Pages

  • Home
  • Privacy
  • Sitemaps
  • Contact
  • [PROFIL] TENTANG ADE UBAIDIL
facebook instagram twitter youtube

Quadraterz.com

    • My Book
    • Cerpen
    • Novel
    • Esai
    • Puisi
    • Buku Antologi
    • Ulasan
    • Media
    • [Self-Depression]
    • Rumah Baca Garuda

    foto saat berlibur ke Pantai Sawarna, Bayah, Banten.

    Saya termasuk orang yang sulit dimengerti; baik oleh orang lain atau oleh diri sendiri. Orang yang baru mengenal saya tentu tidak akan merasakan hal itu. Saya gemar mengganggu, sebagian orang merasa saya sedang menghiburnya dengan lawakan, dan saya senang mengurusi apa pun. Dalam hal ini, mengurusi berarti meng-openi, gemar mengomentari segala sesuatu.

    Kemarin hari seorang teman berkata, “De, nggak mau tah kayak begitu?” ia menunjuk anak abegeh yang sedang dimabuk asmara. Duduk bermesraan di sepeda motor sambil peluk-pelukan dan bercumbu. Herannya sejak dulu saya tak terlalu dibuat pusing atau minimal cemburu dengan perilaku macam itu. Bukan berarti tidak mengenal cinta, hanya saja, untuk mendapatkan hal-hal “receh” semacam itu kelewat mudah. Yang sedang jadi titik fokus saya sekarang justru soal mengejar cita-cita dan menggenapi ambisi juga impian-impian saya.

    Bila saya ulur benang kusut secara perlahan, orang-orang besar dan tokoh berpengaruh tak bicara perihal cinta lebih dulu—kalaupun iya, mereka akan sangat pandai sekali menyembunyikannya. Mereka membakar semangatnya dengan ambisi dan dedikasi yang besar untuk meraih apa yang diinginkannya. Macam-macam, ada yang berambisi menjadi orang terkenal, ada yang berambisi menguasai bidang keilmuan tertentu, ada yang berambisi sekadar membuktikan kalau saya bisa ini-bisa itu, dan ada pula yang berambisi untuk meraih cinta seseorang.

    Sebenarnya, saya ada di posisi paling terakhir. Namun, sebagaimana saya percaya konsep mestakung, atau faal dalam bahasa Paulo Coelho, untuk meraih ambisi tersebut saya harus berupaya melewati ambisi-ambisi di awal. Saya tidak hendak mengatakan kalau hati perempuan mudah terpaut dengan pria yang berduit, akan tetapi lagi-lagi survei ngawur saya mengatakan itulah kenyataannya. Perempuan tertarik, selain kepada pria berduit, juga pria pekerja keras dan bertanggung jawab. Termasuk soal mengejar cita-citanya dalam hidup. Ketika saya berhasil meraih impian-impian saya, saat saya sudah berada di puncak, atau minimal sudah mampu berdiri tegak, maka perempuan mana yang tidak akan kepincut hatinya ingin menjadi teman hidup saya (?)

    Kesannya memang besar kepala dan angkuh, namun balik lagi, begitulah cara saya mendapatkan hati seseorang yang saya cintai. Jangan salah, sampai saat ini saya sudah menargetkan akan mendekati siapa, menikahi siapa, menjalani kehidupan dengan siapa dan sebagainya dan sebagainya. Secara perlahan-lahan saya mendekati ia tanpa harus lebih dulu menyatakan cinta sebagaimana mestinya. kalaupun ia sudah menjadi milik orang lain atau memilih orang selain saya, itu hal lain, hak ia sebab saya tak membuat ikatan dan kesepakatan. Saya akan berterima dan berlapang dada menghadapi itu, sudah terlampau banyak kesakitan-kesakitan yang sulit disembuhkan dalam perjalanan hidup ini. Dan juga, lagi-lagi saya bukanlah anak seorang raja atau pengusaha, yang seolah-olah apa pun permintaannya dapat terlaksana. Saya harus melakukan sesuatu, kalau boleh dibilang pengorbanan, untuk menjangkau hatinya. Pada waktunya, saya akan mendatangi orang tuanya lebih dulu dan menyampaikan apa yang sudah semestinya dikatakan.

    Cara orang tentu berbeda-beda. Beginilah cara saya, dan seringnya berhasil. Pernah saya beritahu kepada seorang kawan bahwa ketika saya ingin mendapatkan sesuatu, saya harus tahu berapa banyak waktu, tenaga, usaha, dan biaya yang mesti saya keluarkan. Misal, di satu waktu saya ingin sekali mengenal seorang sutradara. Saya pernah mencari kontaknya, lalu berhasil mendapatkan email-nya. Saya kirimkan naskah saya dengan kepercayaan diri yang kelewat konyol. Tentu saja diabaikan dan kalau saya pikirkan sekarang tindakan macam begitu adalah balasan yang wajar.

    Hal berikutnya yang saya lakukan adalah membiarkan, bukan berarti melupakan, untuk mengenal ia lebih dekat. Saya fokus lebih dulu dengan jalur yang hendak saya tuju, yakni kepenulisan. Saya perbaiki segala teknis, teori, pemahaman-pemahaman, capaian-capaian dan segala macam. Nah, saat saya sudah merasa cukup kuat, baik secara fisik, mental dan moral, dengan sendirinya, si sutradara yang sedang ingin saya kenal itu justru mengajukan diri dan menawarkan kerja sama. Ia mengontak saya lebih dulu! Padahal jauh sebelum ia mendatangi saya, saya sudah bergerilya mengirimkan naskah-naskah agar dibaca. Mungkin, karena setelahnya melihat keseriusan dan effort yang saya keluarkan juga hasilnya yang tidak mengecewakan, maka ia pun membuka diri. Ingin mengenal lebih jauh sampai akhirnya mengajak kerja sama untuk menggarap sebuah film.

    Itu baru satu contoh, banyak hal-hal lain yang pernah saya alami. Yang jelas, ada proses penempaan yang kudu saya lalui di sana, yang orang-orang sekitar mungkin tidak ingin mengetahuinya. Saya berbagi tulisan semacam ini hanya sebagai obat kekesalan saya saja atas tuduhan-tuduhan yang tidak perlu saya tuliskan di sini. Sungguh, orang-orang sangat sulit sekali menghargai proses, memberikan apresiasi, atau paling tidak menjaga privasi orang lain. Apakah barangkali watak orang Indonesia sulit menerima kemenangan orang lain dan selalu curiga atas capaian-capaian yang dibuatnya sendiri?

    Contoh lain soal watak yang gemar curiga dan picik, seperti ini: ada seorang kawan saya yang selama ini dikenal biasa-biasa saja dan nyaris tak ada yang patut dibanggakan. Namun, ketika ia melamar pekerjaan di perusahaan A, yang notabene cukup dikenal, ia berhasil lolos dan mengalahkan banyak pelamar yang jumlahnya ribuan. Lekas saja kawan saya yang lain merasa curiga, boro-boro mengucapkan selamat lebih dahulu, ia langsung menginterogasi dan sampai berkata, “pasti ada orang dalemnya, ya?” pertanyaan bodoh macam itu hanya dimiliki oleh mereka yang tidak bisa menghargai sebuah proses—karena hal semacam inilah saya akhirnya memutuskan untuk membatalkan bertemu dengan beberapa orang yang padahal sudah saya kagumi sejak lama.

    Padahal, bisa jadi kawan saya sudah melewati banyak kegagalan atas lamaran-lamaran kerja yang ia ajukan di banyak perusahaan. Banyak hal yang ia pelajari selama proses itu dan mengubah cara pandang juga perilakunya. Sialnya, para pencemburu hanya gemar menggerutu. Barangkali mereka ditakdirkan untuk itu. Seperti yang pernah saya tulis di laman Facebook bahwa untuk menunjukkan sisi baik seseorang, seorang sutradara perlu menghadirkan tokoh-tokoh jahat dan picik agar film yang digarap feel-nya dapat dan hidup nyata di mata penontonnya.

    Kembali tentang mengenali diri sendiri. Saya pernah merasa di satu titik bahwa ada seseorang yang betul-betul memahami apa yang sedang saya rasakan dan inginkan. Saya sudah menganggapnya sahabat sekaligus guru yang bisa diajak bicara banyak hal. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika saya sedang berproses dan melewati penempaan untuk menjadi seorang penulis, ia keburu hilang dari hidup saya. Saya merasa ia adalah orang yang jahat, meninggalkan sahabatnya di tengah jalan tanpa memberikan lentera satu pun. Saya nyaris putus asa dan memilih untuk tidak melanjutkan langkah. Beruntung, dalam keterpurukan itu seseorang yang lain datang.

    Saya jadi teringat perkataan salah seorang tokoh bernama Jaguar D. Saulo di film serial manga Jepang, One Piece. Si raksasa itu berpesan pada Nico Robin, “dengar baik-baik, Robin. mungkin sekarang kau sendirian, tapi suatu hari nanti kau akan bertemu dengan teman-temanmu. Suatu hari nanti, pasti kau akan menemukan teman yang akan melindungimu. Tak ada hal di dunia ini yang dilahirkan sendirian!”

    Saya sepakat dengan apa yang diucapkannya. Sama sepakatnya dengan apa yang disampaikan seseorang yang membawa lentera saat saya berjalan tak tentu arah. Ia memberikan petuah agar saya berbesar hati dan menganggap sahabat yang mengerti saya itu hanya sedang memberikan sedikit pelajaran dan memberikan waktu dan ruang untuk saya berproses. Ia berujar, “....kalau kau pada akhirnya berhasil, dia mungkin orang pertama yang paling bahagia. Meski dia seperti tidak tampak dan tidak mau tahu-menahu lagi tentangmu”. Saya berhenti sejenak berusaha memahami kalimat-kalimatnya. Kemudian ia melanjutkan, “De, orang yang berjiwa mendidik akan selalu memantau siapa pun yang ia didik. Jiwanya sudah terikat di sana. Kalian yang dididik ini yang lebih mungkin jadi pelupa. Percayalah, harapan pendidik jauh lebih tinggi dan kebahagiaan mereka jauh lebih besar bila melihat atau mendengar orang yang dididiknya berhasil,” ia menutup kalimatnya.

    Semoga saja, balas saya dalam hati.

    Malangnya, kedua orang yang benar-benar saya anggap mengerti tentang saya itu kini sudah benar-benar menjauh. Entah sengaja atau mungkin mereka merasa sudah cukup. Saya tak ingin lagi terlalu mengharap-harapkan kehadirannya. Barangkali, inilah yang terbaik yang mesti saya jalani. Akan ada teman-teman yang lain di depan sana. Saya percaya itu.

    Cilegon, 28 Juni 2017

    Continue Reading
    image by: [klik]

    Kita Pernah Begitu Dekat


    kita pernah begitu dekat
    pernah pula satu jalan
    ketika semesta tak kunjung
    memberi jawab

    kita pernah begitu lekat
    sewaktu sama mengira
    bahwa nasib tiada
    lagi bisa diubah

    kita pernah begitu likat
    hingga tak seorang pun
    berani bertanya
    dalam rentang waktu
    yang sedemikian lamanya

    Cilegon, 290317


    #


    Kamu dari Jauh

    kemarin, aku melihatmu dari jauh
    kupandangi punggung dan rambut hitammu
    kupikir akan sama seperti dulu
    sewaktu kita masih
    bertukar ucap dan cecap

    bersama diam, kuikuti langkahmu
    yang berkelok dari satu hati
    ke hati lain...

    Cilegon, 170417


    #


    Tentang Tatap

    ucap dan derap
    cecap dan dekap

    kini
    lesap dan gegap
    kalap dan pengap

    tiada lagi tatap
    pejam matamu
    lumpuhkan tegap
    tubuhku

    Cilegon, 290317


    #


    Kita dalam Kota


    keringatmu ingatanku
    kering ingat
    aku dan kamu

    bencintapirindu
    bencintapirindu
    bencintapirindu

    kita merapal mantra
    bersama di sebuah
    kota yang terbuka

    orangorang menyebutnya taman asmara
    pada sepetak pekarangan kita
    bungabunga mekar semerbak
    aroma keringatmu

    sampai hujan singgah
    menghapus segala tentang kita
    dalam kota

    Cilegon, 290317


    #


    Kosong

    omong kosong
    tong kosong
    pepesan kosong
    cinta kosong
    ruang kosong
    hati kosong
    kosong kosong
    melompong!

    Cilegon, 290317


    #


    Wajah dalam Koran

    berita datang pagi tadi
    melalui koran kutanya ia:
    ada wajah siapa hari ini?

    lembarlembar kertas itu
    diam mengeram. sementara aku
    sibuk membolakbalik isinya hingga
    beritaberita berjatuhan-berjumpalitan
    —dan tertukartukar maksudnya

    di rumah, hanya ada satu wajah
    perempuan yang pernah singgah
    dan sanggup membaca seluruh
    isi tubuhku

    kemudian ia menghilang tanpa
    menyisakan jejak atau paling tidak
    seduhkan secangkir kopi
    untuk menemaniku
    mencarinya

    esok paginya koran mengabarkan
    tentang wajahmu yang berkata
    tak mungkin kembali
    ke rumah ini lagi.

    Cilegon, 290317



    #


    Pada Dinding

    pada dinding keropos
    kuselipkan sepucuk surat
    di tiap ujungnya kulipatlipat
    lalu kurekat kuat
    supaya isi dalamnya tak menerobos

    sebelum sampai pada kau!

    Cilegon, 290317



    #


    Jari dan Cincin

    Kamu adalah cincin yang melingkar di jari manis sejak bertahun-tahun lalu. Aku adalah jari itu. Tak pernah sekalipun aku melepasmu, bahkan ketika beranjak tidur. Aku dan kamu selalu saling menemani ke manapun kita pergi. Sampai sebuah peristiwa singgah dan memisahkan segala tentang kita. Sebuah jari mencerabutmu secara paksa ketika aku lengah, lalu membawamu ke tempat yang entah.

    Kini aku sendiri dengan jejakmu yang tak lekas hilang—dan tentu aku tak berharap itu lekas pergi. Mataku sulit terpejam dan setiap kali kupaksa tertutup lalu saat kubuka, masih ada bekas kenangan yang melingkar dan belum tersapu cahaya. Barangkali di suatu waktu ia akan pudar, tapi satu hal yang mesti kamu tahu, jari itu tak akan menerima cincin apa pun selain kamu. Hanya kamulah yang cocok dengan lingkaran yang sudah terpatri itu. Cuma kamulah seorang yang aku mau, selamanya.

    Cilegon, 230517


    Continue Reading

    para pemain drama, "Kampung Cibelenger: Si Mekah Cintil"


    (video youtube) Part 1: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"
    (video youtube) Part 2: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"
    (video youtube) Part 3: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"

    Semacam Pengantar
    Menjadi penulis adalah satu hal, sedangkan menjadi sutradara adalah hal lain. Namun, keduanya saling berkesinambungan. Keduanya adalah impian saya. Tahun 2014-2015 lalu, saya sempat menulis beberapa scene untuk sebuah film berjudul, “Mars; Mimpi Ananda Raih Semesta” yang digarap oleh Sahrul Gibran, sutradara asal Banten. Meski tak mengambil andil besar dan nama saya tidak ditulis di credit title (karena alasan satu dan lain hal) saya tetap bisa berterima, sebab kebanggaan bisa saya rasakan ketika film tersebut, dan scene-scene tambahan yang saya tulis tayang di seluruh bioskop Indonesia dan bisa dinikmati banyak orang.

    Tempo hari, Alhamdulillah, saya berkesempatan menulis ide cerita dan skenario FTV untuk televisi swasta berkat sebuah gerbang yang dibukakan oleh penulis novel komedi dan skrip skenario, Langlang Randhawa. Setelah itu, seorang sutradara muda asal Cilegon, Darwin Mahesa, mengajak bekerjasama untuk menggarap skenario film pendek besutannya berjudul, "Tirtayasa: The Sultan of Banten" yang akan mulai diproduksi Juli 2017 mendatang, difasilitasi oleh Kemendikbud RI. Tepat sampai di sini, barangkali sudah sepatutnya saya bersyukur tak henti-henti. Satu per satu, mimpi saya tercapai dalam waktu yang lumayan singkat. Sempat di satu titik, saya merasa sangat malu pada Allah lantaran Dia begitu baik sedangkan ibadah saya dan ketaatan saya sebagai seorang hamba masih jauh dan tidak sebanding. Mudah-mudahan, dengan segala kepercayaan dan kedermawanannya ini dapat mendekatkan saya kepada Allah dan bisa terus berkarya dengan baik. Aamiin.

    Sekitar beberapa hari lalu, di kampung Cibeber, tempat saya lahir dan tinggal, saya mendapat kepercayaan untuk menggarap sebuah drama komedi-religi yang akan dipentaskan pada malam puncak peringatan Nuzulul Quran yang memang menjadi agenda tahunan di kampung kami. Drama ini boleh dibilang mulai bangkit kembali sebab beberapa tahun ke belakang benar-benar senyap dan tak ada. Sejak kecil, setiap kali menghadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh Remaja Islam Masjid (RISMA) At-Ta’awun Cibeber, hal yang paling saya nantikan adalah pementasan dramanya. Di awal-awal kejayaan RISMA, memang selalu ada drama yang diperankan dan dimainkan oleh panitia RISMA. Teteh saya pernah menjadi pemain lakonnya, dan saya merasa orang yang beruntung saat bisa membaca naskah drama yang sedang dihafalnya.

    Entah apa yang ada dalam benak saya saat itu, seingat saya, saya berbisik dalam hati—ya, hati seorang bocah ingusan—untuk pula menulis naskah serupa dan bakal dipentaskan oleh orang lain..., entah di hari kapan(?). Sebagai orang yang percaya pada konsep mestakung (semesta mendukung), lebih-lebih sebagai pembaca buku-buku Paulo Coelho, saya semakin yakin akan konsep itu. Dalam bukunya, The Alchemist, Coelho menulis, “ketika kita benar-benar menginginkan sesuatu, maka seluruh alam semesta akan bahu-membahu membantu kita untuk meraihnya.”—tentu saja kalimat ini akan kuat saat kita pun berusaha keras untuk mewujudkannya. Andai tanpa usaha dan hanya menunggu, tentu saja itu hanya menjadi omong kosong belaka.

    Kembali soal menulis naskah drama untuk panitia RISMA. Saat ditawari oleh Pak Ketua, tanpa keraguan saya langsung mengiyakan. Bahkan cerita apa yang bakal saya garap langsung berkelebat begitu saja. Ide-ide deras mengalir, meski saya masih awam soal teknis penulisan naskah drama, sebab ini pertama kalinya. Namun, tanpa mau dipusingkan oleh hal-hal teknis—meski di beberapa hal ini penting dipelajari—saya pun gegas menuliskannya sesederhana mungkin, dan mudah dipahami khalayak. Agar tidak melebar, saya diberikan tema, “Krisis Generasi”. Lantas saja ide di awal yang deras tadi langsung saya seleksi dan eksekusi. Sebab, memang tak jauh-jauh ide yang saya pikirkan dengan tema yang disodorkan. kemudian, naskah jadi; saya meminta masukan dan perbaikan, konsultasi ke beberapa tokoh dan “voila!” kami siap mencari pemeran tokoh dan tim pementasan drama. Fix, tahun ini, kembali ada pementasan drama di acara yang diselenggarakan RISMA Cibeber.
    Betapa luar biasanya hari-hari saya berikutnya. Banyak sekali tantangan yang mesti di hadapi. Meski ada hal dilematis yang kudu saya lewati lebih dulu; mengerjakan skripsi, atau lanjut berkarya dan mengikuti passion(?)

    Saya memutuskan untuk menjalankan satu demi satu project. Bukan karena tidak mau, tapi setelah ini beres, saya akan menyelesaikan tugas akhir kampus tersebut. Akhirnya, saya merasakan juga menjadi seorang sutradara “sungguhan”. Saat semester awal kuliah, saya dan teman satu jurusan (tim IS-IS Production) memang pernah menggarap film pendek berjudul, "Baturan" untuk diikutsertakan pada sebuah festival film di Lampung. Namun kali ini berbeda tantangannya. Saya harus menghadapi sekitar 25-an pemain untuk melakonkan para tokoh yang saya tulis. Belum lagi ini akan dipentaskan secara langsung di panggung dan saya menjadi dalangnya. Beruntung mendapatkan pemain dan tim yang loyal serta memiliki tanggung jawab yang tinggi. Meski rata-rata mereka terbilang masih remaja, namun sudah pandai dalam mengontrol emosinya. Belum lagi soal eksplorasi tokoh di antara batas waktu yang mepet. Hanya kurang dari seminggu kami diberi waktu latihan, belum lagi pemain harus rangkap jabatan; sebagian besar mereka juga menjadi koordinator untuk acara, humas, peralatan, pengajian dll. Saya merasa cukup terbantu karena para pemeran bukan hanya menunggu arahan, mereka juga memberikan masukan-masukan yang berguna.

    Hal berikutnya yang terjadi, saya tak lagi bisa berkata-kata. Mendapati apresiasi penonton yang tak lain warga kampung Cibeber; tawa-senyum mereka, antusiasme mereka, sorak-sorai mereka adalah obat sekaligus semangat bagi saya untuk terus berkarya lebih baik lagi. Segala apa yang saya dedikasikan dan ingin saya capai semakin kuat, bahwa menjadi penulis memang jalan saya untuk saat ini—sekalipun saya meyakini kalau bisa jadi di hari depan jalan yang akan saya tempuh akan berbeda lagi.

    Terima kasih teman-teman, dulur-dulur, dan semua yang selalu mendukung dan mengapresiasi. Hanya satu lagi kalimat yang perlu saya sampaikan:

    “Selamat Menyaksikaaaannn!!!”




    (video youtube) Part 1: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"
    (video youtube) Part 2: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"
    (video youtube) Part 3: Drama RISMA: "Kampung Cibelenger (Si Mekah Cintil)"




    Cilegon, 20 Juni 2017/
    25 Ramadhan 1438 H.


    Continue Reading
    image by klik

    Ulama Pewaris Para Nabi
    Ketika Rasulullah SAW memberikan salam terakhirnya, ada para sahabat yang mewarisi segala keilmuan dan penyebaran agama Islam ke segala penjuru dunia. Setelah satu per satu para sahabat berguguran dan wafat, para ‘ulama-lah yang mengambil peranan. Pasca-wafatnya Rasulullah SAW., dan para sahabat, ulamalah yang menggantikan posisi beliau dalam membina umat dan menjaga keutuhan ajaran Islam sejak dahulu hingga detik ini, sebagaimana sabdanya, “Al-‘ulama warasatul anbiya”. Ulama adalah pewaris para Nabi.

    Secara etimologi, ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim. Sedangkan kata ‘alim itu sendiri merupakan bentuk ism al-fa‘il dari kata dasar ‘ilm. Secara sederhana dapat dipahami bahwa ‘alim adalah orang yang berilmu, karenanya ulama disebut sebagai orang-orang yang memiliki ilmu dalam artian generiknya. Secara terminologi, kata ulama ini dapat dipahami bahwa sebutan ulama adalah untuk orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, terang Ziaulhaq, Dosen Fak. Agama Islam UISU.

    Dalam hal ini bukan hanya paham dalam satu cabang keilmuan saja, sekalipun sedang membahas konteks agama. Namun ‘ulama kudu mengerti juga soal ilmu politik, sosial, budaya, kemanusiaan dan cabang ilmu pengetahuan lainnya secara meluas. Maka menyandang julukan ulama pun terbilang berat dan ada tanggung jawab moral serta perilaku di mata masyarakat dan umat.

    Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang, ucap Teungku H. Faisal Ali, Ketua Umum PWU Aceh. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Warisan nabi yang sangat berharga dan mulia di sisi Allah SWT adalah ilmu, karena dengan ilmu bisa membuat manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Selalu ada jalan bagi mereka yang berilmu.
    Kesalehan dan kebahagiaan seseorang ditentukan oleh kualitas ilmu yang dimilikinya. “Siapa yang ingin bahagia di dunia, maka mesti dengan ilmu, siapa yang ingin bahagia di akhirat, maka mesti dengan ilmu, dan siapa yang ingin bahagia pada keduanya, maka mesti dengan ilmu.” Sekalipun hadist ini menjelaskan kemuliaan ilmu agama di atas segala-galanya, namun sedikit di antara umat yang mau merebutnya. Hanya para ulamalah yang senantiasa bergelut siang-malam dengan ilmu agama.

    Peran Pemuda bagi Masyarakat
    Barangkali bisa sama-sama kita pastikan, bahwa sedikit sekali masyarakat, khususnya para pemuda, di daerah tempat kita tinggal yang masih bergelut dengan ilmu agama. Banyak dari mereka fokus mengejar gelar akademik dan keilmuan umum lainnya. Tak jadi soal, segala apa yang ada di dunia ini adalah milik Allah semata, termasuk semua cabang ilmu yang kudu kita pelajari. Namun, sebagaimana penganut agama, khususnya agama Islam, sudah sepatutnya kita menjaga dan menyebarkan nilai-nilai keislaman dengan cara mempelajarinya dengan tekun dan istiqomah, sesibuk apa pun.

    Sekadar menyebutkan, Banten dikenal dengan kereligiositasannya. Dahulu banyak melahirkan ulama-ulama dan para kiyai yang dikenal hingga ke seluruh nusantara, tak pelak pula hingga mancanegara. Siapa tak mengenal Syekh Nawawi Al-Bantani Tanara? Beliau bahkan dijuluki Bapak Kitab Kuning Indonesia. Hasil buah pikirnya dipelajari dan dikaji hingga saat ini. Namun akan sangat menggiriskan sekaligus memilukan andai tidak ada lagi penerus beliau yang terlahir dan besar di tanah jawara ini untuk sekadar mengaji pun tak sanggup, bahkan membaca Alquran pun tak bisa lantaran tiada mengenal ilmu tajwid, mantiq, nahwu dan sharaf. Na’udzubillah.

    Maka peran pemuda untuk keberlangsungan kampungnya sangat diperlukan. Ada sebuah regenerasi yang harus tumbuh sebagai tonggak estafet atas perjuangan ulama dan kiyai yang sudah susah payah menyebarkan dan menjaga keutuhan ajaran Islam sejak dahulu. Sungguh akan merugi bila seorang muslim tak mengenal seluk-beluk agamanya sendiri, termasuk soal ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh para nabi dan ulama.

    Krisis generasi sudah di depan mata. Masuknya segala informasi bisa menjadi sebuah anugerah sekaligus bencana. Kita bisa mengetahui keberadaan seseorang, kegiatannya, interaksi dan lain sebagainya sekalipun ia jauh dari pandangan kita. Namun akan menjadi bumerang pula ketika kita disibukkan dengan hal-hal yang lebih banyak mendatangkan midharat tersebut hingga membuat kita lalai untuk belajar ilmu agama, khususnya. Pernahkah terbayang dalam benak kita bagaimana jika pondok-pondok pesantren, para ulama, kiyai, ustad di kampung dan daerah kita tinggal telah tiada? siapa yang akan meneruskan dan menjaga kestabilan kampung kita kalau bukan kita sendiri? Betapa akan hancurnya sebuah peradaban di suatu daerah jika tanpa berpegang teguh pada agama Allah. Kita harus mewaspadai dan mencegah terjadinya krisis generasi ini.

    Respons Krisis Generasi
    Mendapati fenomena itu, para pemuda di Desa Cibeber, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, berinisiatif untuk menyentil hati nurani kita dan mengangkatnya dalam sebuah drama religi. Barangkali akan berhasil sedikitnya membangunkan kesadaran kita akan pentingnya belajar ilmu agama. Drama yang ditulis dan disutradarai oleh Ade Ubaidil itu mengangkat tema Krisis Generasi berjudul, “Kampung Cibelenger: Si Mekah Cintil”. Bersama teman-teman anggota Remaja Islam Masjid (RISMA) At-Ta’awwun Cibeber, saban malam mereka berlatih. Selain itu, di Cibeber sendiri ada agenda rutin menyambut datangnya Bulan Ramadhan yakni acara Nuzulul Quran. Diselenggarakan sejak tanggal 13-17 Juni nanti. Banyak perlombaan yang diadakan seperti MTQ, Marawis, Shalawatan, Cerdas Cermat, juga ceramah (mengundang kiyai kondang), dll. Drama sendiri akan dipentaskan pada Sabtu malam Minggu (malam puncak) tanggal 17 Juni 2017 pukul 21.00 WIB nanti. Acara ini untuk umum dan siapa pun dipersilakan untuk hadir dan menyaksikannya.

    Apa yang hendak dilakukan oleh pemuda Cibeber tak lain untuk mengamalkan apa yang Allah SWT telah sampaikan pada Alquran surat An-Nisa ayat 9, yang artinya: “Dan hendaklah takut (Kepada Allah) orang-orang yang sekitaranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)-nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”

    Wallahu a’lam bissawab.[]

    Cibeber, 15 Juni 2017/
    20 Ramadhan 1438 H.
    Continue Reading
    poster official film, "The Words" (2012)
    Kasus Afi Nihaya Faradisa ini, yang belakangan ramai jadi perbincangan khususnya di timeline Facebook saya, mengingatkan saya pada film, “The Words” (2012). Seorang tokoh utama bernama Clayton Hammond yang dikenal sebagai penulis ternama. Kisah dibuka dengan scene saat Clayton menghadiri sebuah Public Reading untuk buku barunya. Ia mulai membaca buku tersebut yang kemudian fokus pada karakter fiksi bernama Rory Jansen, seorang penulis yang tinggal di New York City dengan pacarnya, Dora. Film ini boleh dibilang menerapkan cerita berbingkai macam buku kisah, Dongeng 1001 Malam; di mana dalam cerita ada cerita, ada cerita lagi.

    Tokoh dalam buku karangan Hammond itu juga ternyata seorang penulis. Rory Jansen diceritakan belum menemukan formula sekaligus keberuntungannya. Saban hari menulis sebuah cerita untuk kemudian dikirim ke penerbit namun lagi-lagi yang diperolehnya hanya sebuah penolakan. Sampai di suatu hari, saat ia sedang bulan madu dengan Dora, yang resmi jadi istrinya, mengunjungi toko barang antik, ia melihat sebuah tas kuno yang dalam pandangannya sangat menarik. Usai itu ia lekas membelinya.

    Penonton akan disajikan kisah perjalanan tas itu sampai bisa ke toko barang antik kemudian ke tangan Jansen. Sesampainya di rumah, ia membuka-buka isi tas itu dan apa yang ia peroleh? Sebuah manuskrip novel tanpa identitas yang usang dan seolah sudah ditulis puluhan bahkan ratusan tahun lampau.

    Jansen membacanya, ia penasaran juga dengan apa yang tertulis di sana. Sungguh, ia baru mengetahui bagaimana sebuah cerita bagus ditulis, lantas ia terinspirasi. Namun sayangnya, saking ia cinta pada cerita itu, ia berpikir untuk mencoba mengetikkan ulang isinya.

    Istrinya tidak sedikit pun curiga, sebab setiap malam tiba, Jansen memilih untuk menulis tinimbang tidur. Ketika pagi menjelang, sang istri menemukan manuskrip itu di meja mesin ketik suaminya yang terlelap; ia membaca dengan teliti, adakah cerita baru, pikirnya. Tak disangka, matanya berkaca-kaca dan untuk pertama kalinya ia benar-benar jatuh cinta dengan apa yang ditulis oleh suaminya—sebab, lantaran tak berani berkata jujur, selama ini ia memuji tulisannya demi menutupi kebohongan-kebohongannya.

    Hal berikutnya yang terjadi adalah sang istri mengucapkan selamat dan meminta kepada suaminya untuk segera membawa naskah itu ke penerbit. Tentu saja, sebagaimana film yang sudah diatur, dalam kisah ini sang suami tak bisa menolak. Bahkan untuk sekadar mengatakan kalau apa yang ia tulis bukan dari hasil pikirnya; ia hanya menulis ulang hasil pikiran orang lain yang memang belum ia ketahui identitasnya lantaran tidak tertulis di manuskrip itu—sayangnya bagian ini berbeda dengan apa yang bocah SMA itu lakukan dan alami.

    Atas dorongan sang istri, berangkatlah Jansen ke sebuah agensi penerbitan. Ia memberikan tumpukan kertas itu dan dibubuhi namanya sebagai pengarang buku yang ia beri judul: “The Words”.

    Tibalah di titik di mana akhirnya, untuk pertama kalinya, tulisannya berhasil dibukukan, ia menyepakati dan menandatangai kontrak penerbitan. Tentu saja senang dan bangga. Novel yang ia temukan tidak sengaja itu menjadi viral, dikenal dan dicetak berjuta-juta eksemplar sampai menjadi fenomenal. Nyaris seluruh warga di negaranya membaca buku itu. Ia diundang banyak acara; bincang-bincang buku, proses kreatif, bedah buku sampai mendapatkan ketenaran yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

    Akan tetapi...,
    Di satu kesempatan, ketika ia sedang duduk di sebuah bangku taman, ada seorang kakek yang meminta tanda tangannya. Gegas ia menyodorkan buku yang berjilid rapi itu. Jansen tentu saja menurutinya. Namun, di sinilah cerita sebenarnya dimulai. Sang kakek ternyata adalah penulis buku itu, ia menulisnya saat Perang Dunia II, dan masih hidup—setting cerita Film ini memang pasca Perang Dunia II. Meski awalnya Jansen menolak dan memilih untuk pergi meninggalkannya, sang kakek mengatakan sesuatu yang barangkali, kalau bukan ia penulisnya, ia tidak akan tahu soal detil-detil manuskrip asli itu; semisal jejak kopi di halaman tertentu bukunya.

    Kisah terus bergulir sampai kembali ke acara Public Reading yang dipandu oleh Clayton Hammond. Para hadirin penasaran dengan lanjutan cerita buku terbarunya itu, namun ia berujar yang kurang lebih, “segera miliki bukunya agar kau tahu apa akhir dari cerita yang kutulis”. Acara selesai dan Hammond kembali ke belakang panggung. Ternyata di sana ada seorang pelajar, juga penulis amatir bernama Daniella. Ia seperti hendak membongkar latar belakang Hammond menuliskan cerita itu.

    Ending-nya—karena review ini berpotensi spoiler baiknya lekas berhenti kalau tak ingin tahu lebih banyak—Daniella menemani Hammond kembali ke apartemennya. Ia “memaksa” Hammond untuk bercerita lebih banyak soal cerita dalam bukunya itu. Kisah pun masuk ke scene-scene lanjutan. Jansen menjadi frustasi mendapati kebenaran itu. Ia ingin namanya dihapus dari karya itu dan meminta penerbit untuk klarifikasi. Ia rela untuk tidak populer lagi dan dikenal sebagai plagiator, daripada ia harus mengulang-ulang lagi perilaku serupa atau parahnya dikenal sebagai penulis hebat yang menulis bukan atas hasil coretannya sendiri.

    Ia berusaha mencari siapa kakek itu, di mana ia tinggal, siapa keluarganya dan sebagainya hanya untuk sekadar meminta maaf dan menyesali keangkuhannya selama ini; yang populer atas karyanya. Namun kakek itu terus menolak dan meminta untuk berhenti melakukan hal serupa dan tinggalkan ia jangan temui lagi untuk hari-hari berikutnya. Ia datang ke kehidupannya hanya untuk menyampaikan kebenaran, sisanya biar Jansen sendiri yang menyelesaikan.

    Nahasnya, Hammond mengatakan kepada Daniella kalau tak lama setelah pertemuan kedua dengan Rory Jansen itu, ia telah meninggal. Daniella lalu menarik kesimpulan bahwa buku terbaru Hammond berjudul, “The Words” sebenarnya adalah buku auto-biografi, tentang si Rory Jansen alias si penulisnya sendiri, Clayton Hammond.

    Cerita ditutup dengan adegan Daniella mencium Hammond dan menjamin bahwa orang harus mau move on dari kesalahannya. Film diakhiri dengan wajah tersiksa Hammond. Ending-nya memang terkesan menggantung, agar pembaca bisa menyimpulkan sendiri. Kalau menurut hemat saya, di film ini justru perilaku plagiarisme seperti dimaklumi adanya.

    Well, kisah ini memang berbicara tentang plagiarisme. Di mana belakangan sedang menjangkiti penulis-penulis pemula yang ingin cepat terkenal. Terlebih di masa ini ketika segala bentuk teks dengan mudah dialih-pindahkan; cukup dengan meng-copy-paste, meng-capture dan menyebarkannya tanpa dibubuhi sumber aslinya. Maka kalaupun kasus Afi ini benar, dan memang sudah terbukti, saya tidak kaget-kaget amat. Wong penulis tingkat nasional saja pernah melakukannya, tinggal bagaimana lihainya saja dalam meramu apa yang akan kita sadur. Bahkan, ada dialog menarik di adegan saat Jansen ingin mencabut hak cipta atas novel yang bukan ia tulis itu, sang redaktur berkata, “percayalah, ini bukan pertama kalinya seorang penulis melakukan plagiat....”

    Cilegon, 02 Juni 2017




    ______________________________________
    Judul Film   : The Words
    Sutradara    : Brian Klugman, Lee Sternthal
    Penulis Skenario: Brian Klugman, Lee Sternthal
    Bintang Film   : Jeremy Irons, Bradley Cooper, Zoe Saldana, Olivia Wilde, Dennis Quaid
    Genre   : Drama, Romantic
    Tahun Produksi: 2012

    Continue Reading
    image by: XNY
    Mukadimah
    Bila mendengar sebutan ‘toilet’, sebenarnya seperti masih menyimpan kesan sebuah ruang kamar kecil atau kamar mandi yang bersih dan terawat. Kelas elitelah. Persis seperti apa yang ditulis Atih Ardiansyah yang dimuat Radar Banten Sabtu lalu, (27/5) berjudul, “Kamar Mandi dan Persoalan Kebangsaan Kita” yang masih bermain aman dalam mengkritisi keadaan tempat pembuangan hajat itu. Maka karenanya, saya memilih kata ‘Kakus’—masih lebih halus tinimbang jamban—untuk merepresentasikan keadaan kamar mandi yang tidak terawat dan buruknya na’udzhubillah di lingkungan kampus atau tempat ibadah di daerah Banten.

    Suatu kali, seorang kawan dari kampus lain—yang masih di daerah Banten—berkunjung ke kampus tempat saya kuliah. Ia bertanya di mana letak kakusnya. Saya beri ia arah tempatnya dan membiarkannya pergi sendirian. Tak lama ia menyusul saya yang menunggu di parkiran. Saat itu kampus cukup ramai lantaran sedang ada acara berlangsung yang mengundang banyak mahasiswa dari kampus lain. Kawan saya itu menegur dan membuat saya malu untuk beberapa saat. Ia berkata kalau kakus di kampus saya bau dan kotor, sangat menjijikan. Karena penasaran lekas saya buktikan, dan memang..., ia tak berbohong.

    Kemudian saya jelaskan kalau mungkin karena terlalu banyak orang dan yang memakai kakus itu bukan hanya mahasiswa di kampus saya. Bahkan sempat ingin saya arahkan—untuk sekadar membuktikan—kalau kakus di lantai 2 dan seterusnya pasti bersih. Namun ia tak butuh pembuktian itu. Apa gunanya pula saya bersikukuh membela sesuatu yang jelas buruknya?

    Sampai di suatu hari saya bergantian datang ke kampusnya dan menemukan sesuatu yang jauh lebih buruk. Selain keadaan yang tidak memungkinkan untuk buang air kecil maupun besar, kakus di kampusnya tak tersedia air. Apa kamu pernah membayangkan kita cebok cukup dengan bertayamum?
    Lantas apa yang bisa disimpulkan? Ya tidak ada lagi selain, kakus di kampus daerah Banten buruk seburuk-buruknya bagai tidak ada lagi yang lebih buruk—meskipun belum semuanya saya lihat secara langsung, tapi saya siap mendapatkan klaim-klaim bagi yang tidak sepakat.

    Padahal, sebagai daerah yang dikenal kereligiositasannya, sudah seharusnya kita menjadi panutan dalam menjaga kebersihan kakus, sebagaimana kata mutiara yang selalu didengungkan, “kebersihan sebagian dari iman” yang sering keliru dianggap sebagai hadist Nabi itu. Apalagi mahasiswa sebagai agent of (social) change. Kalau masih ingin menyandang julukan itu, kritislah untuk hal-hal yang dianggap sepele, tak perlu berbicara jauh soal kemanusiaan dan kebangsaan kita yang runyam ini. Ubahlah sesuatu (juga dirimu) yang dekat dan kembalikan sebagaimana mestinya.

    Budaya Mengantre
    Mari melompat dulu ke persoalan berikutnya. Ada hal lain yang jauh lebih menggemaskan yang terjadi dengan keislaman kita. Saya tak ada upaya menggenalisir bahwa yang melakukan kekeliruan itu umat mayoritas, tetapi saya siap bertaruh kalau itu benar adanya. Yang kita temui belakangan adalah wajah muslim yang tergesa-gesa dalam menghadapi masalah, tanpa mau bertabayyun lebih dahulu. Dan sepertinya saya tak perlulah menyebutkan satu per satu sampel kasusnya.

    Yang jelas, untuk mengkomper itu bisa kita lihat dari para pengendara di jalan raya saat menghadapi lampu lalulintas. Ketika lampu sedang berwarna merah, ketaksabaran mereka terlihat dari cara mengambil wilayah bergaris putih yang dikhususkan bagi pengendara “belok kiri langsung”. Menjelang lampu kuning menuju lampu hijau, suara deham, yang diwakili nyaring klakson, saling bersahutan. Entah dalam keadaan berpuasa ini apakah hal itu akan menurun atau justru semakin brutal. Yang pasti, kita telah mengambil hak milik orang lain, dan tentu saja agama apa pun tak pernah menganjurkan hal itu.

    Hal menarik yang sering saya lakukan adalah ketika lampu hendak berganti warna hijau, saya mulai menghitung. Belum genap sampai hitungan ketiga, suara klakson biasanya langsung berdenging disertai ekspresi wajah penuh amarah dan mata yang seolah kita yang tak lekas berjalan mempunyai dosa yang tak terampuni. Bisa coba Anda lakukan kalau ingin mendapatkan perlakuan serupa. Dan itu baru satu contoh soal budaya mengantre yang tak berjalan sesuai “syariat” yang amat mudah kita temui. Atau kita sendirilah pelakunya (?)

    Khotimah
    Tempo lalu saya menulis, “Wajah Muslim Hari Ini” yang mengkritisi soal para penganut Islam yang kurang nyaman dipandang oleh umat beragama lain. Sampai hari ini sepertinya hal itu belum juga bergeser. Kejanggalan demi kejanggalan terus saja dikuak baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kita sendiri. Keislaman kita benar-benar seperti barang taruhan; orang akan semakin percaya atau tidak sama sekali. Dua contoh di atas, soal kakus dan budaya antre, baru sedikitnya dari banyak kejanggalan dan kekontradiktifan yang bahkan secara sadar sering kita lakukan dalam waktu yang nyaris bersamaan.

    Dan sebagai umat muslim, menjadi manusia pemaaf sepertinya sulit sekali diterapkan, atau ditemukan pelakonnya hari ini. Apakah kita hanya akan mengeluh dan terus-menerus menyalahkan dan merasa paling superioritas dalam segala hal? Nyatanya, hal itu tak mengubah apa pun menjadi lebih baik selain menumbuhkan kebencian yang semakin menggunung. Padahal, seharusnya yang kita lakukan adalah bersama-sama bermuhasabah, bertadabur dan mencari solusi terbaiknya.

    Nilai-nilai keislaman justru yang sering kita jumpai malah di luar dari muslim sendiri. Misal dari sahabat saya yang atheis, ia memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi. Cara bertutur pun mereka lebih santun. Saat sedang melakukan perjalanan ke Singapura, meski saya tak tahu agama mereka apa, namun nyaris semuanya patuh dan saling menghormati; semisal memelankan kendaraan saat ada pejalan kaki yang sedang menyeberang, tidak mengambil hak orang lain ketika mengantre, mencintai kebersihan dan  membantu menemukan jalan sampai benar-benar paham dan sebagainya.

    Bukan berarti tidak ada umat muslim yang demikian, bisa jadi karena kebetulan saya bertemu dengan muslim yang janggal-janggal perangai dan keislamannya. Padahal di luar sana terlampau banyak pula muslim yang menerapkan nilai-nilai keislaman dengan sangat baik; dan saya berharap bisa berjumpa dengan mereka yang semacam itu.

    Suatu kali, ketika saya nyaris putus asa pada keadaan, saya membayangkan seandainya Rasulullah SAW masih hidup sampai masa ini. Barangkali saya orang yang paling jauh bersembunyi lantaran malu menjadi umatnya yang tak jua menauladani anjuran-anjurannya. Sungguh, sampai di kalimat ini, saya gemetar dan menangis.[]

    Cilegon, 29 Mei 2017 /
    03 Ramadhan 1438 H.

    Continue Reading


    Image by biem.co
    Beberapa waktu lalu, buku-buku puisi kembali diminati setelah sejumlah orang beramai-ramai menyaksikan film, Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC2) besutan sutradara Riri Riza dan Mira Lesmana. Di beberapa adegannya, tokoh utama, Rangga, yang diperankan oleh Nicholas Saputra, membacakan puisi yang ditulisnya untuk Cinta, diperankan dengan apik oleh Dian Sastrowardoyo. Puisi-puisi yang dibacakannya itu tak lain adalah puisi karangan Aan Mansyur, penyair asal Makassar. Begitu pun seperti debut pertamanya, Film AADC menyisipkan puisi-puisi cinta khas remaja yang tengah dirundung kasmaran dan kegalauan.

    Lantas, kedudukan puisi saat itu semakin tinggi dan banyak para remaja ter-influence untuk pula menuliskan dan membacakannya. Ada peran media di sana. Sebagai penghubung, media adalah sarana komunikasi yang paling tepat. Tentu saja hingga hari ini. Seperti adanya sisipan (mirip) puisi di akhir acara Mata Najwa yang dipandu oleh Najwa Shihab. Lalu acara Talkshow Indonesia Lawak Klub (ILK) yang sebelum penghujung acara dibacakan konklusi dari Kang Maman selaku notulen yang isinya seperti sebuah larik-larik puisi.

    Dua contoh di atas baru satu peran media saja yang disebutkan, yakni media elektronik; televisi dan film layar lebar (bioskop). Belum lagi peran dari media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, spanduk, pamflet dan sejenisnya; serta media-media online yang kian marak bermunculan.

    Sebut saja nama semisal Sapardi Djoko Damono. Siapa yang tak mengenal beliau? Nama besarnya sebagai seorang penyair dan sastrawan bisa dikenal hingga hari ini tak lepas dari peran media. Seperti pengakuannya, dua judul puisi fenomenal yang melambungkan nama beliau, Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin, di suatu sore terbit di sebuah koran di Jogjakarta. Andai saja puisi itu tidak dimuat dan dinyanyikan oleh Ari Reda, aku Sapardi di salah satu wawancara, kita tidak mungkin tahu siapa itu Sapardi dan puisi-puisi tersebut sampai saat ini.

    Sekali lagi, media punya andil besar untuk mengenalkan para penulis dalam keterkaitannya dengan dunia kesusastraan. Dan lagi, beberapa hal di atas baru satu bidang saja dalam dunia sastra. Masih ada karya lainnya berupa prosa (cerpen dan novel), naskah drama, teater dan segala macam. Akan tetapi, sekarang apakah masih sebesar itu peran media terhadap dunia sastra? Terlebih media lokal? Bagaimana kehidupan ekonomi-sosial para sastrawan yang seluruh hidupnya bergantung dari karya-karya yang dihasilkannya itu?

    Barangkali, akan sangat panjang sekali bila mengurai dua pertanyaan tersebut. Namun, pertanyaan semacam itu sesekali memang perlu diajukan. Selain sebagai pemantik untuk para pelaku kesenian dan media itu sendiri, kami sebagai penikmat seni pun perlu mengetahui sekaligus turut andil bersuara.

    Di provinsi Banten sendiri, kolom sastra dan budaya satu per satu berguguran dari berbagai media cetak. Seolah tidak ada lagi pembaca yang berminat pada puisi, cerpen maupun esai. Pembaca selalu disuguhi dengan berita-berita politik, ekonomi, entertainment dan iklan. Hal paling akhir disebutkan yang paling banyak mengambil bagian.

    Apakah sudah tak perlu lagi adanya sastra hari-hari ini? Ataukah hanya sekadar sebagai hiburan dan sisipan semata, yang kalaupun tidak ada, tidak berdampak apa-apa. Padahal, kelas-kelas menulis, pelatihan-pelatihan jurnalistik dan segala macam kesenian masih terus berjalan dan bertumbuhan di provinsi Banten ini.

    Meski media-media cetak nasional dan lokal di sejumlah daerah masih menyediakan ruang sastra dan budaya, lagi-lagi itu saja tidak cukup. Sebab ada tanggung jawab moral dari para pengajar ilmu sastra di Banten kepada anak didiknya. Bagaimana memberikan mereka motivasi sedang di daerahnya sendiri puisi dan cerpen tidak memiliki ruang untuk berekspresi dan eksistensi, misal.

    Ya, memang, sastra diajarkan bukan hanya sebagai media eksistensi belaka; tetapi untuk mengajarkan pula tentang makna hidup, kehidupan dan penghidupan. Juga untuk menghaluskan budi serta kritis menanggapi sesuatu melalui suntikan virus gemar membaca dan menulis. Negara yang berbudaya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan; semisal estetika berbahasa, beragama, bersosial dan menjaga adat istiadat yang sudah berkembang sejak dahulu.

    Namun meski begitu, akan ada kepuasan tersendiri ketika karya kita tersiar di sebuah media cetak. Lebih-lebih di daerah sendiri. Potensi untuk dikenal dan dibaca sesama warga daerah pun sangat besar. Barangkali itu yang akan menjadi motivasi kita untuk terus menulis dan berkarya. Lain hal bila dimuat di media lokal dari luar daerah. Selain jangkauannya terbatas, kita juga tidak mudah untuk mengecek secara langsung. Kalaupun media cetak nasional memang masuk ke setiap daerah, sebagai penulis pemula, tentu saja hal demikian sukar adanya. Paling tidak kita ada patokan dan kesadaran diri akan kemampuan yang dimiliki. Menembus media nasional bukan perkara yang mudah.

    Maka sekali lagi, hadirnya kolom sastra dan budaya di media cetak lokal adalah sebagai pembelajaran para pemula menuju kelas nasional. Akan sangat mengkhawatirkan bila pemula terus-menerus melahirkan karya berupa buku-buku yang dicetak sendiri setelah itu merasa puas sampai akhirnya terlenakan akan puji-pujian sesama pemula, tanpa lebih dahulu melewati proses seleksi, kuratorium, menerima kritik dan segala kemungkinan paling buruk atas karya yang dilahirkannya.

    Saya pun menyayangkan soal adanya Dewan Kesenian Banten (DKB). Sebagai organisasi kesenian yang diakui atau bermitra dengan pemerintah, sudah selayaknya ada kegelisahan terkait hal ini. Kalau boleh urun saran, saya menginginkan DKB, entah bagaimana soal birokrasinya, bekerjasama dengan media cetak setempat untuk sama-sama menghadirkan kembali kolom sastra dan budaya. Akan lebih menggembirakan kalau sampai bermitra dengan media elektronik (terkhusus televisi) di Banten, yang tayang rutin atau terjadwal, membuat acara semacam bincang-bincang khusus buku-buku penulis Banten. Agar masyarakat sipil tahu akan keberadaan DKB juga kemaslahatannya untuk khalayak umum dan bukan hanya organisasi tertentu saja. Selain itu, buku memang sudah sepantasnya untuk diapresiasi sedemikian ramainya.[]

    Cilegon, 27 April 2017


    __________________________
    pernah dimuat di: biem.co (03/06).
    Continue Reading
    [FTV] PENCARIAN HARTA KARUN KAKEK
    (SCTV, 5 Juni 2017)


    poster official from Starvision FTV SCTV
    Dulu banget, saya memang penggila tayangan televisi. Nyaris semua acara dan tayang di stasiun tv apa saja saya tahu, begitu juga nama-nama artisnya. Sampai di satu titik, saya ingin sekali berada di antara mereka. Namun seiring berjalannya waktu, saya juga sempat berandai-andai; Andai saja mereka memainkan apa yang saya tulis~

    Dan ternyata semua perlahan terwujud. Saya menekuni dunia menulis sejak 2012 dan baru tahun ini kesempatan itu datang. Tentu saya tak bisa tidak mengucapkan terima kasih kepada Kang Langlang Randhawa, mas Gola Gong, Rumah Dunia dan semua relawan yang berada di dalamnya. Melalui merekalah Allah membukakan satu per satu jalan dan cita-cita saya. Tentu juga tak lepas dari doa keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung saya untuk terus berkarya lebih baik lagi.

    Besok, teman-teman akan menyaksikan FTV Anak yang ide ceritanya saya yang tulis. Semoga ke depan akan ada kesempatan saya juga yang garap skenarionya--meski sekarang sudah dalam tahap, semoga acc.

    Tunggu kabar berikutnya ya dan keep doing what do you love. Saya percaya konsep mestakung; apa yang kita fokuskan dan terus kejar, suatu saat pasti akan tercapai~
    _____________________________


    FTV SCTV

    Jangan lewatkaaaaan!!!

    STARVISION PRESENT:

    FTV Fresh,

    "PENCARIAN HARTA KARUN KAKEK"
    Ide Cerita: Ade Ubaidil
    Penulis: Langlang Randhawa

    akan tayang Senin, 5 Juni 2017 pukul 07.00 WIB
    hanya di SCTV!



    trailer ftv anak, "Pencarian Harta Karun Kakek"


    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Ade Ubaidil, Pengarang, Cilegon-Banten.

    Pria ambivert, random dan moody. Gemar membaca buku dan berpetualang. Bermimpi bisa selfie bareng helikopter pribadinya. Read More

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: Perangkap Pikiran Beni Kahar

    (AG Publishing | 204 halaman | Rp75.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telat Terbit!


    Photo Profile

    Kumpulan Cerpen: SAHUT KABUT

    (Indonesia Tera | 160 halaman | Rp. 60.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Telah Terbit!


    Photo Profile

    Novel Adaptasi: YUNI

    (GPU | 174 halaman | Rp. 63.000)

    [PESAN SEKARANG]

    Pengunjung

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Pre-Order Perangkap Pikiran Beni Kahar

    Bedah Buku Dee Lestari

    Bedah Buku Dee Lestari

    Workshop & Seminar

    Workshop & Seminar

    Popular Posts

    • [RESENSI] NOVEL: HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO (GPU, 2015)
    • Musim Layang-Layang (Pasanggarahan.com, 30 Oktober 2015)
    • [MY PROFILE] Terjerembap di Dunia Literasi: Lahan untuk Memerdekakan Pikiran (Utusan Borneo-Malaysia, 13 Desember 2015)

    Blog Archive

    • ►  2012 (5)
      • ►  October (3)
      • ►  December (2)
    • ►  2013 (41)
      • ►  January (1)
      • ►  March (5)
      • ►  April (4)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  August (1)
      • ►  September (3)
      • ►  October (3)
      • ►  November (16)
      • ►  December (5)
    • ►  2014 (20)
      • ►  January (2)
      • ►  April (3)
      • ►  May (1)
      • ►  June (2)
      • ►  July (1)
      • ►  September (1)
      • ►  November (6)
      • ►  December (4)
    • ►  2015 (21)
      • ►  February (5)
      • ►  March (2)
      • ►  April (3)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (5)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
      • ►  December (1)
    • ►  2016 (31)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  April (2)
      • ►  May (4)
      • ►  June (1)
      • ►  July (2)
      • ►  August (5)
      • ►  September (4)
      • ►  October (5)
      • ►  November (2)
      • ►  December (3)
    • ▼  2017 (41)
      • ►  January (4)
      • ►  February (3)
      • ►  March (8)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ▼  June (8)
        • [FTV] PENCARIAN HARTA KARUN KAKEK (SCTV, 5 Juni 2017)
        • [ESAI] PERAN MEDIA BAGI DUNIA SASTRA (Biem.co, 03 ...
        • [ESAI] Kakus, Budaya Antre dan Kejanggalan Keislam...
        • [REVIEW FILM] The Words: Buku, Penulis dan Skandal...
        • [ESAI] Waspadai Krisis Generasi
        • Pementasan Drama: “Kampung Cibelenger: Si Mekah Ci...
        • [PUISI] Kita Pernah Begitu Dekat-Ade Ubaidil (8 pu...
        • [SELF-DEPRESSION] Sulitnya Memahami Diri Sendiri
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (3)
      • ►  November (4)
      • ►  December (3)
    • ►  2018 (24)
      • ►  January (3)
      • ►  February (2)
      • ►  March (3)
      • ►  April (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  November (4)
      • ►  December (2)
    • ►  2019 (16)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  May (2)
      • ►  July (3)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (2)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (14)
      • ►  January (1)
      • ►  February (1)
      • ►  March (2)
      • ►  April (1)
      • ►  May (2)
      • ►  June (1)
      • ►  August (1)
      • ►  September (1)
      • ►  October (1)
      • ►  November (1)
      • ►  December (2)
    • ►  2021 (15)
      • ►  February (1)
      • ►  March (3)
      • ►  April (1)
      • ►  May (1)
      • ►  June (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (3)
      • ►  September (1)
      • ►  October (2)
      • ►  December (1)
    • ►  2022 (30)
      • ►  January (2)
      • ►  February (1)
      • ►  May (3)
      • ►  June (5)
      • ►  July (1)
      • ►  August (4)
      • ►  September (3)
      • ►  October (2)
      • ►  November (2)
      • ►  December (7)
    • ►  2023 (38)
      • ►  January (4)
      • ►  February (1)
      • ►  July (1)
      • ►  August (2)
      • ►  September (2)
      • ►  October (9)
      • ►  November (15)
      • ►  December (4)
    • ►  2024 (3)
      • ►  January (1)
      • ►  March (2)
    • ►  2025 (1)
      • ►  January (1)

    Followers

    youtube facebook Twitter instagram google plus linkedIn

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top