[ESAI] GERAKAN MOTOR LITERASI, GERAKAN HATI (Biem, 01 April 2017)
April 10, 2017
GERAKAN MOTOR LITERASI, GERAKAN HATI
Bersama Relawan Moli di Alun-Alun Pandeglang, (9/4/17). |
Toko buku fisik belakangan ini semakin sulit
ditemui. Beberapa waktu lalu, di daerah Cilegon, sebuah toko buku yang lumayan
besar gulung tikar. Entah karena sepi pengunjung sehingga omset tak lekas
menanjak, atau barangkali kontraknya sudah habis dan tidak lagi diperpanjang.
Namun bila dicermati, rupanya di daerah lain pun banyak toko-toko buku yang
juga tutup. Sebut saja seperti di Serang. Barangkali memang masih ada beberapa
toko buku yang bertahan, tetapi lagi-lagi tak sebesar seperti yang ada di
kota-kota lainnya di luar provinsi Banten. Koleksi bukunya pun tak begitu
banyak, bahkan nyaris tidak update.
Lantas, bagaimana nasibnya para pembaca yang haus akan buku-buku?
Untuk mengurai pertanyaan tersebut, bisa jadi
cukup dengan menjawab, “beli saja via online,
jangan repot”. Ya, saya sepakat. Hanya saja, ada nilai lebih yang tidak
dimiliki toko online. Ada kepuasan
tersendiri ketika bisa mengelilingi rak-rak buku di toko luring (luar jaringan)
secara langsung; kebebasan memilih dan memilah buku pun tak melulu bisa
dirasakan melalui pemesanan via daring (dalam jaringan), sebab kita hanya
melihatnya melalui foto, kalau sepakat barulah buku dikirim. Belum lagi ada
ongkos kirim yang mesti ditanggung pembeli, yang kadang biayanya nyaris sama
dengan harga buku yang dipesan.
Kami, para pembaca buku sebenarnya tetap
memperhitungkan soal banderol buku yang mahal itu. Lebih-lebih kantong
mahasiswa yang masih kembang-kempis—dan nyaris lebih sering kempisnya ketimbang
kembangnya. Akan tetapi, kami butuh bahan bacaan yang banyak, yang bermutu dan
bukan hanya yang itu-itu melulu. Jangan
sekali-kali bicara soal perpustakaan daerah di depan muka saya. Saya sungguh
muak dengan isi perpustakaan di Banten. Baca baik-baik, kalau bisa dengan
mengeluarkan suara lantang saat membacanya: “Perpustakaan daerah di seluruh
kota di provinsi Banten sangat tidak layak disebut perpustakaan!”
Buku-buku yang lapuk, ngejengking, terjungkal, terbalik, yang
sobek, belum lagi buku-buku keluaran terbaru tidak ada (bahkan saya cek sampai
berulang-ulang tiap bulan); buku seks ada di rak buku anak, buku filsafat ada
di rak ekonomi, buku komputer ada di rak sastra, buku sastra ada di keranjang
sampah!
Beruntungnya, zaman telah
berubah. Perpustakaan kemudian bertransformasi, meski lagi-lagi idenya bukan
datang dari pihak pemerintahan. Seperti yang terjadi pada Minggu, 26 Maret 2017
kemarin, hadirlah Motor Literasi, yang ingin dikenal dengan sebutan, “Moli”.
Digagas oleh Dr. Firman Hadiansyah, M.Hum., Ketua Umum PP Forum Taman Bacaan
Masyarakat (FTBM) se-Indonesia, Moli untuk pertama kalinya beroperasi dengan
melakukan gelaran buku di Alun-Alun Kota Serang.
para pengunjung baca buku gratis yang digelar Moli di Alun-Alun Serang, (26/03/17). |
Masyarakat tak perlulah lagi
bersusah-payah mengunjungi perpustakaan daerah atau mencari-cari toko buku yang
keduanya sama-sama punya masalah yang kompleks itu. Melalui Moli kita bisa
meminjam buku dan ikut nimbrung membaca tanpa perlu dibebani dengan biaya dan
repotnya administrasi. Dan lagi, gerakan Moli ini tak lebih sebagai mediator
untuk mendekatkan buku kepada masyarakat yang kesulitan mendapatkan akses buku
yang layak, juga agar virus membaca terus-menerus menyebar ke seluruh warga
Indonesia.
Rencananya, minggu depan, (02/04) Moli akan membuka
lapak di Alun-Alun Rangkasbitung. Lalu di Alun-Alun Pandeglang dan Kota Cilegon. Gelaran buku Moli ini akan diadakan
setiap hari Minggu di tempat yang berbeda-beda. Minggu-minggu berikutnya di
kabupaten/kota lainnya di Banten. Selain gelaran buku, Moli juga menerima
sumbangan buku dari masyarakat umum atau siapa pun yang nantinya bakal diserahkan
kepada TBM-TBM atau perpustakaan-perpustakaan di pelosok desa di sekitar Banten.
Alun-Alun Serang. |
Seperti yang disampaikan oleh Firman, Gelaran buku Moli ini juga menjadi sebuah ajang silaturahmi para pegiat literasi di Banten, “kami diskusi tentang gerakan literasi di komunitas atau daerah masing-masing. Juga membicarakan program-program literasi yang bisa dilakukan bersama,” tambahnya.
Setelah
mendapati hal demikian, barangkali boleh dibilang perlahan-lahan, kesadaran
betapa pentingnya membaca dan menulis di provinsi Banten mulai tampak cerah.
Tinggal bagaimana cara masyarakat merespons gerakan positif ini. Juga tentu
saja pemerintah yang lambat dalam menangani setiap problema di masyarakat agar
turut andil pula memberikan dukungannya secara penuh dan menyeluruh. Kecintaan
kami pada ilmu pengetahuan menjadikan kami kritis. Bukan karena benci,
melainkan karena betapa cinta dan pedulinya kami terhadap tanah sendiri. Ini
adalah upaya kami untuk sama-sama menggerakkan hati. Kalau bukan kita yang
bergerak, lalu kita menunggu siapa lagi? Tentu saja Moli, juga perpustakaan
bergerak lainnya seperti perahu pustaka, kuda pustaka, sepeda pustaka, angkot
pustaka dan segala macam jenisnya mesti selalu didukung. Ya, paling tidak
selalu berikan ruang untuk mereka agar terus semangat menyebarkan hal-hal positif
bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya.
bersama Relawan Rumah Dunia, Abdul Salam HS. |
Di
Banten, pegiat seni satu dan lainnya masih sering berbenturan. Baik secara
ideologi maupun secara pelaksanaannya. Adanya Dewan Kesenian Banten seolah
bukan menyatukan, akan tetapi menambah jarak antara satu komunitas dengan
komunitas lainnya. Tentu saja saya berharap hal ini adalah salah. Karena mau
bagaimanapun, sudah seharusnya kita bersinergi, bukan saling berkompetisi dalam
artian yang berlawanan. Misal, ketika satu orang mendirikan taman baca, bukan
berarti kita membangun taman baca lainnya tetapi ketika ada mediator yang
berusaha menyatukan malah disalahartikan. Lebih mudahnya begini, Moli baru saja
lahir di Banten, lantas bukan berarti pihak lain melahirkan Moli-Moli lainnya
dalam wujud yang berbeda tetapi ketika ada upaya menyatukan justru malah
menjauhi diri dan tidak ingin membaur. Padahal, jauh daripada itu, ada hal
besar yang belum sepenuhnya kita taklukkan di luar Banten.
Cilegon, 27 Maret 2017
*) esai ini pernah tayang di Biem.co.
0 komentar