Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda
    dok. pribadi
    Suatu pagi Panca pergi ke pasar tanaman. Dia memilah-milah pot, pupuk, biji-biji sayuran dan buah-buahan. Panca adalah orang yang gemar bercocok tanam. Ia menjadikannya sebagai hobi. Setelah semua sudah didapat, ia bergegas pulang, untuk segera menanam hasil belanjaannya. Bila kau lihat rumahnya, matamu akan dipenuhi beraneka tanaman hias dan pohon buah-buahan. Selain sebagai “petani”, pekerjaan atau profesi utama Panca adalah penulis lepas.

    Ketika sampai rumah, seorang teman satu profesinya mengirimkan info perlombaan karya tulis yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Panca mulanya tak begitu peduli. Perhatiannya masih pada tanaman hias yang baru ia beli. Ia taruh ponselnya. Lalu mulai mengambil pot kecil seukuran genggamannya, mengisinya dengan pupuk pilihan dan beberapa biji sayuran dan buah-buahan.

    Baru selesai di pot ke-10, ponselnya kembali berdering. Ternyata satu lagi pesan masuk dari orang yang sama. “Bro, ayo ikutan. Sudah waktunya yang muda turun tangan. Ini kesempatan kita menyuarakan pendapat dan gagasan.” Panca hanya memberikan emoticon jempol dan wajah senyum untuk membalas pesannya. Lalu ia meletakkan lagi ponselnya di meja. Ada satu lagi yang dirasa harus ia selesaikan lebih dulu. Panca memang bukan tipe orang yang senang menunda-nunda waktu. Ia mengambil air pakai gayung kecil, lalu menyiramkannya pada pot tanaman tadi. Dibariskannya satu per satu dengan telaten. Selesai, ucapnya.

    Di sela waktu istirahat, ia ambil kembali ponselnya dan segera membaca detail dari info lomba yang tadi dikirimkan oleh kawannya. Di pamplet digital itu tertera tema perlombaan: “Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Ia terkekeh barang sesaat. Tapi setelahnya diam merenung.

    Pikirannya sedang menerawang jauh. Ia lupa kapan terakhir kali memberikan hak suaranya. Ia sudah putus asa dengan para pemimpin di negeri ini. Banyak harapan besar yang ia percayakan pada pemimpin tapi akhirnya ia malah merasa dikhianati dengan janji mereka saat mencalonkan diri. Akan tetapi, di usia yang hampir menginjak angka 30 itu, ia mulai memikirkan apa yang dikatakan temannya tadi. Pemuda memang seharusnya bergerak. Bahkan ambil bagian pada hal-hal krusial dan fundamental seperti saat ini. Apalagi, dari info lomba tersebut ia menangkap bahwa Bawaslu berusaha terbuka dan berterima dengan segala pandangan, gagasan juga pendapat dari masyarakat, siapa pun mereka. Saat sedang memikirkan itu, seekor kucing lewat di teras rumahnya dan tanpa sengaja menjatuhkan salah satu pot yang baru ia letakkan. Panca segera menggusah kucing itu dan lekas membenahi tanamannya yang rusak dan tercecar di lantai.

    Ketika sedang membereskan pot, pupuk dan biji-biji yang jatuh berantakan, Panca terbetik sesuatu dalam tempurung kepalanya. Ia mendapatkan satu garis yang terhubung antara tema lomba tadi dengan apa yang sedari tadi ia kerjakan. Maka selesai dari situ, Panca bergegas mengambil alat tempurnya. Ia siap untuk menulis. Ia siap menyuarakan pandangannya. Ia siap untuk lomba Bawaslu kali ini.

    Tugas dan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum salah satunya adalah melakukan monitoring, mengawal integritas dan kualitas demokrasi, termasuk menetapkan peserta Pemilu dan bakal calon yang diusung dari masing-masing partai maupun melalui independen. Ia memandang bahwa dirinya yang sebagai pencinta tanaman mengibaratkan diri sebagai Bawaslu. Ketika ia berbelanja tadi, ia tentu tidak asal pilih bahan-bahan keperluan tanamannya. Ia harus memilah pot yang kokoh tapi lentur, pupuk berkualitas, juga biji-biji sayuran dan buah-buahan yang segar juga sehat. Itu tak beda dengan tugas Bawaslu.

    Ia memandang pot sebagai simbol dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pot itu yang akan menampung suara rakyat, suara pupuk, akar dan biji pohon yang nanti akan tumbuh berbuah. Karena, pupuk itu mewakili kami, menurut Panca, seluruh masyarakat yang memiliki hak suara. Biji-biji sayuran dan buah-buahan itu adalah calon pemimpin. Kita akan melihat ketika salah satu dari biji-bijian itu disemai, mana yang akan terpilih untuk tumbuh, naik ke atas dan mendapatkan dukungan serta apresiasi yang berupa pujian dan kritikan, yang terwakili atas terpaan angin, juga siraman dari air kran dan air hujan.

    Bila semua sudah saling bersinergi, maka akan tumbuhlah pohon-pohon demokrasi. Yang akarnya akan menjalar ke bawah, tanpa melupakan mereka yang mendukungnya, mereka yang membuat dirinya terpilih. Itu artinya pohon yang tumbuh adalah bukti pemimpin yang mau mendengarkan suara-suara rakyatnya, menepati janji politik saat mencalonkan diri. Bila semua itu berjalan dengan baik, maka pohon demokrasi akan berbuah segar. Bisa dinikmati bersama, yang artinya kehidupan orang-orang yang dipimpinnya akan hidup tenteram, makmur dan sejahtera. Namun, bila pohon itu busuk atau mati (hatinya), maka dampaknya akan buruk bagi masyarakat yang dipimpinnya. Mereka akan sengsara, melarat dan jatuh miskin.

    Harapan dan keyakinan dalam diri Panca, saat memikirkan hal itu, seketika timbul. Ia membayangkan bila rakyat dan Bawaslu bersinergi, tentu pemimpin idaman akan muncul. Lewat rakyat dan Bawaslu-lah pemimpin akan terlahir, yang berarti menegakkan keadilan bukan lagi omong kosong. Selama kita bersama-sama saling bantu dan gotong-royong untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu nanti, tentu saja harapan memiliki pemimpin yang jujur, berpihak pada kesejahteraan rakyat dan anti-korupsi akan benar-benar terwujud.

    Karena, tulis Panca, seperti yang pernah ia baca dari sebuah buku karangan Jon Krakauer berjudul Into The Wild, puncak dari kebahagiaan adalah berbagi, “happiness only real when shared.” Maka setelah mengakhiri tulisan dan pendapatnya, ia bangkit dari kursinya. Ia menuju teras dan mengambil beberapa pot tanaman yang tadi ia taruh. Kakinya membawa ia ke rumah tetangga-tetangga. Ia membagikan pohon-pohon harapannya itu. Ia mengajak mereka untuk bersama-sama gemar bercocok-tanam dan menghias lingkungan, demi merawat generasi setelahnya. Lalu Panca kembali ke rumah, Panca duduk bersila sembari menghadap bakal calon pohon-pohon yang tadi ia tanam dengan mata yang berkaca-kaca.[]

    Cilegon, 5 April 2018

    Continue Reading

     
    ilustrasi oleh Biem.co
    Judul        : Jejak
    Penulis     : Diella Dachlan dan Bimo Tedjokusumo
    Penerbit   : Epigraf
    Cetakan   : Maret, 2018
    Tebal        : 258 halaman
    ISBN       : 978-602-50238-9-7

    Ada sekian banyak sejarah nusantara yang belum dituliskan. Bagi seorang pejalan, menemukan artefak peninggalan manusia di masa lalu bak mendapatkan emas di belantara lumpur dan semak belukar. Barangkali itu yang terlintas di benak Diella Dachlan dan Bimo Tedjokusumo. Siapa sangka, dari kegemarannya melakukan perjalanan, dua sahabat ini berhasil menelusuri makam tentara Jerman di kaki Gunung Pangrango, jejak kebudayaan tua di seputar Gunung Salak, jejak kerajaan tua di seputar Jakarta, Bogor hingga karawang.

    Melalui buku, “Jejak” ini mereka menarasikan apa saja yang berhasil ditemui di seputaran Jabodetabek. Ternyata, jejak peradaban masa lampau banyak ditemui di sela-sela tempat wisata yang selama ini tersembunyi atau malah terabaikan keberadaannya. Tak pelak juga berada di antara perkampungan, semak-semak hutan hingga yang rata bersama bangunan yang baru didirikan.

    Mereka berbagi tugas, karena memang minatnya agak berbeda. Bimo tertarik dengan bentuk batuan dan fotografi, sedang Diella fokus pada cerita, literatur dan menulis. Maka, di penghujung tahun 2017, ketika pertama kali terbetik ide untuk menelusuri jejak masa lalu, mereka memulai segalanya dari nol.

    Berbeda dengan buku “sejarah” kebanyakan, buku ini, meski tak ingin disebut buku panduan perjalanan, cara bertuturnya cukup ringan. Akan mudah kita sepakati seperti membaca catatan blog atau pada dinding Facebook. Namun meski begitu, pada setiap paragrafnya rimbun dengan data-data dan informasi yang faktual. Tak tanggung-tanggung, banyak buku, jurnal dan catatan-catatan penting yang dijadikan literatur dan rujukan penyusunan tulisan. Dengan begitu, tulisan yang berat akan terasa mudah dipahami bagi semua kalangan, termasuk para generasi milenials.

    Situs di Gunung Salak menjadi pilihan yang pertama ditampilkan pada bab awal. Beberapa jejak yang berhasil dihimpun di antaranya: Arca Domas dan Kompleks Situs Cibalay, Batu dan Gua Langkop, Puluhan Situs Tua di Pasir Eurih hingga pada informasi mengenai cerita Prenggong Jaya di Situ Pasri Kaca (hal. 66).

    Kemudian, dari satu jejak ternyata saling hubung dengan jejak peninggalan lainnya, beberapa jejak kerajaan pun tak terlewatkan. Seperti Kerajaan Pakuan Pajajaran, penelusuran dan napak tilas Prabu Siliwangi, perebutan Sunda Kelapa—yang menyusuri Demak, Cirebon hingga tanah jawara Banten  (hal. 119), jejak Kerajaan Tarumanegara yang ternyata raja Jayasinghawarman Rajadirajaguru (358-382 M) pendiri kerajaan tersebut, pernah singgah di Kampung Muara (hal. 134). Selain itu ada banyak sekali jenis bebatuan yang ditemukan, salah satunya batu Dakon, sebuah peninggalan purbakala yang masih terawat dan terjaga keautetikannya (hal. 138).

    Jejak perang serdadu Jerman di Megamendung dan bukti situs saksi pertempuran Leuwiliang pun terekam dalam buku ini. Yang memudahkan pembaca selain narasi yang berhasil memikat dan menimbulkan rasa penasaran adalah foto-foto dokumentasi yang membuat kita seolah berada di tempat situs peninggalan. Seperti yang disampaikan oleh kedua alumnus Sastra Jerman Universitas Indonesia ini pada halaman Prakata, buku “Jejak” ini mungkin berguna untuk membantu merencanakan perjalanan bagi para petualang.[]


    Cilegon, 12 April 2018




    _________________________
    *) tulisan ini pernah dimuat di website biem.co: Asyiknya Menelusuri Sejarah dan Jejak Peradaban di Jabodetabek



    Continue Reading
    image by: TulusCompany.
    Kamis, 19 April 2018, musisi kenamaan Indonesia, Tulus, merilis videoklip atau Official Music Video (MV) lagu “Langit Abu-Abu” di akun Youtube-nya, musiktulus. Salah satu lagu andalannya yang ada di album Monokrom yang rilis 3 Agustus 2016 lalu itu terasa berbeda dari videoklip kebanyakan. Termasuk videoklip lagu-lagu Tulus sebelumnya. Memang, Tulus selalu berusaha menunjukkan sisi musikalitas dan nilai estetis dari setiap videoklip lagu-lagunya, tetapi kali ini betul-betul ada sentuhan yang berbeda.

    Mengambil latar tempat sebuah bangunan yang masih dalam tahap renovasi, bermain dengan gradasi warna monokrom (berwarna tunggal) dan lain sisi didominasi warna abu-abu, video tersebut menceritakan sang penyanyi, yang diperankan oleh Tulus, tengah mempersiapkan mikrofon dan soundsystem-nya seorang diri. Setelah itu ia mulai mendendangkan sebuah lagu. Awalnya, saya mengira di bagian tengah video akan ada semacam hentakan alat musik masuk mengiringi suara merdu Tulus. Namun ternyata dugaan saya keliru. Langit Abu-Abu ini dibawakan dalam versi akapela. Dengan penuh rasa dan penghayatan khas Tulus, dalam video ini seolah sang penyanyi ingin menyampaikan kalau bunyi-bunyi di sekelilingnya adalah bagian dari musik juga, bahkan kata-kata itu sendiri mewakili setiap nada tanpa harus dipadu-padankan dengan alat musik apa pun.

    Sebagaimana yang saya ketahui dan saya duga, melalui videoklip ini ada upaya rekonstruksi musik yang Tulus dan timnya coba tunjukkan. Bila boleh mengaitkannya dengan disiplin ilmu lain, dalam bidang sastra misal, Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, setelah dirasa telah selesai dengan semua aturan terikat maupun tidak mengenai puisi, ia coba membuat puisi berjudul, “Luka” di tahun 1976 dengan satu kata saja dalam lariknya: ha ha. Lalu ia membuat kredo puisi, “mengembalikan kata pada mantra”. Kalau kemudian penyair lain mencoba hal yang sama, maka yang ada hanya akan dianggap sebagai epigon dari terdahulunya. Mau bagaimanapun, pelopor selalu dijadikan patokan atas “temuannya” tersebut.

    Bisa jadi, Tulus sedang mengarahkan para penikmat musik, khususnya pendengar lagu-lagunya, bahwa ternyata videoklip tanpa suara alat musik pun bisa pula diproduksi—meski setelahnya kita akan lihat bahwa penggarapan videoklip ini dua kali lipat pusingnya. Karena untuk mencapai harmonisasi, menetralisir suara di sekitarnya, dan penguasaan emosi penyanyinya butuh waktu yang tidak sebentar dan konsep yang betul-betul matang.

    Yang jelas, ini keputusan yang besar bagi Tulus dan timnya. Karena ia mestinya sudah memperhitungkan segala resiko setelah karyanya ini jadi milik publik. Sebab, selalu ada pihak pro dan kontra. Bentuk apresiasinya pun beragam: bisa berupa pujian atau kritik bahkan makian. Karena, ketika banyak musisi lain berusaha memasukan unsur alat musik, yang terbaru genre Electronic Dance Music (EDM), yang tengah digandrungi musisi milenial, Tulus malah menawarkan alternatif lain. Bagi saya, ini satu langkah besar yang berani Tulus dan timnya ambil. Tentu saja kinerjanya patut diapresiasi, dan bisa diterima sebagaimana karya-karya yang lain. Tidak ada batasan dalam berkarya, tetapi yang tidak boleh terlewat adalah soal tanggung jawab. Meski sebuah karya setelah dipublikasikan menjadi milih khalayak umum, si kreator mesti siap pasang badan dan mempertahankan karyanya atau gagasannya tersebut dari berbagai pihak yang mencoba “merobohkannya”.

    Dalam karya sastra juga dikenal soal simbol-simbol yang salah satunya diwakili dengan berbagai majas. Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang khatam soal itu. Ia menamai karyanya sebagai puisi instalasi. Perihal kebahasaan baginya sudah selesai. Maka segala benda, alat, dan makhluk apa pun bisa hidup dan dirangkai menjadi karya sastra, yakni puisi. Kalau kita perhatikan lebih detail dan cermat, itu juga yang coba Tulus ingin sampaikan melalui videoklipnya ini. Bila diurai satu per satu kata dalam lirik lagu Langit Abu-Abu, kita akan temukan berbagai simbol di bangunan belum jadi itu yang mewakili setiap katanya. Namun tentu saja hal tersebut akan diperoleh tergantung seberapa besar atau kemiripan pengalaman empiris dan wawasan si penikmat musik dengan videoklipnya. Kita bisa menangkap pesannya atau tidak sama sekali. Penafsiran soal makna pun akan berbeda-beda.

    Saya tidak bisa lepas dari subjektifitas dalam mengulas videoklip ini karena lagu-lagu Tulus memang sangat saya gemari. Di album Monokrom ini ada juga lagu berjudul, “Pamit” yang liriknya sangat berhasil menyayat-nyayat perasaan dan membuka kembali kenangan di masa lalu. Tulus adalah salah satu seniman dan musisi Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi dan selalu totalitas dalam mengeksekusi sebuah karya. Tak heran bila di setiap lagu-lagunya pasti meninggalkan bekas di benak pendengarnya, termasuk lagu Langit Abu-Abu ini.[]

    Cilegon, 21 April 2018

    videoklip by: musiktulus on Youtube.
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ►  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  June (8)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ▼  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ▼  April (3)
        • [Ulasan] Rekonstruksi Musik a la Tulus
        • [Resensi] Asyiknya Menelusuri Sejarah dan Jejak Pe...
        • [Cerpen-Esai] Merawat Pohon Demokrasi, Merawat Gen...
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top