Setelah kalimat the end, ditutup dengan closing tittle (yang berisi testimoni dari orang-orang yang sudah membaca bukunya).

    Sesuai kata Pak Eddy D. Iskandar, dulu waktu remaja Rano pernah menulis begini: “kecil terkenal, remaja disuka, dewasa berwibawa, mati masuk surga”. Barangkali semua pencapaian itu bisa sama-sama kita saksikan. Pesan Pak Eddy, bila ingin dikenang kehadirannya, “Rano mesti menjadi pemimpin yang amanah, yang murni mengabdi kepada rakyat, yang mau mendengar suara rakyat, berani menegakkan pemerintahan yang bersih, jujur dan berwibawa.” (hal.3).
    Sebagai warga Banten, tentu saja kami mengharapkan adanya pemimpin yang semacam itu.

    Cilegon, 17 November 2016




    Continue Reading

    image by: KLIK

    Pertanyaan itu yang malam ini berkelindan di benak saya. Bayangan tentang beberapa orang terus menggerayangi pikiran saya yang padahal butuh istirahat ini. Untuk apa saya repot-repot menyalakan laptop, dengan mata setengah mengantuk dan tubuh yang pegal, kemudian menuangkan hal-hal yang sebetulnya tidak begitu penting-penting amat ini, barangkali.

    Sialnya, saya mau melakukan hal tersebut karena kalau tidak saya tuangkan, saya akan sangat sulit sekali untuk memejamkan mata. Padahal, baru saja orang yang saya rindukan itu—untuk sekian lama—saya chat lagi dan membalas alakadarnya dan datar saja. Berbeda seperti beberapa tahun lampau ketika awal kita membuka percakapan.

    Rupanya bukan berhenti di satu orang. Ada wajah lain yang juga turut ambil kendali atas pikiran-pikiran saya. Ia adalah teman dekat yang akhirnya menikah dengan sahabat karib saya. Saya yang mengenalkan, mereka yang jadian. Lalu teringat lirik lagu berjudul, Menyesal yang dinyanyikan oleh Ressa Herlambang: “Terkadang kumenyesal, mengapa kukenalkan dia padamu....”

    Orang-orang ini, adalah orang-orang yang berhasil menyemangati saya setelah keluarga. Bisa dekat dengannya saja saya seperti mendapatkan energi yang begitu besar. Salah satunya untuk terus berkarya; khususnya di bidang tulis-menulis yang saya tekuni ini. Saya bukannya tak mau pacaran atau memiliki kekasih, ada hal-hal lain yang saya rasa jauh lebih penting untuk dipikirkan dan dikejar—sekarang ini. Lebih-lebih saya masih sulit lepas dari jerat bayang-bayang teman dekat (bisa dibilang gebetan) yang sudah break’in my heart itu.

    Malam ini, i want to tell you about something!

    Kita kesampingkan dulu soal gebetan yang sudah menikah dengan sahabat saya itu. Saya tidak bisa bicara jauh tentang hal itu. Yang ingin saya bicarakan adalah mereka orang-orang kecil yang merasa besar itu.

    Rupa-rupanya, kenapa mereka menjaga jarak dengan saya tak lain karena mereka merasa sudah berada di posisi atas. Tentu ini bukan hanya sebuah prasangka, tetapi didasari oleh realitas yang ada. Barangkali mereka sudah merasa tak cocok lagi berkawan dan bertegur sapa dengan saya. Ada jarak yang dibuat sedemikian jauh. Kalaupun mereka menghubungi saya lebih dulu, itu karena mereka ada perlu dan butuh bantuan. Bisa tentang membagikan hal-hal yang tidak ingin saya lakukan di akun pribadi saya. Bentuknya begitu memaksa. Kalau saya jabarkan alasannya kenapa tidak ingin melakukannya, secara ajaib akun saya langsung diblokir. Sangat kekanak-kanakan. Itu satu hal. Untuk yang lainnya, ada yang bicara sedikit sekali dan seolah tak penting meladeni ucapan-ucapan saya. Padahal, dulu mereka bisa bicara berjam-jam dengan saya. Ya, masa ketika mereka sedang berkontemplasi dan sepertinya menganggap saya tak lebih dari pendengar setianya saja. Sial betul!

    Saya bukannya tak mensyukuri atas keberhasilannya, hanya saja saya merasa it’s not fair! Seharusnya, mereka sadar kalau dunia akan terus berputar dan bergerak. Kita hanya sedang berada di kayuhan sepeda. Akan tiba waktunya berada di atas, dan keadaan kita kembali ke bawah itu sangat besar kemungkinannya. Harus bisa menyeimbangkan kayuhan sampai kita sampai ke tujuan. Entahlah, ini pengandaian yang sesuai atau tidak. Yang jelas, saya malam ini benar-benar kesal. Mengapa orang-orang macam mereka terus saja mengganggu dan sulit enyah dari dalam tempurung kepala saya. Dan bodohnya lagi, saya dibuat cengeng akan hal ini—sebegitu berartinyakah mereka (?). Pertanyaannya kemudian, kembali ke judul awal: Apakah lelaki tak boleh menangis?

    Beberapa waktu lalu, saya menghadiri acara Kang Maman Suherman (Notulen ILK). Ia bertanya pada audiens soal itu. Ketika di bagian ia berkisah soal “kebohongan-kebohongan” Ibunya, ia menguraikan airmata, dan itu mengundang kesedihan yang sama pada penonton, saya salah satunya. Itu bicara perjuangan ibu, siapapun yang memiliki hati, pasti akan tersentuh. Tetapi, lepas dari itu, kenapa untuk hal-hal remeh macam begini saya juga melakukan hal serupa? Ada apa? Mungkinkah ada baut yang kendor dan butuh perbaikan?

    Bicara perbaikan, sejak 5 hari kemarin saya sulit berkomunikasi via media sosial. Ponsel saya yang dalam bentuk tablet itu harus dibawa ke UGD. Mendadak ia rusak dan sulit mendapatkan penanganan dari para dokter ahli (?). Entah disebut ahli atau bukan, wong buktinya mereka belum berhasil membuat ponsel saya kembali sehat! Ini sungguh-sungguh menjengkelkan!

    Beruntungnya perkara ponsel rusak itu tak mengundang airmata saya berlinang. Sebab percuma saja, airmata tidak bisa menyembuhkan sesuatu yang telah rusak. Ia hanya sebagai penenang saja. Tak bisa mengembalikan apapun dalam keadaan utuh. Ia tak lebih sebagai pembuat rasa plong di dada, untuk beberapa waktu kemudian kita dibuat resah kembali. Namun bila dipikir, kita terlahir tanpa membawa apa-apa, lantas kenapa kita selalu merasa kehilangan sesuatu, ya?

    Bila airmata bisa dijual, barangkali esok saya bisa kaya.[]

    Cilegon, 04 Maret 2017



    Continue Reading
    Dimuat di Koran Radar Banten edisi Jumat, 03 Maret 2017.


    Setelah hadirnya teknologi informasi dan canggihnya internet, hubungan komunikasi antar manusia menjadi kian mudah dan cepat. Bukan hanya menjadi perantara antar satu orang dengan satu orang lainnya, melainkan bisa menghubungkan banyak orang dalam waktu yang (nyaris) bersamaan; bukan lagi cakupannya dalam satu wilayah, namun bisa menjangkau belahan negara lain bahkan bisa sampai planet lain. Semuanya kini bisa dilakukan dalam waktu sepersekian detik.

    Hal tersebut di atas erat hubungannya dengan salah satu profesi yang akan dibahas, yakni Jurnalis. Pada awalnya, profesi jurnalis terbilang jarang peminat. Bila memaknainya secara pengertian bahasa, jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar. Namun kenyataannya, kini, siapa pun bisa menjadi jurnalis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya—mengutip sebagian teks proklamasi.

    Hari Minggu kemarin, (26/02/17) Maman Suherman (Kang Maman) yang dikenal sebagai ‘Sang Notulen’ dalam acara Indonesia Lawak Klub (ILK), berkunjung ke Rumah Dunia dalam rangkaian acara Kawah Literasi Rumah Dunia 2017. Dalam kunjungannya itu, Kang Maman berbagi pengalamannya seputar pelatihan jurnalistik dan proses kreatif menulis, di Auditorium Surosowan Rumah Dunia. Acara dimulai pukul 13.30 WIB dan selesai pukul 16.00 WIB.

    Di pertengahan sesinya, beliau menyampaikan beberapa tip untuk menjadi jurnalis yang andal dan terpercaya. Ternyata, menurutnya bukan hanya 5W+1H saja yang harus dimiliki dan diketahui para jurnalis, tetapi ada 5 hal penting yang barangkali akan membedakan mana jurnalis sesungguhnya dan mana jurnalis abal-abal alias produk media sosial. Maman menamainya: 5R.

    Sebelum menyebutkan lima poin itu, untuk para jurnalis ber-id card, diharap jangan sempoyongan dahulu. Menjamurnya pengguna sosial yang dengan mudah membagikan berita hoax itu jangan dianggap suatu ancaman, melainkan jadikan mereka sebagai target sasaran untuk “dibumihanguskan”. Dan untuk pembaca berita atau informasi apa pun, barangkali sangat perlu juga menyimak poin-poin berikut, sebab dengan membacanya secara teliti, sedikitnya kita akan mudah terhindar dari serangan berita hoax, atau paling tidak kita jadi lebih pandai dalam memilih dan memilah suatu informasi mana yang tepat keakuratannya.

    Pertama: Read
    Hal pertama ini tentu mudah diucapkan tetapi sulit diterapkan. Dibanding zaman dahulu yang begitu sulitnya mendapatkan informasi, zaman sekarang justru overload informasi. Karena saking banyaknya itulah kita jadi kesulitan mana yang berita benar alias fakta, dan mana berita bohong—yang populer disebut hoax!

    Untuk menjadi jurnalis profesional, atau minimal penyampai berita untuk warga sekitar, membaca adalah poin terpenting. Jangan terburu-buru menuliskannya untuk kemudian dibagikan; di media sosial seperti Facebook, untuk menjadi penyambung lidah cukup jempol yang bekerja. Tinggal tekan tombol share, dan tersebarlah informasi yang belum jelas kebenarannya itu. Maka untuk semakin meyakinkan dengan informasi apa yang diterima, kita harus melangkah pada R yang kedua.

    Kedua: Research
    Ketika menyelesaikan skripsinya di jurusan Kriminologi, Kang Maman mesti melakukan riset selama 2 tahun lamanya. Mahasiswa Universitas Indonesia itu melakukan objek penelitian sekaligus mengangkat sebuah isu yang berkembang pada masanya; yakni perdagangan perempuan terhadap perempuan (pelacuran lesbian). Bahkan ia mesti melakukan penyamaran seperti menjadi sopir antar jemput para pelacur hingga berbaur dalam kehidupan malam itu, guna mendapatkan informasi yang begitu akuran. Beberapa tahun setelah skripsinya selesai, ia membukukannya dan sudah terbit dengan judul, Re: (KPG, 2014).

    Maman menyampaikan, tentu bukan berarti kita mesti melakukan apa yang ia kerjakan demi sebuah riset. Banyak hal yang bisa dilakukan selain kontak langsung. Bisa dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan internet, mencari-cari referensi melalui buku, atau memang bila diperlukan, datangi narasumbernya langsung agar apa yang akan kita sampaikan nantinya bisa benar-benar dipercaya khalayak umum.

    Ketiga: Reliable
    Ya, ketika kita sudah membuat pembaca percaya, maka bisa dikatakan mereka akan menjadi pembaca setia tulisan, berita, dan reportase-reportase kita berikutnya. Akan selalu dinanti-nantikan soal apalagi yang akan kita sampaikan untuk menambah wawasan mereka. Maka jadilah jurnalis yang terpercaya, dengan mempertimbangkan segala aspek, baik dari sudut pandang korban, pelaku, saksi, narasumber lain dan segala macam. Selalu lakukan konfirmasi pada orang yang berkaitan langsung dalam suatu peristiwa.

    Keempat: Reflecting
    Seperti yang sudah disinggung di poin ketiga, jurnalis adalah penyampai fakta. Bisa dibilang kebenaran. Namun sayangnya, belakangan sebagian besar media kurang objektif dalam memberitakan sesuatu. Tidak berimbang dan cenderung asal-asalan. Lebih-lebih tanpa adanya konfirmasi langsung dari kedua belah pihak. Nah, pada bagian ini Kang Maman menunjukkan apa itu Reflecting dalam sebuah praktek.

    Ia melepaskan topi bertuliskan, Iqra (dalam huruf arab) yang dipakainya. Ia berdiri di belakang topi itu lalu bertanya pada peserta di hadapannya, “apa bacanya?” semua serempak berteriak, “Iqra,”. Kang Maman menggeleng, ia bilang tidak ada tulisan. Keduanya menyatakan kebenaran dari sudut pandang masing-masing. Topi itu perwujudan dari “Fakta”, sedangkan Kang Maman dengan audiensi adalah apa yang disebut tadi, Reflecting. Jadi, sebagai pembaca dan penulis khususnya, kita jangan terburu-buru mengatakan sesuatu benar atau salah, sebab bisa jadi itu hanya soal sudut pandang saja.

    Kelima: (W) Right
    Pada poin akhir ini ia sedikit bermain teka-teki. Yang dimaksud tentu saja, Right, sebab itu bagian dari poin 5R tadi. Hanya saja, di papan tulis ia menambahkan huruf W di depan kata Right. Kang Maman kurang lebih menyampaikan maksudnya yakni, bila kita ingin menjadi jurnalis yang baik dan andal tentu harus mengatakan apa pun dengan benar; tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang dibelokkan, tidak menjiplak karya orang lain, tidak mengarang ucapan narasumber dan segala kebohongan yang seolah dibuat sebagai suatu kebenaran. Sedangkan, untuk peletakan W di depan tak lain bila kita sudah melakukan 5W+1H juga poin 5R, maka lekaslah Wright (baca: Write). Menulislah apa pun yang semestinya ditulis. Sampaikan apa pun yang seharusnya disampaikan.
    Selamat mempraktekkan dan “membunuh” para penyebar hoax![]

    Cilegon, 27 Februari 2017



    Continue Reading
    Leaflet presentasi acara Banten Bersih

    Banten, kini berusia 16 tahun sebagai sebuah provinsi. Wilayah paling barat di pulau Jawa tersebut pernah menjadi bagian dari Tatar Pasundan, yakni provinsi Jawa Barat. Namun kemudian, menurut Wikipedia, menjadi wilayah pemekaran dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. Layaknya manusia, apa yang biasanya seseorang mesti lakukan ketika menginjak usia enambelas?

    Sudah bukan lagi rahasia bila bicara tentang perpolitikan gelap yang ada di provinsi remaja ini. Sejak pemerintahan pertama—bahkan sebelum jadi provinsi—di tangan ‘jawara’ Banten yang juga terlibat sebagai tokoh yang memperjuangkan pemekaran Banten, H. Chasan Sochib, adalah ‘Godfather’-nya Banten. Bahkan ia mendaku diri sebagai ‘Gubernur-Jenderal’ yang berarti penguasa sesungguhnya di Banten. Mulai dari ekonomi, politik, sosial dan budaya ia berperan aktif serta terlibat mengatur struktur kepemimpinan dan menempatkan orang-orang yang dalam lingkarannya, yakni keluarga besarnya. Hingga kemudian berlanjut di tangan anak perempuannya, Hj. Atut Chosiyah, yang semula menjabat seorang wakil Gubernur sampai menjabat Gubernur selama dua periode. Sialnya, praktik dinasti yang secara turun-temurun itu, bahkan bukan hanya di tataran Gubernur saja, di wilayah Bupati, Walikota, dan jabatan informal pun semua tak lain masih bagian keluarga dinasti, terus berlanjut dan kemungkinan terulang lagi ketika putra Atut, Andika Hazrumy, resmi mencalonkan diri di Pilgub mendatang. Nahasnya, Atut kini menjadi terdakwa atas kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten 2013 di Mahkamah Konstitusi (MK), dan setelah terbukti, ia mesti lengser dari singgasananya dan mendekam di bui hingga sekarang. Kemudian, dari sinilah Banten memulai perjalanannya sebagai remaja ‘broken home’.
    saat presentasi esai yang dilombakan

    Sesungguhnya, akan menjadi pesimis bila terus-menerus bicara perpolitikan yang itu-itu saja di tanah Banten. Kita, sebagai pribumi, akan sama-sama menyaksikan betapa suram kehidupan di tanah jawara ini. Bagaimana mungkin akan menarik minat para wisatawan datang ke daerah Banten bila pemandangan “politik-gelap” terus yang kita suguhkan?

    Anak remaja, usia 16 adalah masa béger. Masa di mana sedang asyik-masyuknya mematut diri akan penampilannya. Untuk menarik lelaki maupun perempuan, tentu saja hal tersebut wajar adanya. Tetapi yang sering terlupa, kita abai mengenal diri kita sendiri lebih dalam. Anak remaja labil tak ada waktu untuk melakukan proses perenungan. Dalam dunia industri, misal, kita lebih sibuk menjadi konsumen ketimbang menjadi produsen. Dan itulah Banten hari ini.

    Namun meski demikian, tentu saja sebagai pemuda yang akan menjadi pemegang tonggak estafet kepemimpinan di Banten, kita tak semestinya menjadi tak acuh dan apatis terhadap kejayaan Banten. Sudah saatnya bersama-sama dan mau mengikrarkan kalau Banten harus zero corruption. Siapa pun pemimpinnya kelak, harus sama-sama kita awasi dan ikuti terus setiap kebijakan-kebijakannya yang diambil.

    Orang-orang awam, adalah warga yang pemikirannya paling mudah dikendalikan. Ketika mendapati sebuah opini, tanpa membandingkan dengan opini lain dari sudut pandang lain, ia langsung begitu saja memercayainnya—dan inilah yang bahaya. Kita sebagai pemuda tentu tak boleh berlaku demikian. Keawaman kita soal dunia perpolitikan di provinsi Banten khususnya harus lekas di-upgrade. Hidup pada zaman yang segalanya bisa dicari dengan sekali ketik dan klik—kecuali cari jodoh—tentu mudah saja dilakukan. Semisal ada kandidat calon bernama: Lidiabu Eda. Cobalah telusuri track record-nya dalam menjadi pemimpin di institusi atau jabatan-jabatan sebelumnya. Atau cobalah kenali dahulu kehidupan sehari-harinya; bagaimana cara ia berinteraksi dengan orang sekitar, berbagi ilmu dan wawasan, cara ia berpolitik; pandang pula dari sudut lingkungan ia tinggal dan berkawan dengan siapa saja, sebab itu berpengaruh pula baginya dalam mengambil tindakan dan keputusan. Kemudian, bandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya. Setelah itu tentu saja akan sama-sama kita dapatkan kesimpulan, berdasarkan data dan fakta lapangan tadi, siapa yang layak dan ideal menjadi pemimpin di Provinsi Banten tercinta ini—pada suasana provinsi sekarang tentu saja.

    Akan tetapi, sebelum bicara jauh ke sana, saya pun ingin menyarankan kepada pemimpin dan penggerak di Banten hari ini dan kelak, ada hal-hal krusial yang harus lekas dibenahi. Salah satunya: Sumber Daya Manusia (SDM).
    Investasi akan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat lemah dan kurang mendapat perhatian pemerintah. Padahal, sebagai “anak” yang sedang berkembang, Banten memerlukan itu. Para warganya, khususnya pemuda yang baru lulus sekolah atau bahkan yang tidak mengenyam bangku formal pun, sudah selayaknya mendapatkan jaminan hidup yang mumpuni. Masing-masing dari kita tak lebih bagai penduduk hutan yang sibuk mempertahankan diri, tanpa peduli akan kehidupan orang lain. Padahal, Banten yang tak diragukan lagi religiositasnya, seharusnya memikirkan itu, mencari jalan keluarnya secara bersama-sama. Dalam hadisnya, nabi Muhammad SAW bersabda: “Sebaik-baiknya manusia, adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain”. Akan sampai kapan kita makan daging yang lezat sementara tetangga kita sudah tiga hari belum makan nasi sebab tak sanggup membeli beras?

    Jangan salahkan ketika mau tidak mau, industri besar yang ada di wilayah Banten mesti mengimpor pekerja asing datang kemari. Jangan terus-menerus menunjuk dengan jari telunjukmu dan terus menyalahkan sementara ketiga jari lainnya secara bersamaan menunjukmu balik. Pergerakan waktu dari masa ke masa tiada pernah berubah. Segalanya masih sama, 24 jam. Tinggal bagaimana cara kita mengaturnya agar terasa efektif dan bermanfaat. Dewasa ini, kita dituntut menjadi kreatif. Pemuda selayaknya terus mengembangkan minat dan mengembangkan ide-ide yang ada secara progresif. Tak akan bertahan lama bagi mereka yang konstan dan monoton dalam melakukan sesuatu.

    Bila boleh dikatakan, Banten memiliki potensi yang sangat besar dalam wilayah kelautan. Anyer, Tanjung Lesung, Sawarna, Pulau Seribu, Pulau empat Karangantu, serta pulau-pulau yang masih banyak tersebar, belum benar-benar “digarap” secara serius. Hanya sebatas euforia-gimik media. Itu saja. Sejauh ini, bisa sama-sama kita lihat, Tanjung Lesung yang resmi dijadikan tempat wisata yang dikelola pemerintah, belum maksimal. Terbilang masih sangat sedikit wisatawan dari daerah lain yang datang. Sebab apa? Karena kita, sebagai pribumi, tidak diberikan edukasi dan pengetahuan yang menunjang. Promosi-promosi tak lebih dari sebuah lembaran di emperan lampu merah, banyak orang yang tak peduli dan bahkan bagaimana mau membacanya, untuk menerimanya saja mereka sungkan. Jelas sekali ini pe-er yang besar bukan hanya ditanggung pemerintah namun menjadi tanggung jawab kita semua.

    15 Februari 2017 mendatang, akan berlangsung Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di beberapa daerah di Indonesia. Di Banten sendiri, keriuhannya bisa sama-sama kita saksikan dan rasakan sejak tiga bulan terakhir, hingga hari ini. Kehingar-bingarannya terus mengusik kesunyian orang-orang di luar “ring atau stadion” yang hanya ingin menjadi penonton belaka; tanpa ingin membeli tiket masuk, berseragam salah satu “pemain” yang beradu-tanding, atau berhati-hati dan tidak ingin terlibat kalau-kalau terjadi perseteruan antar pendukung. Akan tetapi, pertanyaannya kemudian adalah: sampai kapan kita hanya ingin menjadi penonton gratisan macam itu? sedangkan yang tengah dijadikan “pertaruhan atau kado pertarungan” tak lain adalah daerah yang kita tinggali atau bahkan tempat kita dilahirkan. Ketidakikutsertaan kita dalam meramaikan Pilkada mendatang berbanding lurus dengan ketidakcintaan dan ketidakpedulian kita pada tanah kelahiran. Pada akhirnya, saya berpikir ulang soal menyia-nyiakan hak suara yang dimiliki masing-masing dari kita sebagai pribumi atau ber-KTP provinsi Banten. Sebab, mau bagaimanapun, ketika di hari depan orang-orang yang tidak kita pilih tersebut mau tidak mau menjadi pemimpin kita, kita hanya bisa angkat tangan—dan tak bisa mengelak. Banyak harapan dan semua kemajuan yang kita harapkan benar-benar bisa dilaksanakan dan dijalankan oleh pemimpin yang terpilih nanti. Dan kita salah satu penentu kemenangan satu di antara para calon lainnya. Satu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi yakni: Banten harus menjadi remaja baik-baik.

    Dahulu, Banten adalah sebuah Kerajaan Islam yang dikenal dengan Kesultanan Banten dan disegani oleh banyak Kerajaan lain di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati. Banten menjadi Kerajaan yang berhasil memakmurkan rakyatnya. Sebab sejarah gemilang itulah sepatutnya bersama-sama kita amini kalau kejayaan Banten adalah sebuah keniscayaan yang harus direngkuh kembali.

    Cilegon, 13 Oktober 2016

    Mbaknya yang dari STAN pulang duluan, jadilah foto bertiga doang hehehe....

    Penyerahan hadiah. Juara satu ditiadakan, jadi saya juara 2, deh.


    ______________________________________________
    *) esai ini berhasil meraih juara ke-2 pada event menulis opini, "16 Tahun Banten: Dinasti dan Korupsi di Banten" yang diselenggarakan oleh Banten Bersih dan Indonesia Corruption Watch (ICW) di Saung Serpong, Tangerang Selatan, Kamis, (22/12/16).

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ▼  March (8)
        • [ESAI] KEJAYAAN BANTEN ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN
        • [ESAI] KIAT MENJADI JURNALIS HANDAL (Radar Banten,...
        • [SELF-DEPRESSION] APAKAH LELAKI TIDAK BOLEH MENANGIS?
        • [RESENSI] NOVEL BIOGRAFI: SI DOEL KARYA RANO KARNO...
        • [CERPEN] BALADA PENYAIR (Biem.co, 12 Maret 2017)
        • BUKU-BUKU MERAH NAGA; SI KRITIKUS PROTEKTUS HOMINEM
        • [CERPEN] RANTING (Haluan Padang, 19 Maret 2017)
        • [SELF-DEPRESSION] SAMPAI KAPAN KITA MENULIS DAN ME...
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top