Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

     


    1/

    pada suatu hari nanti
    jasadku tak akan ada lagi
    tapi dalam bait-bait sajak ini
    kau takkan kurelakan sendiri[1]

    Saya pernah dibuat kecewa oleh Sapardi. Saat itu kebetulan bulan Juni tapi langit tak sedang hujan. Novelnya yang berjudul sama dengan puisinya, Hujan Bulan Juni terbit. Mulanya saya enggan untuk membelinya, karena saya tak mau ekspektasi saya akan puisinya yang sudah tinggi, menurun. Namun bagaimana lagi, rasa penasaran timbul bak bisul di ujung pantatmu. Kalau tak lekas diobati atau dipecahkan, ia akan terus membesar dan cukup membuatmu gusar ketika hendak duduk. Maka dengan niat yang bulat, berangkatlah saya ke toko buku lalu membeli novel bersampul sederhana itu; dominasi antara warna krem dan abu-abu, tanpa gambar apa pun selain tulisan hujan bulan juni yang didesain seolah-olah pudar diterpa air hujan, lalu di bawahnya nama sastrawan besar itu tertera.

    Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan novel itu dalam sekali duduk. Dua atau tiga jam saya beres membacanya. Tetapi, kekecewaan yang hadir hingga hari ini belum bisa hilang. Andai saja ia tak menulis novel yang kemudian saya tahu trilogi itu, rasa hormat saya pada puisi Hujan Bulan Juni pasti tak berkurang. Dan saya tak cukup puas sampai di sana, saya akhirnya menuliskan “kekecewaan” itu dalam bentuk resensi. Kemudian saya posting di blog pribadi saya. Saya ingat betul pertama kali saya tayangkan tulisan itu tanggal 27 Juni 2015, beberapa hari setelah novelnya terbit. Namun, hingga hari ini, resensi itu paling banyak dibaca oleh warganet di blog saya, mengalahkan semua tulisan yang pernah saya posting. Bahkan, ada seorang pelajar yang sengaja menghubungi saya secara pribadi untuk meminta izin menggunakan resensi itu sebagai tugas sekolahnya.

    [RESENSI] Novel: Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono (GPU, 2015)


    Lihat, betapa besar pengaruhnya karya seorang Sapardi Djoko Damono bagi pembacanya. Kekecewaan ini juga rupanya bukan hanya saya yang alami. Pembaca lainnya juga sama kecewanya. Karena, bagi kami karya itu sangat personal dan sudah bukan lagi “milik” penulisnya. Ia sudah milik publik. Dan cara pembaca memandang puisi itu sudah berada di posisi “sakral” (tanpa mau saya menyebutnya fenomenal). Artinya, bagi saya khususnya, puisi Hujan Bulan Juni sudah selesai bentuknya sebagai puisi. Tak bisa dipakai dalam bentuk lain semacam novel. Jika musikalisasi Ari-Reda tentu itu lain hal. Saya sedang membahas dalam bentuk tulisan. Andai saja Sapardi menulis novel itu dengan judul lain, pasti akan berbeda sudut pandangnya. Meskipun saya menduga kalau Sapardi menulis itu karena untuk kebutuhan komersil dan tuntutan penerbit belaka. Namun, ini hanya secuil kekecewaan saya terhadap karyanya. Meski tak bisa hilang, rasa kecewa itu sedikit berkurang ketika saya ada kesempatan untuk bertemu, mengikuti kelasnya, bahkan hingga berfoto dan berbincang langsung dengan beliau.

    2/

    pada suatu hari nanti
    suaraku tak terdengar lagi
    tapi di antara larik-larik sajak ini
    kau akan tetap kusiasati 

    Tiga tahun setelah rasa kecewa itu, saya mendapatkan kesempatan mengikuti sebuah kegiatan yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yakni Majelis Sastra Asia Tenggara. Sebuah agenda tahunan yang mengundang penulis-penulis dari lima negara seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Indonesia. Saat itu negara kami yang menjadi tuan rumah. Selama seminggu kami berada di satu tempat untuk berbicara mengenai sastra dan kesusastraan di negara serumpun ini, khususnya soal cerita pendek (cerpen). Salah satu pemateri tamunya adalah Pak Sapardi. Tak banyak penyair yang karyanya saya kagumi, barangkali terhitung jari. Pak Sapardi tentu ada di urutan nomer wahid. Selain karena saya lebih banyak menulis prosa, puisi-puisi Pak Sapardi adalah yang paling mudah saya terima dan nikmati.

    Saat itu Pak Sapardi tak bisa hadir langsung ke tempat acara. Maka, kami yang mengunjungi beliau di kampus tempat mengajarnya, di bilangan Jakarta. Sebagaimana yang tercitrakan di media, saya selalu mengira penyair adalah orang yang serius. Saya pasti akan bingung bagaimana memulai obrolan bila ingin berbincang dengannya. Namun rupanya, tak kenal..., maka berkenalanlah agar tahu. Aslinya Pak Sapardi jauh dari asumsi itu. Beliau sangat ramah, rendah hati, dan tentu saja “sedikit gila”. Bagaimana tidak, beliau begitu mudah membaur dengan kami para anak muda dan tak sedikit banyolan yang keluar dari bibir keriputnya. Gejolak mudanya sulit sekali beliau sembunyikan. Bahkan beliau cukup update soal media sosial. Di sisa usianya, hampir setiap hari beliau mengunggah foto di akun Instagram-nya.

    Singkat cerita, seusai mengikuti kelasnya, kami ada kesempatan untuk melakukan tanya-jawab. Setelah itu, saya meminta berpose berdua saja, dan itu sulitnya minta ampun. Setelah berhasil meminta waktu, saya mengarahkan beliau untuk salam literasi dengan membentuk huruf L pakai jari telunjuk dan jempolnya. Walahdalah, beliau malah membentuk pistol dan menembakkannya ke arah saya. Hal remeh semacam itu justru membuat saya terkesan hingga hari ini. Saya tak betul-betul tahu kalau saat itu bakal jadi pertemuan terakhir saya dengan beliau.

    3/

    pada suatu hari nanti
    impianku pun tak dikenal lagi
    namun di sela-sela huruf sajak ini
    kau takkan letih-letihnya kucari 

    Usianya memang sudah 80 tahun, akan tetapi rasanya masih seperti mimpi mendengar berita kepergiannya bulan Juli lalu. Kini ia telah kembali pada Sang Mahapuisi. Barangkali sekarang ia sedang menulis sajak dengan-Nya, tanpa perlu pusing diundang ke sana-kemari mengisi acara seminar sastra lagi. Kemasyhurannya sebagai sastrawan tak bisa dielakkan. Ia sudah begitu banyak melahirkan karya sastra, bahkan hingga di penghujung usianya. Saya seringkali dibuat malu oleh produktivitasnya dalam melahirkan karya.

    Ada satu hal yang masih saya sembunyikan hingga hari ini. Tak banyak kawan-kawan saya yang tahu. Namun, sekarang mungkin waktu yang tepat untuk saya ceritakan. Awal Januari 2020 lalu, saya berkesempatan ikut proses pembuatan film yang terinspirasi dari karya beliau. Sewaktu penulis skenario cum sutradaranya saya tanya, “Apakah nanti bakal ada Pak Sapardi muncul sebagai cameo?” Jawaban yang ia beri mematahkan harapan saya untuk bisa bertemu lagi dengan Pak Sapardi. Katanya, “Sepertinya tidak memungkinkan.” Namun dengan lekas ia berusaha membesarkan hati saya, “Barangkali sewaktu premier nanti bakal kami undang.” Mendengar itu saya gembira sekali!

    Ini project pertama saya terlibat langsung dalam proses pembuatan film panjang/layar lebar. Lantaran lokasi syutingnya di Banten, film ini kebetulan sepenuhnya berbahasa daerah Banten: Jawa dan Sunda. Saya bertindak sebagai salah satu accent-coach (dialek) untuk para talent. Puisi Hujan Bulan Juni lagi-lagi diinterpretasikan dalam medium lain. Memang, film dengan judul itu sudah pernah diproduksi dan tayang dalam bentuk film populer. Akan tetapi, film yang saya terlibat di dalamnya ini dibuat lebih “indie” dan “edgy”. Selain bakal masuk bioskop tahun 2021 nanti, film ini juga akan diikutkan dalam berbagai festival film internasional.

     Selama dua minggu syuting, Saya selalu membayangkan saat premier nanti bakal duduk bersebelahan dengan Pak Sapardi dan berbisik, “Ini saya lho yang pernah foto bareng Pak Sapardi waktu itu. Sekarang saya terlibat dalam penggarapan film ini.” Ingin sekali saya mengatakan hal itu pada beliau. Namun, sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah // tubuhmu telanjang dengan rambut terurai // mengapung di permukaan air bening yang mengalir tenang -- // tak kausahut panggilanku.[2]

    Film itu nantinya akan dikenang sebagai tribute untuk Sapardi. Saya hanya akan duduk sendiri di sudut bioskop ditemani kursi yang kosong. Akan ada percakapan yang saya karang-karang sendiri di sana, sembari menyaksikan film yang dipersembahkan untuk penyair kita yang tabah, bijak, dan arif itu.

    Cilegon, 10 September 2020



    [1] Puisi Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1991 (Hujan Bulan Juni, 2013).
    [2] Puisi Sehabis Suara Gemuruh karya Sapardi Djoko Damono ditulis tahun 1973 (Hujan Bulan Juni, 2013).
    [3] Esai ini termaktub dalam buku, Sapardi Waktu Itu (Ode Bagi Sapardi Djoko Damono dalam Esai) diterbitkan oleh Bentara Budaya tahun 2020.

    Continue Reading

     

    Sewindu sudah saya bergelut di dunia kepenulisan ini. Beragam karya telah berhasil saya tuliskan. Banyak sekali orang yang berjasa selama saya berproses meningkahi anak tangga kekaryaan. Saya tak bisa menyebutkan satu per satu lantaran terlampau banyak, yang jelas siapa pun yang pernah berbagi pengetahuan hingga hari ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

    Semua ini baru awalan. Setelah saya menyelami lautan aksara, ternyata terlampau dalam dunia kesusastraan ini, dan saya masih berada jauh di permukaan, dengan buih-buih yang sesekali lenyap tersapu angin. Saya tak ingin menjadi bagian dari buih-buih itu. Saya ingin menjadi ikan, pasir, terumbu karang, bahkan air laut itu sendiri. Saya ingin menghasilkan karya yang indah, yang bisa dinikmati oleh mereka para pembaca setia.

    Melalui tulisan, pikiran saya bisa merasa merdeka. Menulis juga bagi saya bisa sebagai terapi ketika ada perasaan yang sulit diungkapkan secara lisan. Maka setelah 8 tahun berkarya, saya tak akan pernah berhenti menulis. Banyak hal yang mesti saya selesaikan, banyak hal yang mesti saya tuliskan....

    Mari bertualang di rimba kata-kata!

    * * *

    BUKU PERTAMA

    Saya hampir tak boleh mengikuti pelatihan menulis lantaran pernah memberikan buku ini ke salah seorang mentor.

    “Kamu udah bisa nulis, kenapa ikut kelas ini,” katanya. Saya tersipu malu, bukan karena saya merasa jago, tapi saya menulis buku ini secara otodidak, belum paham benar tentang teori kepenulisan. Selain itu, alasan saya mengikuti kelas menulis bukan hanya untuk belajar menulis, tetapi ingin mencari teman menulis. 

    Saya lahir dan besar di Cilegon, tahun 2012 saat itu saya tidak tahu ke mana harus belajar menulis. Semuanya saya pelajari dari media sosial, saya tergabung di beberapa grup kepenulisan. Tapi rasanya kurang, saya ingin bertemu teman menulis yang bisa dan mau mendengarkan ide-ide saya. Kau tahulah, ketika saya membicarakan hal itu ke orang-orang yang tidak gemar membaca dan menulis, percuma saja. Sama seperti sebagian besar kawan-kawan saya di kampus. Mereka sering menganggap saya meracau dan mengkhayal.

    Karenanya, setelah menemukan Komunitas Rumah Dunia, saya tak lagi merasa menjadi penyihir aneh di antara muggle-muggle di sekitar saya. Dan seorang mentor yang saya sebutkan di atas, dialah Gol A Gong. Guru kehidupan saya di komunitas itu.

    Fun Fact: Buku pertama ini menginspirasi saya untuk membuat perpus pribadi yang saya kelola di samping rumah, namanya “Rumah Baca Garuda”. Alasannya simpel; agar saya bisa mendapatkan teman berdiskusi. Kalau sesuatu belum ada di lingkunganmu, bukankah itu artinya kamu yang harus menciptakannya?

    * * *


    BUKU KEDUA

    Menulis bukan pekerjaan yang mudah. Begitu juga pekerjaan lainnya. Maka bila kamu berpikir perjalanan karier kepenulisan saya mulus-mulus saja, tentu kamu salah besar. Novel ini adalah buktinya. Saat pertama kali jadi draft, saya ikutkan ke ajang lomba. Saya berharap sekali menang, tapi sebagaimana kita tahu kemudian, sesuatu yang pertama kali dibuat, seringkali hasilnya tak pernah bagus. Saya kalah di lomba itu. Saya down dan merasa gagal menulis novel.

    Namun, saat saya baca ulang, ternyata betapa berantakannya draft novel itu. Logika cerita yang masih belum utuh, dan kesalahan penulisan di sana-sini. Karenanya menulis bukan pekerjaan mudah. Usai dituliskan, tugas berikutnya kita mesti mengendapkan karya itu. Barulah masuk proses editing. Setelah melewati semua prosesnya, barulah saya kirimkan ke penerbit. Dan setelah penantian panjang, novel ini terbit di salah satu penerbit besar di Indonesia. Naskah saya lolos dan dicetak ribuan lalu menyebar ke toko buku seluruh nusantara.

    Betapa semua perjalanan berkelok-kelok itu terbayarkan. Apresiasi dari kawan-kawan berdatangan. Media sosial saya penuh dengan mention dari mereka yang berfoto di toko buku di kotanya. Dan di sanalah kepuasan penulis muncul. Rasa penasaran timbul untuk terus berkarya lebih baik lagi dan melahirkan karya-karya berikutnya.

     * * *


    BUKU KETIGA

    Ini buku paling istimewa. Saya akan membahasnya singkat saja, karena cerita lengkapnya ada di pengantar dalam buku ini. Suatu kali saya dihubungi Pengurus Yayasan kampus saya. Ia mengajak bertemu dan makan bersama. Ia mengapresiasi buku-buku saya sebelumnya. Pertemuan yang hangat. Kami berbincang-bincang mengenai banyak hal. Sampai di satu obrolan, saya mengatakan sedang menyiapkan buku kumpulan cerpen. Belio bersedia atas nama kampus untuk menerbitkannya. Dan setelah pertemuan itu muncullah buku ini. Semua biaya ditanggung olehnya, dan hingga hari ini, sisa-sisa bukunya bisa kamu dapatkan di toko buku kampus saya.

    * * *

    BUKU KEEMPAT

    Buku ini eksklusif sekali. Tidak akan kamu temui di toko buku online maupun offline. Buku ini lahir setelah saya termasuk dalam 100 pegiat taman bacaan masyarakat study banding ke Singapura. Kami terpilih sebagai peserta bimbingan teknis vokasi menulis Kemendikbud RI.

    Selama kurang lebih seminggu di sana, kami diminta menuliskan pengalamannya berupa karya fiksi maupun nonfiksi dalam bentuk buku. Maka terbitlah buku ini. Kamu bisa mengaksesnya dengan cara langsung menghubungi Kemendikbud RI, sebab buku ini tidak diperjualbelikan~

    * * *

    BUKU KELIMA

     Sebetulnya inilah novel pertama yang saya tulis di laptop. Namun tidak kunjung menemukan jodohnya. Setelah saya posting beberapa bagian babnya di Wattpad, salah satu platform digital, barulah ada seorang pemilik penerbitan dari Kalimantan yang meminangnya untuk diterbitkan.

    Bagi kamu yang berpikir tak pernah bertemu dengan jodohmu, belajarlah dari perjalanan buku ini. Sesungguhnya semua sudah ada pasangannya masing-masing, yang berbeda barangkali belum ketemu saja. Atau mungkin belum dilahirkan hehe... canda yaela~~

    * * *


    BUKU KEENAM

    Sebelum buku ini terbit, beberapa cerpennya saya kirimkan ke Ubud Writers and Readers Festival 2017. Siapa kira, ternyata saya terpilih bersama 15 penulis lainnya dari berbagai daerah di Indonesia sebagai penulis emerging.

    Setelah itu, manuskrip cerpennya saya kirimkan ke penerbit. Syukurlah, tak butuh waktu lama, dengan kebaikan hati pemilik penerbit, naskah saya diterbitkan dan sempat saya bawa ke acara UWRF di Bali. Sungguh pengalaman yang luar biasa bagi saya. Salah satu pencapaian tertinggi di dunia kepenulisan.

    * * *


    BUKU KETUJUH

     Tinimbang cerpen-cerpen lain di buku sebelumnya, saya menulis cerpen yang rata-rata bertema realis dalam buku ini. Saya diperkenankan oleh penerbit untuk terlibat dalam konsep cover dan bentuk fisik buku yang lebih kecil dibanding buku lainnya. Saya memang ingin bentuknya seperti buku saku yang mudah dibawa ke mana-mana tanpa banyak makan tempat.

    * * *


    BUKU KEDELAPAN

    Untuk pertama kalinya saya menulis novel keroyokan. Ditulis oleh tujuh orang yang menamai kelompoknya Pitulis. Buku yang lahir atas kerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dalam suatu acara yang diselenggarakannya.

    Perjalanan buku ini lahir ke bumi penuh liku, onak berduri, dan tentu saja penuh drama. Namun akhirnya terbit juga. Saya yakin suatu saat buku ini akan dialihwahanakan ke media film atau webseries. Ceritanya memang sangat filmis dan cocok untuk diaudiovisualkan. Semoga saja suatu hari.

    So, setelah membaca ulasan singkat soal sejarah masing-masing buku ini, buku mana saja yang sudah kamu miliki dan kamu baca?

    Bersiaplah, tahun depan buku baru saya akan terbit. Ayo nabung!




    Continue Reading


    Score: 8/10.

    Sudah lama sekali saya tak pernah bermain catur. Orang pertama, seingat saya, yang mengajari saya bermain catur adalah bapak saya ketika saya masih sekolah dasar. Untuk anak-anak yang bisa memainkan catur saat itu tampak keren sekali.

    Lalu ketika bermain dengan sepupu, saya dikalahkan dalam tiga langkah. Saya kesal. Lalu saya pelajari polanya tapi karena masih sedikit yang saya tahu, saya menyerah. Saya meminta sepupu saya untuk mengajari saya, beruntungnya dia tidak pelit ilmu. Dia beri tahu caranya; dan kalian bisa menebak apa hal berikutnya yang saya lakukan.

    Tepat, saya ajak kawan-kawan seusia saya bertanding, dan pola skakmat dalam tiga langkah begitu ampuh sehingga pujian dari teman-teman tak bisa saya tolak.

    Saya lupa kapan terakhir main catur lagi, sampai kemudian saya mendapati rekomendasi film The Queen's Gambit ini di Netflix. Kenangan-kenangan masa lalu seketika bermunculan. Saya berasa nostalgia saat menyaksikannya. Namun, saya bukan hanya terkagum-kagum karena film ini berkisah soal pemain catur, tapi bagaimana si penulis skenario memunculkan karakter utama Beth Harmon, yang sedemikian kuat, dibungkus alur cerita yang menarik, ditambah setting lokasi dan sinematografi yang memanjakan mata.

    Saya semakin takjub ketika tahu serial ini diangkat dari novel. Berkisah tentang perempuan yatim-piatu yang tinggal di panti asuhan, dan karena penasaran dengan seorang cleaning service yang bermain catur sendirian di basement, akhirnya dia meminta Tuan Shaibel, pria tua itu untuk mengajarinya, sampai dia mahir.

    Penceritaannya sangat padat dan berhasil membuat penasaran scene by scene-nya. Apalagi bagian ketika Harmon bermain catur dalam pikirannya sendiri setelah mengonsumsi obat penenang. Sebagaimana rutinitas di panti asuhan di Amerika, setiap anak akan diberi obat penenang untuk meredam perasaan anak dari traumatik. Namun, rupanya Harmon kecanduan dan tak bisa lepas dari obat-obatan tersebut. Sampai suatu ketika ia mendapatkan dorongan untuk mencurinya dari ruang penyimpanan.

    Penggambaran tokoh yang tenang, sedikit bicara dan lebih banyak memerhatikan itu menjadi daya tarik penonton sebab kita seperti dipaksa untuk lebih fokus mencari petunjuk dari hal-hal kecil yang dilakukan ketimbang yang dibicarakan.

    Bagian paling membuat saya pecah ketika sampai di bagian akhir episode. Dari awal saya tak mau terpengaruh dengan review teman-teman saya yang bilang endingnya nyess atau bagus dan lain sebagainya. Tapi waktu saya tonton sendiri, semalam saya nanges sendirian di sudut kamar. Kok, bisa sih film sebagus ini? Beruntunglah saya bisa menontonnya.

    Ketika dua orang berbicara dengan gaya yang sama-sama dingin, tapi siapa kira ternyata mereka saling dukung di antara kesunyian. Jolene, sahabat Beth di panti datang membawa kabar kalau Tuan Shaibel meninggal dan lusa pemakamannya. Beth akhirnya datang ke panti asuhan lagi untuk menghadiri pemakaman.


    Siapa sangka, saat Beth meminta waktu sebentar untuk melihat basement, dia menemukan secarik foto saat awal belajar catur (cuplikan scene di atas) dan semua kliping majalah tentang perjalanan karier dan prestasinya selama mengejar cita-citanya meraih juara dunia dipajang oleh Tuan Shaibel di dinding kamarnya. Kemunculan Jolene di akhir menurut saya memang cukup porsinya. Dia sampai disebut "my guardian angel" oleh Harmon meski Jolene memaki setelahnya.

    Beth kembali ke mobil Jolene dan tangisnya pecah tak bisa dibendung lagi, sahabatnya memahami hal itu dengan memeluk Beth erat. Apalagi Beth masih ingat, sewaktu tidak ada cukup uang untuk mendaftar lomba catur, ia pernah mengirim surat dari rumah orang tua angkatnya (Beth diadopsi oleh sepasang suami-istri) kepada Tuan Shaibel untuk meminjam 10 dolar, dan ya meski tak membalas dengan kata-kata, uang itu ia terima di dalam sebuah amplop. Meski agak sedikit mengecoh karena saat Beth berkisah soal itu ke Jolene, sahabatnya itu hanya tersenyum-senyum sendiri. Sungguh ending yang nyessss bingit~


    Overall, saya suka sekali dengan series 7 episode ini. Meskipun masih satu tingkat di bawah series Reply 1988 (yang belum saya tulis ulasannya)~
    Continue Reading

     


    Sinopsis :

    Setelah diputuskan hubungannya dengan Senja, Dito mempunyai pasangan baru bernama Tika, begitu juga dengan Senja yang sekarang mempunyai pasangan bernama Kevin. Tetapi, Senja dan Dito masih sama-sama memendam rindu.

    Cast :

    Senja : Sausan Monica
    Ditto : Baehaqi Mohamad
    Tika : Maya fatias
    Ibu Ditto : Nazla Thoyib Amir
    Kevin : Baehaqi Mohamad
    Producer : Nazla Thoyib Amir
    Om Ditto : Mang Ovie Crew:
    Script Writer : Ade Ubaidil
    Director : Irawan Dwi Putra
    Assistant Director 2 : Maya Fatias
    Assistant Director 1 : Ade Ubaidil DOP : Indra Septian
    Boom Operator : Ahmad Wildan
    Assistant Camera : Awang Sound Engineer : Nagarjuna Editor : IDP
    Graphic Designer : Andi Suhud

    _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

    Kemarin, Mira Lesmana dan Riri Riza mengumumkan bahwa film Petualangan Sherina 2 bakal digarap sekaligus versi animasinya akan tayang tahun depan. Kabar yang menyenangkan!!

    Hari ini, saya juga akan mengumumkan bahwa film pendek terbaru dari kami (yang saya terlibat di dalamnya sebagai penulis skenario) sudah bisa ditonton di youtube!

    Pengalaman yang luar biasa dalam waktu yang mepet kejar-kejaran tapi tetap membahagiakan.

    Tengkyu my partner in crime Irawan Dwi Putra, orang gila yang akhirnya saya temukan karena bisa "baca pikiran" saya. Sering dapat ide yang sama waktu brainstorming!


    Orang luar biasa lainnya ada teh 
    Nazla,
     
    Mang Ovie RB (Rambo Banten),
     
    Baehaqi Mohammad,
     dan semua yang terlibat di penggarapan kemarin. Terima kasih untuk energinya. Semoga ada kesempatan untuk kerjasama dan berproses lagi!!

    Kami sadar masih jauh dari kata sempurna, jadi bagi kawan-kawan yang mau nonton dan memberikan sarannya, sila kunjungi link ini:

    https://s.id/masihadasenjadianyer



    _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

    *) Film pendek ini diikutsertakan pada Lomba Festival Film Banten 2020 yang diselenggarakan oleh Kremov Pictures dan Dinas Pariwisata Provinsi Banten.
    Continue Reading

    Sejak dua bulan lalu, tetangga rumah kami, yang masih saudara dekat dari bapak saya, merehab total rumahnya. Sebagaimana bongkar-bongkar rumah, segala barang-barang yang ada di dalamnya mesti dikeluarkan. Kau bisa bayangkan betapa ramainya halaman rumah kami dari lemari pakaian, kursi tamu, rak piring, meja makan, serta segala tetek-bengeknya. Bahkan, karena hal itu saya seringkali menolak secara halus ketika ada kawan yang ingin berkunjung ke rumah. Saya katakan kalau keadaan di lingkungan rumah saya saat ini sedang berantakan, dan itu tak elok dipandang, belum lagi debu dari bongkahan tembok, kegiatan petukang mengaduk semen, suara ricuh ponakan yang datang dari jauh, yang datang bersama orang tuanya untuk sekadar menengok bongkaran rumah saudaranya, dan banyak hal lainnya serupa itu. Maka, saya akan menawarkan kepada kawan saya untuk bertemu di luar semisal kafe terdekat.

    Seminggu kemarin, renovasi rumah saudara kami sudah 90% selesai. Satu per satu barang-barang di masukkan ke dalam. Betapa tampak lapang halaman rumah kami, yang sebetulnya ukurannya segitu-gitu saja. Saya jadi ingat kisah Abu Nawas ketika didatangi seorang tetangga yang mengeluhkan soal rumahnya yang sempit. Alih-alih menyuruh mengosongkan isi rumahnya, Abu Nawas malah meminta si pemilik rumah untuk membeli beberapa hewan piaraan secara bertahap; mulai dari domba, beberapa unggas, hingga anak unta dan memeliharanya di dalam rumah.

    Namun, saat si tetangga melapor, ia justru semakin tersiksa karena rumahnya semakin penuh sesak. Usai itu, Abu Nawas meminta si pemilik rumah untuk menjual satu per satu hewannya hingga habis tiada tersisa. Ketika esoknya Abu Nawas bertanya, “Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang?” dengan wajah berseri-seri si tetangga menjawab, “Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena binatang-binatang itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami. Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu. Kami mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepadamu wahai Abu Nawas.” Mendapati jawaban itu, Abu Nawas berkata, “Sebenarnya batas sempit dan luas itu tertancap dalam pikiranmu. Kalau engkau selalu bersyukur atas nikmat dari Tuhan, maka Tuhan akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiranmu.”

    Kisah Abu Nawas di atas barangkali tak ada kaitannya dengan apa yang ingin saya ceritakan, ini hanya satu cara saya untuk memanjangkan tulisan di kolom redaksi ini saja hahaha....

    Baiklah, kembali ke awal. Saat pembangunan rumah hampir selesai, tentu selalu ada barang-barang sisa yang tidak dimasukkan semua ke dalam rumah “baru” tersebut. Maka, teteh saya, ketika melihat ada satu cermin berukuran sedang yang tak lagi dipakai, dengan inisiatifnya yang tinggi, beliau segera merawati cermin itu, membersihkannya, dan tanpa pikir panjang menaruhnya di kamar mandi kami. Pagi tadi, saat saya hendak mandi, saya agak terkejut dengan kehadiran cermin itu. Memang, dulu kamar mandi kami menyediakan cermin. Tapi, karena pernah direnovasi, cermin yang dulu, tak memungkinkan di taruh lagi di sana. Kami cukup lama tak pernah melihat cermin di kamar mandi. Makanya, ketika pagi sewaktu saya hendak mandi dan melihat cermin itu, saya dibuat terkejut.

    Di hadapan cermin, saya mendapatkan pemaknaan lain. Bagai diingatkan bahwa sebelum bertemu banyak orang, kita seolah dipaksa untuk bercermin tentang diri kita sendiri dalam ketelanjangan. Itulah saat di mana kita muncul sebagai diri kita sendiri; tanpa riasan, tanpa pakaian mahal, bahkan sampai menanggalkan jabatan dengan tanpa topeng-topeng kepalsuan di balik wajah kita sebenarnya. Selain membersihkan tubuh, ternyata kita mesti membersihkan pikiran dan hati kita sebelum berjumpa banyak orang. Betapa rahasia terdalam dari dirimu akan terlihat semuanya di hadapan benda mati yang memantulkan apa pun yang ada di hadapannya itu.

    Lantas, masih pantaskah untuk kita berlaku pongah? Merasa paling baik di antara yang lain hanya karena kita memiliki kedudukan yang dipuja-puji banyak orang? Hanya karena kita merasa kaya-raya dan memiliki segalanya, yang apa pun seolah bisa dibeli, sekalipun kepercayaan dan harga diri orang lain? Yang tak terima dengan penilaian orang lain tentang diri kita lantaran kita merasa mulia di antara mereka?

    Pantaskah hal-hal demikian untuk diagung-agungkan dan ditunjukkan kepada banyak orang? Sementara di hadapan cermin dalam kamar mandi, kita hanya sebongkah daging diberi nyawa dan diberi pikiran. Itu saja. Tak ada hal lain yang bisa kita tunjukkan selayaknya awal mula kita dilahirkan dan nanti bakal dikuburkan pasca-kematian.

    Saya dibuat merenung-renung cukup lama di hadapan cermin dalam kamar mandi itu. Sampai kemudian terdengar suara emak membuyarkan segala pikiran saya: “De, cepetan mandinya. Gantian! Ini Teteh kamu mau berangkat kerja!”

    Sebaris kalimat yang keluar dari mulut emak menyadarkan saya, kalau saya seorang pengangguran yang bangun terlalu pagi. Lantas segera saya jawab seruan emak, “Iya, Mak. Sebentar lagi!” jawab saya singkat usai mencabut bulu hidung di depan cermin. Ternyata itulah kegunaan lain dari cermin. Gegas saya mengambil handuk, keluar kamar mandi, memakai baju dan celana, lantas membuka laptop dan menuliskan semua cerita ini. Terima kasih sudah bertahan membacanya sampai titik setelah kata ini. :)


    link tulisan: https://www.kurungbuka.com/cermin-dalam-kamar-mandi/

    Continue Reading



    Jumat pagi kemarin, (14/8) saya bersama relawan Rumah Dunia memenuhi undangan dari Pondok Pesantren Moderat At-Thohiriyah, di Pelamunan, Serang. Saya betul-betul rindu bisa kembali bertatap muka dengan adik-adik santri atau peserta pelatihan menulis macam ini.

    Saya bergembira sekali kepada pesantren yang mau terbuka mengadakan pelatihan menulis, artinya para santri diberikan kesempatan untuk belajar hal lain di luar mata pelajaran yang biasanya mereka geluti sehari-hari.
    Terlebih sewaktu perkenalan, jarang saya temui antusias peserta seperti pagi tadi. Tampak betul mereka ingin belajar sesuatu. Apalagi sewaktu Mas
    Golagong
    memberikan motivasi menulis kepada para santri. Bahkan termasuk para ustadnya pun turut larut dalam suasana.
    Ada dua hal yang berhasil membuat hati saya tersentuh; pertama ketika Mas Gong menjelaskan tentang proses kreatif menulis novel Balada Si Roy. Betapa ia membentuk karakter Roy sebagai lelaki sejati yang ingin melakukan perjalanan ke berbagai daerah berhasil menggerakkan banyak pembaca untuk melakukan hal serupa. Kata belio, "Kita ini kalau punya rumah baru, tentu ingin dikunjungi orang, kan? Paling tidak pengen dilihat sama orang lain. Nah, begitu juga Allah, dunianya yang indah ini, sayang betul kalau kita tidak bisa menikmati keindahannya, bertebaranlah di muka bumi sembari menyebarkan kebaikan kepada sesama. Allah pasti senang."
    Mendengar itu ada sesuatu yang mengusik dalam hati saya. Sayang sekali rasanya, selagi muda bila kita tidak menjelajah ke berbagai tempat ciptaan-Nya. Sembari kita belajar makna kehidupan dan belajar menerima perbedaan yang beraneka ragam dari setiap tempat. Agar tak mudah terbakar sewaktu bertemu orang yang tidak sependapat dalam memandang sesuatu.
    Hal lainnya yang bikin saya tersentuh ketika acara usai, anak-anak santri berkerumun ke meja tempat buku-buku terbitan Gong Publishing dipajang. Meski kata ustadnya jajan mereka terbatas, tapi tak sedikit yang memboyong buku-buku yang memang sengaja kami beri harga terjangkau saat itu. Ada satu bocah yang datang membawa berlembar-lembar uang yang ia keluarkan dari kantongnya. Beruntung
    Abdul Salam
    berhasil merekamnya.


    Seperti dalam video, saya menangkap keseriusan bocah itu. Betapa tidak, katanya dia menabung uang itu sejak masuk pesantren. Dia memang salah satu santri yang baru masuk di angkatan tahun ini.
    Tanpa maksud membanding-bandingkan, saya kok tiba-tiba ingat kejadian beberapa tahun lalu sewaktu kampus saya mengadakan bedah buku salah satu penulis. Ketika acara usai, buku si penulis satu pun tak ada yang terjual, padahal peserta yang hadir memenuhi aula dan antusias saat tanya jawab. Tapi jangankan peserta, panitianya saja tidak ada yang membeli satu biji pun buku dari penulis itu, padahal mereka mahasiswa!
    Saya belajar dari anak-anak santri itu. Begitulah kepolosan anak-anak. Polah dan tingkah laku mereka tidak dibuat-buat, mereka melakukan apa pun yang memang ingin mereka lakukan, tanpa tekanan dan intervensi dari orang lain. Sebab saya tahu, saat acara usai
    Taufik Hidayatullah
    langsung mencegat para ustad untuk diwawancarai.
    Jumat depan, saya dan Abdul Salam akan kembali ke sana untuk mengisi kelas menulis untuk mereka yang bersungguh-sungguh, karena pagi tadi baru perkenalan saja. Semoga api kecil dalam hati dan mata mereka untuk belajar sesuatu yang baru terus terjaga~

    selengkapnya: Facebook Ade Ubaidil
    Continue Reading
    Ilustrasi by Rizqi Ramadhani Ali

    SARMIN DAN KAMPUNG MASA KECILNYA



    “Gunung dikeruk! Gunung dikeruk!”
    Sarmin berlarian dari ujung gang ke ujung hari
    Bukit tempat ia bermain gundu dan layangan
    Tinggal semata kaki

    Kambing dan bebek angonannya
    Berpencar ke sana-kemari
    Orang-orang makin tak peduli
    Mereka yakin Sarmin kumat lagi

    “Mana mungkin itu terjadi? Lihat bapak berdasi
    datang ke kampung berbagi rezeki....”
    Sahut Pak Beni sembari menanam padi
    Di sawah milik Pak Riyadi

    Sarmin tak dipercaya lagi
    Dari hari ke hari ia hanya bisa menangis
    Seorang diri

    Sampai suatu pagi
    Bapak berdasi yang pernah diceritakan Pak Beni
    Datang ke kampung kami
    Membawa barisan truk dan buldozer tinggi sekali

    “Tanah ini milik kami. Di sini mall akan berdiri!”
    Katanya tak hilang wibawa. Menyuruh anak buah
    Mengusir Pak Beni pergi

    Tak ada lagi sawah
    Tak ada lagi ladang
    Tak ada lagi bukit tinggi

    Sarmin merantau mencari
    Kampung lain untuk ditinggali

    Cibeber, 10 Juni 2020



     ***



    SAJAK PEREMPUAN IBUKOTA

    Kamu di mana, kekasihku?
    Ketika banjir datang bertamu
    Mengetuk pintu
    tak pandang waktu

    Ingatkah kamu pada janji
    Yang pernah kamu bisikkan
    Di bukit teletabies
    Ketika asap dan polusi
    Dari pabrik-pabrik kimia
    Jadi saksi kita berdua dulu?

    Atau masih kenalkah kamu
    Pada yatim-piatu
    Yang pernah kamu santuni
    Sebulan sebelum kamu
    jadi walikota baru?

    Kamu di mana, kekasihku?
    Di sini aku rindu belaianmu
    belaian rupiah dari dompet
    kulit ular yang kamu banggakan itu

    di rumah bordil tak ada pelanggan
    sebaik kamu
    Semua datang hanya ada mau

    Kamu tentu tak begitu, bukan?

    Datanglah ke rumahku
    Aku butuh baju baru
    Rumah kami terendam air
    Sejak lima tahun lalu

    Cibeber, 10 Juni 2020


     
     ***



    PESAN SUAMI KEPADA ISTRINYA[1]




    Sinta,
    Kau kudu ngerti keadaanku
    Janganlah kau tekuk wajahmu
    Aku rela menjemurkan kutang
    Dan clana dalammu
    Tapi tolong
    Mau ya kerja lagi
    Di tempat bordil itu?

    Om Bram kemarin mencarimu
    Katanya dia pengen ketemu
    Kangen seminggu tak melihatmu
    Di rumah dia jemu
    Sama istrinya yang kerjanya ngomel melulu

    Sinta,
    Jujur aku juga cemburu
    Suami mana rela istrinya
    Bercumbu dengan pria lain
    Tapi, mau bagaimana
    Rumah saja kita tak punya
    Kontrakan masih sering terendam banjir dari kali
    Sedangkan cari kerja susahnya
    Keduli-duli

    Kau janganlah ngambek begitu
    Kakang janji, tak akan memintamu
    Kerja begini lagi
    Biar nanti kakang ajukan lamaran
    Di pabrik-pabrik kimia dekat sini
    Bersabarlah, ya, sayang...

    Sintaku, manisku....
    Kau mendengarku, kan?
    Si Om Bram itu bakal nyalon dewan
    Kalau sampai jadi, kau juga bakal hepi
    Cobalah dekati dia lagi
    Kalau perlu sampai kau diperistri
    Asal kau janji Sinta, cintamu yang aseli
    Tetap untuk kakang pribadi

    Dengar, ya, Sinta
    Kalau dia jadi pejabat
    Tempat kerjamu pasti selamat
    Dari orang-orang yang sok taat
    Percaya sama kakang
    Kota ini masih mau pelihara tempat maksiat
    Sekalipun banjir dan bala sampai kiamat

    Cibeber, 11 Juni 2020



     ***



    PEPATAK



    Pepatak! 
    Wingi mace koran sekeluarge modar garegare nahan ngelih
    Padahal tetanggane tiap bulan umroh lunge-mulih lunge-mulih
    Boro-boro nekan sedekah
    Bebagen beras lan uyah
    Iki mah tungkul selfi-selfi
    Ning emol, ning pantai
    Ning bioskop, ning pasar
    Ning hotel, ning kamar
    Ning jembatan layang, ning sor serngenge wayah tengange

    Pepatak!
    Bapak-bapak ibu-ibu
    Sing subuh tekang wengi ngaji ning kiyai
    Tapi ilat lan cangkeme aiih lake marine
    Ngelelutu dulur-dulure ngumbar aib merana-merene

    Pepatak!
    Heh, sire mad!
    Maen judi koprok lan mabok
    Tekang jam telu wengi
    Mun menang picise guna nafkahi anak lan rabi
    Eh, barang keleh jeh gale ngedol tivi kare lemari

    Pepatak! Pepatak!
    Anak sape kah wingi balik sekole
    Wetenge jemblung pepelayon bari nangis
    ampun-ampun wedi disewoti
    Ore kenang ore jaluk dikawinaken kare lanange sing ngisinge bae masih dicewoki

    Pepatak!
    Weslah, aje gelem dadi pemimpin mun ore bise bebas korupsi
    Teke bae merene ning kote iki
    Endah werasani ragem-ragem manjing bui

    Pepatak doang!
    Percaye kare kite
    ape bae geh ane ning iki kote

    Sing ningrat, sing mesakat
    Sing doyan koprok, sing doyan mabok
    Sing tukang goyang, sing tukang ngewajang
    Sing hobine korupsi, sing pading ore duwe ati
    Kuwomplit! Plit! Plit!

    Kite pepatak
    Sire pepatak
    Kite pepatak
    Sire pepatak
    Puatak nire!

    Cibeber, Selikur Juni Rongewurongpuluh




    [1] Terinspirasi dari judul sajak W.S Rendra, “Pesan Pencopet Kepada Pacarnya (1967)” Djakarta Dalam Puisi Indonesia”

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ▼  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
        • [Puisi] Sarmin dan Kampung Masa Kecilnya ( 4 Puisi...
      • ►  August (1)
        • [Catatan] Dua Hal yang Bikin Saya Tersentuh
      • ►  September (1)
        • [Self-Depression] Cermin dalam Kamar Mandi (Kurung...
      • ►  October (1)
        • [Film Pendek] Masih Ada Senja di Anyer (Ngetake Pr...
      • ►  November (1)
        • [Ulasan Film] The Queen's Gambit: Kisah Dingin yan...
      • ▼  December (2)
        • [Catatan] Sewindu Berkarya; Kilas Balik Perjalanan...
        • [Esai] Saya Selalu Membayangkan Duduk Bersebelahan...
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top