[ESAI] Waspadai Krisis Generasi
June 16, 2017image by klik |
Ulama
Pewaris Para Nabi
Ketika Rasulullah SAW memberikan salam
terakhirnya, ada para sahabat yang mewarisi segala keilmuan dan penyebaran
agama Islam ke segala penjuru dunia. Setelah satu per satu para sahabat
berguguran dan wafat, para ‘ulama-lah yang mengambil peranan. Pasca-wafatnya
Rasulullah SAW., dan para sahabat, ulamalah yang menggantikan posisi beliau
dalam membina umat dan menjaga keutuhan ajaran Islam sejak dahulu hingga detik
ini, sebagaimana sabdanya, “Al-‘ulama
warasatul anbiya”. Ulama adalah pewaris para Nabi.
Secara etimologi, ulama merupakan bentuk
jamak dari kata ‘alim. Sedangkan kata ‘alim itu sendiri merupakan bentuk ism al-fa‘il dari kata dasar ‘ilm. Secara sederhana dapat dipahami bahwa ‘alim adalah orang yang berilmu, karenanya ulama disebut sebagai orang-orang yang memiliki ilmu dalam
artian generiknya. Secara terminologi,
kata ulama ini dapat dipahami bahwa sebutan ulama adalah untuk orang-orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, terang Ziaulhaq, Dosen
Fak. Agama Islam UISU.
Dalam hal ini bukan hanya paham dalam satu
cabang keilmuan saja, sekalipun sedang membahas konteks agama. Namun ‘ulama
kudu mengerti juga soal ilmu politik, sosial, budaya, kemanusiaan dan cabang
ilmu pengetahuan lainnya secara meluas. Maka menyandang julukan ulama pun
terbilang berat dan ada tanggung jawab moral serta perilaku di mata masyarakat
dan umat.
Kelebihan seorang alim
dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas
seluruh bintang, ucap Teungku H. Faisal Ali, Ketua Umum PWU Aceh. Para nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Warisan
nabi yang sangat berharga dan mulia di sisi Allah SWT adalah ilmu, karena
dengan ilmu bisa membuat manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Selalu ada jalan bagi mereka yang berilmu.
Kesalehan dan kebahagiaan
seseorang ditentukan oleh kualitas ilmu yang dimilikinya. “Siapa yang ingin bahagia di
dunia, maka mesti dengan ilmu, siapa yang ingin bahagia di akhirat, maka mesti
dengan ilmu, dan siapa yang ingin bahagia pada keduanya, maka mesti dengan
ilmu.” Sekalipun hadist ini
menjelaskan kemuliaan ilmu agama di atas segala-galanya, namun sedikit di
antara umat yang mau merebutnya. Hanya para ulamalah yang senantiasa bergelut
siang-malam dengan ilmu agama.
Peran Pemuda bagi Masyarakat
Barangkali bisa sama-sama kita pastikan,
bahwa sedikit sekali masyarakat, khususnya para pemuda, di daerah tempat kita
tinggal yang masih bergelut dengan ilmu agama. Banyak dari mereka fokus
mengejar gelar akademik dan keilmuan umum lainnya. Tak jadi soal, segala apa
yang ada di dunia ini adalah milik Allah semata, termasuk semua cabang ilmu
yang kudu kita pelajari. Namun, sebagaimana penganut agama, khususnya agama
Islam, sudah sepatutnya kita menjaga dan menyebarkan nilai-nilai keislaman
dengan cara mempelajarinya dengan tekun dan istiqomah, sesibuk apa pun.
Sekadar menyebutkan, Banten dikenal dengan
kereligiositasannya. Dahulu banyak melahirkan ulama-ulama dan para kiyai yang
dikenal hingga ke seluruh nusantara, tak pelak pula hingga mancanegara. Siapa
tak mengenal Syekh Nawawi Al-Bantani Tanara? Beliau bahkan dijuluki Bapak Kitab
Kuning Indonesia. Hasil buah pikirnya dipelajari dan dikaji hingga saat ini. Namun
akan sangat menggiriskan sekaligus memilukan andai tidak ada lagi penerus
beliau yang terlahir dan besar di tanah jawara ini untuk sekadar mengaji pun
tak sanggup, bahkan membaca Alquran pun tak bisa lantaran tiada mengenal ilmu
tajwid, mantiq, nahwu dan sharaf. Na’udzubillah.
Maka peran pemuda untuk keberlangsungan
kampungnya sangat diperlukan. Ada sebuah regenerasi yang harus tumbuh sebagai
tonggak estafet atas perjuangan ulama dan kiyai yang sudah susah payah
menyebarkan dan menjaga keutuhan ajaran Islam sejak dahulu. Sungguh akan merugi
bila seorang muslim tak mengenal seluk-beluk agamanya sendiri, termasuk soal
ajaran-ajaran yang telah disampaikan oleh para nabi dan ulama.
Krisis generasi sudah di depan mata. Masuknya
segala informasi bisa menjadi sebuah anugerah sekaligus bencana. Kita bisa
mengetahui keberadaan seseorang, kegiatannya, interaksi dan lain sebagainya
sekalipun ia jauh dari pandangan kita. Namun akan menjadi bumerang pula ketika
kita disibukkan dengan hal-hal yang lebih banyak mendatangkan midharat tersebut
hingga membuat kita lalai untuk belajar ilmu agama, khususnya. Pernahkah
terbayang dalam benak kita bagaimana jika pondok-pondok pesantren, para ulama,
kiyai, ustad di kampung dan daerah kita tinggal telah tiada? siapa yang akan
meneruskan dan menjaga kestabilan kampung kita kalau bukan kita sendiri? Betapa
akan hancurnya sebuah peradaban di suatu daerah jika tanpa berpegang teguh pada
agama Allah. Kita harus mewaspadai dan mencegah terjadinya krisis generasi ini.
Respons
Krisis Generasi
Mendapati fenomena itu, para pemuda di Desa Cibeber,
Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, berinisiatif untuk menyentil hati nurani kita
dan mengangkatnya dalam sebuah drama religi. Barangkali akan berhasil
sedikitnya membangunkan kesadaran kita akan pentingnya belajar ilmu agama.
Drama yang ditulis dan disutradarai oleh Ade Ubaidil itu mengangkat tema Krisis
Generasi berjudul, “Kampung Cibelenger:
Si Mekah Cintil”. Bersama teman-teman anggota Remaja Islam Masjid (RISMA)
At-Ta’awwun Cibeber, saban malam mereka berlatih. Selain itu, di Cibeber
sendiri ada agenda rutin menyambut datangnya Bulan Ramadhan yakni acara Nuzulul
Quran. Diselenggarakan sejak tanggal 13-17 Juni nanti. Banyak perlombaan yang
diadakan seperti MTQ, Marawis, Shalawatan, Cerdas Cermat, juga ceramah
(mengundang kiyai kondang), dll. Drama sendiri akan dipentaskan pada Sabtu malam Minggu (malam puncak) tanggal 17 Juni 2017 pukul 21.00 WIB nanti. Acara ini untuk umum
dan siapa pun dipersilakan untuk hadir dan menyaksikannya.
Apa yang hendak dilakukan oleh pemuda Cibeber
tak lain untuk mengamalkan apa yang Allah SWT telah sampaikan pada Alquran
surat An-Nisa ayat 9, yang artinya: “Dan
hendaklah takut (Kepada Allah) orang-orang yang sekitaranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatirkan terhadap
(kesejahteraan)-nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Wallahu a’lam bissawab.[]
Cibeber, 15 Juni 2017/
20 Ramadhan 1438 H.
0 komentar